Kita hampir sampai pada akhir dari bagian besar pertama Kalender Gereja. Mulai dari November tahun lalu, kita membahas Advent, Natal, Epiphany, dan Lent, kemudian Resurrection, dan sekarang kita masuk ke Ascension –yaitu Kenaikan Yesus Kristus –lalu selesailah bagian pertama Kalender Gereja, bagian mengenai the story of Jesus. Minggu berikutnya kita merayakan Pentakosta; dan itu jadi momen transisi untuk masuk ke bagian kedua Kalender Gereja, yaitu the story of God’s people. Jadi dalam Kalender Gereja ada story of Jesus (cerita tentang Sang Kepala Gereja), dan story of God’s people (cerita tentang Tubuh Gereja).
Untuk khotbah minggu ini, saya mengambil mode ‘pengajaran’ seperti bahan kelas katekisasi atau bahan PA. Khotbah-khotbah seperti ini –yang mungkin kita rasa tidak aplikatif– tetap ada tempatnya, tetap perlu ada dalam Kebaktian, karena membuat kita sadar bahwa sebenarnya ‘aplikasi’ bukan hal paling utama yang harus ada dalam setiap khotbah. Ibadah –dan berarti ada khotbah di dalamnya– ada untuk membentuk kita jadi murid Tuhan; dan yang namanya pemuridan (discipleship), itu dilakukan dalam berbagai aspek, perlu ada aspek praktikanya, juga perlu ada aspek yang murni teori. Kalau Saudara menjadi murid di sekolah apapun, saya yakin pasti ada aspek teorinya; bahkan Saudara bisa tidak yakin akan keabsahan suatu sekolah kalau sekolah tersebut cuma praktek tok –dan tentunya juga tidak lebih baik kalau cuma teori tok. Jadi kita perlu sadar, bahwa khotbah tidak selalu harus menggerakkan pendengarnya untuk melakukan sesuatu yang mereka belum lakukan, adakalanya khotbah juga bekerja dalam cara sebaliknya, yaitu membuat kita sadar kenapa kita melakukan hal-hal yang selama ini kita sudah lakukan. Dengan demikian ini pun bukan khotbah teori tok, tetap ada aspek praktikanya, membuat kita sadar bahwa sebenarnya ada pengertian apa di balik hal-hal yang selama ini kita lakukan, kenapa Kekristenan begini, kenapa Kekrstenan begitu.
Contohnya: kita di Indonesia sejak kecil sudah ikut Upacara Bendera, maka kita sudah sering melihat bendera merah putih, kita tahu itu bendera Indonesia, kita sudah ratusan bahkan ribuan kali menghormati bendera tersebut. Ini berarti kita sudah melakukan. Tapi katakanlah belakangan kita baru belajar di kelas, bahwa ternyata warna merah putih itu asalnya dari warna bendera Belanda yang bagian warna birunya dirobek. Waktu pertama kali kita mengetahui ini, kita merasa, ‘Ooo.. rupanya begitu’. Dan yang menarik, pengetahuan ini tidak membuatmu melakukan hal yang baru pada upacara berikutnya; upacaranya tetap sama saja, tapi ada sesuatu yang baru, ada signifikansi yang baru, ada lapisan makna yang baru yang lebih dalam di dalam bendera merah putih tersebut. Secara aktifitas, upacara bendera tersebut tidak ada tambahan tindakan, tapi ada penambahan secara kualitatif, ada penambahan secara kedalaman, ada signifikansi yang bertambah waktu Saudara memberi hormat kepada bendera tersebut.
Kalau pakai istilah modern, ini adalah sesuatu yang Saudara can’t unsee, sesuatu yang Saudara tahu dan itu akhirnya mempengaruhi bagaimana Saudara melihat (misalnya Saudara sudah melihat video cara sosis dibuat, maka setiap kali Saudara makan sosis, cara Saudara makan tidak berubah tapi ada sesuatu yang baru yang Saudara tidak bisa tidak lihat lagi). Ini sesuatu yang sesungguhnya lebih sering terjadi di dalam Kekristenan, harusnya; kenapa? Karena Kekristenan adalah lahir baru, bertumbuh dalam keluarga yang baru, dididik dalam keluarga yang baru; dan Saudara tahu bahwa dalam keluarga yang baru, cara mendidik tidak selalu dengan metode ‘teori menuju praktek’. Kita biasanya berpikir dari teori menuju ke praktek, kita bertanya “Kalau saya dapat doktrin ini, lalu prakteknya apa, Pak?” –teori ke praktek– tapi sebagaimana Saudara tahu dalam sebuah keluarga, seorang anak kecil tidak diajar dengan metode ‘teori menuju praktek’, karena mereka memang tidak mengerti teori. Justru mereka belajar dari praktek dulu, lalu setelah praktek ini berkali-kali dilakukan maka mulailah mereka belakangan diajarkan pengertian di balik praktek tersebut. Itu sebabnya praktika-praktika tadi, yang mereka sudah lakukan selama ini, mulai diisi dengan makna. Mereka mulai mengatakan, “Oh, itu sebabnya orangtua saya membiasakan saya begini”. Dan hal ini adalah satu hal yang harusnya kita lihat lebih sering ada di dalam Kekristenan, karena Kekristenan memang agama anugerah; dan dalam agama anugerah, Saudara tidak lulus ujian dulu baru jadi orang Kristen, Saudara justru masuk dulu dalam praktikanya –karena memang anugerah. Saudara tidak dituntut untuk mengerti semuanya dulu baru masuk, Saudara masuk dulu lalu barulah, seiring waktu berjalan Saudara balajar dan mengerti ada apa di balik praktika-praktika Kekristenan itu. Demikianlah keluarga Tuhan. Itu sebabnya –sebagaimana kita sudah bicara dalam khotbah tentang perjalanan ke Emaus– Kekristenan memang penuh misteri, penuh suspense, belajar sampai mati. Jikalau demikian, berarti memang perlu ada ruang bagi khotbah-khotbah yang bersifat pengajaran, teori, doktrinal. Meskipun tidak ada aplikasinya, bukan berarti khotbah-khotbah seperti itu teori tok; dalam kasus ini kita melihat khotbah-khotbah tersebut bersifat melengkapi/mengisi praktika yang sudah kita lakukan selama ini, praktika yang sudah ada selama ini, mengenai ada apa di balik praktika-praktika itu. Bukan teori tok, tapi tidak harus aplikatif juga; kita sedang mau mengisi bahwa di balik habit Gereja merayakan dan mengingat Kenaikan Tuhan, sebenarnya ada pengertian apa di baliknya.
Kita akan membicarakan Ascension melalui dua poin besar, yang masing-masing ada 5 poin. Poin besar pertama, waktu kita mau membicarakan alasannya Gereja merayakan Ascension, kita bisa mulai dari alasan sebaliknya, yaitu kenapa Gereja justru sering kali mengabaikan Ascension.
Waktu kita mendengar orang menceritakan Berita Injil, mereka pasti menyebut kelahiran Yesus, kematian Yesus, kebangkitan Yesus, tapi kenapa jarang menyebut kenaikan Yesus? Seorang theolog, Peter Orr, mengatakan, kita sering kali fokus pada apa yang Yesus telah lakukan –Dia telah datang, Dia telah mati, Dia telah bangkit– dan juga pada apa yang Yesus akan lakukan –Dia akan datang kembali; namun ironisnya, poin yang ditengah-tengah, yaitu apa yang sedang terjadi saat ini, malah sering kali diabaikan. Apa yang sedang terjadi saat ini, apa yang Yesus lakukan saat ini? Yaitu Dia naik dan duduk di sebelah kanan takhta Bapa di surga. Itulah yang sesungguhnya sedang terjadi saat ini, namun ironisnya poin ini sering kali diabaikan oleh Gereja. Itu sebabnya pertama-tama kita mau menyelidiki, kenapa Ascension sering kali diabaikan (ada 5 poin), lalu di bagian kedua kita coba melihat kenapa Ascension justru perlu ditekankan (ada 5 poin).
Kita mulai dengan lima alasan Gereja sering kali mengabaikan Ascension. Alasan yang pertama: sepertinya Alkitab tidak bicara banyak mengenai Ascension. Kita hanya menemukan peristiwa Ascension di dua tempat, satu di dalam akhir dari Injil Lukas yaitu ayat-ayat terakhir Lukas 24, dan satu lagi dalam permulaan Kisah Para Rasul yang kita baca hari ini. Ini berarti catatan mengenai peristiwa Ascension Yesus hanya berasal dari satu penulis, yaitu Lukas, dan totalnya cuma 7 ayat (cuma 0,03% dari jumlah seluruh ayat di Alkitab). Saudara bahkan mungkin kaget, mengetahui bahwa injil-injil yang lain tidak ada yang bicara mengenai peristiwa Kenaikan Yesus ini, baik Matius, Markus, maupun Yohanes. Lalu kalau kita melihat surat-surat para rasul, misalnya surat Paulus, ketika Paulus mendaftarkan peristiwa-peristiwa besar dalam hidup Yesus (1 Kor. 15), dia mencatat mengenai kematian, penguburan, kebangkitan, dan paling banyak mengenai bagaimana Yesus menampakkan diri kepada si ini, si itu, orang banyak, orang sedikit, lalu terakhir kepada dirinya, tapi tidak ada pembicaraan mengenai kenaikan Yesus. Jadi, ini membuat Gereja cenderung menangkap bahwa peristiwa ini memang peristiwa yang sampingan. Inilah alasan pertama, yaitu Alkitab sepertinya bicara sedikit saja mengenai Ascension.
Alasan yang kedua: sering kali kita melihat Ascension seperti sesuatu yang salah langkah. Misalnya, bahwa Yesus datang ke dunia, kita bisa mengerti kenapa itu perlu terjadi. Mengenai kematian Yesus, kita juga kira-kira bisa mengerti kenapa itu perlu terjadi. Mengenai kebangkitan Yesus, mungkin kita sedikit tidak terlalu mengerti, namun waktu dijelaskan, kita bisa mengerti. Sedangkan kenaikan Yesus, kita tidak mengerti, ngapain sih Dia harus naik?? Kita sangat mudah berpikir Yesus ‘kan sudah bangkit, lalu kenapa Dia tidak bertahan di bumi saja untuk selama-lamanya, kenapa Dia harus naik?? Kita seakan-akan bisa dengan mudah mengeluarkan argumentasi bahwa Yesus lebih baik tidak naik ke surga; yang pasti, penginjilan akan lebih mudah kalau Yesus tetap di bumi ini, apalagi ribuan tahun, makin lama Dia tinggal di bumi maka makin gampang meyakinkan orang bahwa Dia benar-benar Tuhan. Bukan cuma urusan kita menginjili ke luar, tapi juga kalau Yesus ada bersama kita secara jasmani, maka itu suatu penghiburan besar ke dalam, bagi orang-orang Gereja, karena itu berarti tangan jasmani Tuhan bisa benar-benar menyentuh pudakmu, mengelus kepalamu, sementara kita melewati berbagai penderitaan dalam dunia ini. Namun realitanya, karena Ia naik ke surga maka kita hari ini harus mencukupkan diri dengan berdoa kepada Seorang Juruselamat yang kita tidak bisa lihat dan tidak bisa dengar. Anak-anak Sekolah Minggu pasti banyak yang bertanya, ‘jika Yesus memang Tuhan, kenapa sih Dia tidak just hadir di depan mata kita supaya kita bisa lihat jelas, dan itu berarti kita akan lebih pe-de waktu bicara ke orang lain’. Kita sulit menjawab pertanyaan seperti itu, karena bukan cuma anak Sekolah Minggu yang berpikir seperti ini tapi juga hampir semua dari kita. Waktu Yesus mengatakan, “Adalah lebih baik kalau Aku pergi dari engkau”, kita tidak mengerti, dan kita merasa ini salah langkah.
Alasan yang ketiga –yang berhubungan dengan alasan kedua– adalah: kita bingung, kita bukan cuma melihat Ascension ini salah langkah tapi juga tidak mengerti mengapa Ascension dibutuhkan, apa maknanya, apa perlunya, kenapa Kebangkitan saja tidak cukup. Yang menarik, ini juga alasan yang bisa dikatakan biblical karena inilah alasan yang kita lihat ada pada murid-murid Yesus di bagian yang kita baca hari ini. Mereka bertanya di ayat 6: “Tuhan, maukah Engkau pada saat ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” Sekali lagi, ini ekspektasi yang tidak salah, ini pertanyaan yang sebenarnya tepat, mereka berharap Yesus sekarang mendirikan kerajaan-Nya di bumi ini, lalu mulai menaklukkan bumi ini, dst. Ini bukan ekspektasi yang salah, namun satu hal yang pasti, mereka tidak expect hal yang terjadi selanjutnya. Mereka tidak expect bahwa caranya Kerajaan Allah menyebar ke seluruh bumi adalah melalui Yesus pergi meninggalkan mereka. Itulah sebabnya dicatat mereka bengong memandang ke langit, menyaksikan kenaikan Yesus; mereka tertegun, tidak tahu harus ngapain, sampai malaikat harus menegur mereka, “Ngapain kalian bengong, kalian ada peran, ada tugas; kerjakan itu, pulang!” Jadi, bahkan para murid pun tidak expect akan Ascension, mereka tidak expect Kerajaan Allah akan hadir dengan cara Yesus pergi meninggalkan mereka. Dan, menambah kesulitan ini, Saudara perhatikan bahwa bukan cuma peristiwanya sendiri tidak banyak dicatat dalam Alkitab, tapi juga pencatatan peristiwanya pun sangat sedikit kita lihat ada tujuan yang dijelaskan atas Kenaikan tersebut. Tidak dijelaskan oleh Lukas kenapa Dia harus naik; yang dijelaskan adalah: para murid bengong, melongo ke arah langit dengan wajah-wajah bingung. Itu sebabnya kita, sebagai pembaca modern juga akhirnya sama seperti para murid, bengong ke arah langit dengan wajah bingung.
Alasan yang keempat –ini alasan yang seperti ada ”dasar Alkitabnya”– yaitu sering kali Alkitab sendiri seperti cenderung menggabungkan peristiwa Kebangkitan dengan Kenaikan, keduanya seperti tidak terlalu dibedakan. Ini membuat kita semakin blur, sebenarnya Kenaikan itu signifikansinya apa sih. Perhatikan misalnya dalam Lukas 24, Yesus mengatakan seperti ini: “Bukankah Mesias harus menderita semua itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya”; ada ‘menderita’ lalu ‘dimuliakan’, dan ‘dimuliakan’ ini pada dasarnya bisa dimengerti sebagai kebangkitan-Nya dan juga kenaikan-Nya, tidak terlalu ada pembedaan, jadi sepertinya bagi Lukas pemuliaan Yesus adalah kebangkitan dan juga kenaikan. Di bagian yang lain, Filipi 2, Paulus mengatakan yang sangat terkenal itu, bahwa Yesus dalam keadaan sebagai manusia, mengosongkan diri-Nya, taat sampai mati, mati di kayu salib –bagian ini detailnya banyak– namun selanjutnya hanya dikatakan: “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama”. Apa itu ‘meninggikan’ Yesus? Kebangkitan atau kenaikan? Yang mana? Seperti nyampur. Sama juga seperti tadi, dari ‘salib’ langsung ‘pemuliaan’, tidak terlihat ada fase-fase yang distinct. Contoh ketiga, khotbah Petrus (Kis. 2) yang membicarakan kebangkitan dan kenaikan secara menyambung, yang kalau kita baca khotbahnya, akan sulit membedakan yang mana efek dari Kebangkitan dan yang mana efek dari Kenaikan. Memang ini satu hal yang sebenarnya wajar, karena kalau orang sudah mati maka pemuliaannya itu arahnya satu trayektori; Yesus setelah mati maka dari kematian Dia naik kepada kehidupan, naik ke Kenaikan, naik ke surga –satu arah– jadi ini satu pengelompokan yang bisa dimengerti sebagai logis. Namun jeleknya, ini sering kali menyebabkan umat Tuhan berpikir bahwa pemuliaan Yesus cuma urusan Kebangkitan sementara Kenaikan hanyalah sampingan, sedangkan waktu para penulis Perjanjian Baru menulis mengenai Yesus ditinggikan, yang ada dalam pikiran mereka tidak cuma Kebangkitan tapi juga Kenaikan-Nya. Kenaikan penting, karena Kenaikan menggenapi apa yang dimulai dalam Kebangkitan Yesus. Kebangkitan bukanlah momen Yesus dimuliakan di situ tok, melainkan permulaan dari dimuliakannya Yesus. Dalam arti tertentu kalau Saudara mau membagi jadi dua, Kebangkitan penting karena mendeklarasikan bahwa Yesus hidup selamanya, sedangkan Kenaikan penting karena mendeklarasikan sesuatu yang lain, bukan cuma bahwa Yesus hidup selamanya tapi juga bahwa Yesus bertakhta selamanya. Itu penting –tapi kita kadang-kadang menggabungkannya jadi satu, kita tidak mengerti signifikansinya.
Alasan yang kelima adalah alasan yang simpel, yaitu dalam perspektif modern Ascension merupakan sesuatu yang aneh, abnormal. Pada zaman yang kita sudah lebih mengerti mengenai bentuk bumi, astronomi, dan teknologi juga sudah begitu berkembang, maka peristiwa Kenaikan –peristiwa Seorang Manusia setengah baya terbang ke angkasa dengan kecepatan yang kita tidak tahu berapa, arahnya ke mana, menembusan lapisan yang mana, troposfer atau stratosfer, dsb., survive di kehampaan luar angkasa tanpa baju astronot, dst.–sulit diterima, kita membacanya seperti sesuatu yang konyol. Bukan berarti kita tidak menerima soal mukjizat supernatural; kita menerima soal mukjizat supernatural –kesembuhan dari penyakit, bahkan kebangkitan orang mati– namun juga mukjizat-mukjizat seperti ini somehow lebih gampang diterima dibandingkan naiknya Yesus ke surga. Urusan kesembuhan dari penyakit ataupun kebangkitan orang mati itu tidak konyol, kita tahu ada tujuan yang jelas, yaitu orang yang dibangkitkan itu jadi bisa hidup lagi, orang yang disembuhkan itu jadi bisa menghidupi hidupnya dengan lebih produktif dan menjadi berkat; namun seperti para murid, kita hari ini melongo memandangi langit, karena kita tidak tahu harus merespons apa terhadap kenaikan Yesus, Yesus kali ini tidak mati, dia simply pergi, lalu gimana dong??
Itulah lima alasannya sering kali kita mengabaikan, atau tidak memperhitungkan, atau meminggirkan peristiwa Kenaikan. Sekarang kita masuk ke bagian berikutnya, mencoba menjawab bahwa ada 5 alasan juga untuk kita kembali memulihkan pengertian kita mengenai Ascension; dan ini pada dasarnya merupakan respons atas 5 poin sebelumnya.
Poin yang pertama. Tadi kita mengatakan Alkitab sepertinya tidak banyak bicara mengenai Kenaikan, hanya 7 ayat, 0,03% dari seluruh Alkitab, namun ternyata detail seperti itu tidak sepenuhnya benar, karena ada banyak ayat-ayat lain di dalam Alkitab yang bicara mengenai Ascension, hanya saja tidak menggunakan istilah yang sama, tidak menggunakan istilah ‘terangkat’.
Misalnya, Yesus sendiri sangat sering bicara dengan istilah-istilah bahwa Ia akan pergi kepada Bapa; salah satunya dari Yoh. 16:7, “Namun benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu.” Masih banyak contoh Yesus mengatakan kalimat-kalimat seperti demikian, tapi saya mengutip yang satu ini saja karena dalam satu ayat ini Yesus mengatakan istilah ‘pergi’ tiga kali –maka berarti ini bukan satu hal pinggiran– dan yang pasti ‘pergi’ ini bukan mengacu kepada kematian-Nya melainkan jelas kenaikan-Nya. Kenapa demikian? Karena dihubungkan dengan kedatangan Roh Kudus; dan Saudara tahu, Yesus mengutus Roh Kudus setelah Dia naik, bukan setelah Dia mati. Jadi ini satu hal yang jelas bahwa ternyata ada referensi Kenaikan Yesus dalam Injil Yohanes, hanya saja tidak menggunakan istilah yang sama.
Selain dalam Injil, dalam tulisan para rasul juga ada pengacuan-pengacuan terhadap hal yang sama, tapi istilah yang dipakai berbeda-beda. Paulus menggunakan istilah ‘Yesus naik ke tempat tinggi’; atau dalam Surat kepada Timotius dia mengatakan ‘Yesus diangkat dalam kemuliaan’. Ini jelas sekali mengacu pada Kenaikan. Dalam Surat Ibrani –yang kita tidak tahu siapa penulisnya– hal ini pakai banyak istilah yang berbeda-beda, ada dikatakan ‘Yesus masuk ke tempat kudus Allah’, ‘Yesus melintasi semua langit’ (bahasa Inggrisnya ‘Jesus passed through the heavens’, artinya sampai ke surga), ada lagi ‘Jesus exalted above the heavens’ (diangkat lebih tinggi dari tingkatan-tingkatan langit) yang merujuk pada kenaikan-Nya ke surga, ke sebelah kanan Allah Bapa. Dalam tulisan Petrus (1 Ptr. 3:22), dia mengatakan ‘Yesus duduk di sebelah kanan Allah setelah Ia naik ke surga, sesudah segala malaikat, kuasa, dan kekuatan ditaklukkan kepada-Nya’. Jadi, ternyata tidak cuma 7 ayat yang bicara mengenai Kenaikan.
Ini juga menjawab keberatan yang tadi, bahwa sepertinya dari semua penginjil hanya Lukas yang mencatat Ascension, namun ternyata injil-injil yang lain juga ada referensi terhadap peristiwa ini. Misalnya dalam Injil Matius –ini bagian yang agak sulit dan Saudara perlu memngikuti dengan seksama– Matius mencatat Yesus sendiri mengatakan Kenaikan akan terjadi dalam panggilan-Nya, yaitu dalam momen Yesus diadili (Mat. 26) ketika Yesus mengatakan: “Engkau telah mengatakannya. Akan tetapi, Aku berkata kepadamu, kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit.” Membaca ini, Saudara mungkin pikir ini bukan Kenaikan, ini peristiwa kedatangan kembali Yesus nanti di akhir zaman. Tidak demikian, Saudara; kenapa? Sekali lagi, Saudara jangan terpaku pada satu istilah atau perspektif. Istilah yang Yesus pakai di sana, istilah “Anak Manusia”, bukan orisinal dari Yesus. Setiap kali Yesus mengatakan ‘Anak Manusia’, Dia sesungguhnya sedang mengajak para pendengar-Nya mengingat kembali kitab Daniel, di mana figur Anak Manusia itu pertama kali muncul; dan figur Anak Manusia itu dikatakan datang di dalam awan-awan kemuliaan. Tahukah Saudara datangnya ke mana? Anak Manusia itu terangkat –datang dalam awan-awan kemuliaan– kepada Allah Bapa. Jadi perspektifnya adalah ‘datang’ dilihat dari surga, datang dari bumi ke surga melalui awan-awan; ini perspektif surgawi terhadap Kenaikan Yesus. Ini bukan kedatangan-Nya kembali di akhir zaman melainkan bicara mengenai kenaikan-Nya. Jadi di dalam Injil Matius pun, Yesus pernah membicarakan tentang kenaikan-Nya.
Di dalam Injil Yohanes, kita juga menemukan paling sedikit 6 kali Yesus mengatakan Dia akan pergi kepada Bapa, 4 kali mengatakan Dia akan naik ke surga, 1 kali mengatakan Dia akan beralih dari dunia ini kepada Bapa, dan 1 kali mengatakan Dia akan meninggalkan dunia ini dan pergi kepdaa Bapa. Injil Markus memang perkecualian karena ending dari Injil Markus memang bersifat misterius; bahkan kebangkitan Yesus pun kita tidak menyaksikannya sendiri melainkan hanya mendengar dari malaikat, karena memang ada tujuan lain dari Injil Markus. Namun intinya, ternyata dari empat Injil paling tidak 3 injil punya referensi yang jelas akan peristiwa Kenaikan.
Omong-omong, peristiwa kelahiran Yesus pun hanya dicatat dalam 2 injil, Matius dan Lukas –tapi kita tidak ada problem dengan itu– sementara peristiwa Kenaikan ada 3 injil; lagipula memang harusnya tidak masalah berapapun yang bicara atau tidak bicara mengenai hal-hal itu. Seorang ahli kanon mengatakan, sebenarnya satu injil saja pun yang mencatat, itu tidak masalah, karena sebagaimana kita tahu ada banyak hal dalam Injil Yohanes yang tidak kita temukan dalam injil-injil sinoptik. Kemungkinan karena Injil Yohanes adalah injil yang ditulis paling belakangan, penulisnya kemungkinan besar sudah familier dengan tulisan 3 injil sebelumnya itu, sehingga waktu Yohanes menuliskan, dia akan mengatakan kepada dirinya sendiri, ngapain mengulang hal yang sama lagi; itu sebabnya Yohanes mengisi bagian-bagian yang belum diisi injil-injil sebelumnya. Dalam konteks seperti ini, tidak heran ada banyak hal dalam Injil Yohanes yang tidak kita temukan dalam injil-injil yang lain; dan ini tentu tidak berarti kesaksian Yohanes jadi kurang valid. Jadi, kalaupun catatannya cuma satu tok, itu harusnya tidak masalah bagi kita yang percaya Alkitab sebagai Firman Tuhan, apalagi setelah selidik punya selidik ternyata Kenaikan ini, meskipun peristiwanya sendiri hanya dicatat dalam satu injil, injil-injil yang lain pun sering mereferensi mengenai Kenaikan Yesus.
Satu hal lagi yang membuat kita kurang peka terhadap bagaimana Kenaikan dibicarakan banyak dalam Perjanjian Baru, adalah karena problem terjemahan, yang dalam bahasa Inggrisnya lebih jelas. Saudara tahu, dalam hidup Yesus hampir tidak ada orang yang memanggil Yesus sebagai “Lord Jesus”; istilah ini tidak muncul semasa Dia hidup. Istilah “Lord Jesus” yang banyak sekali di Alkitab, itu muncul setelah Dia naik, yaitu dalam tulisan para rasul, dalam surat-surat kepada jemaat, dsb., karena Kenaikan memang peristiwa exaltation, peristiwa pemuliaan Yesus, peristiwa Yesus naik pangkat jadi Raja atas semuanya; dan istilah “Lord” memang merujuk pada ke-Tuan-an Yesus ini. Sebenarnya istilah “Lord” dalam bahasa Indonesia harusnya diterjemahkan “Tuan”, tapi LAI menerjemahkannya sebagai “Tuhan”, sehingga kita jadi salah kaprah, kita pikir istilah “Tuhan Yesus” mengacu kepada keilahian Yesus; waktu para rasul menyebut “Tuhan Yesus”, kita pikir mereka mengakui Dia sebagai Tuhan (Allah). Tentu saja mereka mengakui Dia sebagai Allah, namun yang dimaksud dalam istilah aslinya bukan itu. Istilah aslinya, yaitu Kurios, adalah istilah yang tepatnya diterjemahkan bukan dengan “God” melainkan “Lord”, karena istilah tersebut mengacu pada status seseorang sebagai kepala/tuan (master). Kalau hari ini Saudara pergi ke Yunani (Greece), Saudara akan menemukan istilah “kurios” ini masih dipakai sehari-hari, ini adalah istilah “mister” dalam bahasa Yunani; jadi misalkan namanya Mister Jethro, akan dipanggil Kurios Jethro, seperti halnya Tn. Jethro dalam bahasa Indonesia. Istilah mister dalam bahasa Inggris sebenarnya berasal dari master, mengacu kepada seseorang yang pangkatnya lebih tinggi dari kita –maka bisa juga diganti dengan “Sir”. Jadi istilah yang ada di dalam Alkitab tadi seharusnya diterjemahkan dengan “Tuan”, bukan “Tuhan”.
Kita percaya bahwa para rasul percaya akan keilahian Yesus, namun ketika mereka memanggil Dia sebagai Lord Jesus, mereka bukan sedang mengacu pada keilahian-Nya melainkan pada ketuanan-Nya, mereka sedang mengatakan Yesus sebagai Raja yang bertakhta, the kingship of Christ; dan dengan demikian betapa tulisan para rasul sangat sarat dengan nuansa Kenaikan. Kenapa mereka memanggil Yesus sebagai Lord Jesus (Tuan Yesus) berulang kali –banyak sekali dalam Perjanjian Baru? Karena Kenaikan. Ini berarti para rasul dalam tulisan mereka sepanjang Perjanjian Baru, menulis atas dasar peristiwa Kenaikan. Ini satu hal yang ternyata begitu tertanam dalam theologi mereka; dan mungkin itu sebabnya kita jarang lihat, sebab apa yang tertanam di dalam tidak selalu kelihatan dari luar namun mendasari seluruh yang ada di atas tanah. Itu sebabnya juga mereka mengembangkan hal ini dan menulis banyak theologi tentang Yesus sebagai Tuan dan Raja dari segala sesuatu. Di mana-mana dalam Perjanjian Baru, Saudara menemukan mereka menulis Yesus sebagai Lord, menuliskan Yesus duduk di atas takhta penghakiman dunia (2 Kor. 5), Yesus memegang pemerintahan sebagai raja (1 Kor.15), segala sesuatu telah diletakkan di bawah kaki Kristus (Ef. 1); dan tentu saja dalam Filipi 2 yang terkenal itu, setelah Yesus dituliskan tidak memperjuangkan kesetaraan-Nya dengan Allah, mengosongkan diri-Nya, turun ke dunia mengambil rupa seorang hamba, mati di kayu salib, lalu berikutnya adalah: Allah sangat meninggikan Dia, mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit, di atas bumi, dan di bawah bumi. Ini adalah efek dari Kenaikan Yesus, pengangkatan Yesus sebagai Raja alam semesta, duduknya Yesus di sebelah kanan Allah Bapa. Dan tentu saja kita tidak lupa menyebutkan tulisan Yohanes di Kitab Wahyu; Yohanes dalam gambarannya, melihat Yesus ada di Ruang Takhta Surga, Dia duduk di atas takhta tersebut. Itu adalah efek dari Kenaikan.
Meskipun peristiwa Kenaikan itu sendiri hanya dicatat dalam 7 ayat, ternyata keseluruhan Perjanjian Baru para penulisnya menulis atas dasar peristiwa tersebut. Mereka melihat peristiwa tersebut sebagai peristiwa yang sentral bagi mereka, mereka memanggil jemaat untuk melakukan ini dan itu, atas dasar merespons realitas Yesus yang bukan cuma bangkit tapi juga yang telah naik ke surga, yang diangkat ke surga, yang ditinggikan menembus batas bumi dan surga, yang telah duduk di takhta surga, yang memegang kuasa atas segala ciptaan, yang telah mengutus Roh Kudus dari sana, dan juga akan datang kembali. Seluruh panggilan dalam Perjanjian Baru adalah berdasarkan atas hal ini, maka tanpa Kenaikan Yesus, tidak ada Kekristenan. Itulah seberapa sentralnya Kenaikan. Demikianlah hal yang pertama, Alkitab seperti bicara sedikit tentang Kenaikan, namun ternyata tidak, jika kita mempelajarinya dengan baik.
Alasan yang kedua, mengenai perlunya kita memulihkan kembali Kenaikan di dalam theologi/kerohanian kita, adalah bahwa tenyata tidak cuma Perjanjian Baru melihat Kenaikan sebagai sentral, sejarah Gereja Tuhan berabad-abad juga mengakui signifikansi Kenaikan dalam iman Kristen.
Kalau Saudara menyelidiki Pengakuan Iman dari berbagai zaman, mulai dari Pengakuan Iman dari Bapa-bapa Gereja di abad pertama sampai dengan Pengakuan Iman dari para Reformator di abad 15-16, Saudara menemukan bahwa peristiwa Kenaikan selalu dimasukkan ketika mereka mengingat narasi hidup Yesus. Contohnya: Pengakuan Iman Rasuli, salah satu Pengakuan Iman yang paling awal (dari abad 2), dan juga Pengakuan Iman yang kita ucapkan setiap Minggu; di sana ada kalimat “Naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah, Bapa Yang Mahakuasa”. Hal yang sama juga kita temukan dalam Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel (tahun 325). Ada juga Pengakuan Iman dari Konsili Kontantinopel tahun 381; waktu mereka mendaftarkan peristiwa-peristiwa kunci dalam hidup Yesus, mereka menyebutkan inkarnasi, kelahiran, penyaliban, penguburan, kebangkitan, dan juga kenaikan, duduknya Yesus di sebelah kanan Allah Bapa. Ada satu perkecualian yang menarik yaitu dalam Kredo Chalcedonian (tahun 451), namun ini adalah karena kredo tersebut memang tidak menyebutkan apapun mengenai narasi hidup Yesus; kredo ini berfokus pada urusan dwi-natur Kristus sebagai Allah dan juga manusia, maka tidak ada uraian mengenai narasi hidup Yesus sama sekali, bukan cuma kenaikan tapi juga kelahiran, kematian, dan semua yang lain. Berikutnya, Kredo Athanasius (tahun 500), yang berfokus pada Doktrin Tritunggal dan Kristologi, namun tetap ada ruang untuk menyebutkan Kenaikan Yesus selain dari hal-hal yang lain. Bukan cuma Pengakuan Iman dari para Bapa Gereja, tapi juga dari orang-orang reformasional setelah Reformasi. Misalnya: Augsburg Confession (th. 1530), Helvetic Confession (th. 1536), Scots Confession (th. 1560), semuanya selalu memasukkan peristiwa Kenaikan. Dengan kata lain, ketika Gereja sepanjang zaman dalam kredo-kredo mereka mengulang apa yang mereka akui dan percaya mengenai hidup dan karya Kristus, mereka tanpa terkecuali selalu memasukkan Kenaikan. Kenaikan bukan bagian yang dipinggirkan atau di-cuekin dibandingkan peristiwa-peristiwa lain dalam hidup Yesus.
Alasan yang ketiga, ternyata secara narasi Perjanjian Baru, Kenaikan adalah turning point-nya. Jadi Kenaikan bukan cuma ada dan disebut dalam Perjanjian Baru, tapi adalah seperti engsel pintu fungsinya, peristiwa yang justru jadi turning point dalam Alkitab. Maksudnya apa?
Tadi kita mengatakan peristiwa Kenaikan hanya ditulis di dua tempat, di akhir Injil Lukas dan di awal Kisah para Rasul. Dua tempat ini justru tempat yang amat sangat kunci; kenapa? Saudara lihat, Injil Lukas membahas narasi dan karya Kristus di bumi ini, lalu Kisah Para Rasul membahas narasi dan karya Gereja di bumi ini melalui Roh Kudus. Itu berarti waktu Lukas menuliskan dua kitab besar ini, peristiwa apa yang Lukas lihat, yang ada di tengah-tengahnya, yang menjembatani dua era besar ini? Itu bukan kematian Yesus, bukan kebangkitan Yesus, bahkan bukan pencurahan Roh Kudus. Peristiwa engsel pintu yang menjembatani kedua era ini, yang bisa dibilang era Yesus dan era Gereja –meski istilah ini tidak tepat– adalah peristiwa Kenaikan Yesus, bagi Lukas.
Omong-omong ini bukan kebetulan, karena Lukas –dan bukan cuma Lukas– menulis tidak sekadar seperti orang menulis diary melainkan menulis dengan planning, menyusun karyanya dengan perhitungan habis-habisan. Dua kitab ini, Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, tidak sembarangan disusun. Kitab Kisah Para Rasul, struktur besarnya adalah struktur Amanat Agung; di awal Kisah Para Rasul, sebelum naik ke surga, Yesus mengatakan: “Pergilah, jadilah saksi-Ku, dari Yerusalem, Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi” –dan itulah daftar isi kitab ini. Narasi Kisah Para Rasul bergerak seperti itu, pertama-tama dari Yerusalem, lalu merebak ke Yudea, lalu sampai ke Samaria, lalu sampai ke ujung bumi, Injil mulai dibuka ke bangsa-bangsa lain, ada kisah Kornelius, ada sida-sida Etiopia, dst., dan berakhir dengan Paulus mengabarkan Injil tanpa halangan di Roma. Roma adalah ujung bumi; meski kita merasa Roma justru pusat bumi pada waktu itu, tapi ada peribahasa “Semua jalan menuju ke Roma”, berarti semua jalan juga bermula dari Roma, maka Injil yang sudah sampai ke Roma berarti akan sampai ke ujung bumi. Itu sebabnya Lukas mengakhiri Kisah Para Rasul di bagian ini. Yang menarik, mengenai Yerusalem-Yudea-Samaria sampai ke ujung bumi ini bukan cuma ada dalam Kisah Para Rasul, Saudara juga menemukan struktur yang sama dalam Injil Lukas, hanya saja terbalik. Injil Lukas dimulai dengan gambaran dunia Romawi secara payung besar; dikatakan dalam Lukas 2: ‘pada saat Kaisar Agustus menjabat, pada saat Kireneus menjadi wali negeri Siria, ada sensus penduduk dari seluruh dunia’; ini disengaja. Lalu dalam Injil Lukas di awal-awal ada kisah perempuan Samaria; berikutnya certita pelayanan Yesus di Yudea; dan terakhir tentunya membicarakan mengenai penderitaan Yesus, kematian, dan kebangkitan Yesus di Yerusalem. Jadi ini pola yang sama, hanya saja terbalik, yaitu mulai dari Roma yang adalah ujung bumi, lalu Samaria, Yudea, Yerusalem –demikian Injil Lukas– lalu masuk ke Kisah Para Rasul, mulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria, ke ujung bumi. Struktur ini tidak sembarangan; dan ini sebabnya kita mengakui dua karya ini sepertinya berasal dari orang yang sama, yaitu Lukas. Ini struktur kiasmus; dan dalam struktur kiasmus yang paling penting adalah yang di tengah. Apa yang ada di tengah, yang jadi jembatan antara Injil Lukas dan Kisah Para Rasul? Peristiwa Kenaikan.
Tadi kita mengatakan peristiwa Ascension seperti tidak ada penjelasannya, tapi setelah menyelidiki lebih lanjut, kita jadi mengerti kenapa Lukas tidak merasa perlu menjelaskan, karena lewat cara penempatannya kita tahu apa yang sedang Lukas mau ungkapkan. Memang Ascension dicatat hanya sedikit, 7 ayat, tapi di mana catatan tersebut ditempatkan, itu sangat penting. Signifikansi sesuatu tidak bisa kita ukur cuma dari banyak tidak jumlahnya; bahkan di dalam rumahmu tentu barang berharga lebih sedikit daripada barang berharga ‘kan, tapi barang tersebut adalah berharga karena selalu ditaruh di tempat yang penting. Bagi Lukas, kepergian Yesus dari dunia ini, naiknya Ia ke surga, duduknya Ia di sebelah kanan Allah Bapa, itulah yang menjadi engsel pintu lahirnya era baru, era Perjanjian Baru, era di mana Allah bekerja secara baru di dunia ini melalui Gereja-Nya. Mungkin ini menjelaskan juga alasannya penulis-penulis lain setelah Lukas, merasa tidak perlu menuliskan peristiwa ini lagi, karena walaupun Lukas mencatatnya sedikit secara jumlah ayat, namun dia telah menempatkan catatan itu di tempat yang paling pas, paling sentral, paling bermakna. Lewat dia tidak menjelaskan, kita malah menjadi jelas akan signifikansi peristiwa itu. Demikianlah alasan yang ketiga, bahwa peristiwa Kenaikan adalah engsel, sumbu putar, dari narasi Perjanjian Baru.
Alasan yang keempat, menyambung alasan yang ketiga, Kenaikan bukan cuma signifikan secara penempatan di Alkitab, bukan cuma signifikan secara narasi, tapi juga signifikan secara theologi, sentral dalam Theologi Alkitab, Theologi Perjanjian Baru.
Implikasi yang pertama, skala dari Injil itu sendiri. Kenapa Injil diberitakan kepada segala makhluk, kenapa Injil diberitakan kepada segala bangsa, kenapa Injil harus diproklamasikan dalam segala bahasa? Karena Kenaikan; karena Kenaikan Yesus adalah dipertakhtakannya Yesus atas segala sesuatu. Karena Kenaikan bicara tentang dipertuankannya Kristus atas segala sesuatu, maka tidak heran Injil –berita Kerajaan Allah, Kerajaan Kristus– juga mempunyai skala yang sama, yaitu segala sesuatu.
Perjanjian Baru itu bicara mengenai pergumulan dan pertumbuhan umat Tuhan yang bermunculan di seluruh daerah Romawi. Kenapa mereka menyebar dan bertumbuh di mana-mana? Karena Yesus bertakhta di semua daerah itu. Kenapa Injil menyebar secara geografis? Karena Yesus telah bertakhta di atas geografi tersebut, karena Yesus bertakhta di surga. Sekali lagi, dalam konsep Alkitab surga bukanlah alam yang non-bumi, surga bukan alam yang terpisah dari bumi, surga justru ruang kontrolnya bumi, kantor CEO-nya bumi, anjungannya bumi. Konsep orang pada waktu itu, apa yang terjadi di dunia bumi adalah simply merefleksikan apa yang terjadi di surga; kalau dewa-dewa berantem di surga, maka hasilnya bangsa-bangsa berantem di dunia, dan bangsa yang menang berarti dewanya menang di surga. Demikian konsep pada waktu itu; maka konsep surga bukanlah realm yang terlepas dari bumi melainkan lebih tinggi dari bumi –maka menguasai bumi. Yesus bertakhta di surga, maka scope kerajaan-Nya harus diproklamasikan kepada seluruh bumi. Itu implikasi yang pertama.
Implikasi yang kedua, isi berita Injil tersebut. Kalau skalanya melibatkan segala sesuatu, maka beritanya sendiri juga harus punya skala yang sama. Itu sebabnya sebagaimana sudah berkali-kali dibicarakan dalam mimbar ini, Injil yang sejati tidak pernah cuma urusan pribadimu tok. Message Injil diberitakan kepada semuanya, karena message-nya juga concern semuanya, tidak cuma urusan keselamatan jiwa –itu juga termasuk– tapi juga bicara mengenai pemulihan tubuh manusia, pemulihan relasi antar manusia, pemulihan ciptaan, pemulihan ekonomi manusia, pemulihan alam semesta manusia –tidak pernah kurang dari itu. Kenapa bisa seperti ini? Karena Kenaikan.
Implikasi yang ketiga, kuasa Injil; Yesus yang telah naik itulah yang mengirim Roh Kudus kepada umat-Nya. Ini sesuatu yang sering kali kita lewatkan dan kita pikir tidak terlalu ada hubungannya, tetapi, alasannya Gereja hari ini dipenuhi dengan Roh Kudus adalah karena Kenaikan, bukan karena pencurahan Roh Kudus tok. Itu sebabnya Yesus mengatakan, “Lebih baik kalau Aku pergi; karena kalau Aku tidak pergi, kamu tidak akan mendapatkan Roh Kudus”. Petrus peka akan hal ini, maka dalam khotbahnya di hari Pentakosta dia menyambungkan antara Kenaikan Yesus dengan pencurahan Roh Kudus. Kis. 2:33 Petrus mengatakan: “Dan sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah dan menerima dari Bapa, Roh Kudus yang dijanjikan itu, maka dicurahkan-Nya Roh itu seperti yang kamu lihat dan dengar di sini.” Yesus ditinggikan, naik ke surga, menerima janji Roh Kudus, maka Dia mencurahkannya kepada kita hari ini. Kita mempunyai Roh Kudus, karena Yesus telah naik. Itu berarti kekuatan yang hari ini kita dapatkan, kekuatan yang hidup dalam kehidupan Gereja, kuasa yang menggerakkan hidup orang-orang yang Saudara baca ceritanya melakukan hal-hal yang amazing dan impossible, itu dari mana? Corrie Ten Boom mengampuni perwira Nazi yang menyiksanya di kamp konentrasi dan membunuh saudaranya, Betsy; itu kuasa dari mana? David Brainerd diutus bermisi kepada orang-orang yang sebagaimana dia tulis dalam diary-nya, “Saya tidak sanggup mencintai orang-orang seperti ini”, namun dia setia menjalankan panggilan tersebut; itu kuasa dari mana? Nommensen menjadi alat Tuhan bagi suku Batak yang begitu besar pengaruhnya; itu kuasa dari mana? Bukan cuma orang-orang terkenal itu, tapi juga orang-orang Kristen biasa yang namanya tidak pernah kita kenal, yang mengampuni musuh mereka, yang berdoa bagi musuh mereka; itu kuasa dari mana? Itu terjadi karena Kenaikan Yesus –skala, berita, dan juga kuasa dari Injil.
Alasan yang kelima kita perlu memulihkan sentralitas Kenaikan Yesus, adalah karena Kenaikan Yesus bukan cuma sentral bagi narasi Perjanjian Baru, sentral bagi Theologi Perjanjian Baru, tapi juga tentunya sentral bagi praktika Gereja, bagi kehidupan Perjanjian Baru.
Ada seorang pengkhotbah mengajak kita untuk melihat Gereja hari ini, yang ada semacam kecenderungan punya fokus yang ekstrim. Ekstrim yang dia maksud adalah di satu sisi ada Gereja-gereja yang sangat berfokus kepada Yesus (Jesus centric). Gereja-gereja yang seperti ini biasanya sangat penuh dengan pengajaran, dengan theologi yang dalam mengenai apa yang Yesus lakukan bagi kita (salib-Nya, kubur kosong, dsb.), namun kadang jatuh ke dalam kecenderungan ortodoksi yang kaku, statis; ini Gereja yang pengajarannya besar, tapi seperti kurang hasrat, kurang passion, drive, pergerakan, kuasa. Itu satu esktrim. Satu kecenderungan lain, yaitu Gereja-gereja yang fokusnya kepada Roh Kudus. Gereja-gereja seperti ini sangat dinamis, sangat penuh dengan hasrat bagi Tuhan, meledak-ledak, passionate sekali, tapi juga cenderung ada kekurangan, yaitu ada warna anti-intelektual, misalnya merasa doktrin tidak penting, yang penting melihat/menyaksikan kuasa Tuhan dalam hidup kita. Yang menarik, theolog ini mengatakan dia menemukan kesamaan dalam dua kecenderungan tersebut, yaitu dua-duanya kurang fokus terhadap Kenaikan Yesus.
Kenapa dalam Gereja hari ini bisa ada kecenderungan pengkutuban dua arah itu? Ternyata karena kurang fokus terhadap Ascension, sebab Ascension-lah peristiwa yang menyatukan, menjembatani antara dua kutub ini. Ascension-lah yang menyatukan antara pekerjaan Yesus di bumi dan juga pekerjaan Roh Kudus melalui Gereja di bumi; dan engsel pintunya adalah Kenaikan. Menurut theolog tadi, kalau kita lebih mengerti, merayakan, mengingat, memulihkan sentralitas Ascension dalam iman kita, itu harusnya akan memulihkan cara kita mengerti baik Yesus maupun juga Roh Kudus, tidak cuma salah satu. Tanpa penekanan yang cukup akan Ascension, kita cenderung menekankan Roh Kudus terlalu banyak, atau menekankan karya Kristus terlalu banyak. Menekankan karya Kristus di sini, maksudnya misalkan urusan rohani pribadi, mengenai keselamatan yang Yesus bawa bagi saya (internal); menekankan Roh Kudus, maksudnya misalkan mengenai bagaimana Roh Kudus berkarya dalam hidup saya terhadap orang lain, dst.(eksternal). Apa yang menyatukan kedua hal ini? Ascension-lah yang menyatukan keduanya, membawa keduanya menjadi satu kesatuan. Ini praktikal, ini melatih kita untuk bisa hidup dalam dua kutub tersebut, tidak cuma salah satu.
Demikianlah salah satu hal yang kita bisa lihat menjadi dasar alasannya Ascension sering kali kita abaikan –yaitu 5 hal pertama tadi–namun juga alasannya Ascension jadi satu hal yang perlu kita pulihkan dalam Gereja kita. Saya harap dalam minggu ke depan dan tahun-tahun ke depan kita akan terus merayakan hal ini dan kembali melihat keutuhan kisah yang Tuhan berikan kepada kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading