Kita sedang dalam satu seri mengenai Epifania; hari ini kita akan menyelesaikan seri ini dari perikop yang mungkin paling klimaks dalam penyataan mengenai diri Yesus, identitas-Nya dan kemuliaan-Nya, yaitu peristiwa Transfigurasi.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, peristiwa Inkarnasi berubah jadi Natal, Kebangkitan berubah jadi Paskah, tapi Transfigurasi sepertinya sesuatu yang terlupakan. Ini tidak seharusnya demikian, karena ini satu hal yang sangat penting. Kenapa Transfigurasi ini penting? Karena kalau Saudara membaca dengan peka cerita-cerita Injil dari Matius, Markus, dan Yohanes, Saudara menemukan bahwa pertanyaan utama dari kitab-kitab ini bukanlah ‘apa yang aku harus lakukan untuk bisa selamat’; pertanyaan utamanya selalu adalah ‘siapa gerangan Orang ini’. Itulah yang jadi fokus lagi dan lagi dan lagi dalam kisah-kisahnya. Siapakah ini, yang kepada-Nya angin dan laut taat? Siapakah ini, yang kepada-Nya legion-legion setan sujud ketakutan? Siapakah Dia ini, sehingga Dia bisa mengampuni dosa? Siapakah ini, yang mengajar dengan penuh otoritas? Dan seterusnya. Itulah yang jadi fokusnya. Pada akhirnya sebagai klimaks dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, dalam Injil Sinoptik Saudara menemukan jawaban tersebut tersebut dibukakan –di-epiphany-kan– dan setelah momen ini, barulah Yesus berpaling kepada salib; apakah momen klimaks ini? Inilah momen Transfigurasi. Ini boleh dibilang momen klimaks dari bagian pertama narasi Injil yang berusaha menjawab ‘siapa sesungguhnya Orang ini’, sebelum memasuki minggu terakhir dalam hidup Yesus, perjalanan Yesus menuju ke salib.
Kenapa tema ini tidak sepopuler Natal, atau Jumat Agung, atau yang lain? Karena sedikit banyak waktu membicarakan Natal, Saudara agak mudah untuk bertanya pertanyaan yang tadi, “apa manfaat Natal buatku?”; kalau dalam peristiwa Jumat Agung, juga gampang untuk Saudara bertanya “apa manfaat kematian Yesus untukku?” –dan inilah gagal fokus favorit-nya umat Tuhan– sedangkan peristiwa Transfigurasi tidak menarik untuk kita baca dan renungkan karena Transfigurasi bukanlah cerita yang kita bisa bertanya pertanyaan tadi. Kalau Saudara mendekati kisah ini lalu bertanya pertanyaan tadi, Saudara jadi merasa ‘iya ya, apa ngaruhnya Transfigurasi buatku, koq seperti tidak relevan bagi hidupku, bahwa Yesus naik ke atas gunung dan dimuliakan??’ Mungkin karena itulah memang ini kisah yang sangat penting, karena ini adalah momen untuk kita refleksi mengenai apakah tepat kita datang kepada Alkitab, datang kepada khotbah-khotbah, datang ke Gereja, terutama untuk mencari jawaban dari pertanyaan tadi. Jadi, datang kepada bagian ini, bahkan datang kepada seluruh kitab Injil, bahkan datang kepada seluruh Alkitab, Saudara memang perlu pertanyaan dan pendekatan yang lebih alkitabiah, yaitu pertanyaan dan pendekatan di mana bukan dirimu yang jadi terutama, melainkan Kristus. Kalau Saudara mendengar khotbah hari ini dengan pendekatan yang galfok tadi, yaitu ‘apa gunanya khotbah hari ini bagimu’, saya jamin Saudara akan bosan dan lebih baik tidur, bahkan lebih baik pulang saja.
Saudara, kisah ini adalah mengenai Yesus, kisah di mana diri-Nya dibukakan, kisah mengenai siapa Dia dan apa yang Dia lakukan. Itulah yang akan diberitakan di sini, itulah jawaban yang akan diberikan atas pertanyaan yang penting, dan baru setelah itu –ironisnya–kehidupan Yesus benar-benar bisa berdampak dalam kehidupanmu. Inilah poin dari minggu-minggu Epifania; bukan cuma untuk kita bertanya ‘apa itu kemuliaan Yesus’ dalam minggu-minggu ini saja, tapi bahwa Epifania ditempatkan dalam minggu-minggu pertama setiap tahun adalah supaya kita menyadari inilah pendekatan dan arah yang perlu kita pakai sepanjang tahun, bahkan seumur hidup kita, setiap kali kita datang kepada Firman Tuhan, yaitu untuk memfokuskan hati kita, mata kita, jiwa kita, kepada siapa sesungguhnya Yesus dan apa yang Dia lakukan. Jadi kita akan membahas dua hal ini, siapa Yesus, dan apa peran/pekerjaan-Nya.
Hal yang pertama, apa yang Transfigurasi beritahu kepada kita mengenai identitas diri Yesus? Saudara bisa perhatikan gambaran-gambaran yang terjadi di bagian ini, ada kilat, ada awan, ada suara Tuhan, dan ada kemuliaan-Nya yang dinyatakan. Ini harusnya terdengar familier, karena kalau Saudara ingat Perjanjian Lama, kitab Keluaran, ini sebenarnya pengulangan dari motif-motif yang muncul dalam peristiwa Gunung Sinai dan juga peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir. Keluaran adalah cerita Allah membebaskan bangsa Israel, dan Dia melakukannya melalui awan kemuliaan-Nya, yang pada siang hari terlihat seperti bubungan asap putih (atau awan) dan pada waktu malam terlihat cahaya api kemuliaan dari dalam awan tersebut. Awan itulah yang sempat turun dan membingungkan tentara-tentara Firaun sampai kocar-kacir selagi bangsa Israel menyeberangi Laut Merah, awan itulah yang kemudian memimpin mereka sampai ke Gunung Sinai, dan di puncak Gunung Sinai awan itu turun. Di situlah Saudara kemudian menemukan hal-hal yang sama dengan yang Saudara lihat di bagian ini, yaitu adanya cahaya kemuliaan, kilat-kilat, awan-awan, suara Tuhan muncul, dan kemuliaan Tuhan dinyatakan. Awan tersebut sering kali disebut awan Theophany, suatu tanda/representasi kebesaran Tuhan, keagungan-Nya, kemuliaan-Nya, transendensi-Nya, kuasa-Nya. Pertanyaannya: kenapa dalam peristiwa Transfigurasi semua gambaran tersebut kembali muncul, apa artinya?
Ketika Musa turun dari Gunung Sinai (Keluaran 33), kita tahu wajah Musa bercahaya, tapi kilauan cahaya wajah Musa itu tidak bertahan, dan tidak sebanding dengan kilauan cahaya wajah Tuhan. Kenapa? Karena cahaya di wajah Musa hanyalah pantulan. Dalam arti tertentu, Musa seperti bulan, yang bercahaya dari cahaya pantulan; sedangkan kalau kita melihat catatan para penulis Injil mengenai Yesus dalam peristiwa Transfigurasi, yang mereka sedang katakan adalah bahwa Yesus itulah mataharinya. Kemuliaan yang ada dalam cerita ini bukanlah kemuliaan yang turun atas sesuatu, melainkan kemuliaan yang keluar dari dalam. Ini bukan kilat dari langit yang turun dari atas ke bawah dan cuma sesaat terangnya lalu selesai, ini adalah terang yang keluar dari diri Yesus sendiri, Yesus itulah sumbernya. Tubuh Yesus sendiri, baju-Nya, wajah-Nya, berkilau, bercahaya terus-menerus karena Dialah sumbernya.
Inilah yang belakangan penulis Ibrani katakan di Ibrani 1, “Yesuslah cahaya kemuliaan Allah, dan oleh karena itu —ini pentingnya— Dialah gambar keberadaan Allah yang sesungguhnya” (He is the exact imprint of the image of God). Kalau Saudara berjalan dekat sebuah pohon, dan Saudara mau tahu posisinya, tingginya, dan bentuk pohon itu, bagaimana caranya? Yaitu karena ada cahaya yang memantul dari si pohon, sampai ke matamu, diterima oleh retinamu, dan memberikan kepada Saudara gambar yang sesungguhnya dari bentuk dan tinggi dan posisi pohon tersebut. Jadi, yang bagian ini sedang katakan adalah bahwa semak belukar yang menyala-nyala dulu itu, awan kemuliaan Tuhan di Gunung Sinai itu, semuanya adalah pantulan kemuliaan Tuhan, sehingga kalau dibandingkan dengan Yesus Kristus, semua yang lain itu tidak ada apa-apanya. Saudara mau menemukan gambaran kemuliaan Tuhan yang exact, yang persis, yang 1:1, maka lihatlah Yesus, Dialah cahaya kemuliaan Allah yang sempurna itu, yang unik, yang satu-satunya, yang puncak, yang tidak bisa dilampaui lagi ke-akuratannya jikalau Saudara mau mengenal siapa diri Allah. Mazmur boleh mengatakan “gunung-gunung menceritakan kemulaan Allah, langit-langit mengabarkan beritanya, bintang-bintang dan lautan adalah tanda dari kemuliaan Allah”, namun yang Satu ini beda level. Dialah gambar sesungguhnya dari kemuliaan Allah. Kemuliaan-Nya bukan pantulan, karena Dialah sumber dari kemuliaan itu sendiri. Inilah Tuhan sendiri, yang sedang menyentuh retinamu, dan retina jiwamu; inilah jalan ultimat untuk mengerti dan mengenal siapa Tuhan. Tidak ada cara lain yang melampaui Dia. Itulah yang sedang diberitakan dalam bagian ini.
Jika Transfigurasi adalah mengenai identitas Yesus, bahwa Yesus perwakilan/representasi yang paling mutlak, paling sempurna dan final mengenai diri Tuhan, maka dua implikasi yang mungkin kita bisa tarik. Yang pertama, ini berarti Yesus Kristus dihadirkan oleh Alkitab bukan lagi sekadar nabi seperti Musa atau Elia. Sering kali mungkin kita agak salah kaprah membaca cerita bagian ini, karena kita melihat mereka bertiga muncul, kita pikir sebanding atau semacam itu; tapi tidak demikian, justru sebaliknya, Yesus bukanlah seorang lagi nabi yang sedang berusaha mendekat kepada Allah, Dialah justru Allah, yang kepada-Nya nabi-nabi berusaha untuk mendekati. Dia bukan salah satu lagi guru, Dia bukan salah satu lagi nabi, Dia bukan salah satu lagi orang bijak, Dia bukan salah satu lagi Dalai Lama dari urutan dalai-dalai lama; dalam bagian ini justru dinyatakan dengan jelas bahwa tidak demikian, yaitu ketika Petrus mengatakan mau mendirikan tiga kemah, satu untuk Yesus, satu untuk Musa, satu untuk Elia. Kita mungkin kurang mengerti bagian ini; istilah ‘kemah’ di sini agak misleading karena sebenarnya yang dimaksud adalah tabernakel. Saudara ingat, dalam peristiwa Gunung Sinai –salah satu koneksi dengan bagian ini– yang terjadi kemudian adalah orang Israel mendirikan Kemah Suci (tabernakel). Inilah sebabnya Petrus berespons seperti itu, Petrus seakan mengatakan, “Wow! Lihat! Ada tiga orang hebat, ada tiga tokoh bersejarah, mari kita bikin tiga kemah”. Apa yang terjadi setelahnya? Hal yang terjadi setelahnya, menurut para komentator adalah: Tuhan sebenarnya berespons terhadap kalimat Petrus tersebut; responsnya adalah: awan keluar dan terdengar suara yang mengatakan, “Inilah Anak-Ku, dengarkanlah Dia”, dan waktu kalimat ini dinyatakan, kedua figur yang lain sudah hilang lenyap, hanya ada Yesus sendirian di sana. Saudara menangkap makna dari respons ini? Yang jadi poin dari cerita Transfigurasi ini adalah bahwa Yesus bukan salah satu dari tiga. Yesus tidak bisa diper-kemah, Yesus tidak bisa Saudara masukkan ke dalam daftar tokoh-tokoh bersejarah, Yesus tidak bisa Saudara taruh sebagai salah satu lagi dewa dalam sebuah Pantheon besar berisi banyak dewa-dewi lain.
Omong-omong, tujuan saya di sini bukan membuktikan bahwa klaim ini benar; yang saya sedang mau lakukan adalah untuk Saudara menyadari apa klaim sesungguhnya. Klaimnya bahwa Yesus bukanlah satu lagi pendiri agama, satu lagi guru besar, satu lagi orang bijak, satu lagi nabi agung; bukan itu semua. Klaim yang sedang dibicarakan di sini melampaui semua itu, sehingga di hadapan klaim ini Saudara hanya bisa salah satu, yaitu mengatakan, “Oke, saya terima klaim itu, bahwa Yesus melampaui semua nabi-nabi yang lain”, atau Saudara mengatakan bahwa Yesus bukan melampaui nabi-nabi yang lain melainkan hancurnya melampaui nabi-nabi yang lain, karena nabi-nabi yang lain setidaknya rendah hati, setidaknya mereka tahu diri mereka bukan Tuhan, sedangkan Yesus yang satu ini ngaku-ngaku Tuhan, jadi berarti Dia ini di bawah semua nabi-nabi yang lain, Dia ini penipu, Dia ini orang sinting, atau seperti tuduhan banyak orang sezamannya ‘Dia orang yang kerasukan setan’. Cuma dua itu pilihannya; poin dari kisah-kisah ini adalah untuk membuat kita sadar, bahwa di hadapan Yesus ini cuma ada dua sikap terhadap klaim tersebut. Klaim Yesus, bukanlah klaim yang setengah-setengah; klaim bahwa kuasa yang jauh melampaui segala badai telah menjadi manusia, kuasa yang mengatasi semua kuasa gelap telah menjadi manusia, kuasa awan api di Perjanjian Lama itu telah menjadi manusia dan berjalan di tengah-tengah kita. Itulah klaimnya. Ini berarti Saudara mengatakan klaim ini benar, sehingga berarti Yesus jauh lebih penting daripada segala sesuatu dalam hidupmu, tidak ada yang mengalahkan Dia; atau, Saudara mengatakan ini klaim palsu, hoax, dan ini hoax yang paling keji. Tidak ada ruang untuk Saudara mengatakan, “Oh, saya masih belum yakin Yesus itu siapa; kayaknya Dia itu guru besar, Alkitab sepertinya ambigu menyajikan Dia, maka somehow saya jadi bisa menempati posisi di tengah-tengah yang agak aman ini di mana saya tidak perlu ambil keputusan yang terlalu berat.”
Saudara, kita terlalu terbiasa menganggap bahwa menjadi orang Kristen adalah jadi orang yang defensif, orang serang kita atau bertanya dan kitalah yang harus memberi jawaban; tetapi bagian ini justru menyatakan Kekristenanlah yang sedang menantang dunia. Kekristenanlah yang sedang mengatakan, “Coba baca seluruh kisah mengenai Yesus, coba perhatikan kesaksian mengenai Dia, coba perhatikan kata-kata-Nya, dan bisakah kamu mengatakan Dia sinting? Bisakah kamu mengatakan Orang ini kerasukan setan? Orang ini, yang pengajaran-Nya sampai sekarang masih dihormati oleh begitu banyak orang, bahkan orang-orang non-Kristen pun bisa menghargai pengajaran-Nya, kamu mau bilang Dia orang gila?? Itukah yang kamu mau katakan? Tidak bisa ‘kan.” Secara umum dunia tidak merasa bisa melabel Yesus sebagai orang gila kalau mereka benar-benar memperhatikan kesaksian hidup-Nya dan kata-kata-Nya; tapi inilah tantangan Kekristenan: jika Dia bukan orang gila –dan berarti kamu harus take seriously klaim mengenai diri-Nya– maka satu-satunya alternatif yang lain adalah: Dia memang sungguh-sungguh figur yang unik, figur yang ultimat, figur yang sempurna, Dialah wahyu yang final mengenai siapa diri Allah.
Saudara lihat klaimnya, dengan demikian hanya salah satu, Saudara menolak Dia sebagai Orang yang sinting dan kerasukan, atau Saudara menerima Dia sebagai dasar dan fondasi dari cara engkau membangun hidupmu. Dan sekali lagi, Saudara lihat inilah alasannya cerita Transfigurasi tidak populer sama sekali, karena banyak oarng Kristen –termasuk Saudara dan saya– sadar atau tidak sadar kepingin datang kepada Yesus Kristus hanya sebagai salah satu lagi guru, hanya sebagai salah satu lagi nabi, hanya sebagai salah satu lagi orang yang bisa mengeluarkan kalimat-kalimat bijak yang membantu kehidupan kita! Itulah yang kita inginkan, datang kepada Yesus Kristus yang seperti itu, makanya kita datang kepada khotbah-khotbah yang kita suka, kita datang kepada pendeta-pendeta yang kita cocok, kita cari acara-acara yang buat kita relevan, dan seterusnya. Kenapa demikian? Karena kita tidak mau melihat Dia sebagai Anak Allah yang adalah sumber hidup itu sendiri! Alkitab tidak mau terima spiritualitas seperti itu; itulah sebabnya Alkitab menyatakan peristiwa Transfigurasi sebagai klimaks dari semua kisah-kisah lain yang kita sudah bahas.
Saudara, inilah implikasinya, bahwa Yesus yang sejati adalah Yesus yang supernatural. Yesus yang riil itu bukanlah yang engkau pikir mau lihat selama ini, tempat engkau menemukan kalimat-kalimat bijak, tempat engkau menemukan cara-cara untuk membuat anakmu lebih taat. Bukan itu. Itu cuma bayanganmu tok. Yesus yang sejati adalah Yesus yang di-transfigurasikan, Yesus yang glorious, Yesus yang mulia. Poin kisah ini, dan kisah-kisah yang lain yang klimaksnya di sini, adalah menyatakan identitas Yesus: Dia bukan cuma seorang manusia! Tentu saja Dia manusia, tapi Dia tidak cuma manusia; Dia adalah Makhluk supernatural, yang dilahirkan secara supernatural, dan hidup secara supernatural, dan nanti Dia akan bangkit dari kematian secara supernatural. Pertanyaannya: bagaimana kita menyikapi hal ini?
Satu hal yang saya harap signifikansinya lebih jelas, yaitu kalau kita merenungkan salah satu ironi terbesar di abad 20. Saudara tahu, dalam 50 tahun pertama abad 20, gereja-gereja di Amerika dan Eropa, di kota-kota yang besar sekali di negara-negara Barat, merasa khawatir. Para pemuka gereja ini mengatakan, Kekristenan ada bahaya ditinggalkan masyarakat modern, alasannya karena masyarakat modern di zaman mereka tidak bisa lagi menerima bau-bau supernatural dan mukjizat. Ini memang masa yang sudah lewat, masa di mana rasionalisme masih kokoh bercokol, sementara zaman sekarang di Barat sudah berbeda. Film-film Hollywood sekarang malah banyak yang mengetengahkan kecurigaan terhadap sains dan teknologi, seperti film Avatar-nya James Cameron, film Terminator (robot hasil teknologi dan sains, tapi ujungnya malah bahaya, bisa memperbudak manusia, dst.); tetapi zaman abad 20 awal tidak seperti itu. Itu adalah zaman di mana sains dan teknologi dilihat sebagai hal yang paling penting, sehingga kalau Kekristenan tidak ikut arus zaman seperti itu, bahaya, nanti Kekristenan ditinggalkan. Dan kalau orang begitu fokus pada sains dan teknologi, maka mereka tidak bisa terima lagi urusan-urusan supernatural dan mukjizat, itu sebabnya theolog-theolog zaman tersebut lalu mengatakan satu-satunya harapan bagi masa depan Kekristenan adalah dengan mengadaptasi Kekristenan, membuang dari Kekristenan elemen-elemen yang berbau supernatural, karena jika tidak, Kekristenan akan pudar dan mati. Dan, inilah yang mereka lakukan, yaitu yang hari ini biasa kita labelkan dengan Kekristenan Liberal.
Ketika mereka membuang hal-hal yang bersifat supernartural dari Kekristenan, maka hasilnya adalah berikut ini: bukan lagi Alkitab adalah Firman Allah yang infallible tapi hanyalah kompilasi atau kompendium dari penulis-penulis zaman kuno, yang sebagian ada benarnya, tapi juga banyak salahnya khususnya secara scientific; bukan lagi Yesus Kristus adalah Allah yang menjelma menjadi manusia, lahir dari seorang perawan, tapi hanyalah seorang guru besar yang punya kepekaan ilahi yang tinggi; bukan lagi kebangkitan yang sungguh-sungguh terjadi di tengah sejarah dan dalam ruang dan waktu, tapi hanyalah suatu cerita simbolis yang indah bahwa musim semi akan datang setelah musim dingin; bukan lagi kelahiran baru yang sejati, oleh Roh Kudus yang dari luar, tapi hanyalah jadi orang baik-baik yang bermoral. Inilah hasilnya; dan ini ironis. Kenapa? Pertama-tama, karena waktu Saudara mengeluarkan elemen supernatural dari Kekristenan, Saudara bukan sedang mengadaptasi Kekristenan, Saudara bukan re-kontekstualisasi Kekristenan, Saudara bukan melakukan Injil lintas budaya, tapi Saudara sedang melakukan penciptaan agama baru. Alasannya Kekristenan liberal ditolak habis-habisan oleh Kekristenan alkitabiah, adalah karena –kita mengatakan dengan hormat–Kekristenan liberal itu seperti Budhisme tanpa mistisisme, seperti Islam tanpa bulan Ramadhan dan sembahyang lima waktu –tidak masuk akal. Kekristenan liberal itu seperti teh yang sudah layu; atau seperti –istilah Pendeta Eko– kopi rasa kardus. Itu sebabnya di tempat-tempat di mana Kekristenan liberal beredar, ironisnya Kekristenan bukan bertahan tapi malah semakin pudar. Di negara-negara Barat, gereja ditinggalkan, yang tersisa hanya rambut putih semua. Sementara di tempat-tempat lain, di mana Kekristenan yang klasik, yang Alkitabiah, yang supernatural, yang historis itu diberitakan, Kekristenan justru merebak luas, bertumbuh. Saudara tahu, di Korea, orang-orang Presbyterian yang rutin pergi ke gereja, lebih banyak dibandingkan jumlah orang-orang Presbyterian di Amerika+Skotlandia yang pergi ke gereja; ada lebih banyak orang Anglikan di Nigeria dibandingkan di Inggris tempat asalnya sendiri; orang Katolik di Amerika, cuma antara 5-7% saja dari jumlah populasi orang Katolik seluruh dunia. Kenapa? Karena Kekristenan yang sejati adalah Kekristenan yang supernatural; orang tahu ini, dan bisa melihat perbedaannya.
Tim Keller, seorang pendeta yang sudah meninggal karena kanker, waktu dia di-diagnosa kanker, katanya dia sempat terdiam satu jam. Dia bingung memikirkan, apakah dia sanggup menghadapi ini dengan iman, apakah dia sanggup menghadapi kematian. Pada saat itu, dia lalu mulai berpikir mengenai kebangkitan (ressurection); dan dia kembali mengulangi dalam hatinya semua hal yang biasa dia khotbahkan pada saat Paskah, bukti-bukti mengenai kebangkitan. Misalnya, bahwa semua Injil mencatat saksi-saksi pertama kebangkitan adalah para wanita. Ini satu hal yang meyakinkan, karena jika ini hoax, berarti hoax yang sangat bodoh, berhubung pada zaman itu kesaksian wanita sangat tidak credible, kesaksian wanita sulit dipakai bahkan dalam pengadilan, sehingga kalau mau bikin hoax tidak mungkin pakai wanita sebagai saksi-saksinya. Kita hari ini sudah sangat terlatih mengenali hoax; sekarang saya mau tanya, apa ciri nomor satu yang bikin kita mulai mengendus bau hoax dalam WA atau postingan Facebook yang kita baca? Hoax itu, tanda-tandanya biasanya justru terlalu meyakinkan, too good to be true, terlalu sensasional, terlalu keren, terlalu kebetulan, terlalu pas. Itulah hoax; hoax tidak pernah meragukan, kalau tidak, tidak ada kakuatan jadi hoax. Dengan demikian kisah kebangkitan bukanlah sesuatu bikinan, sebab satu-satunya penjelasan kenapa wanita yang dicatat sebagai saksi-saksi pertamanya adalah karena memang merekalah saksi-saksi pertamanya.
Atau juga 1 Korintus 15, di mana Paulus mendaftarkan satu persatu saksi-saksi mata kebangkitan Yesus di zamannya, dia mengatakan ada ini dan ada itu, ada peristiwa ini dan peristiwa itu, ada yang saksinya beberapa ratus orang dan ada yang 500 orang sekaligus, dsb., lalu apakah Saudara mau mengatakan mereka semua itu somehow mengalami halusinasi yang sama dalam situasi yang berbeda dan dalam waktu yang berbeda? Sesungguhnya Saudara lebih perlu iman untuk percaya bahwa orang-orang di tempat-tempat yang berbeda dan dalam waktu yang berbeda-beda bisa somehow mengalami halusinasi yang sama, dibandingkan percaya Yesus benar-benar bangkit ‘kan. Kalau kita mau ambil keputusan dalam rapat yang cuma 10-12 orang pengurus, untuk semua bisa setuju saja tidak segampang itu, apalagi bikin 500 orang halusinasi bareng-bareng. Demikianlah Tim Keller waktu menghadapi diagnosa kankernya, dia mengulas kembali bukti-bukti tersebut di dalam kepala dan di dalam hatinya, sehingga dia kemudian mengatakan, “Saya tidak perlu takut akan kematian”; kenapa? “Karena saya percaya kebangkitan yang bersifat supernatural.” Saudara, poinnya adalah: Tim Keler mengatakan Kekristenan yang tanpa kebangkitan supernatural, itu tidak akan ada gunanya buat dia; kalau kebangkitan cuma sekadar suatu lambang dari musim semi yang akan datang setelah musim dingin, maka ini tidak akan menolong dia menghadapi kanker dan kematian.
Kekristenan yang supernatural inilah yang asli, karena Yesus yang asli adalah Yesus yang supernatural. Ini poin yang pertama, identitas Yesus yang dinyatakan lewat Transfigurasi.
Poin kedua yang besar dari peristiwa Transfigurasi, bukan saja menyatakan siapa identitas Yesus, tapi juga apa peran-Nya; bukan cuma siapa Dia, tapi juga apa yang Dia lakukan. Hal ini muncul lewat satu ayat menarik, ayat 34: ‘Sementara ia berkata demikian, datanglah awan menaungi mereka. Dan ketika mereka masuk ke dalam awan itu, takutlah mereka.’ Kenapa Petrus, Yohanes, dan Yakobus waktu awan menaungi mereka dan mereka masuk ke dalam awan itu, mereka lalu takut? Kalau di gereja-gereja Indonesia justru lain, orang sengaja bikin-bikin uap dari biang es jadi seperti awan-awan, lalu bilang “saya masuk ke dalam awan kemuliaan Tuhan”, dan kesannya malah nyaman; sedangkan orang-orang di Alkitab ini malah takut. Kenapa? Karena dalam setiap tempat di Perjanjian Lama di mana awan kemuliaan Tuhan muncul, maka bersentuhan dengan awan tersebut cuma berarti satu hal, yaitu kematian. Kembali ke cerita Gunung Sinai. Waktu bangsa Israel sampai di Gunung Sinai, mereka harus jaga jarak, siaga satu radius sekian kilometer, tidak boleh dekat-dekat, tidak boleh sentuh gunung; dan siapapun yang menyentuh gunung akan mati, baik itu anak, atau ibu, atau ternak pun, akan mati. Sekarang, awan kemuliaan yang jauh di Gunung Sinai itu turun melingkupi Petrus, Yohanes, dan Yakobus di gunung ini, tentu saja tidak heran mereka ketakutan, “Mampuslah gua”. Ini bagian yang menarik karena mengingatkan kepada kita seberapa budaya modern hari ini sangat unik –unik dalam arti aneh, weirdo freak, tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah.
Saudara tahu kenapa dalam Perjanjian Lama ada tradisi kenabian? Saudara melihat dalam Perjanjian Lama ada begitu banyak nabi, namun juga ada masanya tidak ada nabi. Waktu Tuhan berbicara kepada Abraham, Dia langsung berbicara kepada Abraham, tidak pakai nabi. Waktu Tuhan berbicara kepada Ishak, Yakub, Yusuf, Dia juga tidak pakai nabi. Bahkan dalam peristiwa Gunung Sinai pun, berhadapan dengan dua juta manusia itu, Allah berbicara langsung dari Gunung Sinai kepada mereka tanpa perantaraan nabi. Lalu kenapa tiba-tiba muncul para nabi? Waktu saya belajar akan hal ini, jawabannya mengagetkan; jawabannya bukanlah karena Allah mengatakan “adalah kehendak-Ku untuk melakukan ini, Aku mau angkat para nabi”; usut demi usut, ternyata jawabannya adalah karena nabi itu permintaan dari orang-orang Israel sendiri, setelah peristiwa Gunung Sinai. Waktu mereka menyaksikan peristiwa Gunung Sinai, api kemuliaan Allah turun, dan suara Tuhan terdengar bagi semua mereka, maka mereka kemudian datang kepada Musa dan mengatakan begini: “Musa, kami telah menyaksikan hal yang amazing, belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu Allah dari suatu bangsa menyatakan diri-Nya langsung kepada bangsa tersebut, dan somehow bangsa itu tetap hidup. Kami bersyukur bisa mengalami hal ini. Tapi, kami tidak mau lagi, satu kali sudah cukup; jadi next time bagaimana kalau kamu yang datang ke Allah itu, kamu yang menghadap Dia, dengerin Dia, lalu kamu beritahu kepada kami apa yang Allah katakan, dan kami akan dengerin kamu.” Dalam hal ini Allah lalu mengatakan, “Okelah, kalau begitu, takut mati sih. Ya sudah, Aku akan membangkitkan nabi-nabi dari antara kamu, a brother among you –salah satu manusia dari antara kamu yang bentuknya dan kelihatannya seperti kamu– supaya kamu tidak usah takut, karena kalau Aku yang turun sendiri, kamu mampus. Ya sudahlah, oke.” Sejak itu mulailah tradisi para nabi, dengan Musa sebagai figur pertamanya; itulah alasannya muncul tradisi kenabian yang begitu besar.
Jadi, inilah sesuatu yang seluruh dunia sepanjang sejarah dipercaya manusia, yaitu ada satu jurang (gap) antara kita dengan yang Ilahi, sehingga setiap culture tahu bahwa tidak bisa mendekati Tuhan secara langsung. Setiap culture tahu, mereka harus bikin ritual-ritual, kuil-kuil, imam-imam, kurban-kurban, untuk bisa menjembatani gap ini, karena tidak sebegitu gampangnya datang kepada Tuhan. Ada bahayanya, tidak bisa sembarangan. Dalam Budhisme, untuk menyeberangi gap tersebut, untuk Saudara bisa naik ke realm ilahi, Saudara harus punya suatu state kesaadaran yang diubah, enlighten; dan untuk mencapai ini tidak bisa sembarangan, tidak bisa gampang-gampang, bahkan mungkin perlu lebih dari satu kali masa hidup, perlu reinkarnasi yang entah berulang berapa kali sampai bisa mencapai status sebagai budha. Dalam Islam, untuk menyeberangi gap ini maka perlu disiplin diri yang begitu ketat, dalam sehari perlu sekian kali sembahyang, dalam setahun perlu berpuasa sebulan. Mereka semua sadar akan hal ini, satu hal yang kita entah bagaimana tidak sadar!
Memang orang Indonesia bukan tidak sadar sama sekali akan hal ini; dalam arti tertentu, ada gado-gadonya. Ada budaya-budaya lain yang mempengaruhi kita dalam hal ini –itu sebabnya kalau Saudara pergi makan bersama pendeta, selalu si pendeta yang disuruh doa karena orang anggap pendeta lebih suci jadi biar dia yang berdoa, dsb. Sekali lagi, orang Indonesia memang gado-gado, dan dengan demikian dalam Kekristenan orang Indonesia juga ada kecenderungan yang dibawa dari budaya modern; dan ini budaya yang aneh, satu-satunya budaya di dunia, sepanjang sejarah, yang somehow pikir bahwa mendekat kepada figur Ilahi itu harusnya simpel, harusnya datang kepada Tuhan itu gampang. Itu sebabnya orang-orang Kristen modern seringkali komplain; mereka ada problem dalam hidupnya, lalu mereka berdoa kepada Tuhan minta Tuhan melepaskan, tapi ‘gak kejadian, dan mereka komplain, “Kenapa kayak begini?? Susah banget ya; Anak saya ‘gak taat, koq Pendeta ‘gak punya jawabannya sih. Koq anak saya ikut NRETC tapi hasilnya tetap bandel sih. Bagaimana caranya, Pak? Ayo kasih tahu supaya langsung berubah.”
Atau mungkin contoh yang paling gampang, tentang Persekutuan Doa (PD) pagi. Saudara datang ke PD pagi, Saudara struggle ‘kan ya; semuanya struggle, termasuk saya. Struggle mau doa apa?? Diberitahu topik doanya pun, kadang-kadang susah mempertahankan konsentrasi, tidak ingat tadi pokok doanya apa. Sudah tahu pokok doanya pun, mau ngomong apa juga bingung. Lagipula, kalau di PD Kelapa Gading semua orang disuruh menyampaikan topik doa, mampuslah, mau bilang topik doa apa, ya?? Lalu perasaan kita menghadapi semua itu, sadar atau tidak sadar kita mengatakan ‘harusnya ‘gak begini ‘kan, harusnya ‘gak sesulit ini ‘kan, harusnya doa ya mengalir begitu saja ‘kan; kayaknya ada something wrong’. Ini artinya apa? Ini berarti kita mendekat kepada Tuhan, dan kita menemukan sesuatu yang sebenarnya sudah ditemukan semua orang sepanjang sejarah dunia bahwa memang ada gap antara engkau dan Yang Ilahi, dan ini sesuatu yang lumrah bagi semua orang sepanjang sejarah, tapi somehow ini aneh buat kita. Jadi Saudara lihat, budaya modern itu budaya yang aneh sendiri.
Kembali ke kisah ini. Ketika Petrus, Yohanes, dan Yakobus diselubungi oleh awan kemuliaan itu, dan mereka begitu ketakutan. Ini satu hal yang sangat signifikan, satu hal yang amat sangat penting. Kenapa? Karena ketika Musa datang ke atas Gunung Sinai dan berkata, “Tuhan, tolong tunjukkan kemuliaan-Mu kepadaku”, Tuhan mengatakan, “Tidak bisa, Musa; paling tidak, tidak bisa full. Tidak ada orang yang melihat muka-Ku dan tetap hidup. Jadi Aku akan taruh kamu di sini, Aku akan selubungi kamu waktu Aku lewat, lalu kamu akan bisa melihat belakang-Ku. Itu saja.” Namun sekarang, Petrus, Yohanes, dan Yakobus diselubungi oleh kemuliaan Tuhan, mereka melihat wajah Tuhan, dan mereka tetap hidup! Apa makna dari hal ini? Ini menceritakan kepada kita, bahwa Yesus bukan cuma adalah Allah yang besar, yang mulia, yang ada di sisi sebelah sana dari jurang ini (poin pertama), namun juga bahwa Yesus somehow adalah juga jembatan terhadap jurang ini (poin yang kedua).
Inilah yang memberitahukan kepada kita betapa Kekristenan berbeda dari semua agama di dunia, karena semua agama lain mengatakan ‘yang harus menjembatani jurang tersebut adalah kamu’, sedangkan dalam Kekristenan, yang menjembatani jurang tersebut adalah apa yang Yesus lakukan. Para murid tidak membawa kurban ke atas gunung itu namun mereka hidup. Kenapa? Karena di atas gunung itu ada Kurbannya. Para murid bukan orang yang sempurna waktu naik ke atas gunung itu, namun mereka hidup. Kenapa? Karena di atas gunung itu ada Orang yang Sempurna. Transfigurasi memberitahukan kepada kita dua poin ini secara bersamaan, bahwa berbeda dari semua pendiri agama lain yang mengatakan ‘kamu harus begini, begini, begini untuk bisa menjembatani gap tersebut’, Yang Satu ini, ketika engkau percaya kepada Tuhan melalui Yesus, ketika engkau mendekati Tuhan melalui Yesus, maka engkau beriman kepada Dia sebagai jembatannya, dan bukan kepada rekam jejakmu, bukan kepada kurban-kurbanmu, bukan kepada kesemprnaanmu, melainkan kepada kesempurnaanNya.
Satu hal menarik, dalam setiap kisah Transfigurasi di 3 Injil Sinoptik, persis setelah kisah ini mereka mencatat yang terjadi berikutnya adalah mereka turun gunung, lalu Yesus menemukan seorang bapak yang anaknya dirasuk kuasa gelap, dan para murid yang lain berusaha untuk menyembuhkan/mengusir tapi tidak bisa. Bapak ini berkata kepada Yesus: “Tuhan, tolong anakku.” Lalu Yesus mengatakan, “Aku bisa menyembuhkan anak ini, tapi pertanyaannya, kamu percaya atau tidak?” Bapak ini bingung, lalu mengatakan, “Aku percaya; tolonglah aku yang tidak percaya ini” –kalimat yang sangat memorable bagi kita, “I believe; help my unbelief”– lalu anak ini disembuhkan. Aneh ‘kan. Kalau bilang, ‘aku percaya; tolong aku yang tidak percaya’, itu berarti ‘kan dia ragu, jadi harusnya Tuhan Yesus beresponsnya begini: “Ya, ‘gak bisalah kalau kayak begini, ‘gak lulus ini. Ya, sudah pulang dululah, bawa anakmu. Besok coba balik lagi, siapa tahu kamu sudah lebih yakin, kalau sekarang sih ‘gak bisalah kayak begitu, ‘gak mungkin”. Tetapi Tuhan Yesus tidak melakukan itu. Tadi Tuhan Yesus tanya, “Kamu percaya tidak? Aku ini bisa, tapi kamu yakin atau tidak?”, dan si Bapak kebingungan menjawab, “Aku percaya, Tuhan; tolonglah aku yang tidak percaya ini”, lalu anaknya sembuh. Koq bisa? Karena inilah iman; lebih tepatnya inilah iman Kristen. Kalau Saudara datang kepada Tuhan dan mengatakan, “Aku percaya maka sembuh, maka ini, maka itu …”, dst., itu bukan iman Kristiani, itu iman kepada dirimu sendiri. Itu bukan iman kepada Kristus, melainkan engkau sedang mendasarkan imanmu kepada dirimu, ‘karena aku percaya, karena aku yakin, maka ini bisa terjadi, maka Tuhan menolongku, maka Tuhan membantuku’. Saudara lihat, Bapak ini punya iman yang sesungguhnya, iman Kristiani, karena dia mengatakan, “Aku ‘gak yakin, Tuhan” –aku tidak yakin Engkau bisa melakukannya, aku tidak percaya ini bisa terjadi, anakku ini sudah lama kayak begini, sejak lahir kayak begini, lalu bagaimana mungkin suatu hari dalam hidupnya tiba-tiba ketemu seseorang yang bisa menyembuhkan dia?? –“Aku ‘gak percaya, Tuhan, maka tolonglah aku yang tidak percaya ini.” Itulah iman. Kenapa? Karena iman ini iman yang didasarkan kepada Yesus Kristus, dan bukan kepada diri. Iman seperti ini yang menyelamatkan, iman yang tidak ada jasa diri sama sekali. Lucu ya.
Saudara, inilah yang kita sedang baca di bagian ini, inilah Transfigurasi. Kenapa murid-murid di sini bisa tidak mati? Karena di ayat 30-31 ada satu catatan yang lewat begitu saja, yang kita tidak mengerti tapi sangat signifikan. Dikatakan di situ, Musa dan Elia muncul dalam kemuliaan, berbicara dengan Yesus, dan mereka membicarakan mengenai kepergian-Nya yang Dia akan genapi di Yerusalem. Maksudnya apa ‘pergi’ ini? Satu hal yang pasti, pergi bisa berarti mati, tidak ada lagi. Namun yang menarik, istilah yang dipakai di situ adalah istilah Yunani yang secara langsung bersesuaian dengan kata exodus dalam Perjanjian Lama. Ini ironi, bahwa Musa sedang berbicara kepada Yesus mengenai exodus-nya Yesus. Yesus akan mengerjakan suatu exodus nanti, akan menggenapi suatu exodus. Di mana? Di Yerusalem. Lalu kenapa ini exodus-nya Yesus? Karena ini suatu exodus yang lebih tinggi daripada exodus-nya Musa. Musa membebaskan –lewat exodus— bangsa Israel dari penindasan ekonomi, penindasan sosial; sedangkan Yesus, nanti lewat exodus-Nya –lewat kematian-Nya– akan membebaskan seluruh manusia, bukan cuma orang Israel, dan bukan cuma dari penindasan ekonomi melainkan dari penindasan dosa dan maut. Sekali lagi, Dia bukan cuma Seorang Allah yang ada di seberang sana, Dia adalah yang justru menjembatani jurang tersebut. Inilah Epiphany.
Saudara mungkin bertanya, “Kenapa ini penting, Pak? Saya sudah tahu semua ini, koq.” Jadi kenapa? Ada alasannya di bagian ini juga. Di ayat 28, ayat pertama bagian ini, dikatakan bahwa delapan hari setelah itu, terjadi peristiwa Transfigurasi ini. Maksudnya delapan hari setelah apa? Omong-omong, ini satu hal yang signifikan karena kalau Saudara baca Injil Markus, Markus selalu mencatat ‘setelah ini … setelah ini … setelah ini …’, selalu ada koneksi dari satu adegan ke adegan yang lain, sedangkan Lukas tidak pernah melakukan itu; jadi kalau Lukas mencatat peristiwa ini ‘terjadi delapan hari setelah itu’, berarti Lukas sedang melakukan satu hal yang signifikan, menyambung dua cerita menjadi satu. Cerita apa yang sebelumnya muncul? Yaitu pengakuan Petrus. Jadi ini satu hal yang ironis; delapan hari sebelum peristiwa Transfigurasi, Yesus sudah pernah bertanya kepada murid-murid-Nya pertanyaan kunci: “Menurut kalian, siapakah Aku ini?” Selanjutnya dikatakan, ada yang bilang Elia, ada yang bilang ini dan itu; dan Tuhan Yesus mengatakan, “Tapi menurut-mu, siapa Aku ini?” Perhatikan, Tuhan Yesus bukan bilang, “Oke, Petrus, ujian ya, menurutmu apa caranya mendapatkan hidup kekal?” Dia tidak bertanya itu. “Menurutmu, cara apa mendidik anak yang paling bagus?” –Dia tidak tanya kayak begitu. Dia tanya ‘menurutmu siapakah Aku ini’, itu pertanyaan yang paling penting. Petrus akhirnya menjawab, “Engkau bukan Elia tok, Engkau bukan lagi seorang nabi tok, Engkau adalah Mesias Israel, Engkau adalah Kristus”, dan Tuhan Yesus mengatakan, “Sip!” Tetapi delapan hari kemudian Petrus dengan bodohnya terkesima dengan tampilan Musa dan Elia, lalu mengatakan, “Tuhan, bikin tiga kemah .. tiga.. tiga.. –karena ada tiga orang besar di sini”. Lho, bagaimana sih?? Bukannya kemarin baru saja kamu sudah menyadari Aku bukan Elia, Aku lebih tinggi daripada itu, lalu kenapa sekarang balik lagi? Kenapa, Saudara? Karena inilah problem kita. Saudara mengatakan sudah tahu semua ini, tentang siapa Yesus dan peran-Nya, bahwa Dia bukan cuma Allah di seberang sana, Dia juga adalah jembatannya; kalau Saudara ujian Kristologi, dapat nilai A –dan itu baik– namun ternyata, bahkan Petrus pun belum ngeh akan kebenaran dari Epiphany ini.
Bayangkan misalnya ada orang yang tidak pernah mau pakai seat belt kalau naik mobil, dan waktu ditanya, dia bilang, “Saya tahu harus pakai seat belt, tapi ‘gak enak ya pakai seat belt, rasanya terkunci”. Lalu suatu hari Saudara ketemu dia lagi, dan dia pakai seat belt, bukan cuma sekali, tapi selalu pakai seat belt; dan Saudara tanya, “Apa yang berubah ya? Biasanya lu ‘gak mau pakai seat belt.” Dia lalu bilang, “Ya, kemarin itu gua sempat ketemu teman gua, dia mukanya dijahit 120 jahitan, hidungnya musti ditempel lagi, kupingnya sobek sebelah, karena dia kecelakaan mobil dan dia ‘gak pakai seat belt, jadi dia terlempar keluar dari mobil. Itu somehow mengubah bagaimana gua mikirin seat belt, bagaimana saya menyetir.” Sekarang coba Saudara tanya dia, apakah dia dapat informasi baru? Tidak. Dia sudah tahu seat belt itu perlu, dia sudah tahu bahwa orang yang tidak pakai seat belt bakal ada resiko seperti temannya tadi, bahkan lebih parah, bisa mati, dsb. Jadi dia sudah tahu itu, namun somehow apa yang dia tahu itu tidak turun ke hati.
Kita tahu, inilah problem dari banyak orang Kristen, inilah problem dari setiap kita. Itu sebabnya jangan datang kepada khotbah seperti ini dan mengatakan, “Saya sudah tahu, maka saya tidak perlu dengar ini. Apalagi Bapak bilang mau bikin jadi kebiasaan tiap tahun ngomongin ini?? Saya sudah tahu, Pak. Apa gunanya, ya??” Sekali lagi, Saudara, jangan pikir seperti itu. Kenapa? Karena inilah yang penting: kalau Saudara benar-benar tahu hal tersebut, maka itu akan nyata lewat perubahan hidup yang sejati –seperti orang tadi. Saudara akan mengatakan, inilah pengetahuan yang sejati, yaitu ketika kita bukan sekadar tahu dengan kepala tapi tahu dengan hati; ketika hal ini mengubah hidup kita sehingga kita sekarang pakai seat belt, itulah artinya benar-benar tahu manfaat dari seat belt. Tapi kalau cuma tahu tok, bahwa Yesus adalah Allah yang menjembatani hubungan kita dengan Tuhan, Allah yang rela mengalami segala penderitaan bagi engkau dan saya, namun Saudara masih saja sakit hati dikritik orang, Saudara masih cemas akan berbagai hal, Saudara masih punya habit-habit yang tersembunyi dalam hidupmu, Saudara masih merasa harus membuktikan sesuatu kepada orang lain, maka berarti Saudara hanya tahu secara intelektual, tapi bukan orang yang tahu secara hati. Saudara lihat, kenapa kita membutuhkan Epiphany seperti ini? Karena yang kita butuhkan bukan kalimat-kalimat bijak lagi, yang kita butuhkan bukan sekadar pengetahuan tok lagi, yang kita butuhkan adalah menyaksikan kemuliaan Kristus. Itu yang kita butuhkan.
Maksudnya apa, Pak? Jadi kita perlu dapat penglihatan seperti di atas gunung itu? Tidak; lagipula itu mungkin tidak bakal terjadi juga. Istilah kemuliaan, sebagaimana sudah kita bahas, berarti bobot; bobot berarti bahwa apa yang Dia lakukan, itu jadi yang paling berbobot, lebih berbobot daripada kritikan orang lain, lebih berbobot dibandingkan rasa harga diri di hadapan orang lain. Cinta Tuhan kepadamu menjadi lebih berbobot, bahkan melampaui cinta orangtuamu, atau mungkin lack of cinta orangtuamu. Itulah maksudnya mempunyai kesaksian akan kemuliaan Kristus.
Bagaimana caranya bisa mencapai seperti itu? ada dua hint. Yang pertama, di ayat 29, mengenai kapan Transfigurasi terjadi; Transfigurasi ini terjadi ketika Yesus naik ke atas gunung –ini semua orang tahu– tapi yang banyak orang lupa adalah bahwa peristiwa ini terjadi ketika Yesus naik ke atas gunung untuk berdoa. Selagi Dia berdoa, kemuliaan itu muncul. Saudara lihat, kucinya adalah doa. Ini satu hal yang jelas. Di dalam Alkitab, kunci untuk supaya apa yang ada di kepala bisa turun ke hati, itu adalah prayer life. Saudara punya ini atau tidak? Sadarkah Saudara seberapa Saudara membutuhkan hal ini? Sadarkah Saudara bahwa Persekutuan Doa bukan cuma urusan datang melayani capek-capek, tapi sesuatu yang Saudara butuhkan untuk bisa melihat kemuliaan Tuhan?
Yang kedua, kalau Saudara mau sesuatu yang ada di kepala bisa turun ke hati dan mempengaruhi hidupmu, Saudara harus menyadari bahwa ini tidak terjadi secara privat. Perhatikan, dalam bagian ini Petrus, Yohanes, dan Yakobus, bertiga naik ke atas gunung; dalam arti bahwa Transfigurasi ini, momen ketika Petrus akhirnya menyadari secara eksistensial apa yang dia sudah tahu secara intelektual, itu terjadi di dalam KTB –karena mereka bertiga. Ini bukan momen di mana Petrus mengatakan kepada Yesus, “Tuhan Yesus, yuk, kita berduaan naik ke atas gunung, tinggalkan saja anak-anak Zebedeus itu, Yohanes dan Yakobus itu, saya mau dapat private experience dengan-Mu, waktu one on one with You, God; karena saya tidak nyamanlah mengalami pengalaman rohani yang tinggi kalau ada orang-orang lain, rasanya mereka itu pengganggu.” Bukankah kayak begitu yang kita rasa, orang-orang gereja itu pengganggu, bikin kita tambah kurang rohani kayaknya; apalagi kalau sampai saya menangis di hadapan Tuhan, kalau ada teman yang lihat, jadi agak gimana ‘kan, nanti dia pikir saya ada banyak dosalah atau apalah; saya juga ‘gak mau mengaku dosa untuk orang lain tahu, malulah, ‘gak bisa seperti itu. Bagaimana kalau pengalaman rohani saya dengan-Mu one on one saja? Tapi ternyata tidak demikian. Tuhan Yesus menceritakan kepada kita bahwa Transfigurasi ini terjadi justru ketika ada orang lain. Saya rasa ini tidak kebetulan.
Kalau Saudara mau Yesus sungguh bersinar dalam hidupmu, kalau Saudara mau melihat dan menyaksikan kemuliaan-Nya, kalau Saudara mau kebenaran mengenai Yesus bukan sekadar ada di otak melainkan turun ke hati, maka Saudara perlu komunitas di hadapan Tuhan. Ini bukan satu hal yang abstrak, karena dalam komunitas yang terjadi paling tidak ada dua hal. Yang pertama, dalam suatu komunitas, Saudara mendapatkan seseorang yang lebih tinggi daripadamu, yang sudah lebih tahu dibandingkan dirimi, yang berbeda dan lebih dewasa daripadamu, dan itu sebabnya Saudra bisa belajar dari dia. Ini satu hal yang akan membantu Saudara untuk membuat Yesus itu riil bukan cuma di otak tapi juga di hati. Hal ini sudah jelas; namun yang menarik, di dalam komunitas, Saudara bukan cuma punya orang yang di depanmu, tapi juga yang di belakangmu. Saudara lihat, orang-orang yang paling bisa mengungkapkan kebenaran atau suatu pemikiran, itu adalah orang-orang yang paling mengerti justru karena mereka pernah atau berusaha atau terbiasa menjelaskannya kepada orang lain. Gampangnya begini: Saudara bergumul dengan kebenaran-kebenaran Alkitab, yang Saudara tahu tapi sering kali tidak riil dalam hidupmu; lalu ada orang yang tanya mengenai hal ini, dan Saudara struggle untuk menjelaskannya, Saudara berusaha cari cara untuk menjelaskan kepada dia, dan lewat beberapa kali cara dan kepada orang-orang yang berbeda Saudara coba mengungkapkannya, maka lama-kelamaan yang terjadi adalah Saudara sendiri menjadi orang yang lebih jelas, lebih melihat, lebih ngeh akan kebenaran tersebut. Inilah manfaatnya jadi guru, karena jadi belajar banyak. Saya dan Pendeta Heru suka bercanda bahwa berkhotbah di KU 1 itu rehearsal, khotbahnya masih banyak ngawurnya, masih banyak ngawang-ngawangnya juga, kita belum terlalu tahu apa yang sedang dibicarakan; lalu dengan kami mengulang khotbahnya, di KU 2 –atau dulu juga ke Harapan Indah– barulah itu mulai membuat kami sendiri jadi lebih jelas. Kembali ke poin kita, itu sebabnya orang yang berusaha dipakai untuk menjelaskan, untuk mendidik orang-orang yang di belakang mereka, justru itu adalah proses di mana dia akan semakin jelas akan kebenaran yang dia jelaskan. Ini tidak abstrak, ini konkret sekali. Dan, inilah alasannya di Gereja perlu komunitas.
Sekali lagi, kalau Saudara datang ke gereja tujuannya cuma mencari kalimat-kalimat bijak Yesus, apa yang Yesus bisa bawa dalam hidupmu, memang benar Saudara tidak perlu orang lain. Tapi dengan Saudara melihat Epiphany, ada banyak hal dalam Gereja yang baru masuk akal sekarang. Jadi masuk akal sekarang kenapa di gereja khotbah-khotbah yang sejati tidak mengikuti seleramu, jadi jelas kenapa di gereja lagu-lagunya tidak seperti lagu-lagu yang kau suka di dunia, jadi jelas kenapa gereja dipenuhi orang-orang lain yang menyebalkan itu. Jadi jelas sekarang, kalau Saudara pakai pendekatan yang tepat ini, yaitu bahwa Dia bukan seorang nabi saja, tapi Dia adalah Tuhan, dan Dia adalah Tuhan yang menjembatani gap ini.
Kiranya perenungan kita akan minggu-minggu Epiphany ini boleh menggerakkan kita sepanjang tahun, sepanjang hidup kita, untuk menyadari apa fokus yang sesungguhnya, apa pertanyaan yang paling penting, apa arah yang perlu kita pegang, dalam setiap kali kita datang kepada Alkitab, setiap kali kita datang ke gereja. Seorang theolog pernah memulai kelasnya dengan menuliskan di papan tulis satu pertanyaan, dan dia mengatakan ini adalah pertanyaan dari seluruh Alkitab, pertanyaan dari sepanjang pergumulan hidup kita, kita datang ke Alkitab untuk bertanya ini; pertanyaannya adalah: Who is Jesus? Itulah pertanyaannya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading