Kita sedang dalam satu seri khotbah Epifania, tema yang sering terlupakan, padahal ini tema yang sangat penting, yang berabad-abad dalam sejarah Gereja dirayakan dan diingat setiap tahun, sama seperti Natal, Jumat Agung, Kebangkitan. Tema Epifania membahas perikop-perikop dalam kehidupan Yesus di antara kelahiran dan kematian-Nya, di mana kisah-kisah tersebut meng-epifani-kan –memanifestasikan, membuka, menyibak– akan siapa sesungguhnya Yesus, seperti apa kemuliaan-Nya.
Ini khotbah yang ke-4, maka saya berharap Saudara sudah bisa melihat kenapa tema ini begitu penting. Kita sebagai orang Kristen sering kali galfok dalam membahas Alkitab, kita salah fokus. Waktu membaca kisah “Perkawinan di Kana”, kita sering kali menggesernya jadi urusan mengenai apa yang Tuhan Yesus inginkan bagi pernikahan yang baik, lalu kita melihat ternyata urusannya bukan mengenai hal itu. Yohanes membingkai peristiwa tersebut bukan dengan fokus pernikahan kita, melainkan Pernikahan Yesus, momen Ia harus menyerahkan diri-Nya demi bisa menikahi Jemaat; juga bahwa Dia menghadirkan diri-Nya dalam kisah itu mengenai siapa identitas-Nya, business card-Nya, yaitu sebagai The Lord of The Feast. Dalam kisah “Yesus Meredakan Badai” pun kita sering kali gagal fokus, kita mengira urusannya mengenai bagaimana kita hari ini bisa tenang menghadapi badai beserta dengan Yesus, seperti nyanyian “With Christ in the vessel, we can smile at the storm … “, sementara ternyata para murid justru lebih takut setelah Yesus meredakan badai, karena fokusnya memang bukan badai yang mereda melainkan bahwa di atas perahu mereka itu ada Seseorang yang lebih berkuasa dan lebih mengerikan, lebih tidak terkontrol dibandingkan badai di luar sana. Sekali lagi, fokusnya adalah pada diri Yesus, mengenai Siapa Yesus. Itu sebabnya kisah-kisah ini adalah mengenai Yesus dan kemuliaan-Nya. Ini bukan berarti kita sama sekali tidak boleh bertanya mengenai hal-hal yang tadi, misalnya mengenai pernikahan dan bagaimana menghadapi badai hidup, dsb.; tapi satu hal yang pasti, sering kali kita sebagai Gereja, gagal melihat tujuan utama para penginjil menghadirkan cerita-cerita ini, yaitu untuk mempersaksikan kemuliaan Yesus sebagai Mesias.
Hari ini kita masuk ke perikop Epifania mengenai pengusiran setan, yaitu momen orang di Gerasa bertemu dengan Yesus. Urusan pengusiran setan ini pun sebenarnya salah satu tema yang sangat dekat dengan Epiphany, karena kalau Saudara melihat dalam tiga Injil sinoptik, kisah yang memulai pelayanan Yesus berbeda-beda momennya dalam tiap Injil tersebut, tapi bukan kebetulan semuanya adalah sebuah konfrontasi terhadap kuasa gelap. Kita akan membahas mengenai orang Gerasa ini dari Injil Markus pasal 5, tapi Injil Markus sebenarnya membahas tindakan Yesus yang paling pertama dalam pelayanan publik-Nya adalah sebuah exorcism di pasal 1 ayat 23-27. Dalam kitab Matius, Yesus berhadapan dengan pencobaan setan di padang gurun, dan menang; itulah kisah pelayanan-Nya yang pertama. Dalam kitab Lukas, ketika Yesus kembali dari pencobaan di padang gurun, diceritakan Yesus mengajar di sinagoge; dan inilah persisnya catatan Lukas: ‘Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya sebab perkataan-Nya penuh kuasa’ –atau lebih tepatnya ‘penuh otoritas’. Saudara lihat, tidak ada pelayanan publik Yesus tanpa pertempuran dengan kuasa gelap. Ini signifikan; tapi signifikannya bukan urusan setannya dikalahkan saja, melainkan karena ketiga penginjil tersebut menghadirkan bahwa Anak Allah tidak turun ke dunia sekadar menghadapi daerah yang netral, Dia sedang menginjakkan kaki-Nya ke teritori musuh, ke dalam kuasa gelap, dan oleh sebab itu yang mau ditunjukkan sejak awal adalah bahwa Yesus ini punya otoritas/kuasa di atas semua kuasa gelap serta roh-roh jahat.
Satu lagi perikop mengenai Epifania (yang kita tidak sempat bahas), yaitu kisah Yesus memanggil murid-murid-Nya, perikop klasik juga yang masuk ke dalam Kalender Gereja Musim Epifania.`Sekali lagi, membaca kisah ini, sering kali kita tarik fokusnya adalah mengenai Yesus mengundang kita menjadi murid-murid-Nya, apa artinya menjadi murid Yesus, dst. –yang tentu saja bukan salah, bukan ajaran sesat– tetapi itu bukanlah tujuan para penulis Injil. Kalau Saudara melihat bagaimana mereka mengungkapkan kisahnya, maka Saudara bisa lihat hal apa yang menjadi tekanannya. Misalnya di dalam Injil Markus, Yesus berjalan menyusuri pantai, lalu melihat bakal calon murid-murid itu ada di atas kapalnya masing-masing; dan apa yang Yesus lakukan? Dia tidak memberikan undangan, Dia memberikan perintah: “Ikut Aku”, lalu apa respons mereka? Markus menulis dengan gayanya yang singkat itu: ‘Lalu mereka pun segera meninggalkan jalanya, lalu mengikut Dia’. Ini mengenai otoritas, mengenai Siapa Orang ini, yang begitu luar biasa berotoritas/berkuasa; Dia memanggil orang untuk tinggalkan karier, dan orang langsung pergi. Di Injil Matius, Saudara melihat hal yang sama; dikatakan: ‘Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya, “Ikutlah Aku”, maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia. Jadi Matius pun sama dalam hal ini, bahwa inilah fokus yang terutama, yang orang sepanjang sejarah sangat peka, hanya kita saja yang sering kali galfok. Seorang pelukis yang sangat terkenal, Caravaggio, salah satu masterpiece-nya menggambarkan adegan tersebut, yaitu “The Calling of St. Matthew”. Di situ Yesus digambarkan masuk ke ruangan yang gelap tempat para pemungut cukai sedang menghitung uang; dan gestur Yesus bukan mengundang, melainkan menunjuk kepada Matius, “Ikut Aku”, sementara Matius menunjuk dirinya dengan melongo, “Saya??” –kira-kira seperti itu. Waktu Yesus menunjuk pun, digambarkan kakinya sudah setengah berputar ke arah pintu keluar, tidak ada waktu untuk ragu-ragu, tidak ada waktu untuk pikir-pikir, ‘ikut sekarang, pergi’.
Saudara lihat, yang terutama dari semua kisah-kisah antara kelahiran sampai kebangkitan Yesus ini bukanlah mengenai kita, ini mengenai Dia, siapa Dia sesungguhnya. Inilah tujuan para penulis Injil menuliskan kisah-kisah hidup Yesus di antara kelahiran dan kebangkitan-Nya, inilah caranya mereka menyibak pelan-pelan siapa sesungguhnya Orang ini. Inilah yang paling penting, karena tanpa epiphany-epiphany tersebut, lantas apa bedanya Yesus dengan pemimpin-pemimpin agama lain?? Jikalau yang Saudara cari dari Dia cuma urusan ‘apa yang Engkau bisa bawa ke dalam hidupku, apa yang Engkau bisa bawa bagi dalam hidupku, apa yang aku bisa teladani dari diri-Mu, apa yang mengangumkan dari diri-Mu’, dsb., maka Yesus tidak beda dengan Dalai Lama atau pemimpin-pemimpin agama lainnya. Namun Epiphany membuat kita menguak sesungguhnya siapa diri-Nya, dan seberapa Dia mulia mengatasi kita, berkuasa, berotoritas. Jadi inilah satu payung besar mengenai Epifania, dan alasannya kita perlu memulai suatu habit tahunan untuk membahas hal-hal ini.
Kita masuk ke perikop Epifania mengenai orang yang kerasukan setan di Gerasa. Mendengar tentang exorcism, apa yang jadi concern-mu? Mungkin Saudara bertanya ‘apakah demon possession menurut Alkitab’, ‘bagaimana kita mengalahkan evil’, ‘kenapa babi-babi yang jadi korban’, dst., tapi mari kita lihat apa tujuan penulis Injil menuliskan kisah ini.
Perikop Epifania biasanya lompat-lompat, ada di berbagai tempat, tapi khusus yang ini langsung menyambung dari pembahasan kita yang lalu, cerita tentang Yesus dan murid-murid-Nya naik ke perahu, lalu menghadapi badai, badainya diredakan; bagian ini persis lanjutan dari kisah yang lalu itu. Di ayat 1, mereka telah sampai ke seberang; inilah tujuan mereka menyeberang dan kemudian menghadapi badai tadi. Yang dikatakan “seberang” adalah sisi timur dari Danau Galilea, daerah border line. Ini daerah yang disebut dengan Dekapolis (Sepuluh Kota), meski tidak terlalu jelas kota apa saja yang termasuk di dalamnya (ini juga mungkin sebabnya bisa ada beberapa versi nama dalam beberapa versi Injil; ada yang menyebut Gerasa, Gadara, Gergasa, dsb.). Tidak penting untuk kita tahu lokasi persisnya, karena yang jadi poin di sini bahwa ini bukan daerah orang Yahudi, dan yang tinggal di situ juga bukan orang Yahudi (ini sebabnya banyak orang di situ yang memelihara babi, sedangkan orang Yahudi tidak memelihara babi karena dianggap hewan yang haram).
Lalu kenapa Yesus menyeberang kemari, masuk ke tanah negara tetangga? Kita tidak diberitahu juga. Beberapa orang membuat spekulasi bahwa mungkin karena Yesus dan rombongannya selalu dikerumuni banyak orang sehingga Dia ingin sementara melepaskan diri dari mereka, cari nafas, atau murid-murid-Nya yang ingin demikian. Kita memang tidak tahu, namun yang pasti kalau itu keinginan mereka, yang terjadi adalah ironi, karena begitu sampai di seberang, yang mereka temukan bukan kedamaian melainkan seseorang yang sepertinya dirasuk kuasa gelap, lagipula bukan cuma satu roh jahat yang menghinggapi dia tapi banyak. Menyaksikan orang ini, para murid mungkin ingin kembali ke perahu lalu pulang ke daerah mereka –Saudara bisa bayangkan seperti apa adegannya.
Markus di sini menuliskannya dengan singkat; tapi sebagaimana gaya tulisan Markus, ada suatu latar belakang yang sebenarnya padat di balik semua ini. Setelah mereka diombang-ambing badai yang mengamuk di laut, sekarang mereka kembali menjejak tanah, sudah ngos-ngosan lalu tiba waktunya menarik nafas lega, mereka malah menemukan badai lagi, namun kali ini badainya mengamuk dalam diri seorang manusia. In some sense, kisah ini benar-benar lanjutan dari kisah sebelumnya; jika ombak dan angin sudah cukup mengerikan, maka bayangkan sekarang mereka menemukan seorang manusia yang diporak-porandakan oleh angin dan ombak dalam dirinya. Tidak selesai sampai di situ, orang ini tempat nongkrongnya adalah di pekuburan. Jadi, bukan cuma Yesus dan kawan-kawannya masuk ke daerah asing –yang seringkali dianggap najis oleh orang Yahudi– tapi juga bahwa ini tempat orang-orang tersebut memelihara babi –yang dianggap haram oleh mereka– dan sekarang mereka bertemu dengan orang yang kerasukan kuasa gelap, kuasa yang kotor, dan orang ini biasa nongkrong di tempat para mayat –yang bagi orang Yahudi bersentuhan dengan mayat atau kuburannya adalah sesuatu yang menajiskan. Dengan demikian, orang yang menghampiri Yesus ini super-duper najis dalam pengertian orang Yahudi.
Backdrop-nya tidak selesai sampai di sini, ada suatu nuansa latar belakang lagi yang kita perlu tahu, yaitu bukan kebetulan nama setan yang merasuki orang ini adalah satu istilah yang diambil dari bangsa Romawi: Legion. Ini istilah bagi satu unit tentara Romawi yang dalam hal jumlahnya, bervariasi; konon dalam zaman Julius Cesar bisa sekitar 3500-an serdadu, tapi pada akhir Kekaisaran Romawi sudah mencapai 8000-an, sehingga cukup aman kalau kita bilang jumlahnya antara 4000-6000 orang, satu unit yang sangat besar. Lalu kenapa nama ini muncul sebagai nama setan yang sedang merasuki orang? Ini karena Dekapolis terkenal sebagai daerah yang notabene agak “angker”; kira-kira 100 tahun sebelum zaman Tuhan Yesus, ini adalah tempat tentara Legion Romawi pernah lewat dan memporak-porandakan habis-habisan daerah tersebut. Ini daerah bekas pertempuran –atau lebih tepatnya, daerah bekas pembantaian. Tidak berhenti sampai di situ, setelah tentara Legion Romawi menghancurkan daerah tersebut, maka orang Romawi mendudukinya. Ini adalah satu zaman di mana hampir seluruh known world berada di bawah kuasa Romawi. Jadi Saudara bisa bayangkan, orang di daerah itu memandang apapun yang berbau Romawi sebagai musuh, sehingga tidak heran mereka mengasosiasikan Romawi dengan kuasa gelap, dan tidak heran juga ketika ada orang kerasukan setan di daerah itu maka orang setempat dengan sangat cepat mengasosiasikan setannya dengan bangsa Romawi, maka mereka menyebut Legion. Saya rasa situasinya tidak jauh beda dengan Gaza hari ini; misalnya di Gaza hari ini ada orang kerasukan setan, maka tidak terlalu aneh kalau penduduk setempat menamakan setannya dengan istilah-istilah zionis.
Kembali ke ceritanya. Bahwa Yesus menyeberang dan menghadapi orang ini, itu bukanlah suatu kejadian yang diceritakan sekadar karena dramatis tok; ini adalah satu kejadian yang bobot signifikansinya luar biasa simbolis. Saudara bisa membaca signifikansi cerita ini dalam level-level yang bukan cuma urusan personal –bahwa ini orang kerasukan setan dan dia membutuhkan keselamatan dari Yesus, urusan one on one, me and Jesus, dsb.– tapi bahwa ini kejadian yang signifikansinya bisa dibaca bahkan dalam skala nasional. Banyak orang di daerah tersebut, baik orang Yahudi maupun non-Yahudi, inginnya melihat bangsa Romawi bernasib seperti babi-babi itu, dihalau ke tempat dari mana mereka muncul, yaitu laut. Seperti kita sudah bahas dalam seri sebelumnya, “laut” dalam konsep orang Yahudi adalah tempat kekacauan, yang dalam kitab Daniel merupakan tempat munculnya para monster (hari ini pun, laut masih ada kesan seperti itu, tempat yang kacau, buktinya kita sering pakai istilah, “Heh, lu, ke laut aja!” –konsep yang sedikit mirip dengan tadi). Monster-monster yang muncul dari laut dalam nubuatan kitab Daniel adalah gambaran/lambang negara-negara adikuasa, pemain partai besar dalam panggung politik global pada waktu itu; lalu coba tebak negara mana yang diwakili oleh monster yang paling besar, paling mengerikan, paling menjijikkan? Tidak lain adalah Romawi. Bangsa Romawilah monster dari segala monster. Romawi itulah bagi orang Yahudi adalah najis, itulah bangsa babi-babi, dan paling bagus kalau Romawi dilempar balik ke laut lalu mati lemas di dalamnya.
Saudara lihat, penggambaran Markus yang begitu singkat dan padat, menyatakan bahwa Yesus ini Orang yang bukan sembarangan, bahwa ini Orang yang ke sana kemari mendeklarasikan datangnya Kerajaan Allah, ini Orang yang punya otoritas dan punya kuasa di atas segala manusia; dan sekarang, berhadapan dengan seorang yang dirasuk oleh “spirit Romawi”, bangsa kuasa gelap itu, bangsa kejahatan itu, dengan legion-legionnya. Sekali lagi, Kerajaan Allah dalam konsep orang Yahudi bukanlah sekadar membawa keselamatan atau kewarasan rohaniah doang, Kerajaan Allah dalam konsep orang Yahudi adalah penantian akan keadilan bagi dunia yang tertindas; dan siapakah penindas itu, siapakah “inkarnasi kuasa gelap” itu yang memporak-porandakan hidup banyak orang? Bangsa Romawi. Itu sebabnya orang-orang Yahudi dan non-Yahudi daerah tersebut merasa Romawi itulah biang kerok dari segala kerusakan yang ada dalam setiap level; bahkan termasuk ketika ada orang yang rusak kerasukan, mereka akan mengatakan, “Ini Romawi, ini Legion”. Dengan demikian ekspektasi mereka jelas: ‘sekarang Yesus, Mesias Israel, Juruselamat dunia, datang masuk ke teritori musuh, maka hanya akan ada satu hasil akhir, yaitu Romawi, Legion, ke laut aja lu!’.Itulah yang menjadi latar belakang kisah ini, maka Saudara menangkap ada sesuatu yang plot twist di sini ketika kita melihat bukan itu yang terjadi; Yesus, Sang Mesias Israel, pergi ke daerah orang-orang Romawi, daerah orang tidak bersunat, dan di sana Ia bukan menghalau mereka ke laut, Ia malah menyembuhkan seseorang dari antara mereka, seorang kafir.
Saudara, ini membuat kita menyadari bagaimana membaca kisah ini dengan lebih tepat. Yang pertama misalnya, Saudara jadi bisa melihat problem utama kisah ini sebenarnya di mana, yaitu bukan mengenai adanya orang kerasukan yang perlu ditengking setannya –dan inilah justru cara berpikir orang-orang sezaman Yesus. Mereka melihat kuasa gelap/kuasa jahat di mana-mana, dan mereka menunjuk dengan tangan mereka: “Itulah Roma! Romawi itulah masalahnya. Kalau saja Romawi musnah, maka semua problem kita juga musnah. Mereka itulah penjahatnya, biang keroknya!”, dan dengan demikian secara tersirat kita sedang mengatakan “kita ini orang baiknya, kita ini the good guys-nya”. Bukankah itu yang sering kita lakukan waktu membaca kisah-kisah seperti ini?? “Nah, itulah problemnya, orang yang kerasukan itu; saya tidak kerasukan, saya waras. Dia itu musti ditengking; bukan kita yang ditengking”. Pola yang sama juga kita lakukan ketika kita mengatakan, “Nah, itulah problemnya masyarakat hari ini, orang-orang LGBTQ+ dan kawan-kawannya itu, mereka itu problemnya —bukan kita problemnya”, “Nah, itu problemnya, pendukung paslon-paslon lain itu —bukan kita problemnya”. Itulah pola yang sering kali kita pakai. Saudara, itu sebabnya ini kisah yang mengerikan, tapi bukan mengerikan karena alasan yang sering kali kita pikir. Kita pikir ini kisah yang mengerikan karena ini cerita orang yang dirasuk setan, di kuburan, dsb.; tapi bukan karena itu cerita ini mengerikan, cerita ini mengerikan dan akan menghantuimu karena ini kisah yang akan membongkar rasa aman palsu yang kita pegang selama ini.
Kita bisa mulai dari istilahnya sendiri. Istilah “dirasuk setan” (demon possession) adalah istilah yang kurang tepat sebenarnya, karena istilah tersebut membuat kita gampang mengatakan, “Aduh, kasihan ya, orang yang dirasuk setan”, karena kita tidak kerasukan. Gampang untuk kita membuat jarak antara orang yang terkena kondisi tersebut dengan diri kita, lagi pula jarang banget kita melihat orang yang kerasukan setan dalam hidup kita ini, mungkin hanya 1-2 kali, atau bahkan tidak pernah sama sekali. Namun istilah Yunaninya, daimonizomai, sebenarnya tidak mengandung istilah kerasukan/possession; daimonizomai tidak berarti kerasukan setan –meski banyak yang menerjemahkan demikian– melainkan kalau kita ekuivalenkan dengan Bahasa Indonesia mungkin lebih tepat diterjemahkan dengan “kesetanan”, bukan “kerasukan setan”. Ini istilah yang masih belum tepat-tepat banget, tapi ini istilah yang saya rasa lebih cocok karena ini istilah yang kita lebih sering pakai.
Orang-orang yang kesetanan, tidak harus sampai dirasuk, tapi sekadar bertindak/berlaku di bawah pengaruh kuasa gelap, mungkin adalah konsep yang lebih cocok dengan Alkitab. Mengapa? Misalnya dalam Surat Efesus, Paulus mengatakan, “Jangan beri kesempatan kepada iblis.” Apa yang Paulus maksudkan di sini? Apakah maksudnya ‘jangan main jelangkung’ karena itu memberi kesempatan kepada iblis? Atau ‘jangan pasang jimat’, itu artinya memberi kesempatan kepada iblis? Tidak. Paulus mengatakan di Efesus 4:26-27; “Apabila kamu menjadi marah, jangan berbuat dosa, jangan matahari terbenam sebelum padam amarahmu. Jangan beri kesempatan kepada iblis.” Jadi bagi Paulus, marah yang berdosa, itu memberikan pijakan kepada kuasa gelap dalam hidupmu. Dalam 1 Timotius 3:6, kesombongan, bagi Paulus juga punya efek yang sama. Dengan demikian, bagi Paulus jika kita sombong atau kita marah sampai berdosa, sesungguhnya kita dalam arti tertentu sedang kesetanan. Kalau Saudara meng-amini hal ini, berarti perbedaan antara engkau dengan orang yang kerasukan di Gerasa tadi, bukanlah perbedaan kualitatif, bukan perbedaan ‘dia dirasuk, parah, hancur; kita tidak, kita cuma dipengaruhi sedikit’; perbedaannya hanyalah perbedaan kualitatif, perbedaan derajat —ya, lu ‘gak separah dia, tapi bagaimanapun kankernya sama. Mengerikan.
Kalau Saudara masih belum yakin, coba kita lihat pola kuasa gelap yang berkuasa atas orang Gerasa ini, dan kita coba pertanyakan apakah pola yang sama bisa kita temukan dalam hidup kita juga atau tidak. Saudara perhatikan deskripsi Markus –yang sekali lagi, sangat singkat tapi sangat padat– yaitu ayat 2-5: Baru saja Yesus turun dari perahu, datanglah seorang yang kerasukan roh jahat dari pekuburan menemui Dia. Orang itu diam di sana dan tidak ada seorang pun lagi yang sanggup mengikatnya, sekalipun dengan rantai, karena sudah sering ia dibelenggu dan dirantai, tetapi rantainya diputuskannya dan belenggunya dimusnahkannya, sehingga tidak ada seorang pun yang cukup kuat untuk menjinakkannya. Siang malam ia berkeliaran di pekuburan dan di bukit-bukit sambil berteriak-teriak dan memukuli dirinya dengan batu. Di sini paling tidak Saudara bisa lihat ada dua sisi pola kuasa gelap dalam diri orang yang kesetanan ini. Yang pertama, dia memperoleh kekuatan, dia mendapat semacam human strength, dan tidak ada yang bisa menaklukkan dia secara fisik. Sisi satunya lagi, dia diperbudak; sama seperti kapal yang hancur kandas diterpa badai, kita melihat dia adalah seorang manusia yang hancur kandas diterpa badai secara internal. Dan, karena belakangan dikatakan dia memakai baju, berarti sekarang dia telanjang-telanjang. Yang pasti, dia terisolasi, dia self-harmed, dia memukul dirinya dengan batu, dan dia kehilangan identitas diri. Dia tidak tahu lagi siapa dirinya, siapa namanya, waktu ditanya dia hanya bisa mengatakan, “Kami adalah Legion karena kami banyak”. Pada dasarnya ini adalah pola mengenai orang-orang yang menjual jiwanya kepada setan.
Dalam dunia story telling, ada pola ini. Orang-orang yang menjual dirinya kepada setan, dalam story telling adalah satu genre yang dinamakan genre Faust, karena mengambil dari cerita “Doctor Faust”, suatu cerita orang yang menjual jiwanya kepada setan demi mendapatkan sesuatu yang lebih –kemudaan, kekuatan, dsb.– tapi juga berakhir dengan diperbudak. Saudara tentu sering melihat cerita-cerita seperti ini. Cerita ber-genre Faust ini populer, ada banyak di mana-mana, bukan karena ini cerita tentang orang aneh yang kita tidak pernah temui; cerita “Doctor Faust”, atau yang mirip dengan itu –jual jiwa dapat something tapi kemudian kehilangan banyak hal– populer justru karena cerita-cerita demikian membuat kita menyadari bahwa pola seperti ini sangat sering kita jumpai, pada orang lain dan juga pada diri kita sendiri. Sebagaimana Calvin mengatakan, setiap dari Saudara dan saya hatinya adalah pabrik berhala; dan ketika kita menjadikan sesuatu, apapun itu, menjadi makna hidup yang tertinggi, yang paling menentukan self-image kita, yang paling mendasari harga diri kita, yang paling crusial bagi kebahagiaan kita –ketika kita menjadikan apapun lebih penting daripada Tuhan– maka kita sebenarnya sedang membuat pakta dengan benda tersebut, sama seperti Faust membuat pakta dengan iblis. Kita telah menjadikannya tuan atas hidup kita.
Saudara, ini bukan urusan mulut; mulutmu bisa mengatakan “Yesus adalah Tuhan’, tapi ini masalah hati. Apa yang jadi fokus sentral hatimu? Apa yang membuatmu bangun pagi, keluar dari ranjang? Apa yang membuat matamu bolak-balik kembali lagi tertuju kepada hal itu? Apakah hal yang membuatmu merasa ‘akhirnya gua jadi orang sekarang’? Apapun itu, itu adalah tuan atas hidupmu. Itu sebabnya orang yang mengejar kuasa akan dikuasai oleh kuasa, orang yang mengejar pengakuan orang lain maka hidupnya dikuasai oleh orang-orang yang pengakuannya mereka kejar. Yang pasti, tidak ada dari kita yang menjadi tuan atas hidup kita sendiri, orang sekuler pun sadar akan hal ini; itu sebabnya Bob Dylan menulis lagu “You gotta serve somebody; apakah itu devil, apakah itu God, I don’t care, you gotta serve sombeody”.
Kita semua, telah membuat pakta dengan sesuatu atau seseorang. Kita pikir, kita memegang kemudi, tapi sama sekali tidak. Ambil contoh misalnya mengenai karier. Kalau Saudara membuat pakta dengan kariermu, jadi bensin dalam hidupmu yang utama adalah kariermu, Saudara baru bisa merasa oke dalam hidup kalau kariermu oke, dan kalau kariermu terlunta-lunta maka Saudara merasa ‘gua ngapain ada sih’, maka ketahuiah, pakta ini akan memberimu super power. Saudara akan menjadi orang yang gas pol dalam karier, Saudara bisa melampaui banyak orang yang tidak sebegitu kepinginnya berkarier seperti Saudara. Mereka mungkin kepingin jadi aktor, kepingin jadi businessman, kepingin jadi pesepak bola, atau mungkin juga kepingin menjadi seorang pendeta yang berkhotbah bagus, tapi mereka semua tidak bisa menyaingimu; kenapa? Karena bagimu, urusan karier adalah segala-galanya! Itu sebabnya ketika Saudara menjadi aktor, Saudara akan jadi aktor yang beda level dengan aktor-aktor yang lain. Waktu Saudara menjadi businessman, Saudara akan jadi businessman yang selalu available 24 jam; Saudara tidak cuma muncul ketika ada deal-deal yang bagus tapi juga rajin memupuk relasi dengan orang-orang lewat deal-deal yang kecil, yang mungkin tidak terlalu menguntungkan namun Saudara lihat sebagai investasi di kemudian hari. Waktu Saudara menjadi pendeta, Saudara akan jadi pendeta yang khotbahnya begitu dalam, begitu bagus, yang bahasanya begitu menarik dan menggugah. Kenapa? Yaitu karena bagimu, kariermu ini segala-galanya! Saudara akan cepat naik pangkat, Saudara akan sukses besar. Saudara dapat super power dalam karier waktu Saudara mempertuan karier; tetapi di sisi lain, mempertuan karier berarti Saudara diperbudak oleh karier. Misalnya, orang-orang seperti ini akan dengan mudah ambil jalan pintas, melanggar hal-hal yang etis demi mempercepat kesuksesan karier. Orang-orang seperti ini akan sangat mudah menginjak-injak orang lain demi bisa naik jenjang karier. Orang seperti ini juga sangat mudah untuk mengalami burn out secara fisik maupun secara psikis; dan lebih celakanya lagi karena karier ini segala-galanya, bensin utamanya, maka ketika mesinnya burn out pun cara menyelesaikannya dengan jalan lagi dan lagi, gas lagi dan lagi –karena memang itu bensinnya– dan ujungnya turun mesin. Dan tentunya orang seperti ini, karena dia menempatkan karier di atas segala sesuatu, dia akan mengorbankan segala jenis relasi demi memperjuangkan kariernya. Jadi, ketika kita membaca di Perjanjian Lama ada orang-orang yang mempersembahkan anaknya ke dewa Molokh, dsb., kita tidak bisa mengatakan, “Ah, itu orang zaman dulu”, karena pada hari ini pun begitu banyak orang-orang, baik suami maupun istri, baik bapak maupun ibu, yang mengorbankan anak mereka di atas mezbah karier mereka. Inilah pola kuasa gelap. Ini pola Faust; dan ini pola yang tidak cuma ada pada orang Gerasa tadi, tetapi dalam derajat-derajat tertentu ada juga dalam hidup Saudara dan saya! Dan, makin lama akan makin jelas aspek perbudakan ini.
Satu hal menarik dari pola ini, yaitu sebagaimana Markus dengan singkat namun padat mengatakan di ayat 3: ‘Orang itu diam di sana dan tidak ada seorang pun lagi yang sanggup mengikatnya, sekalipun dengan rantai, …’. Ada istilah ‘lagi’ di situ, tidak ada lagi yang bisa mengikatnya, maka berarti awalnya bisa tapi sekarang tidak ada lagi yang bisa. Ini berarti pola kuasa gelap, pola diperkuat-diperbudak tadi, adalah sesuatu yang gradual, pelan-pelan prosesnya. Ternyata bukan cuma ikut Tuhan yang ada proses seperti ini, tapi juga ikut setan. Pada awalnya Saudara membuat pakta seperti ini, Saudara merasa diperkuat dibandingkan diperbudak, namun pelan-pelan seiring berjalannya waktu, hal ini akan berbalik. Saya masih ingat ada seorang mengatakan kepada saya, “Kalau kamu mau kritik seorang senior, pelan-pelan, jangan frontal”, dan ternyata setan pun caranya sama. Kuasa gelap tidak datang padamu secara frontal, kuasa gelap datang dengan mengendap-endap.
Tadi kita melihat kemiripan antara pola Faust dan cerita-cerita Hollywood dengan realitas kuasa gelap dalam hidup kita, namun dalam bagian ini –bahwa kuasa gelap datang dengan pelan-pelan–cerita Hollywood dan Faust salah, karena dalam cerita Doctor Faust setan datang dari awal, bikin pakta dari awal, tanda tangan dari awal; begitu juga cerita Hollywood, dari awal setannya datang. Tetapi tidak demikian realitasnya. Setan tidak pernah datang dari awal lalu mengatakan, “Ayo bikin deal, gua mau A, lu beri gua B”; tidak pernah seperti itu. Setan tidak pernah datang dari awal dan mengatakan, “Yuk, kamu bisa naik pangkat, tapi kamu harus bayar harga ya, dengan cara menginjak-injak orang miskin, dan melepaskan polusi ke atmosfir, dan mengekspoitasi orang-orang yang tidak berada”, lalu kita mengatakan, “Deal!!” Tidak kayak begitu realitasnya. Saudara sekadar pelan-pelan disedot ke dalam sistem di mana yang namanya ‘profit dan keuntungan’ berarti menggerus orang lain. Pelan-pelan. Saudara tidak menyadari pergeserannya. Lalu Saudara suatu hari mengatakan, “Ya, semua orang kayak begitu, semua orang melakukan hal ini”, padahal Saudara sedang menjadi bidak setan. Setan tidak datang kepadamu dan mengatakan, “O, aku akan membuat kariermu begitu sukses, sehinggakamu akan mengalami semua orang yang kamu kasihi dan mengasihimu akan pergi meninggalkanmu, karena kamu selalu distracted, karena kamu selalu menjaga jarak dengan mereka, karena kamu selalu terobsesi dengan kerja”, dan kita mengatakan, “Oke!” lalu tanda tangan. Tidak seperti itu. Yang terjadi adalah: kita pelan-pelan —pelan-pelan— lalu suatu hari kita menemukan diri kita berteriak-teriak di pekuburan sambil memukuli tubuh kita dengan batu; dan kita bingung, koq bisa sampai kemari, apa yang terjadi?? Jawabannya: terjadinya pelan-pelan, gradual.
Saudara lihat, kuasa gelap bukanlah sesuatu yang terisolasi, terjadi hanya pada beberapa orang yang Saudara bisa tunjuk, melainkan sebagaimana kisah ini tunjukkan kuasa gelap adalah sesuatu yang pervasif, yang muncul di mana-mana dalam hidupmu dan hidupku, karena dalam derajat tertentu setiap orang di sini sedang membuat pakta dengan kuasa gelap, dalam derajat tertentu setiap orang di sini tidak menempatkan hati mereka pada Tuhan sepenuhnya. Jadi apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana kuasa gelap dikalahkan? Saudara perlu mengenali Siapa sumber kuasa untuk mengalahkan kuasa tersebut —mengenali, dibuka matanya, disadarkan, disibakkan, ini bahasa Epifania. Sekarang Saudara sadar, kenapa hal ini paling penting, kenapa inilah fokus kisahnya. Sekarang Saudara sadar inilah tujuan utama Markus dan para penginjil lainnya menulis bagian ini dan juga bagian-bagian yang lain; yang dipertontonkan di sini adalah kuasa Kristus yang luar biasa.
Saudara lihat, si Legion ini –yang dikuasai entah berapa ribu roh jahat– begitu Yesus dan kontingennya mendarat, dia melihatnya dari kejauhan dan langsung berlari mendatangi Yesus. Kalau Saudara sebagai murid-murid Yesus pada waktu itu, mungkin Saudara terkencing-kencing, ‘apa-apaan ini, orang telanjang penuh dengan luka mendatangi kita, matilah kita’, dan ingin lompat balik ke perahu. Tapi apa yang dia dilakukan? Dia mendatangi Yesus dan dia langsung sujud menyembah.
Minggu lalu kita sudah membahas bahwa waktu Yesus melakukan mukjizat, fokusnya tidak pernah di mukjizatnya. Omong-omong, cerita tentang orang yang melakukan mukjizat, itu sebenarnya banyak pada masa orang Yahudi waktu itu; bahkan di zaman kita pun, klaim soal mukjizat banyak di mana-mana, tidak aneh, tidak heran. Tapi kenapa cerita mukijzat Yesus penting, lain daripada yang lain? Karena Yesus tidak cuma di-atributkan sebagai pelaku mukjizat tok. Dia tidak pernah rapal mantra, Dia tidak pernah memanggil kuasa-kuasa yang lebih tinggi sebagaimana para pelaku mukjizat lain melakukannya. Kalau Saudara dan saya mau mendoakan orang yang kerasukan, kita selalu harus mengatakan, “Dalam nama Tuhan Yesus”, kita memanggil kuasa yang lebih besar daripada kita. Exorcism, harus memanggil kuasa Allah, tetapi Yesus tidak perlu melakukan semua itu untuk meredakan badai yang begitu kuat. Dalam kisah kali ini Markus memperlihatkan poin yang sama dengan lebih kuat lagi; perhatikan ketika si Legion ini mendatangi Yesus, Markus mencatat kalimatnya dengan begitu jeli, yaitu dia mengatakan, “Apa urusan-Mu dengan aku, ya, Anak Allah Yang Mahatinggi? Demi Allah, jangan siksa aku!” Saudara lihat kalimatnya “demi Allah”, jadi setan ini sebenarnya sedang melakukan exorcism terhadap Yesus. Setan ini sedang memanggil higher power, kuasa Allah, nama Allah, untuk meredam apa yang Yesus mau lakukan. Lewat motif terbalik ini, Markus mau memperlihatkan, menyibakkan, Siapa Yesus ini dan kemuliaan-Nya. Inilah Yesus, Dia tidak perlu memanggil kuasa yang lebih tinggi, Dialah kuasa yang tertinggi itu. Enam ribu setan di hadapan Yesus, mereka tidak bisa apa-apa tanpa permisi Yesus; inilah yang sedang dimanifestasikan di sini. Saudara perlu mengenalinya, Saudara perlu melihat hal ini dibukakan.
Hal yang kedua yang dimanifestasikan di sini, urusan babi yang kita sering kali bertanya —urusan apa sih babi-babi ini, kenapa musti masuk ke babi, sebenarnya kenapa setan bisa pilihnya ke babi, kenapa diizinkan oleh Tuhan, maksudnya apa, dsb. Kalau Saudara membuka banyak commentary, ini adalah salah satu bagian yang hampir tidak ada konsensus, orang tidak jelas apa sebenarnya yang terjadi di sini. Tentu saja bukan berarti kita tidak bisa tarik apa-apa sama sekali. Salah satu hal yang jelas dimanifestasikan adalah bahwa bagi orang Gerasa, babi-babi itu harta, 2000 babi adalah harta yang sangat banyak; dan ternyata bagi Yesus keselamatan seorang manusia –meskipun manusia yang dianggap super-duper najis oleh orang Yahudi karena dia bangsa kafir dan dirasuk roh Romawi pula– lebih penting, lebih berharga, daripada uang yang sebegitu banyaknya.
Namun kita bingung dan bertanya, kanapa harus babi? Para pakar Alkitab pun bingung. Kalau Saudara melihat ke Injil Matius, Matius bahkan mencatat satu hal lagi yang Markus tidak sebutkan, yaitu kalimat setan-setan ini: “Mau apa engkau, Yesus, apa Engkau mau menyiksa kami sebelum waktunya?” Maksudnya apa?? What is going on?? Kenapa bilang ‘sebelum waktunya’, memangnya ada zamannya mereka sudah boleh disiksa dan sekarang belum boleh?? Dan seterusnya. Waktu saya meneliti bagian ini, saya jadi ingat satu adegan yang pernah diceritakan seorang murid SKC dulu. Dia bercerita begini: “Pak, ada guru Matematika di kelas kami, yang entah bagaimana ya, kalau kami masuk ke kelasnya, rasanya seperti masuk ke Gunung Olimpus. Guru ini cuma bisa ngobrol dengan satu dua anak, yang juga kayaknya dewa Olimpus sama seperti dia, sementara seisi kelas yang lain cuma bisa bengong ngeliatin dua dewa Olimpus ini saling ngobrol, ‘gak ngerti ngomong apa” –begitulah kira-kira perasan kita membaca bagian ini. Kita tidak mengerti apa yang terjadi di sini, lalu soal waktu, soal babi, dan kenapa semua ini terjadi?? Tapi inilah justru manifestasi kemuliaanYesus; Yesus tahu jauh lebih banyak daripada apa yang engkau dan saya sanggup untuk tahu. Sekali lagi, poinnya adalah untuk kita disibakkan dan mengerti betapa Dia melampaui kita. Waktu Dia meredakan badai, para murid baru sadar betapa Allah ini tidak bisa dikontrol, melampaui. Itu sebabnya kalau engkau mau Yesus mengalahkan kuasa gelap dalam hidupmu, jangan pernah coba-coba beritahu Yesus aturan mainnya, jangan pernah coba-coba beritahu kepada Dia bagaimana caranya untuk kuasa gelap bisa dihilangkan dari hidupmu. Tidak bisa demikian. Dialah Tuhan-nya, bukan engkau.
Kalau kita kembali ke kitab Matius (pasal 8), Saudara bisa melihat bagaimana Matius menyusunnya sebagai semacam mini climax. Di situ ada prosesi crescendo yang Matius tulis untuk menyibak/meng-epifania-kan/ memperlihatkan identitas Yesus dalam satu pasal yang makin lama makin kencang. Pertama-tama ada kisah penyembuhan orang kusta, yang diceritakan secara cepat, tidak terlalu dramatis. Lalu berikutnya kisah perwira Kapernaum dengan hambanya; suatu kisah penyembuhan lagi, tapi kali ini pakai Zoom, Yesus juga bisa work from home, tidak perlu ketemu, meski berjarak pun langsung bisa sembuh. Ini signifikan, bukan cuma bahwa ini kesembuhan yang dilakukan tidak di depan mata langsung tapi ada jarak, melainkan juga bahwa ini kesembuhan yang mulai menyentuh keluar, ke bangsa-bangsa asing —crescendo. Cerita setelahnya, Yesus meredakan badai di danau. Dan setelah kita ngos-ngosan menghadapi angin dan ombak, ternyata masih ada lagi, yaitu orang kerasukan yang tinggal di kuburan, berteriak-teriak sambil mematahkan rantai, lalu berakhir dengan babi-babi yang terjun ke laut, mati lemas. Apa poin besar yang Matius ingin perlihatkan dari rangkaian kisah-kisah dalam satu pasal yang sama? Otoritas Yesus. Identitas-Nya sebagai Raja yang berotoritas, yang berkuasa. Kemuliaan-Nya. Otoritas-Nya muncul dalam bagaimana Ia mengajar, itu jelas; misalnya dalam Khotbah di Bukit, orang-orang kagum, mereka mengatakan: “Orang ini mengajar tidak seperti yang kami lihat sebelum-sebelumnya, karena kata-kata-Nya berkuasa.” Namun kemudian diperlihatkan di pasal 8, Ia berkuasa di atas penyakit, baik yang di depan mata maupun yang berjarak, juga di atas angin dan ombak dan kuasa alam; dan sekarang, bahkan di atas kuasa-kuasa dunia gelap. Inilah Epifania.
Yesus bukan sekadar Seorang yang ada ide-ide menarik, hai Kamu yang datang ke gereja demi pengetahuan! Yesus bukan sekadar Seorang yang membuat kita bisa punya relasi lebih baik dengan Tuhan, hai Kamu yang datang ke gereja demi mendapatkan intimacy dengan Allah! Ia adalah Seseorang yang penuh otoritas! Otoritas di atas segala sesuatu, kata Paulus, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, baik yang di langit ataupun di bumi atau di bawah bumi. Jangan datang kepada-Nya demi sesuatu yang kurang daripada ini, either datang untuk mempertakhtakan Dia atau jangan datang sama sekali!
Namun yang mungkin paling penting adalah poin ketiga, di mana identitas Yesus dimanifestasikan. Seperti tadi kita bicarakan, konsep yang sedang didobrak lewat tindakan Yesus adalah kecenderungan manusia untuk menganggap pihak sana sebagai biang kerok. “Yesus, Engkau Mesias, ayo serbu daerah Romawi itu, serbu daerah orang kafir itu dengan babi-babinya, mereka itu biang keroknya! Halau mereka ke laut, hunus pedang-Mu!” –namun Yesus masuk ke situ dan malah menyembuhkan orang kafir di sana. Melalui kisah ini, Saudara perhatikan kenapa Yesus melakukan ini? Ekspektasi mereka akan seorang mesias adalah melakukan sebuah conquest (penaklukan), tapi yang terjadi Yesus malah melakukan sebuah exorcism.
Apa bedanya conquest dengan exorcism? Conquest berarti pihak musuh diusir atau dibunuh/dilenyapkan; sedangkan exorcism berbeda, exorcism adalah suatu usaha pembedahan. Dalam exorcism, tidak ada gunanya Saudara mengusir setannya jika orangnya ikutan mati. Orang Yahudi tidak bisa membedakan antara Legion Romawi dengan Legion roh-roh jahat, bagi mereka keduanya sepaket, Legion Romawi adalah Legion roh jahat, Legion roh jahat adalah Legion Romawi. Tapi Yesus menunjukkan bahwa legion-legion yang problematik bukanlah sekadar mereka yang bukan kita itu, mereka yang menindas kita itu –bukan itu legion-legion yang sesungguhnya. Yesus menunjukkan lewat kisah ini, legion-legion yang sesungguhnya adalah suatu kuasa yang ada di dalam kita semua, baik di dalam orang Romawi maupun di dalam orang Yahudi, baik di dalam orang dunia maupun di dalam orang Kristen. Sadarkah Saudara, di balik paslon-paslon yang mungkin bikin Saudara geleng-geleng kepala itu ada kuasa gelap yang sama, yang juga sedang bekerja dalam hidupmu? Bisakah Saudara meng-aminkan hal itu? Ketika kita menunjuk orang-orang di luar sana dan mengatakan, “Merekalah biang keroknya!”, ini justru membuktikan kuasa gelap tidak cuma di sana itu. Itu sebabnya Yesus tidak melakukan conquest, Ia melakukan exorcism. Ia mengusir setannya tanpa membunuh orangnya. Inilah cara Yesus menghadapi kuasa gelap dalam dunia ini.
Kita hari ini mungkin tidak dipanggil untuk menjadi exorcist-exorcist yang berhadapan dengan kuasa-kuasa gelap seperti itu, dengan roh-roh jahat dsb., tetapi setiap Saudara dan saya berhadapan dengan kuasa-kuasa gelap yang mengendalikan ekonomi kita, politik kita, yang merusak hidup banyak orang di sekitar kita. Waktu Saudara berurusan dengan hal-hal ini, sebagai anak Tuhan bagaimana caranya? Apakah Saudara sekadar menunjuk dengan tanganmu kepada manusia-manusia yang Saudara anggap biang keroknya; atau Saudara membawa masuk kuasa penyembuhan Yesus yang gentle, yang lembut, yang tahu bedanya antara roh jahan dan manusia yang dirasuki oleh roh-roh tersebut? Apa yang Saudara lakukan waktu Saudara berhadapan dengan suami yang narsis dan egois, apa yang Saudara lakukan waktu Saudara berhadapan dengan istri yang kurang ajar? Apa? Bagaimana?
Pertanyaannya, bagaimana Yesus melakukan exorcism yang gentle seperti ini? Saudara perhatikan, setelah orang ini disembuhkan, ia telah duduk tenang, ia telah berpakaian, ia tidak lagi berkeliaran di pekuburan dan berteriak-teriak sambil memukuli diri dengan batu. Setelah membaca ini lalu Saudara baca kitab Markus sisanya sampai ke belakang, dan ketika Saudara kembali lagi ke kisah ini, apa yang Saudara lihat? Saudara lihat, bahwa apa yang terjadi dalam klimaks dari kitab Markus ada hubungannya dengan yang terjadi di bagian ini, yaitu ternyata Yesus sesungguhnya bertukar tempat dengan orang ini. Yesus yang belakangan ditelanjangi, jubah-Nya dibagi-bagi. Yesus yang belakangan berteriak kalimat-kalimat aneh dari atas kayu salib yang kita tidak tahu apa artinya. Yesus yang belakangan berdarah-darah. Dan pada akhir kisah, Yesus dibawa ke pekuburan, Dia bahkan masuk ke dalam kubur. Itulah bagaimana Yesus menghadapi kuasa gelap, menghancurkan kekangan kuasa gelap dalam hidup kita tanpa menghancurkan kita juga —exorcism.
Begitu engkau melihat harga yang Yesus bayar demi menghancurkan kuasa gelap tanpa menghancurkanmu, engkau sebenarnya sedang melihat bagimana Tuhan menilaimu, bagaimana Tuhan memandangmu, seberapa Tuhan mengasihimu, bahwa engkau bukan sekadar seharga 2000 ekor babi bagi-Nya, engkau lebih berharga dari nyawa-Nya sendiri. Itu sebabnya waktu engkau melihat Yesus dibukakan seperti ini, lalu engkau melihat segala sesuatu yang lain –karier, pengakuan orang, likes & subscription dan kawan-kawannya– engkau bisa mengatakan, “Aku tidak butuh semua itu untuk tahu siapa diriku, aku tidak butuh semua itu untuk tahu seberapa aku berharga; aku tahu aku sampah, tapi aku sampah yang berharga di mata Tuhan, karena Yesus membayar harga yang begitu besar demi diriku.” Apa yang terjadi di sini, Saudara? Paktamu telah patah. Sekarang kariermu hanyalah karier; dan justru itulah karier yang menjadi berkat bagi banyak orang, karena Saudara bisa membedakan antara pengkhotbah yang berkhotbah demi dirinya sendiri, dan pengkhotbah yang berkhotbah demi orang-orang yang mendengarnya.
Terakhir, Saudara perhatikan bahwa setelah orang ini sudah sembuh, sudah duduk, rapi, tenang, dia lalu meminta untuk mengikut Yesus, tapi Yesus entah bagaimana tidak lalu mengatakan “Ikutlah Aku” seperti kepada murid-murid-Nya yang lain, Yesus menyuruh dia kembali ke rumahnya, ke tempatnya, ke orang-orangnya, untuk memberitakan kepada mereka pekerjaan Tuhan yang besar bagi dirinya –orang ini dipakai akhirnya. Ini orang yang super hancur, entah berapa tahun dia mengalami semua kehancuran tersebut; dan kalaupun dia benar-benar disembuhkan, Saudara tentu tahu dia tidak tiba-tiba jadi Ph.D. ‘kan, karena waktu hidupnya habis untuk kehancuran tadi. Tetapi dia dipakai oleh Tuhan. Bertahun-tahun sebelum Paulus mengatakan ada peran rasul bagi orang Gentiles, orang ini telah menjadi rasul yang pertama bagi orang Gentiles. Pertanyaannya, kenapa dia bisa sampai seperti itu? Saudara lihat, inilah polanya: dia tidak diberikan peran ini karena dia orang yang tidak pernah kerasukan setan, karena dia seorang Ph.D. besar yang luar biasa sukses maka Tuhan mengatakan “O, boleh juga ya, Gua pakai deh lu jadi rasul orang-orang Gentiles yang pertama’–tidak demikian. Dia dipakai justru karena dia begitu rusak, begitu hancur; melalui semua itulah dia dipakai menjadi rasul bagi orang Gentiles. Ini yang menarik.
Kenapa kita punya kekuatan dalam melayani? Apa yang jadi respons kita waktu kita menyadari Tuhan yang begitu besar, Tuhan yang begitu mulia, dan justru kita dipakai bukan karena kita hebat, cakap, luar biasa di mata dunia? Sebaliknya, meskipun kita orang yang hancur, rusak, meskipun kita orang yang dirasuk setan bertahun-tahun berteriak-teriak di pekuburan, Tuhan memakai kita; kenapa? Karena inti dari Injil adalah: apa yang Yesus lakukan bagi saya. Pekabaran Injil adalah Saudara pergi keluar dan mengabarkan epiphany-epiphany ini, mengabarkan apa yang Yesus lakukan dalam hidupmu.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading