Sebelum membahas bagian ini, saya mau memberikan sedikit konteks; kalau kita membaca bagian-bagian mengenai kesembuhan seperti ini, biasanya kita sebagai orang Reformed alarmnya agak bunyi sedikit, karena ada komunitas-komunitas Gereja tertentu yang sangat menekankan hal ini, dan mungkin juga kita berasal dari komunitas Gereja seperti itu, sehingga kita ada suatu alert —dan itu bukan tidak ada tradisinya. Tradisinya berasal dari kelompok yang disebut Old Princeton, biasanya diasosiasikan dengan para scholar di Princeton, seperti Benjamin Warfield, Charles Hodge, atau Alexander Archibald. Mereka adalah orang-orang yang mengatakan, bahwa apa yang dikerjakan Tuhan yang melawan hukum alam, seperti misalnya kesembuhan, adalah sesuatu yang Tuhan sudah tidak kerjakan.
Ada beberapa alasan untuk mendukung hal ini. Pada dasarnya mereka mengikuti argumentasi yang diajukan Calvin, walau saya kira Calvin tidak sejelas mereka menimpulkan bahwa mukjizat-mukjizat, khususnya kesembuhan, sudah selesai dan tidak perlu ada lagi dan harus selalu dicurigai. Argumentasinya seperti ini: yang namanya mukjizat adalah suatu penanda datangnya suatu masa. Ini benar juga; mukjizat dalam bahasa Yunani disebut semeia, artinya tanda. Dalam Injil, para rasul membuat banyak tanda ajaib; mereka banyak membuat sesuatu yang di satu sisi membuat orang lain heran, dan di sisi lain disebut sebagai tanda-tanda. Dalam hal semeia (tanda) ini, tentu kita tahu yang disebut tanda adalah sesuatu yang bukan untuk dirayakan dalam dirinya sendiri. Contohnya, kita tidak merayakan “Wah, asyik juga sudah sampai di Bandung” dengan berdiri dan berfoto selfie di bawah tanda penunjuk jalan “àBandung 150km”, lalu mendirikan kemah, dsb., karena memang belum sampai, masih 150km lagi, dan arahnya ke sana. Demikianlah semeia, tanda akan datangnya realitas Kerajaan Allah tapi realitasnya belum sepenuhnya ada, dan tanda tersebut cuma tanda. Beberapa orang memang secara keliru merayakan tanda sebagai realitasnya, mereka menekankan sekali tanda itu, seolah-olah itulah segalanya, bahwa itulah kehadiran Tuhan, janji Tuhan; misalnya : saya sakit jantung lalu jadi tidak sakit jantung, kena kanker lalu sembuh, bangkrut dan utangnya bermilyar-milyar lalu dihapuskan, bahwa hal-hal seperti ini adalah mukjizat Tuhan, tanda Tuhan menyertai sekaligus realitas Tuhan memang bekerja, dst.
Tentu kita mengerti ketika orang-orang dari Old Princeton menekankan poin tadi –dalam hal ini yang sudah berhenti/cease adalah tanda-tanda, khususnya mengenai kesembuhan ilahi, khususnya yang bertentangan dengan hukum alam), dan sekarang disebut Cessationism— bahwa itu ada benarnya dibandingkan dengan kekeliruan yang seolah-olah mengabsolutkan tanda-tanda sebagai realitas yang paling berharga. Namun di sisi lain, kita perlu kritis juga dalam bertheologi dan mempertanyakan: batasnya sebetulnya di mana?
Mereka memberikan batasnya, yaitu: tanda-tanda tersebut harus meneguhkan berdirinya Gereja. Yang disebut “Gereja” tentu bukan gereja GRII Kelapa Gading, gereja GRII Kebon Jeruk, gereja GRII Pondok Indah, dsb., melainkan komunitas yang berkumpul di dalam nama Yesus, yang merayakan bahwa Mesiasnya adalah Yesus, yang merayakan bahwa Kerajaan Allah sudah datang di dalam Yesus dan tidak usah menunggu mesias yang lain lagi. Apapun merek gerejanya, pokoknya merayakan bahwa Kerajaan Allah sudah datang di dalam Yesus, bahwa Yesus adalah Mesias yang sejati, dan mereka mengikuti ajaran para rasul (ini garis batasnya) dan dengan demikian disebut Gereja yang rasuli, maka sejauh Gereja itu sudah berdiri berarti tujuannya sudah tercapai, sehingga petunjuk arahnya sudah tidak diperlukan. Kalau Saudara sudah sampai Bandung, tentu tidak perlu lagi penunjuk arah “àBandung 150km” lagi karena memang sudah sampai ‘kan. Di sini kita mengatakan mereka memang ada benarnya di satu sisi, namun pertanyaannya: apakah memang hanya itu tujuan atau munculnya hal-hal seperti ini,yaitu untuk menegaskan Yesus itu Mesias, Kerajaan Allah sudah datang, dan ikutilah orang-orang ini –orang-orang yang sekarang kita sebut rasul, yaitu Petrus, Yohanes, Yakobus, dll., dan belakangan Paulus dari Tarsus– dan ikutilah ajaran mereka, karena mereka ini masih kontinuasi dari pengharapan Abrahamic, nabi-nabi Perjanjian Lama dari Taurat yang sejati, sedangkan Israel yang waktu itu berkuasa di Bait Suci justru perkumpulan yang tidak betul, “runtuhkan itu” seperti kata Yesus.
Dalam persidangan di Sanhedrin pertaruhannya di situ, kalau Yesus betul, maka Bait Allah salah dan harus diruntuhkan, tapi kalau Yesus salah, maka Yesus yang harus dimatikan/disalibkan; dan orang Yahudi bersatu hati mengatakan Yesus yang harus dimatikan, diwakili Imam Besar Kayafas, yang mengatakan, “Lebih baik satu orang mati daripada seluruh umat binasa.” Yesus yang harus dimatikan, karena kita tidak mungkin salah dong, Bait Allah ini sudah berdiri ratusan tahun, Tuhan sudah memberkati. Lihat nih! meski yang membangun memang Herodes, tidak terlalu Yahudi-yahudi banget, bukan dari Dinasti Daud sih, dia orang Edom sih, tapi setidaknya dia memberi kita kemungkinan beribadah seperti ini, lho. Dia penguasa yang memberi kita kemerdekaan beragama, dan dia sendiri simpati banget terhadap agama Yahudi! Mungkin ini mirip seperti orang-orang Injili, yang tidak setuju dengan gaya hidup, pilihan hidup, kata-kata, dari Donald Trump –tidak setuju poligami, tidak setuju playboy seperti Trump– tapi banyak banget orang Injili mendukung Trump; kenapa? Kurang lebih seperti imam-imam Yahud mendukung Herodes; walaupun dia bajingan, tapi setidaknya dia memberi agama kita keleluasaan ber-ekspresi —demikian kira-kira logika mereka. Bait Suci ini tanda kita diberkati Tuhan! Tuhan ada di sini! Tapi Yesus bilang, “Kagak! Runtuhkan saja, dalam tiga hari Aku akan membangunnya.” Dan kita, orang Kristen, akan mengatakan “amin”, betul dalam tiga hari memang Tuhan mulai membangunnya, setelah Dia bangkit.
Kembali lagi; jadi ikutilah kumpulan orang-orang itu, kumpulan para rasul yang itu, mereka benar-benar rasul, pembawa berita tentang Kerajaan Allah yang betul, yaitu Petrus, Yakobus, Yohanes, Paulus –walaupun itu kumpulan yang tidak meyakinkan. Kenapa? Karena mereka tidak diperkenan oleh religious establishment yang sudah ada, yaitu Bait Suci. Mereka tidak mendapat berkat, atau semacam surat kuasa, seperti Saulus dari Tarsus dapat surat kuasa Bait Suci waktu mau menganiaya orang Kristen, sedangkan Petrus, Yakobus, Yohanes tidak mendapat surat kuasa seperti itu, jadi ini kumpulan yang tidak sah, liar; dan juga, kemampuan akademis mereka tidak meyakinkan banget, bukan Ph.D lulusan sekolahnya Gamaliel (belakangan Saulus dari Tarsus yang seperti ini). Kita lihat dalam Kisah Para Rasul berikutnya, para scholar dan penguasa Bait Suci deg-degan mendengar orang-orang seperti Petrus dan Yohanes, karena so convincing, so insightful, dan sangat intriguing, tidak bisa dibantah yang mereka katakan, namun juga tidak masuk akal; tidak masuk akalnya karena: Kalau mereka benar, maka kita harus tobat. Masakan kita salah?? Sudah ratusan tahun lho ini, lihat saja bangunan Bait Suci itu, bagaimana mungkinlah kalau tidak ada penyertaan Tuhan, tidak bisalah!
Menurut orang-orang yang mengambil jurusan Cessationism —yang paling terkemuka memang diwakili Old Princeton, tapi mungkin ada juga yang lain– itulah tujuan munculnya mukjizat-mukjizat; dan saya setuju itu tujuan paling utamanya. Namun saya kurang setuju kalau kemudian dikatakan tujuannya hanya itu, bahwa tujuannya hanya untuk menjadi suatu petunjuk “ikutilah rasul-rasul yang ini”, lalu ketika rasul terakhir sudah meninggal (Yohanes) maka selesailah mukjizat, cease, dan yang terjadi kemudian sudah pasti palsu dan sudah pasti bukan dari Tuhan –di sinilah saya ingin mempertanyakan dengan rendah hati. Kita sebagai orang Reformed di satu sisi sering kali dipengaruhi oleh Old Princeton, kita alert banget kalau mendengar ada mukjizat-mukjizat, dan menganggap pasti ini kumpulan yang “bukan kita”; namun di sisi lain, kita juga merasa argumentasi bahwa mukjizat tidak mungkin terjadi lagi –dan kalau terjadi maka pasti palsu, entah sakitnya palsu atau sebenarnya efek obat atau pekerjaan iblis– kayaknya tidak meyakinkan juga. Apa iya, Tuhan tidak pernah akan bisa bekerja secara langsung dengan cara yang Dia tidak pernah lakukan, yang orang bukan Kristen atau bukan Teis akan bilang “lewat hukum alam”? Jadi, ini adalah sesuatu yang kita terima, dan juga kita ragukan; apa iya sama sekali, zero, nol, setiap kali kejadian luar biasa terjadi pasti cuma salah satu dari 3 hal tadi: 1) penyakitnya cuma psikosomatis, lu cuma rasa-rasa doang, tidak riil; 2) mungkin ada penyebab lain sehingga sebenarnya bisa dijelaskan secara alamiah; 3) memang supranatural sih, tapi itu pekerjaan iblis ? Tanpa mengatakan bahwa orang-orang dari Old Princeton mengatakan 3 hal tersebut sudah pasti merupakan jawaban dari peristiwa luar biasa mengenai kesembuhan ilahi yang terjadi setelah rasul terakhir mati –tanpa mengatakan itu, karena saya kira mereka juga punya statement yang nuance yang tidak bisa di-karikaturkan sesederhana itu, namun dalam level populer banyak yang menganut demikian– saya akan mengatakan ini: mungkin kita perlu membuka lagi dan mempertanyakannya.
Kita masuk ke narasinya. Narasinya dibuka dengan setting waktu: ‘Pada suatu hari menjelang waktu sembahyang’. Ini waktu sembahyangnya siapa? Waktu sembahyang orang Yahudi pastinya, bukan waktu sembahyang orang Kristen, karena orang Kristen tidak berpretensi untuk bikin waktu sembahyang sendiri yang beda dari orang Yahudi –dan mereka sendiri juga orang Yahudi. Mereka hanya mengikuti yang lama saja, karena agama Kristen adalah agama yang merupakan penggenapan dari pengharapan Mesianik Perjanjian Lama. Mereka tidak bikin agama yang bukan agama Musa, mereka bukan bikin agama baru; mereka adalah kontinuasi dari agama yang lama. Ini mirip dengan Protestan. Orang Protestan mengatakan, “Kita bergereja dengan pola ‘Gereja-mula-mula’”, karena Gereja yang di tengah-tengah, Gereja Medieval, ada banyak penyimpangan; dalam hal inilah orang Kristen-mula-mula mengatakan, bahwa Musa menegaskan kehidupan sebagai umat Tuhan yang sudah betul, namun kemudian umat Israel dalam ratusan tahun –di tengah-tengahnya– banyak penyimpangan, jadi mari kita sekarang reformasi, tapi bukan sekadar membangkitkan agama Musa yang sejati melainkan penggenapan, yang bahkan Musa pun tidak mengalami, bahkan nabi-nabi pun akan sengat senang kalau melihat Yesus, sebagaimana dikatakan Simeon dan Hana waktu menggendong Bayi Yesus.
Selanjutnya, dikatakan: ‘… naiklah Petrus dan Yohanes ke Bait Allah.’ Bait Allah yang mana? Tentu saja Bait Allah yang lama, mereka masih bergereja di gereja yang lama –kira-kira begitu–mereka tidak bikin gereja yang baru. Mereka sembahyangnya di Bait Allah, karena mereka di Yerusalem (kalau di kota lain mungkin di sinagoge terdekat, kalau ada). Dan sebagaimana biasa yang kita lihat di tempat ibadah, di situ banyak orang-orang yang kalah (losers), orang-orang yang mengharapkan belas kasihan –dan beberapa kita bukan membenci kemiskinan, penyakit, penderitaan, melainkan membenci orang yang miskin, orang yang sakit, orang yang menderita– demikian juga di tempat ibadah itu ada orang-orang yang mengharapkan belas kasihan ini. Ada seorang laki-laki lumpuh, lumpuhnya sejak lahir, sehingga dia harus diusung, dan tiap hari ada yang mengusung dan menaruh dia di situ. Beberapa orang akan mengatakan, “Ada mafianya nih”, mafia yang melakukan komodifikasi; barangkali benar juga ada orang yang mengambil untung dan simpati dari kelemahan ini. Memang kita ini jengkel kalau di depan kita di-parade-kan orang-orang yang minta simpati, kita terganggu; kita lagi enak-enak makan atau melakukan yang lain, lalu disentuhlah kita punya moralitas dan simpati dan jaim, seolah-olah kalau tidak membantu itu keterlaluan banget, dst.; demikian di Bait Allah ada peristiwa seperti itu juga.
Orang yang lumpuh sejak lahirnya, diusung, tiap hari diletakkan dekat pintu gerbang Bait Allah yang bernama Gerbang Indah –tempat yang indah tapi koq ada sesuatu yang buruk ini– dia bukan berada di sana seperti orang lumpuh di tepi Kolam Siloam yang berharap air kolam bergerak tanda kehadiran Tuhan lalu dia bisa nyemplung dan sembuh, dia memang ditaruh di situ untuk minta sedekah. Dia ‘gak ngarep sembuh, dia bukan ngarep Imam Besar lewat lalu kepret-kepret air suci dan dia sembuh, dia ngarep sedekah saja; dan orang seperti ini, matanya awas mengawasi –ini poin pertama saya.
Poin pertama saya adalah mengenai tatapan (gaze), transformasi tatapan (transformation of gaze). Orang ini menatap; dan seperti biasa orang yang butuh, dia menatap. Kalau kamu butuh sesuatu, kamu menatap, looking for opportunities. Orang yang punya kebutuhan beasiswa, lihat-lihat beasiswa. Wajar saja. Orang yang punya kebutuhan sembuh, lihat-lihat cari dokter. Orang yang punya kebutuhan dari kesepian, umur sudah kepala tiga atau kepala empat tapi belum punya suami/istri, lihat-lihat juga. Demikian orang ini, dia lihat-lihat karena dia punya kebutuhan. Kebutuhannya apa? Kebutuhan yang dia rasakan adalah kebutuhan ekonomi, sedekah, hanya bare necessities; dia minta belas kasihan orang sekadar menyambung hidup. Untuk itu, dia gazing, dan gaze-nya itu mampir kepada orang random yang kebetulan lewat. Ngelihatin apa? Kalau kamu ada kebutuhan, kamu ngelihatin yang ada pada diri orang tersebut, mungkin ngelihatin bajunya. ‘Coba lihat jubahnya, O, Versace nih’, maka gazing-nya musti lebih manis; ‘O, bajunya kayaknya beli di Tanah Abang, second lagi, atau mungkin mungut di tepi jalan’, ya, sudah ‘gak usah dilihatin terlalu lama. Orang lumpuh ini gazing, dan tatapannya nempel pada Petrus, lalu Lukas mencatat: ‘Mereka menatap dia’ (ayat 4). Jadi gazing-nya bertemu; orang ini gazing Petrus dengan objectifying gaze, meng-objektifkan Petrus untuk memenuhi kebutuhannya, lalu itu bertemu dengan gaze-nya Petrus (tatapannya Petrus) tapi gaze-nya Petrus tidak tidak objectifying, Petrus bukan melihat, ‘O, pengemis’, lalu merogoh receh biar cepat pergi, melainkan melihat kepada mata orang itu dan berkata sesuatu yang menarik, “Pandang aku”; lho?? Bukankah Petrus sedang dilihatin oleh orang tersebut, ngapain dia memerintahkan orang itu lagi “pandang aku”?? Yaitu karena padangannya lain. Tadinya, pandangannya ada “dolar”-nya di matanya, sekarang pandangannya musti beda, bukan mupeng, bukan muka penjilat, bukan muka oportunis, melainkan muka seorang sesama –muka sesama (Kalau Saudara tertarik mempelajari lebih lanjut soal ‘tatap-tatapan’ ini, Saudara bisa baca tulisanEmmanuelLevinas). Intinya, ada transformasi tatapan ketika Petrus menatap orang itu dan meminta orang itu menatap lagi.
Kalau di kelas ada murid yang ngomong nyolot dari belakang, lalu gurunya tunjuk dia, “Kamu tadi bilang sesuatu, saya kurang dengar; coba berdiri, bilang sekali lagi”, maka si murid mulai keringat dingin cari dukungan. Sama dengan di cerita ini, seakan-akan Petrus bilang, “Tadi lu sudah lihatin gua, sekarang gua bilang kepada lu, coba lihat lagi.” Orang itu kemudian melihat kepada Petrus, dengan gaze yang sama! Lukas mencatat: ‘Lalu orang itu menatap mereka dengan harapan akan mendapat sesuatu …’. Namun Petrus berkata, “Kecewalah, emas dan perak tidak ada padaku, tapi aku punya sesuatu yang akan kuberikan kepadamu.” Jadi ada jaminan pasti akan diberi; apa itu? Yaitu Petrus mengatakan: “Dalam nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, bangkit dan berjalanlah!” Sesuatu yang orang itu sudah ‘gak mimpi untuk punya, yaitu kehidupan yang baru, kehidupan sebagai orang yang punya kaki, kehidupan yang tidak perlu minta sedekah, tidak perlu mupeng, tidak perlu menjilat –kehidupan sebagai orang yang bisa jalan. Ini sesuatu yang dia sudah lama lupa, mungkin tidak pernah mimpi, karena dari lahir lumpuh, dari lahir tidak berdaya, namun Petrus bilang, “Aku punya sesuatu, mungkin bukan yang kamu minta dan kamu harap dari aku, bukan yang kamu lihat dari aku, tapi aku akan berikan. Bangkitlah dan berjalanlah, dalam nama Yesus, Orang Nazaret itu, Dia adalah Kristus, Dia adalah Mesias” –pengharapan Mesainik akan datangnya akhir zaman. Dan inilah akhir zaman itu, kita hidup dalam akhir zaman.
Selanjutnya dikatakan, Petrus pegang tangan kanan orang itu, dia bantu orang itu berdiri, dan seketika itu juga kuatlah kaki dan mata kaki orang itu, ia melompat berdiri lalu berjalan. Bertahun- tahun lalu saya pergi ke sebuah rumah sakit, bukan karena sakit tapi mengantar orang sakit karena rumah saya dekat dengan rumah sakit itu, sebuah rumah sakit Advent di Penang. Advent bukan gereja saya, jadi saya tidak pernah ke gereja Advent juga, cuma baca di buku-buku bahwa Advent itu bagian dari “four major cults”, menurut Hoekema. Waktu saya masuk ke rumah sakit itu, saya lihat di temboknya ada gambar-gambar cheesy dan ada tulisannya gede-gede, tulisannya insightful, begini: “God heals, we help” (‘we’ di sini pasti maksudnya dokter-dokter dan rumah sakit) –Tuhan yang menyembuhkan, kami cuma menolong, demikian katanya. Kalau kita baca ayat 7 bagian Kisah Para Rasul tadi, saya kira itulah yang terjadi; ada 3 hal yang terlibat dalam kesembuhan orang ini. Yang pertama, kemahakuasaan Tuhan yang menciptakan kaki, memelihara kaki, menyembuhkan kaki di mana perlu, dan menatap kemusnahan kaki pada akhirnya –karena kaki yang sembuh dan sehat pun pada akhirnya dimakan cacing juga, menjadi debu dan fosil, dilupakan zaman, tentu menunggu kebangkitan. Yang kedua, Tuhan itulah yang menyembuhkan, tapi bukan tanpa orang yang menolong, ada helper –di bagian ini helper-nya Petrus. Yang ketiga, seperti Benjamin Franklin katakan, “Tuhan menolong mereka yang menolong dirinya sendiri”; saya tidak sepenuhnya setuju dengan dia tapi separuh setuju juga, bahwa perlu orang itu sendiri punya inisiatif. Saya kira ini terjadi juga dalam proses kesembuhan yang dikerjakan oleh dokter di rumah sakit; kalau orang sakit diabetes, lalu dokter beri obat dsb, tapi orang itu makanannya pagi siang sore martabak Bangka, kayaknya sebentar juga jadi bangkai, tidak menolong. Kalau dokternya sudah pintar banget tapi orangnya tidak kooperatif, tidak mau hidup, tidak mau sehat, ya, tidak bisa sembuh juga; kalau dokternya pintar, orangnya kooperatif, tapi Tuhan tidak mau sembuhkan, ya, orangnya mati juga. Demikian perlu ada 3 hal tadi bekerja sama; Tuhan yang berkehendak dan bekerja, bukan tanpa pertolongan orang yang menolong, dan kemauan serta usaha orangnya sendiri. Kembali ke cerita tadi, orang lumpuh ini tidak expect dia akan memiliki hidup yang baru karena punya kaki yang sehat, tapi hari itu waktu dia lagi mancing-mancing sedekah dilalah ketemu Petrus dan Yohanes yang mengatakan punya sesuatu yang akan diberi, lalu diberi seketika itu juga tanpa meminta persetujuannya secara verbal. Petrus tidak bilang, “Tanda tangan ya, bahwa mau disembuhin; nanti kalau sudah sehat, tidak bisa lho ngemis-ngemis begini terus, musti berubah, tidak tentu kamu senang lho, dan tidak bisa di-undo lagi lho; agree?” Tidak ada konsensual secara verbal di sini; konsensual-nya secara apa? Yaitu: orang itu mau menyambut tangannya Petrus, orang itu mau berusaha berdiri, dan Petrus menolong dia berdiri, dan Tuhan bekerja. Orang itu kemudian sembuh.
Orang itu kemudian melompat, berdiri, mulai berjalan, masuk bersama mereka ke dalam Bait Allah sambil berjalan dan melompat-lompat serta memuji Allah. Semua orang yang melihatnya, mengenali dia, “Lho, ini ‘kan orang yang duduk minta sedekah di gerbang Bait Allah itu –si pengemis itu??” –identitas dia sudah menempel dengan profesinya– dan mereka takjub, tercengang. Mereka tidak percaya apa yang terjadi. Orang itu lalu ngintil Petrus dan Yohanes, dan orang banyak sangat keheranan, mengerumuni mereka –sehingga Petrus kayaknya tidak jadi sembahyang, saya kira. Petrus kemudian bilang, “Kamu ngapain heran sih tentang kejadian itu?” –ini poin 1– lalu, “Kenapa kamu ngelihatin aku?” –ini poin 2, theology of gaze. Jadi ada transformasi gaze di sini, dalam pengertian: tadinya ngelihatin Petrus, sekarang jangan lihat Petrus lagi; sementara transformasi gaze yang pertama tadi yaitu: tadinya ngelihatin dengan mupeng —pengen kebutuhan yang dirasakannya terpenuhi– sekarang ngelihatin Petrus sebagai pribadi, untuk berelasi, untuk mengasihi. Dan, Tuhan melakukan sesuatu.
Dalam hal transformasi gaze yang kedua, Petrus bilang, “Jangan ngelihatin kita seolah-olah ini kita yang kerjakan; dan tidak perlu heran, karena kalau Tuhan yang mengerjakan, apa saja bisa.” Dan Petrus menyebut mereka dengan gelar mereka, “Hai orang Israel –hai yang bergumul dengan Tuhan, karena Israel artinya yang bergulat dengan Tuhan– mengapa kamu heran tentang kejadian itu dan mengapa kamu menatap kami … Allah Abraham, Ishak dan Yakub, Allah nenek moyang kita …” –Petrus insighting persaudaraan mereka, kebersamaan mereka—“Dia kita telah memuliakan Hamba-Nya, yaitu Yesus… “. Sampai di sini, mereka mendengar nama Yesus, dan mereka ingat peristiwa Yesus beberapa hari sebelumnya, yang hampir mereka lupakan namun masih segar dalam ingatan; peristiwa Yesus apa? Di sinilah Petrus mengeluarkan sengatnya, yaitu: “Yesus yang kamu serahkan dan tolak di depan Pilatus, walaupun Pilatus memutuskan untuk melapaskan Dia” . Kata-kata Petrus ini tajam sekali, menyayat hati, “Yesus yang kamu serahkan dan kamu tolak, walaupun orang kafir tidak bersunat itu, Pilatus, mengenali Orang ini sebagai Orang Benar, the Righteouss One (maksudnya dalam pengertian kerangka hukum Romawi dan artinya sangat minimal, yaitu tidak bersalah, tidak ada hukum apa-apa untuk menjatuhkan hukuman mati atas Orang ini), walaupun Pilatus memutuskan untuk melepaskan Dia, kamu menolak Yang Kudus dan Benar dan menghendaki seorang pembunuh, yaitu Yesus Barabas, untuk diberikan kepada kamu. Dan tahu ’gak, kamu telah membunuh Perintis kehidupan, tetapi Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati; dan tentang hal itu kami adalah martir, saksi. Karena kepercayaan dalam Nama Yesus, maka Nama itu telah menguatkan orang yang kamu lihat dan kenal ini, dan menguatkan kaki orang ini …”.
Menarik bahwa Petrus pakai istilah ‘menguatkan’, bukan sekadar ‘menghilangkan masalahnya’ atau ‘membahagiakan orang ini’, melainkan ‘telah menguatkan’, karena problematik orang itu adalah kelumpuhan. Seperti misalnya orang depresi, mereka capek juga dengar orang ngomong, ”Yang kuat dong, jangan cengeng begitulah… “, sementara orang-orang depresi memang tidak bisa ditolong dengan cara begitu. Itu seperti orang miskin dibilang, “Kamu ini koq miskin, jangan miskin!”, padahal memang miskin; orang bodoh dibilang, “Kamu ini koq bodoh banget!”, padahal memang lahir bodoh, jadi bagaimana?? –kira-kira seperti itu. Petrus tidak bilang begitu. Orang ini lemah kakinya, dan Petrus bukan bilang, “Kamu ini ngemis terus, kakimu itu koq lumpuh; jangan lumpuh dong!” Petrus bilang, “Aku mau memberikan sesuatu yang aku punya”, lalu dia angkat orang itu, dia tolong orang itu berdiri, orang itu sense sesuatu (tidak diceritakan oleh Lukas), lalu orang itu berusaha berdiri, Tuhan memberkati usahanya, dan orang itu menjadi sembuh. Petrus kemudian mengacu pada peristiwa tersebut, yaitu bahwa Nama itu, the Name of Jesus, telah menguatkan, meng-energize orang itu, membangkitkan dari kelemahan kepada kekuatan, dari kematian kepada kehidupan. Kita tahu Roh Kudus pekerjaannya adalah menggerakkan, menguatkan; dan ada satu istilah yang berkaitan erat dengan itu, yaitu energizing, make it happen, energi adalah yang menjadikan terjadi. Misalnya saya mau angkat satu galon AQUA 19 kg ke atas, artinya exerting 190 kgf ke bawah karena gravitasi 10m/s2 menahan dia ke bawah, maka saya butuh 190 N, dan kalau saya mau angkat setinggi satu meter maka saya butuh sekian joule to make it happen. Itulah pekerjaan Roh Kudus, make it happen, menjadikan terjadi. Dalam hal ini sesuatu yang mikro, yaitu menjadikan terjadi kaki yang lemah jadi kuat. Dan, itu terjadi lewat otoritas Nama dari Mesias Yesus; “… dan kepercayaan itu telah memberi kesembuhan kepada orang ini di hadapan kamu semua… Aku tahu bahwa kamu telah berbuat demikian –yaitu menyerahkan Yesus yang sekarang kamu saksikan ternyata bukan kriminal yang tidak diperkenan Tuhan, bukan mesias palsu tapi Mesias beneran, karena jika tidak, hal-hal begini ‘kan tidak terjadi— karena tidak tahu… “.
Dalam hal ini saya sekalian me-refutasi abuse of religious symbols dari praktk-praktik komunitas tertentu dalam Kekristenan, yang bikin kita alergi juga, sehingga mungkin memunculkan gerakan-gerakan seperti Old Princenton tadi, Cessationism, bahwa ada orang-orang yang ingin meng-instrumentalisasi (memperalat/ sebagai alat saja) energi dari Roh Kudus itu, kemampuan dari Tuhan itu, Nama dari Yesus itu. Ini mirip seperti anak kecil yang meng-instrumentalisasi cinta ibu/ayahnya untuk kepentingan pribadi saja, di luar relasi sama sekali, bagi dia orangtuanya cuma mesin cetak uang. Itu tentu sesuatu yang tidak bagus, sesuatu yang abuse; dan korban abuse-nya Tuhan. Jadi, kita tentu harus menjauhkan diri dan waspada terhadap praktik-praktik yang sangat menghina Tuhan seperti itu, karena Tuhan koq jadi alat saja. Namun di sisi lain, kita tidak boleh kemudian membuang bayi bersama air mandinya, kita tentu perlu tidak membuang peristiwa-peristiwa penting seperti ini dengan mengatakan, “O, ya, mungkin orang itu sebenarnya memang sudah sembuh, cuma kakinya terbiasa nekuk saja dan tidak mau usaha, dan hari itu setelah diyakin-yakinkan oleh Petrus … “ –kita coba explain a way pekerjaan Tuhan lewat secondary cause. Di satu sisi orang-orang Kharismatik ekstrim, namun di sisi lain kita tidak perlu melakukan seperti orang Liberal juga –meski tentu tidak semua orang Liberal– yang coba explain a way segala peristiwa mukjizat dalam Alkitab sebagai naturally caused. Dua-duanya keliru. Yang perlu kita afirmasi adalah: Nama Yesus, yang menguatkan kaki orang ini, yang melaluinya Petrus bisa menolong orang ini, itu menandai sesuatu, yaitu bahwa sekarang kita hidup dalam zaman akhir, sekarang Kerajaan Allah sudah datang, Yesus memang adalah Mesias sebagaimana difirmankan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya yang kudus pada zaman dulu.
Selanjutnya, Petrus menyebutkan nama yang paling penting bagi orang Yahudi, “Musa”. Dia mengatakan, “Bukankah Musa sendiri sudah mengatakan:Tuhan akan membangkitkan bagimu seorang nabi dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku (sama seperti Musa)”. Jadi akan datang Musa kedua; dan kalau kita lihat khususnya Injil Matius, Yesus digambarkan sebagai Musa kedua, the New Moses, yaitu Yesus naik ke sebuah bukit, mengajar, memberi hukum yang baru, memberi makan orang banyak di padang belantara –seperti Musa. Yesus itu pada dasarnya adalah “Super Musa”, Musa yang dijanjikan, atau lebih tepatnya nabi yang akan datang yang dinubuatkan oleh Musa. Inilah yang dikatakan Petrus; bahwa tanda-tanda tersebut merujuk kepada ini semua. Lagipula, “Semua nabi yang pernah berbicara, mulai dari Samuel, dan yang datang setelah Samuel telah bernubuat tentang zaman ini” –kalau kamu baca Perjanjian Lama, semua itu merujuk pada yang sekarang terjadi di tengah kita, yang terjadi dalam Nama Yesus, yang terjadi melalui pekerjaan Roh Yesus Kristus. “Kamulah yang mewarisi nubuat-nubuat itu… “ — bahwa kamu yang berkumpul di sini, di Serambi Salomo ini, menatap Bait Suci yang megah ini, bagi kamulah janji itu, nubuat-nubuat itu. Tapi ingat, kamu mendapat bagian bukan demi kamu, kamu mendapat bagian demi semua bangsa–“melalui keturunanmu, semua bangsa di muka bumi akan diberkati, itu janji yang diberikan Tuhan kepada Abraham”, artinya melalui keturunan Abraham, orang-orang Yahudi yang berkumpul di Serambi Salomo itu, melalui merekalah semua bangsa di muka bumi akan diberkati. “Bagi kamulah pertama-tama Allah membangkitkan Hamba-Nya” –bagi orang Israel-lah pertama-tama Allah membangkitkan Yesus, dan mengutusnya kepada mereka, supaya Yesus memberkati mereka dan membuat masing-masing mereka itu berbalik dari segala kejahatan mereka. Kejahatan mereka dalam hal ini adalah menyerahkan Yesus kepada orang kafir, kepada Pilatus, yang sebenarnya menolak untuk mematikan Yesus karena bertentangan dengan Hukum Romawi, namun mereka justru memaksa Pilatus membunuh Yesus ekstra-yudisial, dan itu sesuatu yang keji sekali. Dan, Petrus mengatakan, “Tapi itu bukan akhirnya, bertobatlah”. Kamu selalu bisa bertobat; yang menghalangi mungkin gengsimu, yang menghalangi mungkin rasa amanmu, yang menghalangi mungkin teman-temanmu, tetapi tidak perlulah dihalangi semua itu karena Yesus sudah datang. Bukti-buktinya bertebaran di sekeliling kamu, bahwa zaman ini adalah zaman akhir, bahwa kita hidup dalam zaman yang dinubuatkan Musa dan para nabi; dan yang ada di sekitar kita itu terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja.
Terakhir, saya mau mengingatkan kita pada transformasi gaze yang dialami oleh si lumpuh itu. Si lumpuh ngarep sesuatu, mupeng sesuatu, seakan-akan kalau Tuhan memberi apapun tapi yang ini tetap Tuhan tidak beri, itu nothing. Kayak Abraham yang sudah punya segalanya, tapi Abraham bilang, “Nothing-lah itu, yang mewarisi ini semua Eliezer, orang Damsyik, gua ‘gak punya anak.” Atau mungkin kayak Rahel, dia punya segalanya, karena suaminya, Yakub, bucin banget pada dia, Yakub diperbudak 14 tahun tapi merasa kayak 14 hari saja. Saya pernah searching mengenai ini; beberapa kelompok ekstrimis menganggap surganya para cowok adalah punya 70 bidadari, lalu seorang teman dari Belanda tanya, kalau cewek apa surganya, menarik juga, maka saya searching, dan hasilnya yaitu surganya bukan 70 bidadara tapi 1 orang cowok yang sangat devote pada dia dan mengerti dia banget –satu saja! Rahel punya hal itu, tapi dia tidak puas, karena apa? Karena felt needs-nya Rahel adalah: gua ‘gak punya anak, jadi gua ‘gak punya muka, ‘gak punya status, karena gua mandul. Dalam hal ini, felt needs dari si lumpuh adalah: gua butuh sedekah, gua ini korban masyarakat, korban ketidakadilan, dsb. —victim mentality— gua cuma butuh “penguasa-penguasa, berilah hambamu uang”, itu saja. “Tapi itu receh bangat, man, gua akan memberikan kamu masa depan —yang aku punya,” kata Petrus. Tidak pernah dia mimpi itu.
Di sini saya ingat perdebatan pada pertengahan abad ke-20 antara 2 theolog, yang satu dari Jerman lalu imigrasi ke Amerika, dan satunya lagi dari Swiss yang pulang balik Swiss gara-gara menolak mengatakan “Hail Hitler” di awal kuliahnya; yang satu namanya Paul Tillich, dan satunya lagi Karl Barth. Tillich terkenal sebagai theolog Korelasionisme, dia ingin meng-korelasikan Injil dengan kebudayaan, dan pada dasarnya Tillich bilang, “Yesus Kristus adalah jawabannya.” Dia berdebat dengan Karl Barth; dan salah satu sanggahan Barth terhadap Tillich, kira-kira begini: “Tapi dalam encounter dengan Tuhan, pertanyaan-pertanyaan manusia sering kali meleset, receh, sepele.”
Ketika berjumpa dengan Injil, dengan Yesus Kristus, pertanyaan kita sering kali tidak relevan; memang pertanyaan, memang perlu dijawab, tapi sebenarnya receh ketika kamu berjumpa dengan realitas yang sebenarnya, yaitu Kerajaan Allah di dalam Yesus. Ini mirip seperti kalau kamu merasa, “Aduh, saya ini tidak punya teman, saya rangkingnya sangat bawah sekali, tidak ada masa depan, lalu saya di-bully teman-teman”, dan seterusnya. Lalu suatu hari, kamu yang di rumah yatim piatu itu, mendapati seorang pengunjung yang kelihatannya baik, dan dia mengatakan, “Mau ikut dengan Om? Om tidak punya anak.” Lalu kamu ikut. Lalu kamu menjumpai “om” kamu itu ternyata raja Inggris atau apapun. Dia bisa berikan kamu les yang bagus sehinggap pelajaran sekolahmu tidak keteteran, dia bisa berikan masa depan yang lebih baik daripada rumah yatim piatu, maka problem-problem kamu tadi jadi nothing-lah, tidak penting sama sekali, karena sekarang kamu punya hidup yang baru. Karl Barth kira-kira mengatakan seperti itu.
Ketika kita punya perjumpaan dengan Tuhan, ya, problem-problem kita jadi tidak ada artinya mungkin, itu cuma pseudo-problem saja, karena problem yang paling dasar yaitu kamu manusia tapi kamu membenci Tuhan, kamu itu gambar dan rupa Allah namun kamu ingin jadi Allah, kamu ingin menjadi Tuhan tapi kamu bukan Tuhan; dan Tuhan di dalam Yesus memberikan solusinya atas yang kamu tidak rasakan sebagai problem. Coba kamu tanya orang dalam dunia ini, kalau mereka punya satu keinginan apapun yang bisa dipenuhi dengan gosok-gosok lampu Aladin, apa sih yang mereka mau? Mungkin mereka bilang, “Jangan satu keinginan, tapi jadi tiga, itulah keinginan saya”, atau “saya ingin jadi kaya raya, karena dengan uang bisa beli segalanya, atau “saya ingin tidak mati, hidup selamanya, atau “saya ingin bahagia”, atau apapun. Tetapi itu nothing sebetulnya, karena problem paling utama kita, dan yang dimiliki tanpa ada yang bisa merampasnya dari kita di dalam Yesus, adalah ini: kamu orang berdosa, kamu mati, kamu bangkai, tapi kamu dihidupkan; kamu musuh Tuhan tapi kamu diterima oleh Tuhan, kamu dikasihi oleh Tuhan, kamu diberikan masa depan yang baru di dalam Yesus. Nah, coba saya tanya, kalau orang gosok-gosok lampu Aladin lalu Jin-nya keluar, bilang, “Ayo minta apaun saya beri”, apa ada yang jawab, “Saya minta pengampunan dosa”? Tidak ada-lah. “Saya minta hidup yang baru” ? Tidak ada. Yang ada adalah minta kaya, minta panjang umur, minta sehat terus, minta dihormati orang, minta gelar profesornya 30, dan apapun lainnya. Yang minta “selamat dari dosa”, minta “saya bisa bertobat sungguh-sungguh”, minta “saya punya hidup baru”, itu tidak ada; tapi Barth bilang, “Kalau kamu ketemu Tuhan, hal-hal begituan yang terjadi.”
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading