Kita memasuki tahun yang baru; dan kita akan memulai satu seri yang baru, suatu seri yang bicara mengenai Epifania (Epiphany). Epifania adalah salah satu musim di dalam Kalender Gereja, seperti juga misalnya ada Musim Adven (4 minggu sebelum Natal), dan musim Lent (sekitar 40 hari sebelum Jumat Agung dan Paskah). Epifania adalah musim yang menyambung antara Natal dengan Lent, jadi dimulai sejak tahun baru sampai 40 hari sebelum Jumat Agung. Minngu-minggu sekarang ini adalah minggu-minggu yang dalam tradisi Kalender Gereja disebut Minggu Epifania. Musim Epifania tidak kalah penting dibandingkan Musim Adven, atau Musim Lent, atau lainnya; kenapa, dan apa artinya Epifania? Apa temanya, dan apa yang diingat/dirayakan dalam minggu-minggu ini?
Epifania sendiri artinya adalah manisfestasi, suatu momen ketika sesuatu dinyatakan/diwahyukan. Istilah yang mirip, misalnya “Theopfany”, yaitu dimasnifestasikannya Theos (Tuhan), momen ketika Allah menyatakan diri-Nya atau membuka diri-Nya di Perjanjian Lama, misalnya melalui tiang awan dan tiang api dalam Exodus, atau melalui awan badai dalam cerita Ayub, dst. Manifestasi diri Allah dan kemuliaan-Nya, itulah inti dari Musim Epifania. Itu sebabnya Musim Epifania biasanya fokus membahas momen-momen kehidupan Yesus Kristus, di mana identitas dan kemuliaan-Nya dinyatakan —identitas-Nya sebagai Anak Allah, kemuliaan-Nya sebagai Mesias dari Israel. Konkretnya, dalam minggu-minggu Epifania ini Gereja akan membahas mengenai kedatangan orang Majus, lalu baptisan Tuhan Yesus, lalu tanda pertama yang Yesus buat dalam perkawinan di Kana, dst., sampai klimaksnya pada peristiwa transfigurasi di atas gunung. Apa yang sedang dirayakan/diingat atau termanifestasi dalam momen-momen tersebut? Sekali lagi, yaitu identitas Yesus, kemuliaan-Nya sebagai Anak Allah dan Mesias Israel; glory of God, glory of Christ, itulah tema sentral Musim Epifania.
Di sini Saudara bisa menyadari mengapa ini musim yang sering dilupakan oleh Gereja, yaitu karena urusan kemuliaan adalah urusan yang agak abstrak, kita agak bingung kalau disuruh mendefinisikan kemuliaan Tuhan. Namun di sisi sebaliknya, sebuah Gereja sangat perlu merayakan Musim Epifania, karena jika tidak, kita cenderung hanya akan melihat kehidupan Yesus dalam tiga peristiwa besar tok, yaitu kelahiran-Nya, kematian-Nya, dan kebangkitan-Nya –atau mungkin ditambah kenaikan-Nya. Namun kita tahu, keempat Injil yang kita miliki hari ini isinya tidak cuma tiga atau empat peristiwa itu, ada porsi yang sangat besar dalam setiap Injil yang membahas mengenai apa yang terjadi di antara kelahiran dan kematian Yesus. Bagian ini sering kali terlewat dan hanya dibahas sekali-sekali saja. Kapan terakhir kali Saudara mendengar pembahasan mengenai Transfigurasi? Cukup jarang. Meski demikian, inilah identitas Yesus, kemuliaan Yesus; dan semua itu dinyatakan tidak hanya melalui kelahiran-Nya, atau kematian-Nya, atau kebangkitan-Nya, atau kenaikan-Nya saja.
Kalau Saudara melihat gambaran besar Kalender Gereja, Saudara akan melihat apa yang jadi tujuan besarnya; setengah tahun dari Adven sampai Pentakosta membahas kehidupan Yesus, yang dimulai dari Adven (penantian), lalu Natal (kelahiran), lalu Epifania (di mana Ia dinyatakan kepada dunia identitas-Nya dan kemuliaan-Nya) dan setelah itu masuk kepada Lent (penderitaan dan kematian-Nya; Jumat Agung), lalu Paskah (kebangkitan-Nya), kemudian Kenaikan dan Pentakosta. Dengan demikian, Saudara lihat tujuan sesungguhnya dari Kalender Gereja adalah untuk membuat hidup kita lebih berakar kepada Kristus, karena tidak cukup untuk kita bisa meneladani Kristus jika setiap tahun kita hanya membahas ulang-ulang kelahiran-kematian-kebangkitan Kristus tok. Seorang pakar Alkitab, Julie Canlis, mengatakan, “Semakin saya berakar dalam Kalender Gereja, semakin saya berakar dalam kisah hidup Yesus, semakin miriplah saya dengan Dia.” Begitulah cara kita bertumbuh. Sama seperti sebuah pohon yang bertumbuh dari akarnya dengan melalui pengulangan musim-musim yang terus-menerus (siklus), seperti sebuah pohon yang melalui empat musim, demikianlah caranya Gereja Tuhan harusnya bertumbuh.
Dalam tahun 2024 ini, saya akan coba mengkhotbahkan khotbah-khotbah yang lebih sesuai dengan warisan tradisi Kalender Gereja. Oleh karena itu, hari ini kita mulai dengan Epifania; sementara setengah tahun berikutnya setelah Kenaikan dan Pentakosta sampai kembali ke Adven lagi –yang disebut dengan “Ordinary Time” dalam Kalender Gereja– adalah waktu yang kita bisa pakai untuk tema-tema yang lebih bebas. Kita akan coba menelusuri kenapa Gereja selama berabad-abad memegang tradisi Kalender Gereja, ada wisdom apa di belakangnya, dan melihat bagaimana Tuhan memimpin kita melalui hal itu.
Dalam pertemuan pertama seri Epifania ini, saya belum akan masuk ke perikop-perikop Perjanjian Baru mengenai bagaimana kemuliaan Yesus dinyatakan. Hari ini saya mau mengajak kita merenungkan dulu yang lebih umum, yaitu “kenapa Gereja memerlukan kemuliaan Allah dinyatakan kepada kita”. Untuk itu kita membuka dari Perjanjian Lama, dari sebuah gambaran kemuliaan Allah yang paling ajaib dan juga mungkin paling membingungkan, dalam Kitab Yehezkiel 1:4-18, 22-28.
Waktu Saudara membaca semua deskripsi Yehezkiel mengenai kemuliaan Tuhan seperti itu, apa perasaan kita? Umumnya kita akan merasa, “Ini apaan ya??” Kalau di bagian-bagian lain dalam Alkitab, perasaan yang muncul sedemikian mungkin perasaan yang negatif karena harusnya kita mengerti, di bagian ini mungkin justru satu efek yang agak disengaja oleh penulisnya. Saudara melihat di sini dikatakan ada empat makhluk, yang belakangan disebut sebagai para kerub, muka mereka menghadap keluar, ada empat mukanya, sayap-sayap mereka saling menyentuh ujung ke ujung, dsb. Di antara tubuh para kerub ini ada terang yang menyambar-nyambar seperti kilat dan seperti obor. Lalu di atas mereka ada sesuatu yang dikatakan seperti cakrawala, entah persisnya apa, tidak yakin; di sebelah para kerub itu ada roda, tapi dalam setiap rodanya entah bagaimana juga ada roda lagi. Dan ketika seluruh benda ini bergerak, suaranya terdengar seperti auman ombak samudra, seperti tentara yang sedang menyerbu; lalu di atas semua itu ada takhta, dan di atas takhta itu ada figur seperti manusia yang dikelilingi terang cemerlang, kelihatannya seperti metal yang terbakar di perapian. Saudara perhatikan, apa kata yang muncul terus-menerus dalam deskripsinya? Yaitu kata “seperti”. Yehezkiel pun tidak benar-benar yakin, dia seakan-akan sedang mau mengatakan kepada kita, “Ini cuma bisa saya gambarkan seperti sebuah sketsa; saya ‘gak benar-benar yakin barangnya yang itu, tapi seperti ini dan seperti itu.” Lalu kalau Saudara lihat kesimpulan akhir Yehezkiel di ayat 28, dia mengatakan, “Beginilah kelihatannya gambarnya kemuliaan Tuhan” (“such was the appearance of a likeness of the glory of God”) —saking tidak yakinnya, memang membingungkan.
Saudara, ini satu hal yang menarik, karena inilah sebabnya istilah “kemuliaan” adalah yang paling sulit kita mengerti, kemuliaan adalah salah satu atribut Allah yang paling membingungkan bagi kita. Kalau Saudara baca buku-buku doktrin Allah mengenai atribut-atribut Allah, para penulis akan menulis banyak mengenai kekudusan Allah, keadilan Allah, kuasa Allah, tapi begitu mereka sampai pada “kemuliaan Allah”, ini sesuatu yang semua orang struggle untuk mebicarakannya, sesuatu yang sangat sulit untuk diutarakan dan didefinisikan. Mengapa? Ada beberapa hint; mungkin karena yang disebut dengan “kemuliaan Allah” sesungguhnya adalah ketika semua atribut-atribut Allah dilihat bersamaan dalam saat yang sama, dan oleh karena itu magnitudonya melampaui apa yang mata manusia bisa mencerna atau apa yang bahasa manusia sanggup untuk mengutarakan. Hint seperti ini Saudara dapat dari gambaran Yehezkiel; misalnya waktu dikatakan roda-roda itu punya mata mengerikan, mungkin maksudnya menggambarkan atribut kemahatahuan Tuhan, bahwa Tuhan melihat semua. Lalu mengenai roda-roda itu ada roda di dalam roda, tidak perlu berbelok ketika mau pergi, bisa pergi ke mana saja, ini mungkin melambangkan atribut kemahahadiran Tuhan. Setiap muka dari para kerub –muka manusia, muka singa, muka elang, muka banteng– mungkin juga sedang melambangkan bermacam-macam atribut Tuhan –kuasa-Nya, bijaksana-Nya, sifat rajani-Nya, kasih-Nya. Jadi gambaran kemuliaan Tuhan adalah gabungan dari semua ini, gabungan superlatif dari keseluruhan sifat dan atribut Tuhan yang hasil akhirnya jadi sangat … sulit untuk mengatakannya, kita tidak bisa mengungkapkan. Dan, ini sepertinya sesuatu yang memang disengaja.
Namun demikian, tidak bisa mengungkapkan kemuliaan Tuhan tidak berarti kita lantas tidak bisa menarik pelajaran darinya. Ada beberapa hal yang kita bisa renungkan. Yang pertama, kemuliaan Tuhan mengungkapkan kepada kita, bagaimana Allah yang mulia adalah Allah yang melampaui kita secara tidak terhingga. Dengan kata lain, ini bukanlah Allah yang jinak, ini bukanlah Allah yang Saudara bisa expect suatu hari berhasil menyimpulkan mengenai Dia, yang Saudara bisa tepuk-tepuk kepala-Nya dan mengatakan. “Ah, kita sudah kenal dua puluh tahun, saya sudah tahulah Kamu kayak apa” –tidak bisa demikian. Ini adalah Allah, yang walaupun Saudara bisa mengenal dan mengerti, namun ujungnya segala kedalaman diri Allah ini tidak bisa kita pahami. Itu sebabnya dibandingkan semua atribut-atribut Allah yang lain, ini adalah atribut yang manusia paling tidak suka dari diri Allah! Ini atribut yang kita paling benci dari diri Allah! Hahh?? Maksudnya?? Kemuliaan-Nya, yang menyatakan seberapa besar diri Allah melampaui kita, adalah atribut yang paling kita tidak suka!
Dalam sesi Q&A anak-anak remaja, saya berkesempatan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Di situ saya menjawab lebih dulu pertanyaan yang paling banyak ditanyakan; dan pertanyaan yang paling banyak bukan mengenai LGBT, bukan mengenai gender (ini mungkin satu refleksi bagi para orangtua bahwa urusan begituan yang lebih panik orangtuanya, bukan anak remaja sendiri), melainkan: “Bagaimana saya mengetahui kehendak Tuhan bagi hidupku” –pertanyaan banyak orang Kristen. Bagaimana, Pak, saya bisa tahu profesi apa yang Tuhan mau bagi saya? Bagaimana saya bisa tahu pasangan hidup yang Tuhan mau bagi saya? Dan seterusnya. Saya tidak akan mengulang jawaban saya, tapi intinya setiap kali kita berusaha menjawab suatu pertanyaan, kita tidak cuma menjawab pertanyaannya tapi juga akan coba untuk mengungkap problem dari pertanyaannya.
Apa problem dari pertanyaan seperti ini? Kalau Saudara buka 2 Petrus 1:3, di situ Petrus mengatakan, “Allah sudah memberikan kepada kita segala sesuatu yang kita butuhkan untuk kehidupan kita.” Sekarang Saudara lihat apa problemnya? Ayat itu mengatakan, Tuhan sudah memberikan kepada kita segala sesuatu yang kita butuhkan untuk kehidupan kita lewat pengenalan akan Dia, dan membaca ayat tersebut, kita merasa, “Lho, mana?? Belum, Tuhan; Tuhan belum beritahu saya semua yang saya butuhkan, saya belum tahu apa kehendak-Mu bagi hidupku”. Itulah problemnya. Lalu katakanlah Tuhan menjawab, “Sudah; Aku sudah beritahu dengan jelas, Petrus sudah tahu itu, semua sudah jelas.” Dan kita bilang, “Mana, Tuhan, mana?? Mana kehendak-Mu bagi hidupku?” Tuhan bilang, “Itu sudah ada; kehendak-Ku bagi hidupmu, adalah misalnya 1 Tes. 4 untuk kamu hidup kudus, atau Kol. 1 untuk kamu berbuah dan mengenal Dia, atau 1 Tes. 5 untuk kamu bersyukur senantiasa, berdoa senantiasa, bersukacita senantiasa. Itulah kehendak Tuhan bagi hidupmu.” Jadi, problem dari pertanyaannya adalah: kita merasa ini tidak cukup. Kita tidak puas dengan bijaksana Tuhan, kita inginnya Tuhan memberikan kita kemahatahuan-Nya; kita tidak puas dengan wisdom dari Tuhan, kita mau omniscience Tuhan. Kita ingin tahu hidup kita sebagaimana Allah mengetahui hidup kita.
Kalau kita mendengar kalimat, “Tuhan punya rencana bagi hidupmu”, kita lalu mengatakan, “Amin!”, tapi bagi kita itu berarti Tuhan akan beritahu kita dong rencana-Nya apa. Tuhan punya rencana, ‘kan, kalau punya rencana maka beritahu aku rencananya apa; dan tolong beritahukan rencana itu sebelum kejadiannya, Tuhan. Saudara lihat problemnya, yaitu kita kepingin sesuatu yang lebih dari yang Tuhan berikan, kita tidak puas; kita merasa ada sesuatu yang lebih, yang Tuhan tahan, yang Tuhan sembunyikan, padahal apa salahnya sih diberitahu saja?? Harusnya ‘kan kalau jadi pengikut Tuhan maka kita bisa mengakses itu, dong; harusnya kita bisa tahu dan perlu tahu apa yang Tuhan mau dalam setiap langkah hidup kita! Saudara, ini bukanlah apa yang Alkitab janjikan atau berikan. Disclaimer, omong-omong, tidak ada yang salah dengan melakukan riset mengenai opsi-opsi kita, mengenai sekolah-sekolah apa yang bisa kita masuki, profesi apa yang mungkin kita jalani, dst. Tapi kalau kita jujur, kita tahu, ada poin dalam hidup kita di mana kita bukan lagi mencari bijaksana, melainkan mengejar kemahatahuan —kita kepingin tahu setiap langkah, setiap opsi, segala cabang jalan, segala kemungkinan, dan semua hasil akhirnya —dan ini bukan porsi manusia, ini hanya porsi Allah yang mahatahu.
Salah satu poin paling penting dalam Kekristenan, bukankah untuk mengenali bahwa Tuhan itu Pencipta dan kita cuma ciptaan? Maka ini berarti menjadi orang Kristen bukanlah menjadi orang yang setiap kali dan senantiasa dapat bocoran surgawi. Sama sekali tidak. Sebaliknya, ini berarti menjadi orang-orang yang menyadari dan menerima keterbatasannya sebagai makhluk, dan tidak kemudian berusaha melampaui batasan tersebut, ingin menjadi Allah –dosanya Adam dan Hawa. Jadi, Tuhan bukanlah magic crystal ball untuk kita kocok-kocok dan kita longok apa jawabannya supaya kita tahu setiap langkah sebelum kita membuat keputusan. Panggilan orang Kristen bukanlah mengejar kemahatahuan Tuhan, karena itu adalah porsinya Tuhan yang melampaui kita, bukan porsinya kita.
Saudara mengerti sekarang, mengapa saya tadi mengatakan, bahwa melihat Tuhan melampaui kita adalah sesuatu yang kita tidak suka, bahwa merenungkan mengenai Allah yang melampaui kita adalah sesuatu yang manusia benci. Kita tidak suka dengan Allah yang mulia, karena Allah yang mulia berarti Allah tersebut melampaui kita! Kita tidak mau Allah yang seperti itu, kita inginnya Allah yang setara dengan kita, yang senantiasa kita bisa tahu apa yang Dia tahu. Itu sebabnya kemuliaan Allah yang digambarkan Yehezkiel di sini, tidak mampu mata kita mencerna semuanya, bahasa manusia tidak mampu untuk mengutarakannya, Yehezkiel hanya bisa mengatakan “seperti …, seperti …, seperti …”. Ini poin yang pertama, Allah yang mulia, berarti Allah yang melampaui kita.
Yang kedua. Tuhan mulia itu bukanlah cuma karena Tuhan melampaui kita, melainkan juga mengenai seberapa Ia penting dalam hidup kita, seberapa sentral tempat-Nya dalam hidup kita.
Kata “kemuliaan”, bahasa Ibraninya kabod, artinya bobot/berbobot; sesuatu itu mulia ketika sesuatu tersebut berbobot, itulah konsep bahasa Ibraninya. Ini ada miripnya dengan bagaimana kita menggunakan istilah “berbobot”, berbobot bukan cuma berarti berat, tapi juga signifikan/penting; atau dalam bahasa Inggris istilah matter, “something matters” bukan cuma berarti sesuatu ini solid, bersubstansi, melainkan juga penting. Jadi, waktu dikatakan Allah itu mulia (kabod), berarti Allah ini harusnya matters more than anything, harusnya bobot Allah ini dalam hidup kita adalah yang paling besar, tidak ada hal lain yang bisa atau boleh menyaingi bobot-Nya. Jika ada hal lain dalam hidup kita yang kita rasa lebih berbobot, yang matters more, maka berarti kita sedang menolak kemuliaan Allah, kita tidak mau mengakui kemuliaan Allah, kita sedang mengambil kemuliaan Allah untuk benda lain, kita sedang membiarkan sesuatu mencuri kemuliaan Allah. Contoh gampangnya, kalau kita mengatakan, “Saya percaya Tuhan”, tapi kita menipu, menggelapkan pajak, dsb., maka berarti uang dalam hidup kita punya bobot yang lebih besar daripada Tuhan, uang matters more, Tuhan bukanlah yang mulia dalam hidup kita, ada something else.
Ada satu contoh menarik dari film Lord of The Rings dari J.R.R.Tolkien yang dijadikan film oleh Peter Jackson. Ceritanya Sauron, sang penjahat, membuat ring of power, di mana dia menuangkan segala kuasanya, lalu ring of power ini jatuh ke tangan para manusia, dan mereka harus menghancurkan ring tersebut supaya Sauron kalah. Dalam ceritanya, mereka harus membawa ring ini ke tempat ring tersebut dibikin, yaitu di Mount Doom, gunung tempat Sauron bersarang; jadi seperti membawa senjata balik ke tuannya sendiri, bahaya banget. Pada akhirnya ring of power-nya sendiri hancur, berhasil ditenggelamkan ke kawah Mount Doom sehingga meleleh; dan begitu ring ini meleleh, Sauraon meletus, meledak. Lalu ada satu orang yang menulis surat kepada Tolkien, bertanya, “Tolkien, kenapa kamu bikinnya Suron meledak ketika ring-nya hancur?” (karena kalah ‘kan tidak harus meledak tapi bisa juga meredup, dsb.). Believe it or not, Tolkien pertama-tama menjawab dengan mengatakan, “Ah, itu cuma ceritalah”, tapi kemudian dia melanjutkan, “Ring of power-nya Sauron adalah semacam simbolisasi apa yang terjadi ketika seseorang menempatkan keseluruhan hidupnya pada suatu benda yang eksternal, dan dengan demikian benda ini beresiko dicuri, beresiko hancur, sehingga ketika hancur akan ada konsekuensi bagi pemiliknya.” Menarik ya, konsepnya. Inilah hidup kita. Misalnya kita sayang banget dengan seseorang, kita berelasi dengan dia demi mendapatkan sukacita dari relasi ini; lalu ketika suatu hari kita diputusin oleh orang ini, apa yang terjadi, kita ingin bunuh diri! Kenapa? Karena kita telah menjadikan orang tersebut titik pusat hidup kita; kita telah menuang dan menempatkan begitu banyak hidup kita, pengharapan kita, sukacita kita, kepada relasi ini sehingga ketika orangnya pergi, relasinya hancur, kita meletus, meledak seperti Sauron. Orang itu telah kita ubah menjadi berhala, orang itu kita jadikan ring of power kita, orang itu matters more dibandingkan Tuhan.
Saudara, jika kita menempatkan apapun lebih berbobot, lebih mulia dibandingkan Tuhan, sesungguhnya kita sedang menaruh diri kita kepada sesuatu yang eksternal, yang beresiko dicuri, beresiko hancur, yang ujungnya akan menghancurkan kita, kita akan meletus, meledak. Kalau Saudara menyadari hal ini, maka berarti memuliakan Tuhan sebenarnya bukanlah demi Tuhan; memuliakan Tuhan itu, yang dapat benefit-nya adalah Saudara dan saya, karena inilah jalan untuk mendapatkan hidup yang aman. Ini poin yang kedua.
Yang ketiga. Allah yang mulia bukan cuma berarti Dia melampaui kita, Dia harusnya jadi yang paling berbobot dalam hidup kita, tapi juga bahwa kemuliaan Tuhan berarti Dia memiliki keindahan yang bersifat absolut.
Tadi kita melihat istilah Perjanjian Lamanya kabod artinya bobot, sekarang kita melihat istilah Yunani dari kemuliaan, yaitu doxa (seperti dalam istilah “doksologi”, kita meng-kata-katakan kemuliaan Tuhan, kita mengembalikan kemuliaan kepada Tuhan). Doksologi adalah sebuah pujian. Orang memuji bukan cuma ketika mereka melihat sesuatu yang melampaui diri mereka, orang memuji bukan cuma ketika mereka melihat sesuatu yang penting dan signifikan dalam hidup mereka, orang memuji ketika mereka melihat sesuatu yang juga indah (beautiful). Itu sebabnya Jonathan Edwards mengatakan, “Allah dimuliakan bukan cuma ketika kita melihat/menyaksikan kemuliaan-Nya tok, tapi juga ketika kita menikmati kemuliaan tersebut.” Jadi, kemuliaan Tuhan ada sisi yang ini. Memuliakan Tuhan bukan cuma ketika kita mengatakan, “Oh, Tuhan begitu besar”, atau “Okelah, Dia Tuhan, gua cuma manusia, jadi gua nurut deh, gua sungkem deh” –bukan cuma itu. Memuliakan Tuhan berarti kita melihat dan menikmati keindahan Tuhan. Ini berarti ketika kita datang untuk taat kepada Allah seperti ini, ketaatan tersebut bukan muncul karena kita merasa harus dan wajib tok, melainkan karena kita kepingin menaati-Nya, karena kita tertarik kepada-Nya, karena kita menikmati ketika Yang Indah ini bisa aku senangkan. Bukankah ini salah satu kebutuhan manusia?
Manusia tidak cuma butuh makanan untuk bisa hidup dan survive, manusia juga tidak cuma butuh kebenaran untuk bisa hidup dan survive, manusia butuh beauty untuk bisa hidup dan survive. Itu sebabnya film Zombie menarik, karena film Zombie selalu menceritakan kepada kita bahwa urusan survival tidaklah cuma urusan nafas dan makanan. Dalam film Zombie selalu ada orang-orang yang membuang kemanusiaan dan segala macam kebaikan mereka, pokoknya supaya survive. Supaya survive, saya bunuh orang lain, supaya survive, saya rampok manusia lain, supaya survive, saya makan manusia lain! Akhirnya, inilah zombie beneran yang masih berbentuk manusia tapi sudah jadi zombie; apakah itu survival? Tidak. Jadi dalam film-film Zombie, pertanyaannya selalu adalah bahwa manusia ternyata bukan cuma perlu makanan untuk survive, ada hal-hal lain yang manusia butuhkan untuk bisa survive. Apakah itu? Salah satunya adalah keindahan.
Satu hal yang menarik, ketika Musa depresi waktu dia memimpin umat Tuhan yang dablek, dia minta sesuatu dari Tuhan. Apa yang dia minta? “Tuhan, beri aku makanan yang paling enak”? Bukan. “Tuhan, beri aku nafas yang paling segar” ? Bukan. Yang dia minta adalah: “Tuhan, tolong, aku minta melihat kemuliaan-Mu”. Kenapa demikian? Karena inilah yang Musa tahu, bahwa rasa lapar dan haus akan beauty, hanya bisa dipuaskan dalam keindahan dan kemuliaan Allah. Coba Saudara perhatikan tempat-tempat ngumpulnya para orang kaya, itu penuh dengan beauty sekelilingnya. Tidak perlu uang terlalu banyak untuk bisa survive urusan makan dan minum, apalagi di Indonesia, tapi berapa banyak uang yang dikeluarkan manusia demi mengelilingi diri dengan beauty? Sangat banyak, begitu besar. Misalnya kosmetik, ini adalah produk yang di seluruh dunia budget-nya nomor dua di bawah spending untuk militer. Kosmetik cuma urusan beauty yang ke dalam, tapi coba bandingkan dengan budget untuk manusia mempercantik lingkungannya, memperindah lingkungannya, mengatur dekorasi, interior, dsb. yang bersifat estetika, belum lagi seni lukisan, musik, dan semuanya itu; kalau Saudara gabungkan semua ini, saya cukup yakin budget untuk keindahan akan menempati spending nomor satu.
Betapa banyak orang berusaha keras untuk bisa mendapatkan orang yang beautiful, yang cantik, yang ganteng. Betapa banyak orang rela mengeluarkan uang untuk mendengarkan musik-musik yang indah, betapa banyak orang rela bayar waktu dan keringat untuk belajar bisa memainkan musik-musik yang indah. Musa tahu satu hal ini, bahwa rasa lapar dan haus akan beauty ini hanya bisa ditemukan dalam keindahan dan kemuliaan Allah. Dengan demikian, menyadari dan mengakui bahwa Allah itu mulia, ada aspek ini; bukan cuma bahwa Dia melampui kita, bukan cuma Dia harusnya yang paling berbobot dalam hidup kita, tapi juga bahwa jikalau Allahmu Allah yang mulia, berarti kunci untuk mendapatkan keindahan yang selama ini engkau kejar, adalah pada diri Allah yang seperti ini. Bahkan salah satu tandanya orang yang cuma mengetahui Tuhan dan orang yang mengenal Tuhan, adalah ini: orang yang mengenal Tuhan adalah orang yang sudah menyaksikan keindahan Tuhan –especially di dalam wajah Anak-Nya, Yesus Kristus.
Demikianlah tiga hal yang kita bisa pelajari mengenai kemuliaan Tuhan. Sekarang kita mau membicarakan: apa dampaknya ketika seseorang bersentuhan dengan kemuliaan Tuhan seperti ini, bagaimana kita tahu, kita sudah mulai menyentuh kemuliaan Tuhan dalam hidup kita? Jawabannya sederhana; sebagaimana yang Yehezkiel lakukan ketika dia melihat semua itu, yaitu dia sujud telungkup dengan mukanya sampai ke tanah. Ini bisa berarti menyerah, menyembah, dsb., tapi intinya ini adalah postur kerendahan hati (humility).
Yesaya, ketika dia bertemu dengan kemuliaan Allah, dia berkata, “Celaka aku, hancur aku, najis aku” –aku rendah, inilah postur orang yang bersentuhan dengan kemuliaan Tuhan. Saudara tidak bisa datang ke hadirat Tuhan tanpa menyadari diri najis, gelap, kotor. Ketika Saudara melihat magnificent -nya Tuhan, Saudara akan menyadari betapa Saudara lemah, betapa Saudara kecil. Jadi salah satu tandanya bahwa Saudara melihat dan bersentuhan dengan kemuliaan Tuhan adalah Saudara digebuk jatuh ke kanvas ring, Saudara di knock down, semua self-righteous hilang, semua kebangganmu hilang, bahkan semua kepahitanmu hilang (karena kepahitan cuma bentruk lain dari perasaan superioritas di atas orang lain). Inilah yang kita lihat di dalam Alkitab. Yakub, ketika dia akhirnya bertemu dengan Tuhan –yang dia cari-cari seumur hidupnya itu– dan bergumul dengan Dia di Pniel, hasil akhirnya adalah Yakub pincang seumur hidup.
Di sisi lain, bersentuhan dengan kemuliaan Tuhan tentunya tidak cuma aspek yang tidak enak; waktu Saudara bertemu dengan kemuliaan Tuhan yang begitu besar seperti ini, sesungguhnya yang terjadi juga Saudara dibebaskan. Satu contoh menarik, kenapa kita khawatir dalam hidup ini, kenapa kita khawatir dan mengatakan, “Tuhan beritahu aku kehendak-Mu apa, profesi apa, pasangan hidup yang mana” ? Karena sesungguhnya kita tidak percaya bahwa Tuhan becus mengurus hidup kita. Kita merasa kita harus take action, bahaya kalau kita menyerahkannya kepada Tuhan, maka, “Tuhan beritahu aku supaya aku tahu, supaya aku ‘gak salah pilih, karena nanti yang kena batunya gua juga, Tuhan”. Ini adalah sifat orang yang belum bersentuhan dengan kemuliaan Tuhan, masih banyak kekhawatiran dalam hidupnya.
Contoh yang konkret, yaitu dari hidup Alm.Pastor Tim Keller. Tim Keller merintis gereja Redeemer Presbyterian Church di New York –di kampung setan seakan-akan. Kalau Saudara mau merintis gereja, lalu pilih di Tanzania atau Zimbabwe, itu mungkin masih oke, tapi di New York, di Manhattan, bagaimana caranya?? Mungkin bisa, tapi yang datang bakal cuma 10-15 orang, dan tidak bakal kuat sewa gedungnya karena mahal sekali. Tapi ternyata gereja Redeemer Presbyterian Church sekarang jemaatnya 4000 orang. Lalu kalau sekarang kita melihat gereja itu, kita mengatakan, “Ini jelas banget kehendak Tuhan”, karena ada 4000 orang, lagipula isinya bukan rambut-rambut putih tapi mayoritas malah anak muda, kaum profesional. Jadi banyak orang tanya kepada Tim Keller, “Tim, kamu waktu datang pertama kali kemari, 20 tahun lalu itu, kamu pastinya yakin banget bahwa kamu dipanggil Tuhan untuk buka gereja di sini?” Berkali-kali dia ditanya seperti ini, dan setiap kali dia menjawab, “Tidak, saya tidak pernah yakin bahwa Tuhan memanggil saya untuk buka gereja di Manhattan.” Maksudnya apa? Koq, bisa?? Lalu dia menjelaskan, “Maksud saya, saya tidak yakin sepenuhnya. Saya rasa itu panggilan Tuhan, tapi saya tidak bisa yakin sepenuhnya. Saya melihat ada kesempatan, itu benar; saya melihat ada pintu terbuka dan tidak ada orang lain mengambil kesempatan tersebut, itu benar. Saya merasa ada dorongan/kewajiban untuk saya datang sharing Injil, itu benar. Saya sudah memikirkan dan menurut saya ini ide yang bagus juga, itu benar. Tapi apakah saya yakin seyakin-yakinnya ini kehendak Tuhan? Ya, enggaklah, mana bisa begitu; itu kemahatahuan Tuhan, dan itu bukan porsi saya.” Lalu lanjutnya, “Ada tidak yang saya yakin? Tentu ada. Saya yakin bahwa saya tidak boleh berbohong, itu ‘kan ada di Alkitab. Saya yakin bahwa saya tidak boleh menyembah berhala, itu juga ada di Alkitab. Banyaklah hal di dalam Alkitab yang jelas saya tahu sebagai kehendak Allah, tapi urusan pergi dan bukan gereja baru di New York, itu saya tidak bisa tahu, dan saya tidak akan tahu secara pasti sampai itu mulai dikerjakan dan mulai jadi –atau mulai gagal.” Mendengar jawaban kayak begini, orang tidak puas, maka mereka tanya lagi, “Oke, tapi waktu kamu membuat keputusan untuk pindah itu, mungkin kamu tidak yakin secara rasional namun pastinya ada dong kedamaian surgawi atau perasaan semacam itu, sehingga paling tidak kamu dapatlah tanda-tanda bahwa ini kehendak Tuhan, ‘kan?” Tim Keller menjawab, “Perasaan damai surgawi? Tidak ada, yang ada pergumulan yang terlalu sulit. Waktu mau pindah, sesungguhnya itu sangat menakutkan! Tapi saya tahu satu hal … “. Lalu dia melanjutkan, dan ini kalimat yang sangat sulit diterjemahkan, yaitu dia mengatakan: “Saya tahu bahwa bimbingan Tuhan, tangan Tuhan bukan cuma sesuatu yang Tuhan berikan di depan melainkan juga sesuatu yang Tuhan kerjakan seiring waktu”; “It is as much something God does, as it is something He gives”, demikian kalimatnya. Maksudnya apa? Maksudnya, bimbingan Tuhan bentuknya tidak cuma di depan diberikan dulu lalu sesudah itu baru engkau jalankan, melainkan bahwa Tuhan bekerja memimpin dengan cara menuntun terus-menerus, sesuatu yang Dia lakukan dan bukan cuma Dia berikan. “Itu sebabnya, kalau pun saya gagal untuk menanam gereja di New York, itu berarti Tuhan sedang membimbing saya untuk sesuatu yang lain, yang saya belum bisa lihat,“ demikian Tim Keleer mengatakan. Saudara lihat di sini, panggilan orang Kristen bukanlah untuk menggapai-gapai kemahatahuan Tuhan, namun bukan berarti panggilan orang Kristen adalah untuk berdiam diri; panggilan orang Kristen adalah untuk menggapai tangan Tuhan.
Anak saya kembar, yang lebih tua satu menit namanya Niko, badannya juga lebih besar, jadi keseimbangannya kalau belajar jalan lebih susah; sedangkan adiknya, Erik, lebih pendek maka dia bisa jalan lebih dulu. Jadi kami suka angkat dan pegang tangan si Niko lalu jalan, untuk dia bisa belajar lebih balance. Lama kelamaan, Niko ini belajar satu hal, kalau dia mau jalan, dia akan ambil tangan saya, tarik ke atas, artinya dia mau jalan, lalu kami jalan. Dia tidak tanya saya, arah mana yang harus diambil –memang belum bisa bicara juga– tapi maksudnya dia tidak menginginkan itu, yang dia rasa perlu adalah tangan papanya. Saudara, saya rasa ini adalah satu gambaran iman kanak-kanak yang indah; tidak ada tangan itu, dia tidak mau gerak. Yang dia butuhkan bukan arah ke mana, tapi tangan siapa yang memegang, itu yang penting.
Saudara ingat Khotbah di Bukit, waktu Tuhan Yesus bicara kepada murid-murid-Nya, “Jangan khawatir akan masa depan”, itu kenapa? Karena “Aku akan memberikan kepadamu bocoran informasi mengenai hal-hal masa depan” ? Tidak; melainkan karena “Ada yang peduli denganmu, yaitu Bapamu di surga! Lihat burung-burung di udara, bunga di padang, tidak menabur, tidak menuai, tapi mereka diberi makan koq, oleh Bapamu di surga; bukankah kamu lebih berharga daripada mereka??” Ada tangan Tuhan —inilah namanya belajar trust kepda Tuhan; dan ini pergumulannya seumur hidup. Itu sebabnya Elizabeth Elliot mengatakan, yang namanya trust kepada Tuhan, bukanlah “Tuhan aku percaya kepadamu” maka Tuhan memberikan A dan B; bukan itu. Dia mengatakan, trust kepada Tuhan berarti “aku percaya kepada-Mu, Tuhan, maka biarlah Tuhan memberikan kepadaku, dan juga menahan dariku apa yang Dia kehendaki”. Itulah namanya trust. Waktu saya mengajak Niko jalan, tentu tangan saya selalu ada dimensi ini, ada tarikan untuk membiarkan dia pergi, ada tarikan untuk menahan, ada juga memegang erat sekali sampai dia mungkin sedikit sakit –karena sebentar lagi dia melangkah ke bahaya, dan kadang-kadang ada juga saya lepas tangan saya –meskipun tangan yang lain ada di bawah, hanya saja dia tidak lihat.
Ini berarti menjadi orang Kristen yang mengikut Tuhan, kadang kita bisa tahu harus melangkah ke mana, tapi kadang kita juga dibiarkan bingung oleh Tuhan, namun kedua-duanya bisa menjadi tanda kesalehan di hadapan Tuhan. Bukan cuma ketika kita tahu harus melangkah ke mana, tapi juga ketika kita tidak tahu atau belum tahu, itu pun bisa merupakan tanda bahwa kita dipimpin Tuhan. Dua-duanya bisa merupakan tanda yang sama. Inilah namanya berdiri di atas pimpinan Tuhan. Tuhan yang berdaulat, berarti Dia memimpin kita tidak tergantung pada apa yang kita sudah lihat atau yang kita belum lihat. Kalau kita masih terus saja mengatakan, “Tuhan, please-lah, kalau aku tidak tahu, bagaimana aku melangkah …”, kalau Saudara musti tahu dulu, berarti Saudara yang berdaulat atas hidupmu, dan bukan Tuhan. “Tuhan, aku yang berdaulat, maka sekarang beritahu aku harus melangkah ke mana, karena aku yang berdaulat mengarahkan hidupku, bukan Kamu; dan aku yang akan menanggung resikonya juga kalau salah jalan, bukan Kamu. Jadi tolong sekarang beritahu aku, be my Godgle maps, lalu nanti setelah aku sudah tahu musti melangkah ke mana, ya, saya bisa switch app ke yang lain —karena ada banyak apps dalam hidupku, bukan cuma Engkau.” Tidak seperti itu, Saudara.
Apa yang Saudara lihat, dan apa yang Saudara tidak lihat, itu bukan yang terutama, karena Tuhanlah yang mahatahu, bukan Saudara, dan Tuhan melihat semuanya. Ketika Saudara meng-amin-i hal ini, justru Saudara mendapatkan true freedom. Ketika Saudara mengatakan sebagaimana Tim Keller katakan, “Kalau pun gagal membangun gereja, ya, tidak masalah, karena saya memang tidak bisa lihat sejauh itu. Tuhan yang lihat, Tuhan sedang memakai semua ini untuk mempersiapkan saya bagi sesuatu yang lain, yang saya hari ini belum tahu”, ini kebebasan, kebebasan dari rasa cemas.
Sekali lagi, ini bukan berarti kita tidak bergumul. Ada bagian kehendak Tuhan yang kita tahu, yang kita harus gumuli, misalnya hidup kudus. Jadi tukang kebun yang lebih hidup kudus, atau jadi bouncer di night club yang lebih hidup kudus, itu Saudara harus pilih, Saudara harus dalami, itu tetap tanggung jawab Saudara. Tapi jangan kejar apa yang bukan mejadi tanggung jawabmu; belajar menyerahkan itu kepada Tuhan, karena Allahmu adalah Allah yang mulia. Ketika Saudara bersentuhan dengan Allah yang mulia seperti ini, Saudara bukan cuma di-knock down ke bawah, tapi Saudara punya kebebasan yang sungguh kristiani.
Bagaimana caranya bisa sampai ke level seperti itu? Bagaimana caranya menjadi orang yang bisa menyentuh sedikit dari kemuliaan Tuhan, dan tidak cuma percaya bahwa Tuhan itu eksis? Ada dua halangannya. Yang pertama, ketika Musa minta melihat kemuliaan Tuhan, Tuhan mengatakan, “Tidak bisa, Musa, kamu akan mati kalau kamu melihat kemuliaan-Ku.” Jadi bagaimana? Katanya perlu, tapi kalau lihat full akan mati, jadinya cuma bisa lihat belakang, ‘gak puas dong?? –ini masalah yang pertama. Masalah yang kedua, ketika kita disuruh menyerahkan hak kita akan apa yang kita perlukan, apa yang kita mau, ke mana arah kita melangkah, dan bahwa kita harus taat bukan karena harus tapi karena kita mau taat, bagaimana caranya?? Itulah dua halangannya.
Jawabannya ada pada ayat terakhir yang kita baca, ayat 28, “Seperti busur pelangi yang terlihat pada musim hujan di awan-awan, demikianlah kelihatan sinar yang mengelilinginya. Begitulah kelihatan gambar kemuliaan TUHAN.” Tahukah Aaudara bahwa ini satu-satunya tempat di Alkitab selain Kejadian 9, yang bicara mengenai pelangi sebagai busur. Istilah busur pelangi sudah muncul di Kejadian 9 dalam kisah Nuh, dan di situ bicara mengenai keadilan Tuhan, Tuhan melihat hati manusia begitu jahat, memenuhi bumi dengan kekerasan, maka Tuhan menghancurkan para penghancur dengan air bah. Singkat cerita, setelah air bah surut, Nuh memberikan persembahan kurban. Tuhan merespons dengan mengatakan, “Inilah tanda perjanjian yang baru, yang Kuikat dengan engkau dan keturunanmu, inilah tanda dari karunia-Ku, Aku akan menaruh busur-Ku di awan-awan.” Kalau Saudara tahu bahasa aslinya, kata “busur” ini bukan cuma sekadar busur, ini adalah busur perang (war bow), ini adalah tanda keadilan Tuhan yang Tuhan gantung di atas.
Charles Spurgeon, waktu membahas bagian ini, mengatakan jangan kita lupakan bahwa arah busurnya ini signifikan. Kalau Saudara melihat pelangi, arah busurnya ke atas; ini penting, karena kalau arah busurnya ke bawah, itu bahaya. Saudara lihat kalau orang sedang menghunus panah pada busur, arah busurnya ke bawah, siap untuk menembak. Kalau Allah mengatakan “Aku menggantung busur-Ku di awan-awan” lalu arah busurnya ke bawah, itu mengerikan, itu berarti sewaktu-waktu kita bisa kena tembak. Tetapi Tuhan mengatakan, “Aku menggantung busur-Ku di awan-awan, tidak akan pernah Aku menghukum bumi ini dengan air bah lagi untuk membinasakannya meskipun hati manusia isinya semata-mata kejahatan.” Koq, bisa? Bagi Spurgeon ini petunjuk (hint) bahwa Allah sedang mengatakan, jikalau sampai diperlukan, maka satu-satunya penghakiman yang akan datang disebabkan hati manusia yang kahat, itu datangnya ke atas, kepada diri-Nya sendiri. Di mana hal itu terjadi, Saudara? Saudara tahu, beberapa ratus tahun kemudian ada Orang lain yang mempersembahkan kurban juga, di atas sebuah bukit juga, tapi kali ini bukan Nuh melainkan Yesus Kristus; dan persembahan yang Dia persembahkan bukan lembu atau domba melainkan diri-Nya, nyawa-Nya. Dialah yang mengambil panah keadilan Allah itu, panah murka Allah itu, yaitu Anak Allah sendiri. Ini yang menyebabkan kita tidak ditelan oleh air bah, ini yang menyebabkan tidak ada lagi penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Yesus Kristus.
Apa urusan hal ini dengan semua urusan kemuliaan Allah tadi? Yaitu bahwa inilah yang Yesus Kristus lakukan: ketika Ia menjalankan persembahan ini, tabir Bait Suci terbelah dua dari atas ke bawah, menandakan sekarang tidak lagi perlu ada pemisahan, sekarang kemuliaan Allah boleh dikeluarkan dan dinyatakan menerangi semua manusia dan seluruh bumi, karena apa yang telah Yesus kerjakan di kayu salib. Ini menyelesaikan problem yang pertama. Ini juga menyelesaikan problem yang kedua –yaitu ketika kita disuruh taat kepada Tuhan, trust kepada Tuhan, menikmati Tuhan sehingga kita taat bukan karena harus tapi karena mau– problem ini selesai karena kita melihat apa yang Yesus Kristus telah terlebih dahulu lakukan bagi kita. Ketika kita menyadari bahwa Dia terlebih dahulu melepaskan kemuliaan-Nya demi membawa kita ke dalam kemuliaan, kita ingin menaati Allah yang seperti ini, kita tergerak untuk menikmati-Nya, kita tergerak untuk menyenangkan-Nya, kita sendiri menikmati ketika Dia bisa kita senangkan.
Saudara lihat, inilah sebabnya tema Epifania adalah tema yang sangat penting dan tidak boleh dilewatkan dalam sebuah Kalender Gereja. Berharap dalam minggu-minggu yang akan datang kita akan semakin mendalami hal ini, dan dengan demikian kita memperdalam akar kita ke dalam kemuliaan Allah yang nampak melalui diri Anak-Nya, Yesus Kristus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading