Secara tradisi Kalender Gereja, hari Minggu setelah Paskah biasanya membahas kisah mengenai Tomas, karena peristiwa itu terjadi seminggu setelah Paskah. Namun berhubung kita sudah pernah membahasnya maka saya mengambil pola yang sama, membahas pertemuan-pertemuan Yesus dengan murid-murid-Nya setelah Kebangkitan, dan hari ini kita akan membahas mengenai Yesus menampakkan diri di jalan ke Emaus.
Lukas pasal 24 sebenarnya bukan cuma cerita perjalanan ke Emaus; ini adalah rangkaian dari tiga kisah Yesus menampakkan diri setelah kebangkitan-Nya, yang pertama kepada tiga wanita di kubur, yang kedua kepada dua murid dalam perjalanan ke Emaus ini, dan terakhir kepada para rasul. Kita mau fokus pada kisah Yesus menampakkan diri dalam perjalanan ke Emaus karena dari tiga kisah tadi, kisah ini yang paling panjang dan yang sentral. Kita mungkin tidak selesai membahasnya dalam pertemuan kali ini saja, dan akan lanjut dalam peretemuan-pertemuan berikutnya.
Sebelum masuk ke ceritanya sendiri, ada satu hal yang bisa jadi introduksi. Sebagaimana Saudara tahu, penulis Injil Lukas adalah Lukas; dan Lukas juga menulis Kisah Para Rasul. Yang menarik, dalam Kisah Para Rasul, Lukas menyebutkan bahwa Yesus masih tinggal 40 hari setelah Ia bangkit, Dia menampakkan diri kepada banyak orang dalam 40 hari itu, dan juga mengajar murid-murid-Nya. Jadi peristiwa-peristiwa Yesus menampakkan diri bukan cuma tiga kisah yang dicatat di sini tok, kemungkinan masih sangat banyak cerita-cerita lainnya, dan kejadiannya mungkin sampai puluhan kali. Paulus dalam 1 Korintus juga mencatat beberapa pertemuan yang kita tidak pernah baca dalam Injil, dan tentunya pertemuan-pertemuan itu tidak kalah dramatis dari kisah ini; pertanyaannya: kenapa Lukas hanya mencatat tiga kisah? Mungkin karena bagi Lukas tiga kisah ini bukan cuma menyatakan bahwa Yesus bangkit, tapi juga menjelaskan bagi kita makna dari kebangkitan Yesus, mengenai bagaimana kita mengalami Dia setelah kebangkitan-Nya. Hal inilah yang kita perlu coba telaah sebagai sentral pembahasan kita, bukan cuma untuk kita yakin bahwa Yesus bangkit –sesuatu yang setiap kali kita coba argue waktu membahas bagian-bagian ini—tapi juga untuk menyelidiki apa yang sesungguhnya terjadi di balik kebangkitan Yesus, kenapa Dia harus bangkit, dan bagaimana kita mengalami Dia sekarang, apa maknanya bagi kehidupan kita hari ini.
Ada tiga hal besar yang saya akan coba telusuri lewat bagian ini; dan ketiga hal ini pada dasarnya hasil dari satu pertanyaan, yaitu kenapa di bagian ini Yesus mendekati kedua murid tersebut dan mereka tidak mengenali Dia. Kenapa ada sesuatu, yang sebagaimana dikatakan Lukas ‘menghalangi mata mereka’, apa yang menyebabkan mereka tidak bisa mengenali Yesus sebagai Yesus. Itulah yang akan kita pertanyakan hari ini, dan kita akan coba memberikan tiga jawaban.
Omong-omong, kisahnya ini mengenai dua orang murid Tuhan Yesus, yang satunya bernama Kleopas, dan satunya lagi kita tidak diberitahu namanya, tapi kemungkinan besar adalah istrinya yang bernama Maria. Bagaimana bisa orang menduga seperti itu, adalah karena di Injil Yohanes pasal 19:25 terdapat catatan bahwa di kaki salib Tuhan Yesus ada beberapa wanita, dan salah satunya seorang murid bernama Maria, istri Klopas; jadi mungkin Klopas di Injil Yohanes dan Kleopas di Injil Lukas adalah orang yang sama. Kalau demikian, ini menjelaskan bahwa mungkin dua orang ini berjalan bersama-sama ke kampung mereka di Emaus karena memang mereka suami istri. Demikianlah kemungkinan setting-nya; dan dalam khotbah-khotbah berikutnya mungkin akan kita singgung lagi.
Di bagian ini, Yesus datang mendekati mereka, berjalan bersama-sama mereka, mereka tidak mengenali Dia, lalu Yesus bertanya kepada mereka apa yang mereka sedang bicarakan; kemudian dikatakan langkah mereka terhenti, dan muka mereka menjadi muram (their faces become downcast) —ini mengungkapkan keputusasaan. Inilah hal pertama yang mau kita pertanyakan, kenapa mereka putus asa, kenapa keputusasaan ini menghalangi mereka mengenali Yesus?
Yang pertama, kita jadi bisa menyadari di sini –mungkin ini satu poin yang Lukas mau bawakan kepada kita– kalau Saudara melihat hidup yang tanpa kebangkitan, itulah yang akan menimbulkan keputusasaan. Kalau Saudara melihat kehidupan berhenti pada kehidupan itu sendiri tok, dan tidak ada apa-apa setelahnya, itu akan membuat langkahmu terhenti dan mukamu menjadi muram. Kita mungkin pikir ini fair enough-lah, karena kalau orang tahunya cuma hidup doang dan tidak ada kehidupan apapun setelah kematian maka tidak heran dia jadi putus asa, karena kehidupan kita ini kehidupan yang begitu rusak, begitu penuh penderitaan, begitu penuh kesulitan. Tetapi yang terjadi di bagian ini, yang mereka lihat bukanlah kehidupan manusia tok, yang mereka lihat dan saksikan adalah kehidupan Yesus yang sempurna –sempurna dalam ketaatan-Nya kepada Bapa, sempurna dalam relasi-Nya kepada Bapa– kehidupan yang tanpa dosa, kehidupan yang mengagumkan banyak orang, kehidupan yang menjadi berkat bagi banyak orang; dan kehidupan seperti itu pun ketika sejauh mata bisa memandang ujungnya hanyalah kematian, maka yang kita alami adalah keputusasaan –termasuk ketika kita melihat kehidupan Yesus yang sempurna. Ini satu hal menarik yang membuat kita berpikir, jikalau kehidupan seperti Yesus pun ending-nya adalah kematian tok, itu tidak akan ada maknanya, itu hanya membuat orang putus asa; bahkan mungkin justru karena kehidupan-Nya begitu mengagumkan, begitu menjadi berkat, maka ketika kehidupan seperti ini ujungnya berakhir sama dengan semua kehidupan yang lain, itu akan membuat orang langkahnya terhenti dan mukanya menjadi muram. Siapapun yang memikirkan life without resurrection, yang melihat hidup mereka dan mengambil kesimpulan bahwa kehidupan hanyalah urusan hidup tok, tidak ada kekekalan, dan tidak ada apapun yang datang setelahnya, mereka juga akan terhenti langkahnya dan muka mereka muram; lebih-lebih lagi ketika kita melihat kehidupan seperti hidup Yesus berhenti juga dalam kematian.
Saudara, satu hal yang saya ingin tekankan sebagai poin yang pertama, yaitu: kita sering kali pikir, orang yang percaya kebangkitan, itulah yang butuh iman. Kita sering kali membaca kebangkitan dalam kacamata yang sama dengan yang kita pakai waktu melihat kelompok-kelompok cult tertentu. Dulu banget ada satu kelompok cult di Amerika namanya Heaven’s Gate, yang bunuh diri massal waktu komet Hale-Bopp lewat dekat bumi, karena mereka percaya komet tersebut adalah tempat alien-alien hidup, dan alien-alien itu akan mengirim UFO untuk menjemput mereka waktu mereka bunuh diri rame-rame, dsb. –dan mereka benar-benar bunuh diri. Ini jadi satu berita yang menghebohkan, di Amerika dan juga di seluruh dunia. Saudara, kalau kita melihat orang-orang dengan kepercayaan cult seperti ini, kita akan mengatakan itu tidak normal, normalnya orang tidak percaya begituan, dan bahwa membutuhkan langkah iman luar biasa untuk bisa percaya UFO; dan banyak orang dalam kolom-kolom opini mereka merespons kejadian tersebut dengan mengatakan, “Ya, inilah agama; agama memang langkah iman, langkah yang menjejak dalam kegelapan”.
Kita mungkin tidak setuju kalau Kekristenan dibandingkan dengan cult, kita mengatakan, “Pasti bedalah”, tapi kita sering kali berpikir dalam kategori yang sama. Kita pikir, percaya kebangkitan Yesus itu juga langkah iman, langkah ekstra, sesuatu yang kita perlu lebih, sesuatu langkah dalam kegelapan. Siapalah yang bisa bilang dengan pasti bahwa Yesus itu Tuhan, siapalah yang bisa memasikan Dia benar-benar bangkit atau kuburnya benar-benar kosong. Siapalah yang bisa bilang kayak begiutu; kamu perlu langkah iman untuk bisa percaya itu. Tapi Saudara, di dalam poin pertama ini, tidak demikian realitasnya. Saudara lihat, ketika Si Orang Tidak Dikenal ini, yaitu Yesus, bertanya kepada Kleopas apa yang mereka bicarakan, Lukas sesungguhnya menjawab melalui suara Kleopas suatu bukti (evidence) yang sangat kuat akan kebangkitan Yesus. Tentunya kita tahu hal tersebut disebutkan di ayat 22-24, karena di situ Kleopas mengatakan semua fakta-fakta mengenai kubur kosong, mengenai saksi-saksi yang melihat kubur kosong tersebut, dan juga orang-orang yang memverifikasi kesaksian para saksi itu; tapi bukan itu evidence yang saya rasa paling kuat. Evidence yang paling kuat akan kebangkitan Yesus ada di ayat 18, yaitu kalimat Kleopas yang mengatakan kepada Si Orang Tidak Dikenal ini: “Kalau Kamu ‘gak tahu semua ini, Kamu pasti orang asing, Kamu pasti dari luar Yerusalem, ya.”
Apa makna kalimat tersebut? Maknanya berarti: semua orang di Yerusalem dan sekitarnya pada waktu itu tahu kejadian ini. Kejadian ini bukan sesuatu yang disembunyikan; ini sesuatu yang simply pengetahuan umum mengenai kehidupan Yesus, bahwa semasa Dia hidup, Dia punya tanda-tanda ajaib, dan setelah Dia mati, kuburan-Nya kosong, lalu ada saksi akan kubur kosong tersebut yang melihat penampakan diri-Nya, dan juga ada saksi-saksi lain yang memverifikasi kesaksian saksi-saksi pertama itu. Jadi, hal-hal itu merupakan sesuatu yang semua orang di Yerusalem tahu pada waktu itu. Menarik, bahwa bahkan musuh-musuh Yesus pun tidak menyangkal hal-hal ini, mereka tidak menyangkal kubur Yesus memang benar kosong. Respons mereka atas berita-berita ini bukanlah mengatakan, “Ah, enggaklah, ‘gak kayak begitu, siapa sih yang bisa tahu”; respons mereka adalah menyebarkan berita lain, menyebarkan hoax bahwa murid-murid Yesuslah yang mencuri mayat-Nya. Saudara lihat bedanya?
Yang menarik, kira-kira 25 tahun setelah kejadian ini, ketika Paulus disidang di hadapan Festus dan Raja Agripa, Paulus sesungguhnya membicarakan hal yang sama kepada mereka. Paulus mengatakan, “Aku memberitakan mengenai Yesus, Orang Nazaret, Seorang yang hidupnya dipenuhi dengan banyak tanda ajaib karena Dia adalah Anak Allah. Lalu Dia mati di atas kayu salib, dan setelah itu Dia bangkit, kuburan-Nya kosong, dan banyak orang yang menyaksikan penampakan-Nya setelah Ia bangkit dari kubur.” Setelah itu, apa respons dari dua orang ini? Festus, yang adalah seorang Yunani, berespons: “Semua pengetahuanmu itu, Paulus, membuatmu jadi gila” –‘kamu ada 5 Ph.D. sih ya, makanya kamu permanent head damage ‘, kira-kira seperti itu. Namun Paulus lalu berpaling kepada Agripa, raja daerah Yudea –yang tentunya berstasiun di Yerusalem– dan mengatakan, “Tidak, Festus, aku tidak gila, tanyakan saja kepada Agripa. Maklumlah kamu berpikir seperti itu, karena kamu orang Yunani, kamu bukan dari Yerusalem. Tapi silakan tanya kepada Raja Agripa, dia pasti tahu mengenai hal-hal yang aku bicarakan ini, karena hal-hal ini tidak dilakukan di pojokan.” Lalu Paulus mengatakan kepada Raja Agripa, “Agripa, kamu tahu ‘kan semua yang kukatakan ini benar, engkau tahu ‘kan mengenai Yesus, engkau tahu mengenai mukjizat-mukjizat-Nya, engkau tahu mengenai pengajaran-pengajaran-Nya, engkau tahu mengenai kubur kosong-Nya, engkau tahu mengenai saksi-saksi matanya.” Dan apa respons Agripa? Agripa tidak mengatakan, “Ah, enggak”; Agripa tidak berniat jadi orang Kristen, tapi dia juga tidak lalu menyangkal akan faktanya, dia tidak menyangkal bahwa semua itu terjadi, dia simply mengelak dengan bikin joke, “Hampir-hampir saja kau meyakinkan aku jadi orang Kristen.” Itu saja.
Zaman sekarang ada banyak orang menyangkal kebangkitan Yesus dengan mengatakan, “Yah, siapa sih bisa yakin bahwa Yesus benar-benar melakukan mukjizat. Siapalah yang bisa yakin kubur-Nya benar-benar kosong, letak kubur-Nya di mana saja tidak ada yang tahu secara pasti. Siapa bisa yakin saksi-saksi itu bisa dipercaya”, dsb., tapi satu hal yang pasti, pada zaman Yesus sendiri bahkan tidak ada satu pun musuh-Nya yang menyangkal semua itu. Bukti-buktinya ada di depan mata semua orang; semua itu merupakan pengetahuan umum bagi orang-orang di Yerusalem pada waktu itu, sampai-sampai Agripa pun 25 tahun kemudian tidak bisa menyangkalnya. Dengan demikian Saudara bisa melihat satu hal, bahwa pada waktu itu yang perlu langkah iman bukanlah orang-orang yang percaya Yesus bangkit. Pada waktu itu yang perlu langkah iman justru orang-orang yang menyangkal kebangkitan Yesus; mereka inilah yang harus come up dengan teori-teori konspirasi, merekalah yang under pressure untuk bisa menjelaskan fakta kubur kosong dan saksi-saksi kebangkitan Yesus –mereka yang harus melangkah ekstra, bukan orang Kristen. Itu sebabnya perkataan Kleopas tadi, ‘Kamu tidak tahu semua ini, memangnya Kamu orang asing?’ sesungguhnya sedang memberitahu kepada kita realitas yang terbalik dari apa yang kita sering kali pikir, yaitu bahwa yang sedang melangkah dengan iman, yang sedang menjejakkan kaki dalam kegelapan, adalah justru mereka yang tidak percaya bahwa Yesus telah bangkit.
Saudara, ini satu hal yang bisa kita lihat contohnya bukan saja pada waktu itu, tapi juga dalam masyarakat sekuler modern. Kita sering kali merasa terpojok dengan perkataan, “O, orang Kristen percaya kebangkitan, kamu melangkah dengan iman, kamu yang punya iman, tapi kami sih tidak, kami mainnya fakta, kami orang-orang yang scientific, kami tahunya data”, dsb. Saudara jangan pernah tertipu dengan itu; Saudara tahu tidak demikian halnya, karena contohnya jelas sekali dalam masyarakat sekuler modern. Masyarakat modern melihat hidup tanpa kebangkitan, mereka melihat hidup tanpa kekekalan, habis mati, simply kita membusuk; itu saja. Kita ini simply hasil evolusi, hasil kebetulan dalam semesta, yang cuma kebetulan mendukung kehidupan. Asal-muasal manusia cuma kebetulan, tidak ada maknanya, dan berujungnya pun cuma nothing, tidak ada apa-apanya. Kita cuma setitik debu di alam semesta yang terlalu besar bagi kita, secara geografis terlalu besar, secara kronologis pun terlalu besar. Manusia cuma setitik debu di tengah space yang begitu luar biasa besar, dan cuma sedetik kecil di dalam waktu alam semesta ini yang begitu panjang. Manusia itu insignificant, tidak ada artinya. Itulah yang banyak orang sekuler modern katakan mereka percayai. Tapi anehnya, di tengah-tengah itu, mereka juga bersikeras bahwa semua manusia adalah berharga. Dari mana bisa ngomong seperti itu?? Mereka bersikeras bahwa semua orang harus dihargai; bahwa semua orang tanpa kecuali tidak boleh didiskriminasi, apalagi mereka yang LGBT, dsb., mereka itu juga manusia, dan kita harus menghargai mereka. Mereka bersikeras akan hak asasi manusia, mereka bersikeras kita harus memperjuangkan suara orang-orang yang terpinggirkan, mereka bersikeras bahwa masyarakat harus dibikin sebisa mungkin sama rata, dst. Koq bisa, ya?? Saudara lihat, inilah langkah iman, karena jikalau tidak ada kekekalan dan tidak ada kebangkitan, maka ngapain sih komplain mengenai rasisme dan penderitaan dan penindasan?? Kalau asal mula manusia cuma kebetulan tok, dan akhir hidupnya juga kebusukan tok, maka berani konsisten sedikitlah untuk mengakui bahwa kehidupan manusia di tengah-tengah dua poin ini juga sama-sama tidak ada maknanya! Apa dasarnya memperjuangkan kesamarataan masyarakat jikalau memang awal dan akhir manusia sudah sama rata jadi debu, jadi pupuk?? Kalau awalnya cuma kebetulan dan akhirnya cuma jadi pupuk, lalu di tengah-tengahnya ada ketidakadilan, ya itu cuma ilusi, karena ujung-ujungnya itu cuma konstruksimu tok. Kamu mengatakan adalah in-equality, kesenjangan sosial, ketika ada yang punya dan ada yang tidak punya; lalu kalau pada akhirnya semua juga jadi debu, ngaruh-nya apa?? Apa bedanya orang yang ditindas dan penindas, jikalau kematian tok ujungnya??
Kalau hidup Yesus yang sebegitu sempurnanya itu ujungnya hanya kematian, apa ngaruh-nya? Saudara akan bermuka muram, langkahmu akan terhenti. Jadi, ketika orang-orang sekuler mengatakan “orang-orang beragama itulah yang melangkah dengan iman”, mereka sebenarnya tidak sadar akan langkah-langkah iman yang banyak dan besar yang mereka sendiri sedang dan telah lakukan. Namun hari ini saya tidak sedang berbicara kepada mereka, saya berbicara kepada Saudara, dan Saudara kayaknya bukan orang-orang sekuler modern –meski bisa terpengaruh dengan semua itu. Jadi kenapa saya mengatakan semua ini kepada kita? Karena yang menyedihkan, sering kali yang berpikir seperti itu bukan cuma mereka, kita sendiri juga berpikir dengan kategori yang sama. Kita pikir Kekristenan-lah yang berada dalam posisi defensif, kitalah yang harus menjelaskan mengenai Kebangkitan, kitalah yang mengambil langkah iman yang ekstra itu, kita ngeri membayangkan jika sampai ditanya orang mengenai kebangkitan Yesus. Kita merasa terpojok, kita merasa tidak bisa kabur, karena kita pikir kita ini percaya sesuatu hal ekstra yang semua orang lain tidak ada yang percaya, jadi bagaimana saya bisa menunjukkan kepada mereka apa yang saya percaya itu?? Itulah cara kita berpikir ‘kan. Tetapi lewat bagian ini, Saudara melihat realitasnya tidak demikian, baik pada waktu itu maupun sekarang. Dibandingkan orang sekuler, orang Kristenlah yang justru lebih pemikir, lebih rasional. Orang Kristen justru orang yang menyadari posisi mana yang sesungguhnya lebih masuk akal, karena kalau Saudara tidak percaya kebangkitan, lalu apa yang tersisa?? Kalau Saudara tidak percaya akan kekekalan dan kebangkitan, maka hidup seindah Yesus pun, tidak ada artinya!
Saudara sebagai orang Kristen jangan pernah tertipu dengan dunia yang mengatakan: “Yah, lihat itu orang beragama, lihat itu orang-orang cult, mereka percaya ini dan itu, mereka melangkah dengan iman buta dalam kegelapan, ha ha ha… .” Jangan percaya itu, Saudara. Justru dunialah yang sedang melangkah dalam kegelapan; dan inilah sebabnya kita memproklamasikan Injil Kebangkitan Yesus. Bukan karena kita mau jadi orang-orang snob yang bisa memutar balik meja dan mengatakan, “Oiii! Maling teriak maling! Lihat, lu ‘kan yang selama ini bego”, jadi orang Kristen musti ada fighting spirit, dsb. Bukan demikian, Saudara. Itu bukan tujuan saya memberitakan hari ini; tujuannya adalah: karena sesungguhnya satu-satunya jalan untuk bisa menghidupi hidup ini dengan konsisten, untuk bisa ada dasar yang kokoh memperjuangkan keadilan, memperjuangkan kesamarataan dalam masyarakat, memperjuangkan hak asasi manusia, memperjuangkan bahwa semua orang berharga di mata Tuhan termasuk orang-orang LGBT, adalah justru dengan percaya akan kekekalan, percaya dan punya pengharapan bahwa ada kebangkitan setelah kematian.
Ironinya, bukan cuma orang-orang sekuler modern yang ironis karena percaya segala sesuatu tidak ada artinya namun mereka memperjuangkan itu, kita pun ironis karena kita yang harusnya punya dasar yang kuat/kokoh namun kita malah tidak memperjuangkan semua itu. Ada kemungkinan, ini karena kita tidak percaya kebangkitan; karena konsep Kekristenan kita adalah konsep di mana akhir zaman bukanlah ada kebangkitan tubuh seperti Yesus yang kita baca dengan jelas di sini, melainkan bahwa dunia ini akan terbakar dan orang-orang Kristen akan naik sekoci rohani ke surga sana, melayang-layang seumur hidup, main harpa selama-lamanya dengan halo di atas kepala. Itulah yang mungkin kita percaya, dan itulah yang menyebabkan kita tidak mengerjakan keadilan di atas dunia ini. Justru ketika Saudara percaya akan kekekalan, ketika Saudara percaya dan punya pengharapan akan kebangkitan tubuh setelah kematian, itulah dasarnya untuk bisa menjadi orang yang memperjuangkan kehidupan secara beres, kehidupan yang menghidupkan, di atas dunia ini.
Demikianlah hal yang pertama; Kleopas serta istrinya terhenti langkahnya dan muka mereka muram, karena mereka melihat kehidupan tanpa kebangkitan. Sesungguhnya siapapun yang melihat kehidupan secara demikian, dan pakai otak mereka, pasti akan putus asa; dengan demikian justru inilah jalan untuk kita bisa hidup secara konsisten, yaitu kebangkitan.
Yang kedua, kenapa bisa Yesus ada di situ bersama-sama mereka namun somehow mereka tidak mengenali Dia? Ini satu hal yang menarik, karena hal ini bukan cuma terjadi dalam kisah tersebut, ini satu fitur yang terus-menerus muncul dalam berbagai kisah Yesus pascakebangkitan. Waktu Dia menampakkan diri kepada murid-murid-Nya, somehow mereka tidak mengenali Dia, tapi kemudian ada sesuatu yang klik yang tiba-tiba membuat mereka bisa mengenali Dia. Jadi ini satu hal yang aneh; dibilang “beda total”, tidak juga, karena nyatanya mereka bisa mengenali, tapi dibilang “sama persis” tidak juga, karena ada sesuatu yang membuat mereka tidak bisa mengenali. Kenapa bisa seperti ini?
Ada beberapa hal yang kita bisa renungkan dalam hal ini. Yang pertama, ini satu hal yang membuat kita jadi bisa lebih mengerti natur dari tubuh Yesus itu sendiri, bahwa ada sesuatu mengenai tubuh Yesus [tubuh-kebangkitan] yang telah diubah, ditransformasi –meskipun tetap bersifat fisik. Jangan pikir karena tubuh Yesus telah ditransformasi, maka somehow Dia lebih ngawang atau lebih berbayang daripada biasanya. Tubuh-kebangkitan Yesus tetap solid, tetap riil, orang bisa mencucukkan tangannya ke dalam bekas luka-Nya, Yesus tetap bisa makan –dan waktu Dia makan ikan lalu ikannya tidak keluar dari belakang seperti sundel bolong– tapi di sisi lain, tubuh Yesus somehow juga bisa muncul dan lenyap sesuai kehendak-Nya, bahkan terakhir kita menyaksikan tubuh ini naik ke surga. Ini salah satu hal yang mungkin paling sulit kita tangkap mengenai kebangkitan Yesus, mengenai tubuh macam apa yang Dia miliki sekarang.
Paulus membahas panjang lebar hal ini dalam 1 Kor.15 (kita tidak cukup waktu untuk membahasnya hari ini); intinya inilah salah satu alasannya para theolog membedakan antara resurrection dan resuscitation(dalam bahasa Indonesia hanya ada istilah ‘bangkit’). Seperti Saudara tahu, Yesus dan murid-murid-Nya beberapa kali membangkitkan orang mati, namun orang-orang ini hanya di-resuscitate, mereka bangkit dan suatu hari akan mati lagi; sedangkan satu-satunya yang mengalami resurrection hanyalah Yesus. Dengan demikian, waktu Yesus hidup kembali, Dia tidak hidup lagi seperti anak Yairus hidup lagi, Dia tidak hidup lagi seperti anak janda di Nain hidup lagi, Dia tidak hidup lagi seperti Lazarus hidup lagi, Dia tidak hidup lagi seperti Dorkas hidup lagi; ada sesuatu yang lebih di sini. Ini sebabnya kita mengatakan bahwa Yesus resurrection.Ini bukan sekadar berarti kehidupan setelah kematian, demikian dalam perkataan seorang theolog, bukan simply life after death melainkan life after life-after-death. Hal ini dasarnya di dalam pemikiran Yahudi, bahwa resurrection adalah hidup yang baru, dalam ciptaan baru yang Allah akan bawa ketika Ia memulihkan segala sesuatu menjadi baru dalam akhir zaman. Itulah yang disebut tubuh kebangkitan (resurrection body). Inilah sebabnya tubuh kebangkitan Yesus tidak persis sama, tidak identik sepenuhnya dengan tubuh yang lama. Kebangkitan ‘resurrection’ memang benar-benar ciptaan baru. Ada paralelnya dengan ciptaan lama, bukan tiba-tiba jadi punya enam tangan dan dua belas kaki, namun Allah memang akan mengubah kita menjadi materi yang baru, materi yang tidak lagi dikuasai atau dibayang-bayangi kematian dan maut –tapi dari tubuh yang lama. Itu sebabnya tubuh Yesus ini di satu sisi bisa membawa bekas-bekas luka kematian-Nya, namun juga bekas-bekas luka itu tidak lagi mematikan.
Saudara bisa melihat dari bagian ini, seperti ada sesuatu yang sama, yang di-carry over dari yang lama, namun ada sesuatu yang baru juga yang somehow telah diubahkan. Inilah sebabnya banyak orang Yahudi tidak bisa mengenali Yesus, karena bagi orang Yahudi tubuh seperti ini baru akan muncul setelah akhir zaman bagi semua umat Tuhan secara bersamaan, bahwa umat Tuhan di akhir zaman akan dibangkitkan dan diberikan tubuh yang baru, tubuh kemuliaan. Mereka tidak menyangka ada Satu Orang yang somehow bisa duluan dapat DP tubuh kebangkitan di zaman sekarang sementara seluruh dunia masih berjalan dengan aturan lama; bagi mereka, adanya resurrection berarti adanya new creation. Itu sebabnya bagi Paulus tubuh kebangkitan Yesus adalah inaugurasi ciptaan baru, sesuatu hal yang dibawa maju dari belakang ke depan untuk menjadi signal awal mulanya era baru ini. Tidak ada yang menyangka ini bisa terjadi. Hal ini bisa menjelaskan sedikit kenapa para murid Yesus tidak mengenali Dia. Mereka tidak menyangka akan seperti ini.
Apa yang kita bisa renungkan dari poin kedua ini? Satu hal adalah bahwa Paskah selalu merupakan sebuah surprise. Kebangkitan Yesus adalah sebuah surprise, bahkan bagi murid-murid-Nya. Mereka sudah diberitahu sejak dulu. Tuhan Yesus sudah mengabarkan kepada mereka bahwa Anak Manusia akan dibunuh, mati, tiga hari mendekam di kubur, lalu akan resurrected. Yesus sudah mengatakan itu berkali-kali, tapi somehow ini tetap menjadi surprise bagi mereka, karena waktu mereka mendengarkan Yesus mengatakan semua itu, mereka tidak paham, mereka bertanya-tanya apa maksudnya Mesias akan mati, dsb. Misteri. Namun inilah justru sebabnya Injil adalah kabar baik (good news), ini berarti bukan cuma tubuh Yesus yang baru itu merupakan suatu kejutan (surprise) bagi murid-murid-Nya, tapi juga bahwa tubuh kebangkitan Saudara dan saya pun adalah sebuah surprise nantinya.
Saudara, ini sebabnya waktu kita mempelajari mengenai tubuh kebangkitan, kita harus berhenti di sini, karena Alkitab hanya bicara sejauh ini. Tapi banyak orang Kristen tidak mau demikian, orang Kristen kepinginnya tahu dan yakin seyakin-yakinnya, di sana nanti masih ada permainan bola atau tidak, masih ada play station atau tidak, masih ada ini dan itu atau tidak, dsb. Dalam hal ini saya tidak tertarik untuk membahas, karena memang tubuh kebangkitan ada nuansa surprise-nya; dan inilah justru yang membuatnya jadi good news. Tidak ada gunanya kita membayangkan atau ter-obsesi dengan tema ‘tubuh kebangkitan’ lebih dari yang Alkitab bicarakan; kenapa? Karena justru misteri dan surprise-nyalah yang membuat hal ini menjadi good news. Good news itu tidak pernah expected, good news selalu tidak pernah diduga –makanya jadi good news. Kalau Saudara dapat gaji bulanan, itu bukan good news, itu sudah seharusnya, expected. Kalau Saudara gajinya naik, itu baru ke arah good news. Kalau Saudara gajinya naik tanpa Saudara duga sebelumnya, itu good news; dan saking good news-nya, kita sulit untuk percaya, kita sampai rasa perlu memastikan ke bendahara kantor, dsb. Kita sulit untuk percaya, kita sulit untuk mengerti, karena itu sebuah surprise –tapi itu good news.
Good news memang tidak expected; dan ini bukan sesuatu yang kita baru terima dalam hal kebangkitan yang suatu hari kita akan alami, karakter surprise ini sesungguhnya muncul di dalam seluruh kerohanian kita. Injil juga good news karena kita tidak sangka-sangka. Kita masuk ke dalam Kekristenan, kita pikir ‘ini adalah cara saya menabung perbuatan-perbuatan baik di hadapan Tuhan’, kita pikir ‘tujuan saya datang ke gereja mendengarkan khotbah adalah untuk menabung perbuatan-perbuatan baik supaya nanti di akhirat timbangan perbuatan baik saya bisa lebih berat daripada perbuatan jahat saya, dan dengan demikian Tuhan menerima saya di surga’. Hampir semua dari kita punya konsep seperti ini. Namun kemudian dalam perjalanan iman kita, kita dapat surprise-nya, bahwa tidak kayak begitu, bahwa kalau kamu menumpuk perbuatan baik demi masuk surga, itu justru memberatkan timbangan perbuatan jahat karena kamu egois, kamu berbuat baik bukan demi orang lain tapi demi dirimu sendiri. Itu sebabnya dikatakan: your righteousness (kebaikan-kebaikanmu, kebenaran-kebenaranmu) hanyalah kain kotor di hadapan Tuhan. Semakin kamu berusaha untuk berbuat baik, semakin timbangan perbuatan jahatmu bertambah besar, karena tidak mungkin kamu berbuat baik demi orangnya, kamu hanya berbuat baik demi dirimu sendiri. Itu sebabnya yang kamu butuhkan bukan ‘berbuat baik’; yang kamu butuhkan adalah catatan karya Kristus bagi engkau, yang menggantikan semua itu, sehingga di hadapan Allah somehow Dia bisa mengatakan kepada engkau kalimat yang Dia ucapkan kepada Anak-Nya sendiri: “Engkau adalah anak-Ku yang Kukasihi, kepadamu Aku berkenan”. Dia mengatakan kalimat itu kepada Sang Kepala, dan apa yang terjadi kepada Sang Kepala akan terjadi kepada seluruh Tubuh-Nya, lalu di situ kita mengatakan, “Hah, kayak begitu ternyata! Wow! Surprise! Ternyata Injil seperti itu, saya baru tahu, saya baru sadar.” Bukankah demikian cerita Kekristenan? Injil adalah sebuah surprise, itu sebabnya Injil adalah sebuah kabar baik. Dan ini menjelaskan kenapa Injil ini sesuatu yang kita tidak mau cepat percaya, sama seperti kita melihat gaji yang tiba-tiba naik; ini menjelaskan kenapa kita sulit untuk mengerti Injil, karena Injil ini tidak terduga. Poin yang ingin saya tarik adalah: jangan pernah kita expect kehidupan kita dalam nuansa Yesus yang telah bangkit itu sesuatu yang tanpa misteri dan tanpa surprise, karena justru misteri dan surprise dalam kebangkitan merupakan good news.
Saudara, satu hal yang jadi penyakit kita adalah: kita ini jadi orang-orang yang berpikir ketika masuk ke dalam Kekristenan maka kita dapat pencerahan. Memang itu benar, bukan sama sekali tidak ada hal itu; namun berapa banyak orang Kristen yang masuk ke dalam Kekristenan dengan mengharapkan pencerahan dan juga mengharapkan misteri, suspense, ketidaktahuan, bahwa memang Injil yang luar biasa ini adalah sesuatu yang kita mungkin tidak akan sebegitu cepatnya bisa menerima, bahwa Injil yang adalah kabar baik ini sesuatu yang kita akan sangat sulit untuk mengerti? Berapa banyak dari kita yang datang kepada Kekristenan dengan ekspektasi seperti itu? Ironisnya, kita sering kali datang kepada Injil dengan ekspektasi Injil itu sesuatu yang obvious, sesuatu yang langsung kita bisa mengerti, bisa ngeh, dsb., sesuatu yang kita tidak perlu pakai waktu atau keringat atau bahkan darah untuk mempelajari. Dan, itu sebabnya kita lalu pikir Injil itu cuma impian manusia belaka. Tetapi tidak seperti itu; justru lewat bagian ini kita perlu merenungkan, bahwa ada momen-momen dalam hidup ini yang kita bertanya, “Di mana Tuhan dalam hidupku?” dan ironisnya mungkin justru Yesus sedang menyertai kita sebagaimana Dia berjalan menyertai Kleopas dan Maria, namun demikian kita bermuka muram dan langkah kita terhenti karena kita tidak mengenali Dia, karena kita tidak expect hidup ini ada misteri dan surprise di dalam Tuhan.
Hal yang ketiga yang kita bisa tarik dari bagian ini, mengenai kenapa Maria dan Kleopas tidak bisa mengenali Yesus. Sekali lagi, mungkin ini adalah momen yang banyak dari kita di sini mengalami kondisi yang sama. Kita mengatakan hidup kita tidak masuk akal, kita merasa janji-janji Tuhan semuanya kosong; tetapi problemnya mungkin adalah mata kita, ada sesuatu yang menghalangi mata kita. Lalu bagaimana kita bisa dibangunkan dari kebutaan spiritual ini? Kenapa kita –mereka– tidak bisa mengenali Dia? Inilah poin yang ketiga –dan ini menyambung apa yang telah kita bicarakan beberapa minggu terakhir–yaitu jawabannya adalah: karena tubuh kebangkitan Yesus itu luar biasa, yaitu luar biasa biasa (extraordinarily ordinary) –inilah yang membuat kita sering kali gagal mengenali kehadiran-Nya dalam hidup kita.
Saudara, hal ini sesungguhnya salah satu sebab kita bisa percaya kebangkitan Yesus dalam keempat Injil Alkitab sebagai hal yang faktual, karena kalau Saudara mau bikin hoax mengenai Yesus yang telah bangkit, Saudara tidak akan menulis sebagaimana keempat penginjil menuliskannya. Saudara tidak akan menulis bahwa Yesus setelah bangkit itu kelihatan sangat biasa-biasa, sehingga waktu Dia berjalan bersama dengan kita, kita tidak bisa mengenali Dia! Saudara tidak akan mengarang cerita yang seperti itu ‘kan. Dan perhatikan, ini bukan cuma terjadi dalam peristiwa perjalanan ke Emaus, yang mungkin karena gelap dsb., tapi juga dalam banyak sekali kisah-kisah lain ketika Yesus menampakkan diri setelah kebangkitan. Hal ini terjadi berkali-kali, para murid somehow tidak bisa langsung mengenali Yesus. Jadi, yang jadi masalah di sini bukan cuma mereka tidak bisa mengenali Dia sebagai Yesus, tapi bahwa harusnya paling tidak mereka menyadari dong ini adalah orang yang telah dibangkitkan. Dia ini ‘kan orang yang resurrected, harusnya tubuh-Nya menyala-nyala kek, atau setiap kali melangkah ada petir menyambar kek, dsb., sehingga paling tidak kalau saya tidak sadar ini Yesus, mungkin adalah karena tubuh-Nya begitu mulia, begitu glorious! Tapi tidak demikian yang terjadi. Mereka tidak menyadari ini Yesus, karena Dia terlalu biasa. Tidak ada satu pun penulis Injil yang mencatat Yesus kakinya melangkah dengan petir-petir menyambar, dsb.
Lebih menariknya lagi kalau Saudara membandingkan keempat catatan Injil dengan Injil-injil Apokrifa (injil-injil palsu yang Gereja tidak terima sebagai yang otoritatif) seperti Injil Tomas, Injil Petrus, dsb. Saudara tahu, keberadaan injil-injil seperti ini berarti bahwa di dalam Gereja-mula-mula beredar kisah-kisah mengenai kebangkitan Yesus dan penampakan Yesus, yang tidak diterima oleh Gereja. Pertanyaannya: kenapa? Saudara bisa tahu alasannya kalau Saudara membandingkan kisah-kisah kebangkitan dalam Injil-injil Apokrifa tersebut dengan Empat Injil yang kita terima di Alkitab. Misalnya, Injil Petrus menuliskan kisah kebangkitan kira-kira seperti ini: Selagi para tentara Romawi berdiri menjaga kubur Yesus, tiba-tiba dua figur terang bercahaya turun dari surga, begitu terangnya sampai orang banyak berkerumun, dan mereka menyaksikan kedua figur terang bercahaya itu masuk menembus pintu kubur dari batu besar itu, dan tiba-tiba pintu kubur itu meletus keluar, terguling-guling, dengan kepulan asap, dsb. Lalu dua figur terang bercahaya itu berjalan keluar, dan di belakang mereka ada Figur ketiga di tengah-tengah, yaitu Yesus. Kepala dari dua figur yang pertama itu menyentuh langit, sedangkan kepala Figur yang ketiga itu melampaui langit. Entah maksudnya apa menulis kayak begitu; tapi Saudara bisa sadar di sini bahwa kalau Saudara mau ngarang kebangkitan Yesus yang tidak benar-benar terjadi, Saudara akan menulis kayak begitu, yang seperti itulah versi yang laku.
Kalau Saudara mau bikin kisah palsu mengenai kebangkitan Yesus, mau meyakinkan orang bahwa ini benar-benar terjadi, Saudara akan menulisnya seperti Injil Petrus itu, Saudara tidak akan menulis seperti Empat Injil yang kita baca di Alkitab karena terlalu biasa. Sama saja seperti orang mau jual HP, mana ada orang jual HP lalu bilang, “Ini HP yang bagus, karena waktu kamu beli, maka HP barumu akan kelihatan seperti HP lama. Kalau kamu beli HP ini, orang ‘gak akan sadar kamu punya HP baru; bahkan kalau kamu beli HP yang ini, orang akan tanya ‘kenapa HP baru kamu layarnya retak-retak begitu?’” –karena tubuh kebangkitan Yesus masih bolong-bolong– siapa yang jualan HP kayak begitu?? Saudara lihat, inilah sebabnya Gereja sepanjang zaman yakin akan versi Empat Injil Alkitab yang lebih benar, lebih sungguhan, karena orang tidak mungkin mengarang dongeng atau bikin hoax yang seperti ini. Para rasul tidak akan tulis seperti itu kalau tujuan mereka mengarang dongeng; kalau mereka mau mengarang dongeng, mereka tulis seperti Injil Petrus. Bahkan sebenarnya adalah sesuatu yang merugikan dengan para rasul menuliskannya sebagaimana Empat Injil di Alkitab, karena siapa juga yang mau percaya tubuh kebangkitan begitu ordinary, begitu biasa-biasa, sampai orang bisa tidak sadar itu Yesus, orang tidak sadar itu tubuh yang telah bangkit. Tapi lucunya, itulah justru secara antitesis kita pada hari ini bisa lebih yakin akan faktualitas kebangkitan Yesus, bisa lebih yakin akan keabsahan catatan kesaksian para rasul, karena satu-satunya alasan mereka menuliskannya demikian adalah memang itulah yang terjadi, tidak ada alasan lain.
Yesus itu extraordinarily ordinary, Dia luar biasa biasa –makanya Dia luar biasa. Kita selalu berpikir kalau Dia bangkit, harusnya Dia tidak kelihatan seperti orang lain dong! Dulu ada lagu pop jadul, teksnya sangat baik, mengatakan: “What if God was one of us, just a stranger on the bus”. Menarik, ya. Saya rasa penulisnya bukan menulis itu karena dia baca Lukas 24, namun pada dasarnya itulah yang terjadi di zaman tersebut, ‘koq Tuhan cuma kayak kita, sih?’ Tentunya ada yang beda antara tubuh kebangkitan-Nya dengan tubuh yang lama, namun juga ada karakter di mana Yesus amat sangat tidak beda dengan orang pada umumnya waktu itu, meskipun Dia telah dibangkitkan; dan kebangkitan-Nya ini menandai era baru yang akan datang di mana Tuhan akan memulihkan segala sesuatu menjadi baru. Ini penting.
Sekali lagi, kita diberikan tubuh yang tidak lagi dikuasai maut dan dosa, namun in some sense kita akan mengatakan –mengutip orang lain– bukan berarti di langit dan bumi yang baru Saudara tidak akan tanam jagung. Kehidupan kita nanti di sana bukanlah kehidupan yang aneh, yang esoterik, yang mistik. Bukan demikian. Sama seperti Yesus yang telah bangkit, kita juga akan punya kehidupan yang fisik, yang pada asarnya ordinary. Inilah yang perlu didengar banyak orang Kristen hari ini, karena yang jadi problem adalah: banyak di antara Saudara dan saya menunggu suara dari surga untuk memulai hidup yang baru. Kita menunggu tanda-tanda dari langit untuk mulai benar-benar berkomitmen kepada Tuhan. Kita menunggu khotbah yang powerful untuk menggerakkan kita dari ketiduran rohani kita. Kita tunggu mukjizat ‘kecelakaan terlempar dari mobil dan patah tulang 27 bagian namun somehow tetap hidup’ untuk baru benar-benar serius memikirkan hidup kita di hadapan Tuhan. Kita menunggu petasan, kita menunggu letusan rohani, kita menunggu hal-hal yang dramatis! Bahkan urusan seperti menegur kesalahan orang lain, kita mengatakan, “Saya tunggu waktu yang tepat, Pak.”
Saudara, ada faktor pendukung yang bikin kita seperti ini, yaitu karena memang di antara 100 orang Kristen ada satu orang yang punya kesaksian hidup dramatis, dan celakanya dia yang selalu disuruh maju ke depan untuk kesaksian, sehingga efeknya 99 orang lainnya melihat kesaksian itu jadi merasa ‘O, harusnya hidup orang Kristen kayak begini, dramatis’; padahal itu justru perkecualiannya, satu dari seratus. Dalam Persekutuan Pemuda kita ada kebiasaan sharing, satu kebiasaan yang bagus. Tapi Saudara perhatikan satu hal, orang Reformed itu takut banget sharing, karena bingung mau sharing apa. Mungkin di gereja-gereja lain orang justru susah berhenti kesaksian; dan kesaksiannya dramastis, misalnya: ‘saya sepuluh tahun jadi pendeta, lalu saya berzinah, saya tidak lagi jadi pendeta selama sepuluh tahun, lalu saya kembali lagi jadi pendeta’, semacam itu. Kita merasa itu kesaksian yang bodoh, ngapain sih kesaksian kayak begitu, tapi lihat, kalau sekarang kita disuruh kesaksian, kita juga merasa perlu mengeluarkan yang kayak begitu! Itu problemnya. Kita mengatakan, “Aduh, sharing apa, ya?? Saya tidak ada hal-hal yang bisa saya sharing-kan, hidup saya biasa-biasa saja, ‘gak ada yang dramatis dalam hidup saya.” Lalu ditanggapi, “Siapa yang hidupnya ‘gak ada berkat, tidak mungkin ‘gak ada berkat ‘kan. Boleh juga sharing pergumulan, ayo silakan Saudara-saudara.” Oke juga kalau sharing pergumulan karena pergumulan ‘kan banyak; tapi kalau sharing pergumulan, juga harus sharing jalan keluarnya juga ‘kan. Jadi, kesaksian seakan-akan harus ada special effect! Setelah ada penderitaan, harus ada figur bercahaya turun dari surga, baru kita mau kesaksian. Itulah problem kita! Kita mendengar kesaksian-kesaksian orang yang dramatis, yang banyak special effect surgawi, yang warnanya warna Injil Petrus, dan kita merasa ‘gua mau jadi orang Kristen kalau bisa hidup kayak begitu’, namun problemnya, itu justru perkecualian! Sisa 99 orang yang lain itu, hidup mereka tidak seperti demikian.
Saudara, bukan berarti semua pengalaman orang yang dramatis itu tidak valid, tidak biblikal, tapi coba pikirkan ini: bahkan bagi orang yang kesaksian pengalaman dramatis itu pun, 90% hidupnya ‘kan tidak diisi dengan pengalaman dramatis. Dan, kalau suara dari surga itu memenuhi 90% hidupnya, saya bisa yakin satu hal, mungkin yang dia ceritakan sebagai kesaksian adalah momen suara tersebut hilang, karena itulah yang luar biasa. Jadi, bahkan dalam hidup orang seperti itu pun, Saudara harusnya tahu bahwa ketika dia menceritakan satu hal yang dramatis, ini berarti hidupnya tidak secara umum diisi hal-hal seperti itu. Inilah cara Tuhan bekerja dalam hidup kita. Maria dan Kleopas benar-benar disertai Yesus, tapi mereka baru sadar pekerjaan Tuhan dalam hidup mereka, sesaat setelah Tuhan lenyap dari mata mereka. Mereka hatinya berkobar-kobar selagi mendengarkan Yesus sepanjang jalan. Mereka merasa ada sesuatu yang menarik mengenai Orang ini, jadi mereka mengajak Dia untuk tinggal bersama mereka karena hari sudah malam, tapi mereka tidak sadar. Mereka baru sadar akan hal itu setelah Yesus hilang; dan mereka baru kemudian mengatakan, “Bukankah hati kita berkobar-kobar …”, artinya mereka pun tidak sadar hati mereka berkobar-kobar selagi hati mereka berkobar-kobar. Menarik ya. Saudara, inilah problem dalam hidup kita.
Satu hal yang kita bisa yakin bahwa inilah good news-nya –bahwa tangan Tuhan bekerja dalam hidup kita lewat hal-hal yang ordinary dalam hidup kita adalah suatu good news— adalah karena pertama-tama itu berarti Saudara tidak perlu menunggu cahaya yang membutakan itu baru Saudara bisa bergerak, Saudara tidak perlu menunggu pengalaman-pengalaman yang luar biasa baru Saudara bisa bergerak, karena tangan Tuhan ada di bagian-bagian yang Saudara sering kali tidak sadar; dan ini berarti tangan Tuhan adalah tangan yang gentle, tangan yang lembut. Ini good news.
Anak-anak saya waktu di awal-awal sudah bisa mengenali nama mereka sendiri, kami jadi suka panggil-panggil. Kalau saya panggil, “Niko..”, dia lalu menoleh, “Papa.. “, sambil tersenyum, demikian juga Erik. Setiap kali dipanggil namanya, dia menengok, lalu bilang, “Papa..”. Lucu. Sekarang sudah mulai nyebelin, karena mereka sudah mulai terfokus dengan hal-hal yang lain; kalau lagi baca buku, matung di depan buku, maka waktu dipanggil, “Niko.. “, tetap lihat buku. Dipanggil lebih keras, “Niko..!” tetap sama. Lebih keras lagi, “Niko! Wooii..!! Papa lagi ngomong nih, Erik! Erik!!” Tapi Tuhan kita tidak kayak begitu, Saudara. Tuhan kita tidak merasa Dia harus di-acknowledge dulu baru Dia mau kerja. Bahwa Tuhan bekerja lewat tangan yang tersembunyi dan cara-cara yang ordinary, itu berarti Tuhan kita selalu mengambil inisiatif. Dia tidak tunggu kita minta-minta dulu baru Dia bekerja. Dia merasa cukup dengan bekerja secara tersembunyi, Dia merasa oke ketika Dia bekerja dan orang tidak mengenali sampai Dia pergi (Dia tidak benar-benar pergi, namun tidak nampak lagi). Dia tidak masalah dengan semua itu, Dia tidak menunggu semua itu; lalu kenapa kita nungguin itu??
Dia bekerja lewat hal-hal yang biasa; dan satu hal yang pasti, hari ini kita diingatkan akan hal itu bukan cuma lewat Firman tapi juga lewat meja Perjamuan Tuhan. Saudara ingat, warna sakramental yang kita rayakan dalam meja Perjamuan Tuhan, adalah bahwa Allah yang luar biasa ini memilih untuk menghadirkan/melambangkan diri-Nya lewat roti yang biasa, anggur yang biasa. Dia tidak suruh kita bikin nasi goreng, atau anggur yang vintage yang dijaga 20 tahun dengan temperatur tertentu. Dia memberikan diri-Nya yang luar biasa, dalam hal yang paling biasa. Dan, ini harusnya jadi satu good news bagi kita.
Demikian yang bisa kita sharing-kan hari ini, kiranya hal ini menguatkan kita dalam kehidupan kita pascakebangkitan Yesus. Sekali lagi, pertama, bahwa Saudara bukan orang yang berada dalam postur defensif, terpojok; sebagai orang Kristen kita justru orang-orang yang lebih punya posisi bisa dipertanggungjawabkan secara rasional kenapa kita percaya Yesus bangkit, karena tanpa kebangkitan Yesus hidup ini tidak ada artinya. Yang kedua, kebangkitan Yesus memberitahukan kepada kita bahwa misteri dan surprise bukanlah sesuatu yang di luar porsi kerohanian kita, bahkan justru porsi kerohanian kita sebagai orang Kristen akan dipenuhi banyak misteri; dan Saudara tidak perlu takut akan hal itu karena lewat misterilah Saudara mendapatkan surprise dan lewat misterilah Saudara mendapatkan good news, berhubung karakter dari apa yang Tuhan beritakan kepada kita merupakan sesuatu yang bukan impian manusia belaka. Jadi, tidak usah takut ketika Kekristenan seperti sulit dimengerti, susah dipercaya, karena itulah good news yang benar-benar good news. Yang ketiga, bahwa Allah kita adalah Allah yang bekerja dengan tangan yang ordinary, tangan yang, tangan yang beinisiatif, tangan yang selalu bekerja tanpa menunggu respons kita dulu, karena Dia adalah Allah yang begitu baik, Dia adalah Allah yang luar biasa biasa.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading