Kita sudah membahas bahwa Ascension ternyata jauh lebih sentral dalam Kekristenan daripada yang kita sangka; dan signifikansi Ascension terutama bukan karena Ascension merupakan sebuah ending, melainkan sebuah turning point.
Kalau Saudara nonton film, sering kali yang diingat ending-nya, tapi sebenarnya dalam suatu kisah yang sangat penting juga adalah turning point-nya. Misalnya, sebuah film dari Steven Spielberg berjudul “Hook” (kapten Hook, musuh Peter Pan) di tahun 1991. Ceritanya mengenai Peter Pan yang sudah dewasa (dibintangi Robin Williams), namanya sudah berubah jadi Peter Banning, sudah menikah, sudah punya anak, dan dia sudah lupa akan masa lalunya. Tetapi musuh besarnya di Neverland, tempat mereka dulu, yaitu Kapten Hook, merindukan Peter Pan karena dia tidak pernah punya musuh sehebat Peter Pan; Hook lalu menculik kedua anak Peter, dan Peter harus kembali ke Neverland untuk menyelamatkan mereka. Problemnya, Peter Pan yang sudah dewasa dan sudah sedikit gendut itu, waktu sampai Neverland tidak ingat apa-apa mengenai kehidupan di Neverland. Dia sudah tidak bisa terbang seperti dulu –salah satu keahliannya Peter Pan– dan geng anak-anak yang dulu dipimpinnya, yaitu The Lost Boys, sudah melupakan dia, dan sudah punya pemimpin baru, namanya Rufio. Awalnya Rufio dan geng anak-anak ini menghina Peter Pan yang sudah tua dan gendut, namun kemudian ada beberapa anak yang ingat siapa Peter, dan mereka mulai sedikit demi sedikit melatih dia untuk bisa berimajinasi seperti anak-anak. Klimaks dari latihan tersebut adalah ketika suatu saat ada yang klik, Peter ingat kembali caranya terbang dan dia berubah kembali jadi Peter Pan yang dulu dengan baju hijaunya –meskipun dia tetap gendut. Waktu hal itu terjadi, anak-anak The Lost Boys bersorak-sorak menyaksikannya, tapi juga bingung karena mereka sudah punya pemimpin yang baru, Rufio. Rufio lalu terbang mendatangi mereka dengan wajah sangar, menghunus pedangnya, dan berjalan mendekati Peter Pan. Kita langsung berpikir akan terjadi duel, tapi ternyata pada langkah terakhirnya Rufio berlutut di hadapan Peter Pan, dan menyerahkan pedang tersebut. Kembali semua anak-anak The Lost Boys bersorak. Ini adegan apa, Saudara? Adegan Ascension.
Inilah adegan Ascension, Saudara; namun yang menarik adalah yang datang selanjutnya. Meskipun momen ini momen yang katarsis, momen yang begitu “wow!” namun ternyata momen ini bukan ending-nya; ini momen turning point kisah tersebut. Peristiwa “ascension” Peter menjadi Peter Pan kembali ini bukan berdampak pada si Peter saja, tapi lebih pentingnya lagi kepada seluruh The Lost Boys, karena geng anak-anak ini kembali dikuatkan dan disatukan di bawah pemimpin lama mereka. Rufio, si pemimpin sementara itu, bahkan tidak kehilangan panggilannya ketika Peter naik kembali, tapi justru menggenapi panggilannya sebagai penjaga sementara pedang Peter tersebut.
Ceritanya berlanjut, lalu masuk ke klimaks kisahnya ketika Peter bertempur melawan Hook untuk merebut kembali anak-anaknya. Saudara perhatikan, dalam adegan tersebut Peter Pan tidak melawan Hook sendirian, The Lost Boys maju bersama dia, menyertai dia berperang. Yang menarik, cuma Peter Pan yang bisa terbang, sementara The Lost Boys tidak bisa terbang; namun lucunya, The Lost Boys ini menikmati dampaknya, bahwa pemimpin mereka telah diberikan seluruh “kuasa, kemuliaan, takhta sampai selama-lamanya” yang menyebabkan The Lost Boys bisa berperang dengan semangat dan percaya diri. Justru karena Peter Pan telah melampaui mereka, telah naik ke atas –telah terbang-terbang di atas– itu memberi dampak menguatkan mereka, jauh lebih besar dibandingkan kalau Peter Pan cuma bisa berjalan bersama-sama mereka di tanah. Ini membuat kita menyadari, “O, itu sebabnya Tuhan Yesus mengatakan berkali-kali ‘lebih baik kalau Aku pergi –naik’”. Itulah sebabnya Lukas menaruh Ascension sebagai peristiwa sumbu putar, peristiwa engsel pintu, turning point antara dua era; peristiwanya tidak disebut di banyak tempat, namun diletakkan di tempat yang sangat penting, yaitu sebagai turning point antara era pekerjaan Kristus di dunia dan era pekerjaan Gereja (Tubuh Kristus) di dunia ini.
Ascension tidak menghentikan pekerjaan Kristus. Ascension tidak menghentikan peran Kristus. Kenaikan Kristus membuat Dia menerima kuasa, otoritas; dan ini tidak menghentikan peran-Nya di dunia, ini merealisasikannya secara baru, yaitu lewat Dia sekarang pergi bersama-sama umat-Nya. Dia menguatkan umat-Nya, umat-Nya disatukan dan dikuatkan, diberikan Roh-Nya –yaitu Roh Kudus–untuk sekarang pergi menjalankan panggilannya. Ascension tidak menyetop pekerjaan Kristus di dunia ini, tapi malah membuat naik gigi, gas pol, melalui Gereja Kristus. Itulah yang kita bicarakan minggu lalu, dan kita akan melihat kelanjutannya minggu ini; sementara minggu lalu pembahasannya lebih banyak dalam arah Perjanjian Baru, minggu ini kita akan coba melihat apa makna Ascension bagi Gereja ketika kita menyadari ternyata Ascension ini sudah di-antisipasi sejak Perjanjian Lama. Ada tiga kisah dalam Perjanjian Lama yang saya akan coba angkat, untuk kita menyadari bahwa Ascension sudah ada bayang-bayangnya sejak lama, bukan sesuatu yang baru.
Bagian pertama dari Perjanjian Lama yang mengantisipasi cerita Ascension, adalah satu kisah yang paling awal di Alkitab, yaitu kisah Adam dan Hawa. Adam dan Hawa diberikan nafas Allah dalam penciptaan; dan sering kali kita pikir ini cuma berfungsi membuat manusia yang tadinya debu tanah, menjadi manusia yang hidup. Namun tidak demikian. Kata ‘nafas’ (bahasa Ibraninya nephesh) bukan cuma berarti nafas, kata yang sama juga dipakai dalam arti ‘roh’, jadi berarti mereka bukan cuma diberikan nafas tapi diberikan Roh Allah; dan ketika Roh Allah diberikan kepada manusia, maka mereka bukan cuma hidup tapi menjadi rekan kerja Allah dalam Ia memerintah ciptaan, mereka mewakili suara Tuhan bagi ciptaan –mereka menjadi gambar dan rupa Allah. Inilah maknanya mereka diberikan Roh Allah.
Berhubung kisah ini adalah kisah yang di awal, maka kita tidak membacanya sebagai kisah turning point, tapi sebenarnya terjadi suatu pergeseran (turning point) di sini, yang bahkan di kisah yang amat sangat awal ini. Saudara perhatikan, di awal kisah penciptaan, siapa tokoh yang berbicara? Hanya satu, yaitu Allah saja. Allah berbicara, Allah mencipta dengan berfirman. Setelah Dia berfirman, Dia menamai ciptaannya –bersuara, berbicara– dan hanya Allah yang melakukan seperti itu. Dia menamai terang sebagai ‘siang’, Dia menamai gelap sebagai ‘malam’, dst. Tapi lihat, ada satu turning point setelah penciptaan manusia dan pemberian Roh Allah, sekarang tugas berbicara ini di-share kepada manusia juga –kepada gambar dan rupa-Nya– manusia dipanggil untuk menamai binatang-binatang. Dan, siapa tokoh yang pertama kali mempunyai suara –berbicara– di Alkitab selain Allah? Adam; yaitu ketika dia mendeklarasikan dalam puisi pertamanya bahwa Hawa sepadan dengannya. Ini panggilan kenabian, panggilan untuk mewakili suara Allah, yang diberikan dari awal; jadi ada turning point di sini.
Detail lain yang sering kali terlewatkan dalam kisah Adam-Hawa, yaitu bahwa Adam dan Hawa menerima Roh Allah (nafas Allah) di atas gunung, di sebuah tempat yang tinggi –ada ‘naik’ di sini. Taman Eden memang tidak disebut berada di gunung, namun kalau diteliti ada indikasi dari detailnya, Kejadian 2 mengatakan ada satu sungai yang keluar dari Eden yang kemudian bercabang jadi empat sungai besar. Ini satu petunjuk bahwa Eden berada pada topografi yang lebih tinggi, diperlihatkan dengan satu sungai bercabang jadi empat. Belakangan, Yehezkiel mengkonfirmasi hal tersebut ketika dalam Yeh.28 dia mengatakan Eden adalah taman Tuhan dan gunung kudus Tuhan. Nabi Yoel juga membicarakan gunung Allah yang kudus, yaitu Gunung Sion, sebagai gambaran dari Taman Eden. Jadi, konsep Taman Eden dalam gambaran Perjanjian Lama bukanlah seperti taman/halaman di depan rumah yang accessible bagi semua orang, melainkan sebuah kuil (temple) di tempat yang tinggi, puncak gunung, yang menurut konsep waktu itu adalah tempat langit dan bumi bersentuhan –maka cocok jadi kuil. Jadi, ketika Adam dan Hawa menerima nafas Tuhan dan firman Tuhan di Taman Eden, mereka ini berada di atas, di tempat yang tinggi.
Yang menarik, apa panggilan mereka selanjutnya? Mereka disuruh untuk membawa firman –kehadiran Tuhan tersebut– ke seluruh bumi, dengan panggilan untuk memenuhi bumi. Ini berarti panggilan ‘naik’ untuk ‘turun’ ke bawah, untuk memperluas jangkauan Taman Eden ke seluruh bumi. Jadi, dari halaman-halaman pertama Alkitab pun sudah terlihat jelas bahwa panggilan Adam dan Hawa adalah bayang-bayang dari kisah Kenaikan Tuhan. Ini adalah panggilan kenabian sebagai sesuatu yang idealnya bukan cuma milik sebagian orang tok; yang kita lihat justru gambaran Tuhan memanggil orang naik, untuk kemudian terjadi semacam demokratisasi, umat Tuhan diberikan panggilan dan Roh di tempat yang tinggi, supaya bisa membawa suara Tuhan turun ke seluruh bumi dalam perkataan dan perbuatan mereka. Dengan demikian kisah yang pertama ini adalah bayang-bayang dari Ascension yang kita lihat dalam Yesus Kristus.
Sayangnya, dalam kisah pertama tersebut kita juga melihat corruption atas panggilan itu; bukannya Adam dan Hawa menjalankan panggilan menjadi pembawa firman Tuhan –menjadi orang-orang yang berbicara firman Tuhan– Adam dan Hawa malah mendengarkan “firman” dari sumber yang lain, yaitu dari ular. Ini menyebabkan mereka jatuh, menyebabkan mereka bukan lagi terutus melainkan terusir dari Taman Eden. Itu sebabnya kisah ini sejak awal membawa kita untuk menantikan suatu momen yang masih akan datang, ketika panggilan ini akan dipulihkan. Itulah kisah yang pertama.
Kisah yang kedua, adalah cerita tentang Musa naik ke Gunung Sinai. Di sini juga ada pola kenaikan dan pola demokratisasi. Musa juga naik; dia naik ke atas gunung Tuhan untuk menerima hukum-hukum Tuhan. Apa tujuan kenaikannya? Dia naik bukan cuma untuk kemudian bertahan di atas; Musa naik sendirian, tapi tujuannya adalah untuk membawa suara kenabian Tuhan turun ke bumi, melalui hukum Taurat. Musa naik bukan demi naik, dia naik demi membawa turun firman Tuhan; dan firman Tuhan ini bukan bagi dia sendiri doang, dia turun untuk membawa firman Tuhan kepada umat Tuhan. Lagipula bukan cuma supaya dia satu-satunya yang jadi sumber firman Tuhan, melainkan dia memberikan firman Tuhan ini –Taurat– kepada umat Tuhan, supaya tujuan Taurat bisa meluas. Tujuan Taurat bukan cuma dikunci untuk Musa dan Israel, melainkan agar melalui hubungan ini, Israel bisa menjadi nabi, imam, berkat, bagi segala bangsa. Lewat menghidupi hukum Taurat, mereka menjadi bangsa nabi bagi seluruh dunia, menjadi penerus panggilan Adam dan Hawa bagi seluruh dunia. Naiknya Musa ke Gunung Sinai bukan berarti semua tanggung jawab sekarang dipikul Musa seorang diri, tapi justru supaya dimulainya era berikutnya, di mana tanggung jawab kenabian tersebut dibagi ke lebih banyak orang, kepada keseluruhan umat Israel, sama seperti naiknya Peter Pan justru berdampak pada seluruh The Lost Boys tadi –demokratisasi.
Omong-omong, ini juga yang jadi tema retreat kita, “Gathered to be Scattered”; Saudara datang untuk saling mengenal, tapi Saudara tidak dipanggil untuk saling mengenal lalu makin akrab, makin erat, dsb., dan setelah itu bertahan terus di sana, nyaman karena sudah kenal semua orang, bisa main sama semua orang; melainkan untuk setelah dikumpulkan lalu disebar keluar. Itulah panggilan kita sejak dulu; dan itu mengambil pola dari sini.
Israel pada akhirnya gagal, seperti Adam dan Hawa. Mereka pada akhirnya tidak menyebarkan firman Tuhan kepada bangsa-bangsa lain, mereka tidak menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Bukannya mereka menyebarkan firman Tuhan kepada orang lain, yang ada malah pengulangan dari dosa Adam dan Hawa, yaitu mereka mengambil dewa-dewi bangsa lain menjadi berhala mereka, dan karena itu akhirnya mereka jatuh dalam penindasan bangsa-bangsa lain. Sekali lagi, melalui kisah ini Israel dan kita dibawa untuk menantikan bukan cuma momen kelepasan dari kaki bangsa-bangsa lain, tapi juga kapankah momen di mana mereka dan kita kembali menjadi terang bagi bangsa-bangsa tersebut.
Cerita yang ketiga adalah cerita kenaikan seseorang lagi –dan makin ke belakang ceritanya makin lama makin jelas hubungannya dengan Ascension of Jesus— yaitu kenaikan Elia yang disaksikan oleh Elisa (2 Raj.2). Ini cerita yang lebih kunci lagi karena polanya sama, ada figur yang naik, namun ini bukan momen berhentinya sesuatu tapi justru kelanjutan dari sesuatu tersebut, momen sesuatu yang naik, momen pergantian tongkat estafet. Ada yang naik, lalu ada yang turun. Elia diangkat naik ke surga, lalu Elisa meminta –dan menerima– dua bagian dari rohnya; makna dari ‘dua bagian roh’ ini bukan cuma soal jumlah melainkan hak kesulungan, mengenai menjadi penerus Elia.
Ketika Elisa meminta roh Elia, Elia merespons dengan mengatakan, “Hmmm.., yang engkau minta itu susah”, tapi dia lalu mengatakan, “Ini bukan tidak mungkin, Elisa, tapi ini bergantung dari apakah engkau bisa menyaksikan aku terangkat, atau tidak” (2 Raj.2:10). Ini misteri, kita tidak mengerti kenapa ada hubungan semua itu, namun itulah yang dikatakan Elia. Mereka bercakap-cakap terus, dan tiba-tiba ada kereta kuda berapi memisahkan mereka, Elia naik terangkat diliputi angin surgawi, disaksikan oleh Elisa. Momen berikutnya, ada pergantian tongkat estafet panggilan kenabian; jubah Elia jatuh, Elisa memungutnya, lalu memukulkan ke air dan mengatakan, “Di manakah Allah Elia?” lalu air terbelah dan Elisa menyeberang di tengahnya. Ketika rombongan nabi melihat hal ini, mereka mengatakan, “Roh Elia telah hinggap pada Elisa” –ada yang naik, untuk kemudian ada yang turun, supaya ada pergantian tongkat estafet.
Kembali ke Kisah Para Rasul tadi, apa tekanan Lukas dalam peristiwa Kenaikan Yesus? Yaitu bahwa para murid-Nya menyaksikan Yesus terangkat. Kis.1:9-11, ‘Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka. Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke surga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke surga.”’ Ada tiga kali urusan kesaksian ini ditekankan dalam tiga ayat berbeda yang berturut-turut. Ini bukan kebetulan. Lukas, ketika menuliskan kisahnya mungkin tidak banyak penjelasan, tapi bagi orang yang cermat dan melek Alkitab –khususnya Perjanjian Lama– dia akan menangkap dengan segera apa yang Lukas lihat terjadi dalam peristiwa-peristiwa ini, Lukas mau mengatakan inilah momen tongkat estafet bergulir, bukan dari Elia kepada Elisa melainkan dari Yesus kepada murid-murid-Nya, dari Kepala kepada Tubuh-Nya, dari Anak Allah kepada Gereja-Nya.
Paralel lain yang menarik di dalam Perjanjian Lama –sekadar info trivia saja– mengenai kenapa dua malaikat yang mengumumkan hal ini. Ada yang mengatakan, karena Lukas sedang mau menyatakan ‘sebagaimana dulu jalan ke Taman Eden diblokir oleh dua malaikat dengan pedang yang menyala-nyala, sekarang dua malaikat kembali memproklamasikan bahwa jalan tersebut telah ditembus masuk oleh Yesus Kristus’.
Saudara lihat, dampaknya bagi para murid adalah: mereka sekarang dikuatkan dan disatukan menjadi saksi-saksi dari kenaikan Yesus. Mereka menjadi saksi dari Kerajaan Tuhan di Yerusalem, Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi. Mereka dipenuhi oleh Roh Kudus, yang disebut Roh Kristus. Mereka diutus kepada bangsa-bangsa di seluruh bumi. Waktu Saudara membaca ini dengan kacamata Perjanjian Lama, maka Saudara menyadari, bahwa dalam kisah Gerejalah –dalam kisah Saudara dan sayalah– panggilan Adam dan Hawa sekarang dipulihkan, panggilan Israel kembali dijalankan. Inilah Ascension. Biasanya waktu membaca mengenai Ascension, kita pikir ini mengenai bagaimana saya naik ke surga ikut dengan Yesus, tapi lihat, dalam kitab Kisah Para Rasul tidak pernah satu rasul pun mengatakan, atau seperti mengatakan, bahwa sekarang Tuhan sudah naik lalu nanti kita akan join di sana; yang Saudara baca berkali-kali adalah urusan bagaimana justru Kerajaan Surga turun ke bumi, dinyatakan di bumi ini. Ini sebabnya tema Kerajaan Surga tidak pernah menitikberatkan surganya, melainkan bagaimana Kerajaan Surga datang di bumi, bertakhta di bumi, seperti di surga. Itu sebabnya para malaikat mengatakan, “Ngapain hai orang-orang Galilea, kalian melihat ke atas?” karena kalau kamu merespons kejadian ini dengan benar, kamu tidak bakal melihat ke atas, kamu akan melihat ke bawah, kamu akan melihat bagaimana surga turun ke bumi.
Dalam hal ini ada yang mengatakan, “Pak, bukankah di dalam Alkitab dikatakan kita ini warganegara surga?” Memang benar, Saudara, tapi kita harus mengertinya dalam konteks yang tepat. Pada waktu itu, yang namanya menjadi warganegara Rum, bukan berarti akan kembali ke Roma. Roma pada waktu itu overpopulated, sehingga orang-orang yang berkewarganegaraan Rum tidak tentu berasal dari Roma, dan sudah pasti tidak bakal balik ke Roma, karena hal itu bukanlah makna dari menjadi warganegara Rum. Tugas mereka sebagai warganegara Rum bukan somehow cari cara untuk kembali ke Roma, melainkan membawa budaya Roma, cara kerja Roma, kedamaian Roma, etos kerja roma, ke kota-kota di mana mereka tinggal. Itulah artinya menjadi warganegara Roma; dan itulah pola kita sebagai warganegara surga, bukan melihat ke atas melainkan melihat ke bawah.
Sama seperti kisah Elia diangkat adalah justru cerita di mana Elisa dilantik menjadi nabi di bawah sini, demikian pula naiknya Kristus adalah cerita di mana kita sekarang meneruskan pekerjaan Kristus di atas bumi ini. Itulah inti ceritanya, Kerajaan Surga turun ke bumi. Kisah Para Rasul berbicara mengenai hal ini. Saudara tidak pernah menemukan cerita dalam Kisah Para Rasul yang bicara mengenai usaha Paulus dan rasu-rasul untuk ikut naik ke surga seperti Yesus. Sebaliknya, Kisah Para Rasul berbicara mengenai bagaimana Kerajaan Surga turun ke bumi, lewat pekerjaan para rasul. Saudara ingat kalimat terakhir kitab Kisah Para Rasul tidak berhenti dengan ‘Paulus dan kawan-kawannya ikut terangkat ke surga’, melainkan dengan kalimat mengenai di bumi ini, bahwa Paulus dengan terus terang dan tanpa rintangan apa-apa memberitakan tentang Kerajaan Allah dan mengajar tentang Yesus Kristus, di Roma.
Jadi, apakan Ascension? Inilah turning point, momen di mana tongkat estafet diteruskan dari tangan Yesus Kristus ke tangan kita, Gereja –sama seperti naiknya Elia adalah panggilan bagi Elisa untuk meneruskan pekerjaan Tuhan. Tetapi, kenaikan Kristus lebih daripada itu, karena dalam peristiwa Elia, dia benar-benar pergi, sedangkan waktu Yesus naik ke atas, Dia bukan meninggalkan kita, Dia justru menguatkan kita. Dengan Dia terbang-terbang melayang di atas sana, kita justru lebih dikuatkan, lebih ada impact-nya bagi kita, dibandingkan kalau Dia terus berjalan di bumi ini bersama-sama dengan kita. Itulah kenaikan Yesus Kristus. Demikianlah theologinya, demikianlah yang kita bisa sadari atas peristiwa di Perjanjian Baru ketika kita membacanya melalui lensa yang tepat, lensa Perjanjian Lama.
Sekarang kita akan masuk ke bagian besar kedua khotbah ini, yaitu pertanyaan “jadi bagaimana kita melakukannya?” Kalau Kenaikan Yesus Kristus ternyata seperti itu, yaitu pergantian tongkat estafet –meskipun Tuhan Yesus tidak pernah benar-benar melepaskan tongkat tersebut, Dia hanya memegang tangan kita dan menarik kita ikut bersama Dia dan memperkuat kita untuk melakukan pekerjaan-Nya– pertanyaannya adalah: bagaimana kita melakukan hal itu? Kita akan menjawabnya dengan menggali kembali kisah Perjanian Lama tadi, kisah antisipasi/bayang-bayang tadi, yaitu kisah Elia dan Elisa. Ada tiga hal yang saya ingin tarik untuk pelajari, bagaimana kita jadi penerus-penerus pekerjaan Kristus di dunia ini.
Yang pertama, secara paradoks kunci pertama yang kita lihat perlu dalam meneruskan pekerjaan Yesus, adalah: mengakui dan menyadari bahwa kita tidak mampu. Ini reaksi yang normal. Mungkin ada yang berkata, “Ya benar, Pak, memang itu yang saya rasakan. Waktu Bapak menjelaskan Kenaikan Yesus ternyata adalah momen tongkat estafet diberikan, bukan cuma ke Petrus atau Paulus tapi juga ke saya; hah?? Yang benar saja! Saya siapa?? Saya tidak mampulah mengerjakan apa yang Yesus lakukan! Pantas saja Kenaikan tidak dibahas-bahas, karena aneh, konyol,mana mungkin sih kami mengerjakan pekerjaan Yesus di atas dunia ini??” Tapi bukan itu maksudnya menyadari bahwa kita tidak mampu; Saudara melihat justru sebaliknya waktu membaca kisah Elia dan Elisa. Elisa adalah orang yang memulai pelayanan dengan spirit tersebut, dia tahu dia tidak mampu. Namun Elisa bukan merasa tidak mampu karena dia cupu, kita melihat Elisa justru orang yang luar biasa –namun juga dia merasa dia bukan kuncinya untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Waktu Elisa dipanggil Tuhan, dikatakan bahwa dia sedang membajak ladangnya dengan 12 pasang lembu. Ini bukan pamer kekuatan tapi maksudnya dia kaya; dia punya 24 ekor lembu yang bisa membajak, berarti itu lembu-lembu yang kuat sekali, lembu-lembu super mahal. Gilanya, setelah dia dipanggil, dia lalu melakukan likuidasi aset, semua lembu itu dia sembelih dan distribusikan ke seluruh penduduk desa. Waktu melihat ini dalam momen pertama kita bertemu dengan Elisa, apa pendapat kita terhadap Elisa? Kita kagum. Kita melihat Elisa begitu luiar biasa, begitu hebat, dia ternyata tahu kalimat Yoda di Star Wars itu, “Do, there is no try”, lu jangan coba-coba jadi nabi, ‘gak ada yang namanya coba-coba jadi nabi, lakukan langsung, serahkan semmua, likuidasi aset! Itulah yang Elisa lakukan. Ini orang yang luar biasa.
Lucunya, Elia tidak merespons hal ini dengan kagum sebagaimana halnya kita, bahkan bisa dibilang Elia seperti kurang yakin dengan Elisa. Saudara perhatikan, ketika Elisa berlari mengikuti Elia, Elisa mengatakan, “Biarkanlah aku mencium ayah ibuku dulu, lalu aku akan mengikuti engkau”, berikutnya dalam terjemahan bahasa Indonesia Elia mengatakan begini: “Baiklah, pulanglah dulu, karena apa yang telah kuperbuat kepadamu”, maksudnya ‘ya, ‘gak apa-apa kamu pulang dulu, tapi ingat apa yang telah aku perbuat kepadamu’, kesannya Elia mengerti dan mengayomi Elisa. Namun ini terjemahan yang agak misleading, karena dalam terjemahan bahasa Inggris kalimatnya malah tanda tanya: “Silakan pulang dulu, what I have done to you?” —memangnya aku ngapain sama lu, ngapain kamu minta izin sama saya, memangnya saya ini siapa, bukan saya yang memanggimu, kamu bukan pilihanku koq, Tuhan yang memilihmu. Dan ini memang benar, karena nama Elisa keluar dari Tuhan; Tuhanlah yang menyuruh Elia pergi mengurapi Elisa menjadi penerusnya, jadi Elisa bukan pilihan Elia. Jadi di sini ada nuansa sepertinya Elia tidak terlalu yakin dengan Elisa. Lagipula waktu dia memanggil Elisa, caranya bukan dengan, “Sini ya, kita duduk sebentar; saya mau bicara”; dia sekadar melemparkan jubahnya ke Elisa, itu tok, lu mengerti atau ‘gak mengerti, bodo amat.
Elisa lalu melayani Elia kira-kira 18-20 tahun (pelayanan Elisa sendiri kira-kira 30 tahun, termasuk menjadi bujangnya Elia sekitar 18-20 tahun). Ini waktu yang lama sekali. Dan yang menarik, belakangan ketika Raja Yosafat bertanya apakah ada nabi Tuhan untuk diminta petunjuk, lalu ada yang mengatakan, “Ada, Elisa, tukang tuang minum untuk Elia”; itulah reputasi Elisa. Elisa ini bukan reputasinya sebagai orang yang hebat, yang bisa membuat mata kapak tenggelam lalu mengapung lagi, dsb., tapi sekadar orang yang bikin sarapan buat Elia. Itulah reputasi Elisa, calling card-nya, sebagai seorang nabi Tuhan. Saudara bayangkan, kalau emak-emak ngumpul, biasanya saling membanding-bandingkan anak mereka, yang satu bilang, “Anakku les biola”, satunya lagi, “Anakku les biola dan piano”, satunya lagi, “Anakku les biola, piano, dan balet” –saling tidak mau kalah; lalu bayangkan kalau emak-emak zaman Elisa berkumpul, yang satu bilang, “Anakku sebentar lagi naik pangkat jadi imam besar”, satunya mengatakan, “Anakku sebentar lagi jadi kapten di tentara”, lalu mama Elisa cuma bilang, “O, Elisa itu yang bikin sarapan buat Elia, tuang air buat dia pagi-pagi, yang mencucikan bajunya, yang mengosongkan pispotnya”. Inilah yang Elisa alami di awal masa pelayanannya. Tapi apa respons Elisa? Elisa tidak menginginkan posisi sebagai nabi Tuhan sebegitu rupa sampai dia merasa ‘kurang ajar, gua dipanggil jadi nabi tapi 20 tahun jadi pelayan tok; bukan cuma ‘gak diakui orang lain, tapi juga ‘gak diakui Elia sendiri!’
Waktu Elia mengatakan kepadanya bahwa hari ini dia akan diangkat ke surga, mungkin kalau kita jadi Elisa, kita akan mengatakan, “Akhirnya, si orang tua itu minggir juga! Sekarang pekerjaan yang sungguhan bisa mulai; 20 tahun gua sudah melayani dia, gua sudah muak, akhirnya sekarang real change bisa terjadi!” Kita sebagai orang muda sering kali seperti itu, melihat diri kita adalah pengharapan yang riil bagi masa depan, apalagi kalau petinggi-petinggi tua itu semuanya ‘gak bener dan ngawur. Namun kita tidak melihat hal ini sama sekali dalam diri Elisa. Elisa, waktu dipisahkan dari Elia yang terangkat ke surga, apa yang jadi perkataannya? Elisa meneriakkan kalimat: “Bapaku, bapaku! Kereta Israel dan orang-orangnya yang berkuda!” Maksudnya apa? Di sini yang menarik pertama-tama adalah double mention ‘bapaku, bapaku’; di dalam Alkitab, ketika orang menyebut nama seseorang dua kali, ini berarti menunjukkan relasi kasih yang dalam, afeksi yang dalam, seperti kalimat “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”, “Marta, Marta, Maria telah memilih yang tepat,”, “Absalom, Absalom, anakku, anakku”. Elisa bukan benci terhadap Elia, dia bukan merasa Elia sebagai seseorang yang perlu disingkirkan sebisa mungkin.
Hal kedua, mengenai penyebutan ‘kereta Israel dan orang-orangnya yang berkuda’; apakah maksudnya waktu melihat kereta kuda berapi lalu dia tiba-tiba latah mengatakan itu? Tidak. Kereta kuda dalam gambaran kita hari ini mungkin terpengaruh dengan gambaran delman, yang dihias bagus, dipakai dalam pernikahan, jalannya pelan, dsb. Atau juga kereta kuda seperti yang dipakai raja Inggris waktu coronation, yang begitu indah, putih, dilapis emas, dsb. Atau bahkan kita terpengaruh dengan lagu American spiritual, “Swing low sweet chariot, coming to carry me home… “. Tapi bukan itu semua. Kereta kuda adalah alat perang; dan dalam suatu pertempuran, kuda yang menarik kereta besi itu akan mati karena kereta tersebut begitu berat, laksana tank pada zaman dulu. Jadi waktu Elisa mengatakan ini, pada dasarnya dia sedang mengatakan: “Elia, Elia, kamulah tank-nya Israel selama ini, kamulah kekuatan Israel selama ini, kamulah senjata mutakhirnya, kamulah lini pertahanan Israel; kalau kamu pergi, kami tidak ada pertahanan.” Elisa melihat Elia begitu tinggi, tidak ada bandingannya dengan dirinya. Inilah diri Elisa yang luar biasa, bukan cuma di awal pelayanan dia berkomitmen penuh, tapi juga dia begitu setia dan gigih, begitu rendah hati. Ini orang yang cocok sekali jadi nabi, namun dia sendiri tidak merasa seperti itu. Dia tidak merasa harus naik, dia tidak merasa dirinya mampu. Ini syarat pertama kalau kita mau meneruskan pekerjaan Yesus Kristus di dunia ini.
Saudara, kita mau coba memberikan suatu aplikasi; ada satu hal yang mungkin kurang ada di dalam gerakan kita, karena gerakan kita terfokus pada pengetahuan dan informasi. Tapi perhatikan dalam Injil Markus, hampir separuh dari keseluruhan Injil Markus merupakan adegan Yesus bersama dua belas murid-Nya –sendirian– di mana Dia berkali-kali menjelaskan, menegur, dan simply bersama-sama dengan mereka. Momen-momen seperti ini penting, seperti juga segala pengetahuan penting. Hidup seorang nabi itu bahaya, ada banyak raja yang sering kali mengirim tentara untuk mencari para nabi; tetapi Elisa tidak pernah sekali pun meninggalkan Elia meski ada bahaya. Kenapa? Karena dia tahu seberapa penting kehadiran Elia dalam hidupnya.
Seorang pendeta di Inggris, Dick Lucas, pernah melakukan satu oobservasi, dan dia mengatakan: para calon pendeta, vikaris, hamba Tuhan junior, yang baru mulai pelayanan, adalah sangat penting untuk mereka bekerja berdampingan dengan hamba Tuhan senior, yang lebih dewasa dan lebih bijak. Dia mengatakan, kalau seorang hamba Tuhan junior sejak awal tidak ada kesempatan kerja berdampingan dengan seorang model hamba Tuhan yang lebih senior, maka tidak ada sekolah theologi manapun yang bisa mempersiapkan dia untuk melayani dengan tepat. Dick Lucas mengatakan, kalau kamu jadi hamba Tuhan, jangan pikir kamu cuma perlu belajar bahasa Yunani, belajar theologi, belajar doktrin; ada hal-hal yang sangat vital yang baru bisa dipelajari ketika engkau berdampingan dengan orang-orang yang lebih senior, lebih bijak di dalam Tuhan. Itu sebabnya dalam STT-nya, Dick Lucas memastikan perpustakaan mereka bukan cuma berisi buku-buku pelajaran Ibrani atau Yunani, ataupun doktrin, tapi juga buku-buku biografi pelayan-pelayan Tuhan yang besar, supaya mereka bukan cuma belajar pengetahuan tapi juga belajar bagaimana Tuhan menggunakan orang-orang di zaman yang sudah lewat.
Dalam hal ini Saudara mungkin mengangguk setuju, tapi sering kali hidup kita tidak demikian. Sistem Gereja yang sehat, selalu ada campuran antara yang lama dan yang baru, tidak mungkin tidak ada. Tetapi adakalanya ketika seseorang sudah tua dan sudah lama melayani, jadi terlalu cepat mengatakan kalimat-kalimat seperti: “Ya sudahlah, saya sudah lama melayani, sekarang giliran orang baru; saya sudah rasa diri lapuk, biar orang muda yang take over-lah, mereka yang masih kuat, masih berenergi.” Kita sebagai orang-orang di gereja bisa merasa begitu, namun realitasnya tidak seperti itu; mungkin dalam kelapukan kita pun, Tuhan masih menganggap kita ada tempatnya. Kalau Saudara termasuk orang-orang yang lebih berumur di gereja ini, dan mungkin merasa waktunya sudah lewat lalu biarkan orang lain saja yang lebih kuat yang melayani, Saudara perlu bertanya, penilaian Saudara itu berdasarkan paradigma yang mana? Paradigma Kerajaan Tuhan atau paradigma duniawi? Paradigma duniawi mengatakan, “Yang penting produktifitas; kalau Saudara tidak bisa produksi dengan baik lagi, sudah lansia, okelah kami menghormatimu, tapi tidak ada lagi ruang buatmu”. Padahal, yang penting dalam sebuah pelayanan bukan cuma tentang apa yang bisa dihasilkan seseorang, tapi juga bahwa generasi yang muda bisa melihat bagaimana orang tenang menghadapi masalah, bagaimana orang tidak diombang-ambingkan perasaan atau situasi dalam menghadapi masalah –dan itu munculnya pada orang-orang yang lebih berumur. Orang-orang yang lebih muda sangat perlu figur seperti demikian. Itu cuma salah satu contoh. Saudara perhatikan, setelah Yesus bangkit dari kematian, ‘kan pekerjaan-Nya sudah selesai, lalu kenapa Dia tidak langsung naik? Kenapa harus ada masa transisi 40 hari? Lukas mengatakan, selama empat puluh hari Ia berulang-ulang menampakkan diri dan berbicara kepada mereka —spend time dengan mereka. Ini sesuatu yang sering kali kita lewatkan begitu saja, tapi lihat, dalam cerita Elia dan Elisa pun, waktu Elia diangkat, sebelum itu mereka sedang bercakap-cakap, mereka bercakap-cakap sampai momen terakhir.
Inilah hal pertama, persyaratan kita sebagai orang-orang yang meneruskan pekerjaan Tuhan. Elisa dari awal sudah mengagumkan sekali bagi kita, namun ternyata meskipun dia begitu hebat, begitu luar biasa, dia tidak pernah melihat dirinya di hadapan Tuhan sebagai “the one”, dia sabar, dia setia, dia tahu diri di hadapan Tuhan, dia tahu menghormati peran orang yang sudah lebih dulu dipanggil Tuhan, dia tidak pernah meyajikan dirinya ‘sekarang waktunya saya!’ ini poin yang pertama. Memang benar, waktu kita dipanggil menjadi rekan kerja Alllah, respons yang tepat adalah ‘kita tidak bisa melakukannya’. Tetapi ini bukan karena Saudara melihat pada dirimu yang cupu, ini kalimat yang tetap harus keluar kalaupun orang-orang semua terkagum-kagum dengan talenta yang kita punya –dan ini amat sangat sulit.
Yang kedua, ada hal yang seperti bertabrakan dengan poin pertama; di satu sisi, Elisa tahu dirinya bukan siapa-siapa, dia tidak ingin naik lebih cepat dari waktu yang seharusnya, namun di sisi lain, bagaimanapun juga dia minta jadi penerus Elia. Lucu, ya. Waktu Elia mengatakan, “Mintalah apa yang hendak kulakukan kepadamu, sebelum aku terangkat dari padamu”, Elisa mengatakan: “Biarlah kiranya aku mendapat dua bagian dari rohmu.” Istilah ‘dua bagian’ (double portion) dalam Alkitab dimengerti sebagai hak kesulungan; seorang anak yang jadi penerus (anak sulung) mendapatkan double portion. (Memang benar juga yang Pak Tong katakan, bahwa mukjizat Elia ada 7, sementara mukjizat Elisa ada 14; kalimat nubuatan Elia 14 sedangkan kalimat nubuatan Elisa ada 28. Jadi dalam arti tertentu memang secara harfiah Alkitab mencatat yang dikerjakan Elisa dobel; namun maknanya di sini adalah menjadi seorang penerus, Elisa pada dasarnya mengatakan ‘berikan aku hak menjadi anak sulungmu’). Ini satu hal yang seperti bertabrakan dengan yang sebelumnya tadi, namun kita akan coba melihat bersama-sama apa realitas di belakangnya.
Realitasnya adalah Elia kemudian mengatakan, “Ini hal yang sukar”. Mungkin ia mengatakan ini karena tentu saja bukan hak seorang manusia untuk memberikan Roh yang Tuhan taruh dalam dirinyakepada orang lain, tapi di sisi lain mungkin juga karena Elia meragukan Elisa, Elia merasa Elisa tidak langsung bisa. Kita tahu, para nabi tidak semuanya bebas dari ‘cara manusia memandang’; waktu Samuel dipanggil untuk menobatkan raja Israel, dia terpaku pada penampilan luar, dia pikir kakak-kakaknya Daud yang pantas jadi raja, padahal ternyata Tuhan memilih Daud. Yang menarik, bahkan rombongan para nabi (orang-orang yang sekolah nabi) juga mungkin tidak melihat Elisa bisa jadi penerus Elia, buktinya waktu mereka bertemu Elisa, mereka mengatakan, “Hai, sudah tahu belum hari ini tuanmu akan diambil darimu, terangkat ke surga”, dan Elisa sepertinya agak kesal, dia mengatakan, “Iya, gua juga tahu; diamlah!” –wajar saja, karena siapa sih yang bisa seperti Elia, yang berani melawan nabi-nabi Baal yang di-backing oleh Kerajaan Israel di bawah Ahab, dan menang pula! Juga setelah Elia diangkat, 50 orang dari rombongan nabi ini menawarkan diri kepada Elisa untuk mencari Elia, “Kemungkinan Elia turun entah di gunung mana, yang kita tidak tahu” –karena Elia ini ada reputasi sedikit seperti Jokowi yang susah ditebak, bisa tiba-tiba muncul di sana-sini. Elisa lalu mengatakan kepada mereka, “Tidak usah”, karena Elisa tahu ini final, sekarang dialah nabinya; namun tetap saja rombongan nabi itu mendesak sampai dia malu –malu juga ‘kan mengatakan “gua ini nabinya”– dan akhirnya membiarkan mereka pergi.
Situasi yang Elisa alami tidak mendatangkan rasa pe-de untuk jadi penerus Elia, orang-orang sekolah nabi tidak memandang dia, Elia sendiri pun mungkin tidak memandang Elisa. Tetapi Elisa tetap berani meminta double portion Roh Allah kepada Elia; dan pada akhirnya kita melihat bagi Alkitab sepertinya Elisa benar-benar melampaui itu, mukjizat dan nubuatannya dua kali lipat. Ini poin yang kita bisa ambil untuk mengimbangi poin pertama tadi. Tadi kita mengatakan, di Gereja ada orang-orang berumur yang cenderung mengatakan “sudahlah, orang lain saja yang maju”, tapi ada juga jenis yang kedua, yaitu orang berumur yang tidak bisa terima masa lalu sudah berlalu, cenderung melihat masa sekarang dan yang akan datang tidak mungkin sejaya masa lampau, cenderung juga mengacuhkan generasi muda karena budayanya berbeda, cara kerjanya berbeda, sehingga dengan mudah menilai: “Yah, kalau modelnya kayak anak-anak muda begini sih … ; kita ini ya, dari dulu …, dari umur belasan sudah …; sedangkan anak-anak ini, aduh, dari kecil kerjanya main gadget, internet, hancurlah, masa kejayaan sudah berakhir.” Itulah yang sering kali jadi retorika orang tua juga, bukan cuma kecenderungan yang pertama tadi tapi juga kecenderungan yang kedua. Dalam situasi seperti ini, yang Elisa lakukan itu –meminta double portion Roh Allah– bukan arogansi, tapi justru satu hal yang begitu berani. Elia seperti meragukan dia, rombongan nabi kemungkinan meragukan dia, dan mungkin juga alasannya Elisa rendah hati adalah karena dia pun meragukan dirinya sendiri, tetapi di tengah-tengah semuanya ini Elisa meminta double portion roh Elia –dan Tuhan memberikannya.
Inilah pelajaran yang kedua dalam hal bagaimana kita jadi penerus Kerajaan Kristus di atas dunia ini, yaitu bukan cuma kita sadar kita tidak bisa –ini yang pertama– tapi juga bahwa Elisa tahu satu hal, meskipun dia tidak bisa dibandingkan dengan Elia, namun yang membuat Elia sukses, yang membuat Elia bisa jadi nabi yang begitu besar, bukanlah Elia sendiri melainkan Allahnya Elia. Saudara lihat yang Elisa lakukan waktu dia mengambil jubah Elia yang jatuh, apakah dia berteriak “di manakah kuasa Elia!” ? Tidak. Dia berteriak, “Di manakah Allah Elia?” Di manakah Allah Elia, Elisa tahu itulah yang dia inginkan. Alasannya dia mengatakan kepada rombongan nabi percuma cari Elia, karena memang bukan Elia rahasianya, dari dulu tidak pernah seperti itu, yang penting adalah Allah yang di belakang Elia.
Jadi, kunci yang pertama adalah: Saudara tahu Saudara tidak bisa. Kunci yang kedua adalah: Saudara menyadari, di belakang orang-orang besar dalam Alkitab, dalam sejarah Gereja, itu bukan kekuatan mereka, mereka tidak sanggup, sama seperti Saudara dan saya tidak sanggup; yang membuat kita sanggup adalah Allah yang ada di belakang semua itu.
Dalam Perjanjian Baru, Paulus mengatakan, “Jadi, apa sih Apolos, apa sih Paulus? Cuma pelayan-pelayan Tuhan, yang olehnya kamu menjadi percaya, masing-masing menurut jalan yang Tuhan berikan kepadanya. Aku menanam, Apolos menyiram, tapi Allah yang memberi pertumbuhan. Karena itu yang penting bukan yang menanam, bukan yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan”. Kita ini bukan siapa-siapa. Kamu melihat dirimu dan merasa tidak mampu, memang benar juga, tapi jangan lalu berpikir bahwa orang-orang besar yang dipakai Tuhan itu ‘kami mampu karena diri kami’. Sama sekali tidak. Kami siapa?? Kami nothing! Allah yang di belakang kami, itu yang mampu; oleh karena itu kamu harus berharap kepada Dia, bukan kepada kami. Saudara, lucu ya, bahwa tanda dari orang-orang yang besar yang melayani Tuhan, adalah mereka tahu mereka bukan apa-apa.
Justru momen di mana kita sadar diri kita bukan apa-apa, adalah momen di mana kita sering kali malah berani melakukan hal-hal yang besar. Itulah tandanya di dalam Gereja.Tapi bagaimana dengan kita? Sering kali kita tidak kayak begitu; sering kali ketika sadar kita ada kekurangan, responsnya adalah mundur. Ini sama saja bodohnya. Logikanya sama, kita pikir kita melayani atas dasar kekuatan kita, maka ketika menyadari kita ada kekurangan, kita mundur. Jadinya siapa yang kita andalkan selama ini?? Ada orang-orang yang tidak mau melayani karena merasa lemah; tapi orang-orang yang melayani karena merasa kuat, sama saja bodohnya. Karena kita diselamatkan bukan karena kita kuat, bukan karena kita cakap, berarti kita melayani juga bukan karena kita kuat, bukan karena kita cakap, bukan karena kita sempurna. Kita melayani untuk dikuatkan, untuk disempurnakan.
Waktu Saudara memutuskan ikut KKR Regional, apa yang jadi pertimbanganmu? “Aduh, saya tidak bisa ikut KKR, saya tidak bisa khotbah”, maka Saudara mundur; atau Saudara mengatakan, “Kayaknya gua bisa deh, gua ada bakat ngomong ke anak-anak”, lalu Saudara ikut. Dua opsi itu sama saja. Orang yang ikut KKR Regional dengan benar, adalah orang yang mengatakan, “Saya tidak bisa; Pak Jethro yang berkhotbah seperti itu juga tidak bisa sebenarnya, tapi saya percaya Tuhan bisa membentuk saya melalui latihan-latihan ini, melalui latihan khotbah bimbingan Pak Harly yang trial and error, melalui jatuh bangun, melalui 3-4 tahun ikut KKR Regional baru mulai bisa, dst.” Tetapi kalau Saudara dari awal sudah pasang standar ‘kalau ikut KKR Regional, saya harusnya langsung bisa’, itu berarti Saudara menaruh diri terlalu tinggi.
Omong-omong, dalam Alkitab memang ada gambaran kita mengembalikan talenta kita kepada Tuhan; lalu ada yang bilang, “Nah, berarti tetap harus ada modalnya dulu dong, Pak”. Iya sih, Saudara; tapi talenta kita itu bukan cuma dikembalikan kepada Tuhan melainkan dilipatgandakan, ada talenta-talenta yang tadinya tidak ada lalu jadi ada. Kalau Saudara cuma mengembalikan talenta yang memang sudah ada dari awalnya, maka dari tiga orang yang mengembalikan dalam perumpamaan talenta itu, semuanya sudah melakukan, tidak ada yang gagal –kalau standarnya cuma mengembalikan apa yang sudah diberi. Orang terakhir dalam perumpamaan itu mengembalikan persis sama dengan apa yang dia dapat, namun dia dipersalahkan karena tidak dilipatgandakan, karena tidak ada yang tadinya belum ada, hanya ada yang dari sebelumnya memang sudah ada. Itu sebabnya orang-orang yang masuk ke dalam kebahagiaan tuannya adalah orang-orang yang tadinya tidak ada, namun diberikan. Pelayanan Saudara selama ini, Saudara putuskan ikut karena apa?
Sekali lagi, yang pertama tadi adalah tahu/sadar diri tidak mampu; yang kedua, tahu/sadar diri bahwa orang-orang besar yang lain itu pun tidak mampu, bukan mereka kuncinya. Lalu bagaimana? Inilah hal yang ketiga/terakhir; setiap cerita Ascension adalah cerita di mana ada Roh Allah. Roh Allah yang besar itulah yang mampu. Roh Allah yang hinggap pada Elia, itulah yang Elisa inginkan, itulah Roh yang bisa hinggap pada siapapun, itulah Roh yang dicurahkan dalam pencurahan Roh Kudus bagi semua orang Kristen, bukan cuma bagi para rasul. Itu sebabnya Petrus mengatakan (Kis. 2:33): “Dan sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah dan menerima Roh Kudus yang dijanjikan itu, maka dicurahkan-Nya apa yang kamu lihat dan dengar di sini.”
Elisa begitu tergerak karena melihat Elia yang terangkat. Kita harusnya lebih lagi, waktu kita sekarang berada pada masa melihat Yesus terangkat, karena waktu Elia terangkat, Elia tidak terangkat untuk Elisa, tetapi ketika Kristus datang ke datang dan turun dunia, kita tahu Dia datang dan turun untuk kita. Waktu Kristus mati, kita tahu itu demi kita. Waktu Dia bangkit, kita tahu itu juga demi kita, karena Dia adalah buah sulung dari kebangkitan kita. Dan ketika Dia naik, apakah Dia naik supaya Dia mulia, supaya Dia mendapatkan kembali takhta-Nya, supaya Dia mendapatkan keuntungan dari hal itu? Apa tujuannya Dia naik? Kenapa Dia mengatakan “lebih baik kalau Aku pergi/naik dibandingkan kalau Aku tetap tinggal”? Karena tujuannya sama: Dia naik supaya Dia bisa menurunkan Roh Kudus bagi kita; ‘kenapa Aku harus pergi, karena kalau Aku tidak pergi, Roh-Ku tidak turun kepadamu’, itu tujuannya. Itulah alasannya Yesus naik.
Bukan cuma mengenai kenapa Dia datang, bukan cuma mengenai kenapa Dia hidup, bukan cuma mengenai kenapa Dia mati, bukan cuma mengenai kenapa Dia menderita, bukan cuma mengenai kenapa Dia bangkit, tapi juga mengenai kenapa Dia naik, semuanya adalah untuk Saudara dan saya. Itu sebabnya di Kis.1 ketika para murid berkumpul sebelum Yesus naik dan mengatakan, “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” jawabannya sebenarnya adalah “Iya, Aku mau, tapi bukan Aku yang akan melakukannya; Aku akan melakukannya melalui engkau, ketika Roh kudus turun ke atas kamu, kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” “Tuhan maukah Engkau …?” dan Tuhan mengatakan, “Mau; kamu akan melakukannya”; inilah artinya menjadi anak-anak Tuhan.
Saudara, kenapa anak-anak zaman sekarang malas melakukan segala sesuatu? Kadang-kadang kita juga seperti itu, disuruh KKR Regional seperti anak-anak disuruh cuci piring, malas. Tapi anehnya di daerah tidak kayak begitu. Orang Amerika Latin pernah melakukan suatu riset, kenapa anak-anak di daerah yang jauh dari kota tidak seperti itu, mereka rajin membantu. Anak-anak itu bangun pagi langsung cuci piring. Waktu ditanya, mereka bilang, “Ya, aku mau cuci piring supaya orang-orang lain bisa makan dengan nyaman.” Ditanya lagi, “Tapi kakak-kakakmu yang lain masih tidur, kamu tidak banding-bandingan?” Dia jawab, “Mereka nanti harus sekolah; aku belum sekolah, jadi biar aku yang cuci piring buat mereka.” Gila, ya. Dan penulis tersebut mengatakan, bukan cuma satu tapi hampir semua anak di daerah itu kayak begitu, kepingin berkontribusi buat keluarganya; bahkan satu hal yang membuat mereka kesal adalah ketika mereka sampai disuruh melakukan sesuatu, karena itu berarti mereka anak yang tidak peka. Kalau pergi berburu, anak-anak yang besar sudah tahu peran masing-masing, mereka ambil posisi masing-masing, melakukan ini dan itu; dan kalau sampai mereka disuruh, berarti mereka dianggap anak kecil, karena hanya anak kecil yang masih disuruh, “Pegangnya begini ya, ini begitu ya, ..”. Koq, bisa mereka begitu luar biasa kayak begini?? Lalu penulis itu memberikan insight-nya, bahwa bukan mereka yang luar biasa, tapi kita yang hancur; ada sesuatu yang salah dengan budaya urban, yang membuat anak-anak kita jadi tidak seperti anak-anak tadi. Kenapa dia mengatakan ini? Karena hasrat anak-anak untuk membantu, adalah natural. Anak-anak sejak kecil curious banget melihat kita; apa yang kita lakukan, mereka ingin ikut lakukan, karena mereka tahu yang kita lakukan itu berdampak positif bagi semua orang. Salah satu mainan kesukaan anak-anak saya bukan mobil-mobilan melainkan sapu dan pengki! Kenapa bisa begitu? Karena mereka melihat orang-orang yang menyapu dan mengambilnya dengan pengki itu sesuatu yang berkontribusi, dan mereka kepingin. Mereka mengacak-acak botol AQUA, karena melihat orang-orang mengganti botol AQUA. Problemnya, kita sering kali mematikan urge ini, “Sudahlah kamu tidak bisa, jangan sentuh-sentuh itu! Malah tambah bikin berantakan!” dan akhirnya mereka jadi anak-anak yang malas ngapa-ngapain –karena mereka tidak pernah dilibatkan. Jadi, caranya mendidik anak anak untuk bisa seperti tadi adalah dengan kita pakai urge yang natural ini; waktu kita ganti botol AQUA, kita ajak mereka tarik tutupnya bersama-sama. Kita libatkan mereka dalam keterbatasan. Waktu kita dorong AQUA-nya masuk ke dispenser, kita ajak mereka ikut dorong, meski sebenarnya mereka tidak kontribusi 1% pun. Kita ajak, kita libatkan, dan lama-kelamaan ini membuat hasrat mereka terbentuk, untuk jadi orang-orang yang berkontribusi dalam masyarakat. Inilah namanya menjadi anak-anak Tuhan.
Saya pernah cerita betapa instrumen gong dalam orkestra gamelan merupakan instrumen yang paling penting. Dan, dalam sebuah orkestra gamelan, semua penduduk desa –termasuk anak-anak– punya peran; peran anak-anak adalah menjadi damper dari gong tersebut. Gong yang tidak ada damper-nya, bunyinya terlalu nyaring, tidak bagus. Itu sebabnya ada yang namanya emboss, di bagian belakang gong ada lapisan semacam kulit atau busa yang membuat bunyinya tidak “prengggg…” melainkan “boonngggg…”. Tapi kalau di desa, anak-anaklah yang menaruh tangannya di balik gong, menjadi embossing natural. Satu orkestra gamelan melibatkan semua orang, dari tua sampai muda, termasuk anak-anak di desa tersebut; bahkan anak-anak mendapat peran untuk memegang instrumen yang paling penting. Itulah namanya menjadi anak. Waktu Saudara disuruh ikut KKR Regional, dilibatkan dalam pekerjaan Tuhan, apa responsmu? Waktu Saudara mendengar retreat kita bukan cuma gathered tapi gathered to be scattered, apa responsmu?
Tuhan berkenan memakai apa yang kita punya, dalam segala keterbatasan kita untuk melengkapi apa yang Dia lakukan dalam dunia ini; itulah makna Ascension. Saudara sungguh menjadi anak Tuhan, Saudara dilibatkan dalam pekerjaan Tuhan, semampu kita, seterbatas kita; itulah makna Ascension dalam Kekristenan. Jadi sekarang, hai orang-orang Kelapa Gading, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Kerjakanlah pekerjaan yang Tuhan sudah tetapkan bagimu, membawa turun Kerajaan Surga ke bumi ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading