Kita sudah dua kali membahas mengenai Adven dalam khiotbah di gereja ini, dan Pendeta Jadi juga sempat menyentuh soal Adven dalam khotbahnya, maka harapannya kita menyadari akan sangat pentingnya kita mengingat Adven. Kita menyadari kenapa banyak perayaan Natal di di dunia –ataupun di gereja– pada hari ini terasa dangkal, cetek, murahan, yaitu karena ketidakpekaan, ketidakmauan, keenganan menjalani Masa Adven sebelum Natal. Sekali lagi, Adven adalah penantian, menunggu; dan manusia tidak mau menunggu, tidak mau menanti, maunya cepat-cepat Natal datang lalu buka kado. Itulah problemnya manusia. Manusia tidak mau mulai dalam kegelapan Adven yang menyalakan satu demi satu lilin setiap Minggu, manusia maunya langsung terang lampu-lampu Natal yang kelap-kelip.
Hari ini kita tidak akan berkhotbah mengenai Adven lagi karena hari ini kita merayakan Natal itu sendiri, namun ini bukan berarti warna Adven lantas ditinggalkan dan kita tiba-tiba switch mode jadi perayaan Natal sebagaimana dunia lakukan. Poin khotbah hari ini adalah untuk memperlihatkan kepada kita, apa yang terjadi ketika kita sungguh-sungguh meresapi Adven ke dalam Natal, apa yang akan terjadi ketika kita melihat Natal setelah kita melalui Adven, apa yang akan kita lihat dalam Natal jika kita menggunakan kacamata Adven; “apa dampak Adven bagi Natal”, demikian khotbah hari ini. Seperti biasa, kalau kita mau melihat sesuatu lebih jelas, paling mudah adalah lewat membandingkan dengan benda lain yang berlawanan yang bukan benda tersebut; misalnya, kita baru menyadari hal-hal tentang Indonesia, sering kali ketika kita sudah pernah pergi ke luar negeri dan tinggal di sana. Dengan demikian waktu kita mau membahas Natal melalui Adven, kita akan memulai dengan melihat kebalikannya, seperti apakah Natal yang tanpa Adven. Jadi, hari ini kita akan membahas seperti apa Natal tanpa Adven, lalu kita akan melihat Adven di dalam Natal, dan terakhir apa implikasinya.
Yang pertama, seperti apa Natal tanpa Adven? Natal tanpa Adven adalah Natal di mana kita hanya melihat ke belakang. Coba Saudara perhatikan, semakin dekat dengan musim Natal, baik dunia ataupun Gereja, kita semakin cenderung bernostalgia, kita melangkah mundur ke dunia yang sudah berlalu –ke dunia masa kecil kita, mungkin. Contoh gampangnya, apa yang biasa kita inginkan ada dalam perayaan Natal? Kita ingin ada pohon Natal, ada drama Natal, ada paduan suara Natal, ada candle light, dst. Lalu coba kita tanya, kenapa kita menginginkan semua itu? Sering kali alasan utamanya bukan karena itu semua ada di Alkitab –banyak dari hal-hal tersebut tidak ada di Alkitab– tapi karena semua itu ada di dalam bayangan nostalgia masa kecil kita mengenai Natal, itu adalah hal-hal yang ada dalam perayaan-perayaan Natal ketika kita kecil, atau ketika kita bertumbuh, dan setiap Hari Natal ada hal-hal tersebut, maka waktu hari ini kita merayakan Natal, kita ingin ada semua itu lagi. Bukan kebetulan, salah satu lagu Natal paling populer, kata-katanya begini: “I’m dreaming of a white Christmas, just like the ones I used to know…” –itulah kata-kata kuncinya. Lagu ini mengatakan bahwa mimpinya adalah di belakang kita; itu sebabnya jalan kepada kebahagiaan adalah somehow kembali ke masa lalu yang ideal itu, “aku ingin mengalami Natal sebagaimana yang aku tahu itu”–nostalgia, mirip dengan banyak stiker atau gambar yang kita lihat hari ini, “Piye kabare, penak zamanku, toh”. Sentimentalisme –atau istilah yang mungkin lebih gampang kita mengerti hari ini, “baperisme” –dan nostalgia, sangat berperan besar dalam perayaan-perayaan Natal kita, baik di dunia maupun di Gereja. Satu hal menarik, dalam zaman di mana musik pop harus baru terus-menerus, pada masa Natal yang terjadi justru terbalik, para artis tidak banyak yang mengeluarkan musik Natal baru, karena mereka tahu yang namanya musik Natal, sering kali yang populer justru musik-musik Natal yang jadul. Bisnis musik Natal tahu akan hal ini, bahwa bisnis musik Natal adalah bisnis nostalgia.
Natal tanpa Adven, adalah Natal yang hanya melihat ke belakang, maka ini berarti Adven adalah kebalikan dari semua itu; dalam Adven, nostalgia, perasaan sentimental, baperisme, tidak ada tempatnya sama sekali. Tidak ada dalam Musim Adven kita mengingat zaman keemasan yang sudah lewat, karena musim Adven adalah penantian apa yang akan datang, bukan musim kita memimpikan apa yang sudah lalu. Adven menolak menipu diri dengan kembali ke masa lalu yang indah, yang sebenarnya juga tidak pernah ada. Bahaya dari nostalgia adalah bahwa yang diingat dalam nostalgia, sesungguhnya tidak riil sama sekali. Kita pikir, nostalgia adalah mengingat apa yang sudah lampau; tapi tidak demikian. Nostalgia adalah selective memory, hanya sebagian yang indah-indah yang diingat, sedangkan yang jelek-jelek dilupakan. Kembali ke contoh tadi, “Piye kabare, penak zamanku, toh”, banyak orang mengatakan seperti ini; tapi sebetulnya enak dari mana?? Orang-orang itu lupa dengan krisis moneter, orang-orang itu lupa dengan tangan besi pemerintah, orang-orang itu lupa dengan korupsi dan nepotisme. Saudara, kita semua cenderung demikian.
Saya pernah kuliah di Melbourne 4 tahun, dan setelah pulang, kadang-kadang saya merasa “enak ya, kalau bisa balik ke Melbourne” –nostalgia. Lalu saya mulai mengingat-ingat apa yang enak di Melbourne, makanannya enak, porsinya gede-gede, porsi bule. Dulu waktu kami di Melbourne, bergereja di GRII Melbourne, setelah persekutuan atau ibadah, kami kadang-kadang makan bersama-sama; dan kalau makan bersama-sama di Melbourne, para cowok tidak perlu keluar uang, kami tinggal tunggu para cewek menyisihkan separuh makanan mereka ke piring kami, lalu separuh lagi dapat dari cewek yang lain. Seperti itulah di Melbourne, enak sekali. Lagi pula, kota Melbourne tidak ramai kayak Jakarta, tidak ada orang yang klakson-klakson di jalanan. Tapi ini nostalgia, Saudara; kenapa? Karena waktu kami dulu di Melbourne, kenyataannya kami tidak mengalami surga, kami ngomel-ngomel. Makanan memang porsinya banyak; kenapa? Karena makanannya mahal! Sekali makan $8-11 AUD, mahal setengah mati. Orang mengatakan, “Di sana kotanya tenang”; tapi kenapa? Karena kotanya sepi! Kita yang sudah biasa dengan hiruk-pikuk Jakarta, kalau kita ke Melbourne, apalagi Perth, rasanya tidak tahan, terlalu hening. Kita juga mengatakan, “Di sana orang tidak klakson-klakson”; tapi kenapa? Karena di sana kalau orang mau ngamuk, mereka tidak klakson-klakson, mereka hanya langsung buka jendela lalu berterbanganlah S-word, F-word, dsb. Belum lagi bicara urusan cari kerja di Melbourne, kenyataannya begitu sulit. Belum lagi bicara mengenai rasisme di Melbourne, entah yang aktif ataupun yang pasif, yang menyerang atapupun yang halus. Waktu saya di Melbourne pertama kali mendapat kesempatan presentasi dalam satu tutorial kelas, sebelum saya bicara, dosennya sudah ngomong duluan, “Kami sangat menghargai kamu, Jethro, datang jauh-jauh, meskipun mungkin Bahasa Inggris bukan bahasa yang kamu kuasai … “, dst. –dan saya merasa terhina, lu kira gua sembarangan datang kemari, lu kira bahasa Inggris gua jelek?? Inilah rasisme, hanya saja bentuknya lain dari yang biasa kita tahu. Poinnya, nostalgia itu berbahaya, karena nostalgia bukanlah mengingat, nostalgia sesungguhnya adalah melupakan. Itu sebabnya Adven tidak tertipu dengan ini.
Adven bukanlah gerakan yang melihat ke belakang; Adven justru mengenai masa depan. Adven bukanlah suatu musim di mana kita mengingat yang terjadi di masa lampau; Adven justru suatu musim yang menantikan sesuatu yang belum namun akan datang. Adven sedang menantikan Hari Tuhan yang besar itu, hari ketika Kerajaan Tuhan akan datang dan dinyatakan secara penuh dan utuh. “Lho, Pak, setahu saya Adven ‘kan menantikan kedatangan Yesus yang pertama, Natal, yang sudah terjadi itu, jadi berarti melihat ke belakang, dong” –inilah kesalahkaprahan yang kita perlu bereskan.
Dalam salah satu koleksi hymn berbahasa Inggris, ada 24 lagu kategori Adven, dan 23 di antaranya bicara mengenai kedatangan Kristus yang kedua –ke depan, bukan ke belakang. Saudara mengerti sekarang kenapa saya mengatakan “Natal perlu dirayakan dalam kacamata Adven”, karena Natal yang dirayakan secara proper, yang dirayakan setelah Adven, adalah juga Natal yang melihat ke depan, bukan cuma ke belakang. Coba kita cek beberapa lagu Adven yang berbau Natal, misalnya lagu yang terkenal karangan Charles Wesley, “Come, Thou Long Expected Jesus” (“Umat Tuhan Menantikan”, ada di KRI kita). Ini sebenarnya lagu Adven, namun kadang-kadang dipakai dalam acara Natal, sehingga kita sering kali mengira bahwa Yesus yang dinantikan dalam lagu ini adalah Bayi Yesus yang lahir di palungan. Memang kata “bayi” sempat muncul dalam salah satu ayatnya, tapi kalau Saudara baca keseluruhan ayatnya, dikatakan: “Bayi itulah Sang Raja yang membebaskan umat-Nya”, dan ini bukan terjadi saat Yesus lahir ‘kan. Demikian juga selanjutnya: “Lahir untuk memerintah kita, membawa Kerajaan-Nya”, kita tahu Yesus telah memulai Kerajaan-Nya dalam kematian dan kebangkitan-Nya dan kenaikan-Nya, tapi kita juga percaya bahwa keutuhan Kerajaan Allah yang dibawa itu masih akan datang; dan yang sudah dimulai pun bukan terjadi pada saat kelahiran-Nya. Apalagi kalimat, “Hanya Roh Kudus-Mu, Tuhan, memerintah hati kami”, karena Roh Kudus memerintah hati kita adalah setelah Pentakosta, bukan pada saat kelahiran Yesus. Dan kalimat yang terakhir, “Hanya oleh anugerah saja, surga kami masuki”, ini paling jelas bicara mengenai sesuatu yang masih sangat di depan kita; bahasa Inggrisnya lebih baik karena fokusnya bukan urusan ‘kita naik ke surga’ melainkan ‘dibangkitkannya kita kepada Kerajaan Tuhan yang utuh itu’ (“Raise us to Thy glorious throne”), dan ini masih akan datang. Saudara lihat, lagu seperti ini bukan bertujuan membawa kita ke belakang, mengajak kita berandai-andai seakan-akan kita orang Yahudi abad pertama yang menunggu Mesias, yang masih belum muncul; lagu ini lagu Natal, tapi lagu Natal yang bernafaskan Adven, yang mengajak kita untuk malah melihat ke depan, kepada kedatangan kembali Sang Raja.
Satu lagi lagu Adven yang terkenal, “O Come, O Come, Emmanuel” (“Ya, Datanglah Imanuel”). “Nah, ada kata ‘Imanuel’ jadi pasti melihat ke belakang dong, ke peristiwa 2000 tahun silam itu!”, tapi tidak demikian, Saudara, ini juga bukanlah lagu yang bicara mengenai Bayi di palungan. Dalam Bahasa Inggrisnya, jelas sekali ini lagu yang bicara mengenai sesuatu di masa depan yang belum terjadi. Salah satu ayatnya: “O come, desire of nations, bind
in one the hearts of humankind; bid thou our sad divisions cease, and be thyself our King of Peace” (“Datanglah hasrat dari segala bangsa, ikatlah satu hati semua manusia, perintahkanlah semua perpecahan kami supaya berhenti, dan jadilah diri-Mu Raja di atas kami, Raja Damai kami”). Saya mau tanya, ini tentang pekerjaan Tuhan di masa apa? Ini pekerjaan Tuhan di masa akhir zaman. Damai yang digambarkan sedemikian di ayat-ayat lagu itu, kita tahu masih belum datang secara sepenuhnya, masih akan datang. Apalagi di masa Natal tahun 2023 ini, ketika dunia dicengkeram perang di berbagai tempat, kita harusnya sangat menyadari hal ini.
Kalau pun hari ini Ukraina bisa damai, Gaza bisa damai, kita tahu damai ini pun bukan damai yang sejati; damai yang sejati itu masih akan datang. Jika Saudara tanya orang Palestina di Gaza, apa artinya damai bagi mereka, maka bagi mereka damai adalah bendera Palestina berdiri tegak di Gaza, dan orang-orang Israel semuanya enyah dari sana. Kalau Saudara tanya orang-orang Israel, apa itu damai, mereka akan menjawab jawaban yang sama persis, hanya saja pemerannya ditukar, benderanya juga ditukar. Jadi Saudara lihat, damai di dunia yang sekarang ini bukanlah damai yang sejati; yang namanya “damai” dalam dunia hari ini, biasanya cuma ungkapan halus untuk mengatakan: “Musuhku telah dipukul mundur dan telah enyah” –dan itu bukan damai! Ambil contoh lain: para pengemis dan pemulung tidak bisa lagi masuk pagar cluster rumah saya, ini bukan kedamaian; dilenyapkannya para pengemis dan tukang minta-minta dari lampu merah, ini tidak berarti kedamaian; anak-anak jadi tiba-tiba penurut dan tidak lagi membantah, sebagaimana idaman orangtua-orangtua, dan seperti orangtua-orangtua mereka ketika masih kecil, itu juga bukan berarti kedamaian.
Kedamaian yang kita saksikan di dunia ini sekarang, hanyalah remah-remah; kedamaian yang sejati hanya akan ditemukan di dalam masa yang akan datang, di dalam Kerajaan Tuhan yang utuh. Inilah spirit Adven. Inilah semangat Adven, hidup dalam penantian, dan bukan hidup di masa lampau. “Okelah, Pak, tapi bagaimanapun juga cerita Alkitab mengenai Natal, itu mengajak kita merenungkan mengenai kelahiran Bayi Yesus ‘kan, Pak; tetap itu yang jadi fokusnya dong. Lagipula, Bapak tadi bicara tentang tradisi lagu-lagu hymn, tapi lagu hymn ‘kan bukan Alkitab, GRII ‘kan kembali ke Alkitab!” Mari kita kembali ke Alkitab, dan kita melihat ternyata di tengah-tengah kisah kelahiran Yesus sendiri, tema yang sangat kental justru tema kedatangan-Nya kembali, tema penantian akhir zaman, di dalam cerita kelahiran Yesus.
Saya ajak Saudara pertama-tama melihatnya dalam peristiwa pengumuman kelahiran Yohanes Pembaptis. Lukas 1:16-17, perkataan malaikat kepada Zakharia mengenai Yohanes Pembaptis: “ia akan membuat banyak orang Israel berbalik kepada Tuhan, Allah mereka, dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang benar dan dengan demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya”. Hal yang dibicarakan oleh malaikat ini, yang mengacu pada urusan Elia, urusan memutar balik hati ayah-ayah kepada anak-anak ini, kata-kata dari mana? Ini adalah kata-kata yang diambil dari Perjanjian Lama yang kita baca tadi, dari Kitab Maleakhi. Ini adalah kata-kata terakhir dalam urutan Perjanjian Lama versi Kristen (versi Yahudi berbeda sedikit); Maleakhi 4:5-6, “Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari TUHAN yang besar dan dahsyat itu. Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah.” Kalau Saudara tadi mendengarkan saya membaca seluruh pasal 4 Kitab Maleakhi, menurutmu Maleakhi sedang fokus ke mana? Maleakhi sedang fokus ke depan, kepada kedatangan Tuhan yang masih akan datang, yang bagi Maleakhi akan mengakhiri segala zaman.
Satu lagi lagu dari Charles Wesley, dan ini jelas lagu Natal, “Hark! The Herald Angels Sing”. Ayat ketiga mengatakan: “Hail the heaven-born Prince of Peace! Hail the Sun of Righteousness! Light and life to all he brings, risen with healing in his wings”, ada kata-kata ‘surya kebenaran, kesembuhan dengan sayap-sayap’, ini kata-kata dari Alkitab; Malekhi 4:2, “Bagi kamu yang takut akan nama-Ku akan terbit surya kebenaran dengan pemulihan pada sayapnya” (TB2). Karena ini lagu Natal, kita sering kali berpikir ini urusan Bayi; tapi tidak demikian. Orang-orang Kristen sepanjang zaman sadar akan hal ini, bahwa Natal bukanlah urusan Bayi tok. Charles Wesley sengaja sekali mengambil dari Kitab Maleakhi; dan ayat ini sebenarnya lebih dekat hubungannya dengan kedatangan Yesus yang kedua, penantian akan akhir zaman.
Unsur ‘kedatangan kedua’ ini bukan cuma dalam kata-kata malaikat mengenai Yohanes Pembaptis, tapi tentu saja mengenai kelahiran Yesus sendiri. Perhatikan kata-kata Malaikat Gabriel kepada Maria, kata-kata yang sudah begitu familiar dengan kita dan kita sudah terbiasa mengaitkannya dengan urusan kelahiran, namun kalau Saudara membacanya lagi sekarang, Saudara akan menyadari bahwa mereka bukan sedang bicara mengenai Bayi yang kecil mungil, melainkan Seorang Raja yang dewasa, Seorang Raja yang Kerajaan-Nya dan kepenuhan serta keutuhannya itu masih akan datang. Lukas 1:30-33, “Kata malaikat itu kepadanya: ”Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan –berarti belum–mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.” Saudara lihat ayat ini, semakin ke belakang semakin bicara menerawang ke depan; dan ini adalah kalimat yang muncul dalam peristiwa kelahiran Yesus! Malah inilah yang dibicarakan, malah sudah langsung menanti, menerawang ke masa depan kepada kedatangan-Nya kembali; Saudara tidak baca Gabriel mengatakan, “Nanti kamu nikmati ya, Maria, masa-masa Yesus bayi, masih lucu, itu tidak berulang lagi.” Itu sebabnya sangat menarik bahwa dari empat Injil, masa kecil Yesus hampir tidak ada catatannya sama sekali, tidak dianggap relevan oleh para penulisnya.
Jadi, adalah satu kebohongan besar jikalau Saudara pikir masa Natal adalah masa untuk kita mencari kedamaian di belakang kita, di dalam masa lalu yang kita pikir ideal, yang diwakili dengan gambaran Bayi kecil mungil lucu bersih dipeluk mamanya yang begitu agung di tengah-tengah situasi yang begitu terang. Saudara, inilah mungkin sebabnya manusia berusaha mati-matian menciptakan terang-terang lampu pada masa Natal, karena manusia berusaha mengelabui diri dari kegelapan yang sedang menyelubungi bumi. Natal, yang dilihat dalam kacamata Adven, menarik kita untuk melakukan persis kebalikannya, yaitu menolak keras terang-terang lampu yang palsu, menaruh diri dalam kegelapan Adven, satu lilin, demi satu lilin, demi satu lilin, justru supaya dengan demikian kita dilatih untuk mengenali Terang yang sesungguhnya, dilatih untuk menantikan kedatangan kembali Terang yang sejati. Sekarang kita melihat, inilah sebabnya banyak Gereja di seluruh dunia dan di sepanjang sejarah yang berusaha keras mempertahankan tradisi Adven, yang menolak merayakan Natal tanpa merenungkan Adven terlebih dulu; yaitu kenapa? Karena hanya dengan cara inilah kita bisa dibangunkan dari kemabukan Natal palsu versi dunia, Natal nostlagia, untuk kemudian menyadari bahwa pengharapan kita bukan di belakang, bukan di masa lampau yang kita kenang-kenang dengan perasaan hangat di hati, melainkan justru di masa depan, ketika Yesus yang telah turun bagi kita itu akan datang kembali dan memenuhi janji-Nya, menghadirkan damai yang sejati di bumi. Ini berarti, orang-orang yang mengerti Natal dengan tepat/benar, akan menjadi orang-orang Kristen yang memandang ke depan, yang tidak hanya hidup di masa lampau, yang pengharapannya sungguh kepada Tuhan dan apa yang Tuhan sanggup lakukan, bukan apa yang kita sebagai manusia pernah punya, pernah alami, pernah miliki.
Contoh yang sangat riil dalam gereja kita, mengenai Persekutuan Pemuda (PP), yang dalam tahun 2023 ini mengalami masa transisi. Pendeta Heru menempuh studi S3, sehingga ada pelayanan-pelayanan beliau yang harus dikurangi supaya cepat selesai studinya dan bisa kembali melayani secara penuh, dan salah satu pelayanan yang dikurangi tsb. adalah PP GRII Kelapa Gading. Singkat cerita, PP kita ditinggalkan Pak Heru, dan tidak ada yang bisa benar-benar menggantikan kehadirannya sebagaimana biasanya kehadiran beliau. Angka kehadiran di PP kita lalu mulai menurun. Lagipula, kepergian Pak Heru juga bertepatan dengan banyak pengurus Pemuda yang mulai berpacaran serius, lalu mereka ambil Kelas Pranikah di GRII Pusat yang waktunya bentrok dengan PP di sini, sehingga mreka tidak lagi datang ke PP; dan biasanya setelah mereka menikah, mereka akan sibuk dengan kehidupan pernikahan, dan tidak akan datang lagi ke PP untuk seterusnya. Demikian kira-kira keadaannya. Dalam hal ini, saya tahu di antara para pemuda kita ada semacam kecemasan akan masa depan PP kita, karena ditinggal pembinanya, jumlahnya terus menurun, pengurusnya mulai layu, apakah bisa survive, dsb.; dan saya sengaja membiarkan mereka bergumul sendiri. Saya tidak terlalu mau tepuk-tepuk pundak mereka; kenapa? Karena saya ingin bertanya, sebenarnya apa yang menyebabkan kecemasan tersebut? Sudah pasti bisa ada banyak penyebab, tapi saya rasa salah satunya kembali lagi karena nostalgia. Dulu ‘gak begini, dulu lebih baik –piye kabare, penak zamanku toh”. Saudara lihatkah kenapa tema ini relevan bagi kita?
Saudara, betapa mudahnya untuk kita ingin kembali ke masa kejayaan zaman yang telah berlalu. Saya bukan pakai contoh PP tadi karena ingin menegur Pemuda di hadapan banyak orang, tapi karena saya ingin menunjukkan betapa Saudara dan saya sangat mudah merasa punya kerohanian model nostalgia seperti ini, punya model kerohanian yang melihat ke belakang tok. Apa masalahnya dengan nostalgia seperti ini? Masalahnya: nostalgia selalu adalah ilusi, kebohongan!
Satu hal menarik, waktu saya bicara dengan Pak Heru mengenal hal PP tadi, beliau tidak kaget, bahkan tidak ada nada kecemasan sama sekali. Pak Heru cuma mengatakan, “Ya, memang Pemuda begitu, ada musim-musimnya, ada naik, ada turun, ada pasang, ada surut; dan pasang surut ini bukan sesuatu yang kita kendalikan, bukan hasil kehebatan satu dua orang,” lalu lanjutnya, “Mereka datang bukan karena saya.” Inilah sejarah, yang riil, bukan nostalgia. Orang yang bernostalgia, itu bukan mengingat masa lampau tapi hanya ingat sebagian dan justru lupa banyak mengenai masa lampau tersebut. Apa yang kita lupakan? Kita lupa bahwa beberapa tahun yang lalu, pada zaman Pendeta Eko Aria, pendeta yang sangat baik itu, masih melayani di sini [waktu itu masih vikaris], Pemuda GRII Kelapa Gading cuma 4-5 orang setiap minggunya. Kalau saya tanya Pak Heru, siapa hamba Tuhan yang lebih baik antara dia dengan Pak Eko, Pak Heru akan jawab “Pak Eko”, dan saya setuju juga, bahkan saya cukup yakin demikian juga para pengurus. Saudara yang kenal Pak Eko, apakah mungkin menuduh beliau kurang berjuang, kurang pendekatan kepada anak-anak muda, sehingga Pemuda-nya cuma 4-5 orang? Pasti tidak bisa. Beliau sangat luwes, gampang nyambung dengan siapa pun –tidak kayak saya. Dan waktu Pak Heru take over Pemuda, jumlahnya juga sama saja untuk sementara waktu; baru kemudian entah bagaimana ada satu momen di mana Pemuda GRII KG kita ini tiba-tiba kemasukan banyak anak muda dari gereja lain, jumlahnya tiba-tiba bertambah. Kita tahu, Pendeta Heru ada kemampuan dan talenta dari Tuhan, tapi kehadiran jumlah besar dalam waktu singkat seperti itu, menurut Pak Heru sendiri jelas bukan karena dirinya; anak-anak muda yang pindah kemari itu bukan pindah karena mereka mengenal Pak Heru. Saudara, kalau kita melihat ke belakang, itu semata-mata adalah anugerah Tuhan. Pasang surut itu adalah pekerjaan Tuhan di balik layar, yang kita tidak pegang kontrol atasnya. Saudara mau bernostalgia masa lalu? Kenapa nostalgianya yang momen “tiba-tiba jumlahnya nambah banyak”? Kenapa tidak nostalgia ke zaman Pak Eko, yang jumlahnya hanya 4-5 orang tok? Itu tidak fair. Jadi, Saudara bisa lihatkah kepalsuan dari nostalgia?
Terlebih lagi kalau kita hari ini mau menilai apakah benar Pemuda dengan jumlah banyak itu yang sungguh-sungguh ideal? Buktinya, Pemuda dengan jumlah banyak ini, begitu pemimpin yang mereka sukai pergi, mereka mulai malas datang. Kalau demikian, jumlah besar ini ideal atau justru kepalsuan? Sedangkan waktu Pemuda kita cuma 4-5 orang –sekali lagi ini contoh riil, sejarah, bukan nostalgia– di antara mereka ada 2 orang yang hari ini jadi hamba Tuhan di GRII, yaitu Stephen Bernardi dan Pendeta Ardian. Saya bukan mau mengatakan jumlah kecil pasti oke, saya hanya mau mempertanyakan kerohanian yang beroperasi atas dasar “melihat ke belakang”, kerohanian model nostalgia, kerohanian yang hidup di masa lampau, kerohanian yang hidup di alam mimpi, karena yang diingat tidak sungguh-sungguh riil.
Saudara, kalau kita menolak hidup di alam mimpi, maka mau tidak mau kita harus hidup dalam realitas; dan hidup dalam realitas adalah sulit, bertabrakan dengan banyak hal. Kita inginnya Natal cuma melihat ke belakang lalu terpukau melihat bayi mungil lucu innocent yang menimbulkan perasaan kehangatan, kita lupa bahwa masa di mana Yesus datang sebagai bayi adalah juga masa di mana Herodes membantai entah berapa ribu bayi hanya karena bayi-bayi ini ada kesamaan dengan Yesus –sama-sama bayi. Kita lupa cerita Natal adalah cerita di mana ketika Natanael diperlihatkan mengenai Yesus, dia mengatakan, “Dari Nazaret?? Apa yang baik yang bisa keluar dari Nazaret??” –itulah cerita Natal. Kita lupa cerita Natal adalah cerita di mana Allah hadir di palungan, dan bukan di istana. Cerita Natal adalah cerita di mana yang diundang menjadi tamu kehormatan pada hari kelahiran Yesus adalah gembala miskin di padang, yang kotor, yang giginya mungkin berlubang-lubang. Orang majus datangnya belakangan, secara tradisi dikatakan mereka datang beberapa bulan setelah Yesus lahir, jadi bukan mereka tamu kehormatannya. Kita lupa bahwa dalam Natal, Yesus dilahirkan di dalam keluarga yang miskin, bukan keluarga yang kaya. Kita lupa bahwa gara-gara Yesus datang sebagai bayi yang dikandung oleh Roh Kudus, maka Maria dan Yusuf harus menderita pengucilan, rasa malu.
Saudara coba pikir-pikir, bagaimana Maria dan Yusuf merayakan Natal? Apakah dengan senang-senang, ketawa-ketawa, cring, cring, cring.. ? Pasti memang ada senangnya, tapi mereka juga merasa malu, bingung. Yang terjadi adalah: mereka mendapatkan penerimaan, mereka mendapatkan penolakan; mereka mendapatkan penghormatan, mereka mendapatkan pengucilan. Zaman Maria dan Yusuf adalah zaman budaya malu; dan dalam budaya malu, Saudara cuma ada dua pilihan: Saudara tahu malu, atau Saudara dipermalukan. Kota tempat mereka tinggal adalah kota kecil, semua orang saling kenal, semua orang bisa hitung berapa bulan sejak mereka menikah sampai Bayi itu lahir, sehingga cuma ada dua kemungkinan, mereka melakukan sebelum nikah atau Maria senang jajan. Inilah Natal menurut Alkitab! Natal yang sejati tidak pernah nostalgic. Natal yang sejati tidak pernah merupakan eskapisme dari realitas. Natal justru adalah kita begitu bersentuhan dengan realitas dunia yang gelap, sehingga kita mulai menyadari, sungguh satu-satunya pengharapan kita hanya kepada Tuhan, kepada masa depan yang akan Tuhan bawa, bukan kepada pencapaian-pencapaian manusia di masa lampau!
Saudara bisa lihat sekarang kenapa saya membiarkan Pengurus Pemuda bergumul sendiri, yaitu karena saya percaya Pemuda GRII KG dalam masa transisi, dan yang bertahan dalam masa transisi ini adalah mereka yang menaruh pengharapannya bukan kepada pendeta tertentu, atau hamba Tuhan tertentu, tapi kepada Tuhan. Saya juga bukan sedang mengusulkan Pemuda menyanyi “Que sera, sera”; karena seperti dikatakan dalam khotbah Pendeta Jadi, menanti adalah usaha aktif, ada bagian kita, bahwa waktu kita menunggu, kita harus tahu tempat yang tepat menunggunya di mana, kita harus pergi ke sana, kita harus bayar harga bensin atau Busway untuk mencapai ke sana, kita tetap ada bagian untuk kita kerjakan dan perjuangkan. “Que sera, sera” tidak ada ketegangan ini, maka tidak heran banyak orang ingin bertahan dalam mode “nostalgia”, karena hidup dalam penantian memang tidak nyaman. Namun inilah tantangan Natal. Orang dunia lebih pilih hidup dalam kedamaian yang semu; orang Kristen harusnya lebih pilih hidup di dalam ketegangan, tapi ketegangan yang menimbulkan penantian yang sejati, akan satu-satunya harapan yang sejati, yaitu Allah. Inilah arah maju dari Adven kepada Natal.
Kita bukan sedang melihat kilas balik dengan baper kepada Seorang Bayi, sebab ternyata dalam kisah Bayi tersebut pun kita tidak menemukan segala sesuatunya terang dan indah. Justru kisah Bayi ini membuat kita memandang ke depan, kepada Dia yang akan datang kembali, karena hanya pada Dialah segala janji akan kedamaian, kemenangan, kemuliaan, baru akan dipenuhi secara utuh. Ini berarti Natal yang dilihat dalam kacamata Adven, bukan menjadi momen di mana kita mabuk oleh anggur melainkan dibangunkan oleh Roh, untuk menyadari bahwa hidup kita hari ini bukanlah masa penggenapan, melainkan masa penantian. Ini bukanlah masa di mana kita sudah melihat muka dengan muka, melainkan melihat masih dengan samar- samar, seperti kata Paulus dalam Surat Korintus. Ini bukanlah waktu di mana kita menang diiringi bunyi sangkakala, ini adalah waktu di mana Saudara dan saya memikul salib. Bisakah Saudara melihat kenapa Natal harus dirayakan dengan semangat Adven?! Inilah yang kita rayakan dalam Natal; bukan cuma Salib yang ada warna salibnya, Natal pun ada warna salib ini. Coba renungkan, Saudara, bukankah inilah yang Natal beritahukan kepada kita? Bahwa justru kebesaran Kristus ditemukan dalam kerendahan-Nya; dan oleh karena itu kebesaran kita juga harus menempuh jalan yang sama, yaitu turun ke bawah.
Kamis lalu saya melayani dalam Natal Lansia di tempat ini; dan saya bingung setengah mati persiapannya, apa yang bisa saya katakan kepada para lansia sebagai berita Natal bagi mereka, yang bisa menguatkan mereka, menjadi kebenaran firman Tuhan yang hidup bagi mereka. Sementara saya bergumul di bawah, saya mendengar MC memimpin nyanyi, dan dia berusaha menyemangati para lansia. Kalau kita mau menyemangati lansia, maka kita pakai kalimat-kalimat encouragement, “Meski lansia, Opa-Oma, tetap semangat! Tetap kuat!” Ini memang ada benarnya, karena waktu kemudian saya mendengar mereka menyanyi, suaranya jauh lebih keras daripada para remaja –dan saya menghargai hal itu. Namun yang kita perlu berhati-hati adalah: ada kemungkinan kita menekankan hal tersebut berkali-kali karena kita ingin menghindari fakta penurunan, yaitu tubuh yang kian hari kian melemah yang negatif bagi kita, sehingga kita ingin melupakannya, jauh-jauh darinya. Tapi pertanyaannya, mau sampai kapan? Mau sampai kapan sih kita bisa mengatakan, “Meskipun lansia, tetap kuaattt…!!”? Ujungnya, kita sampai di tempat pemakaman. Saudara tahu, tempat pemakaman yang laku itu tidak ada bau kematiannya, cuma di dalam tanah yang ada bau kematian, sedangkan kuburannya berlalbur putih, bahkan rumah bagi orang mati lebih bagus daripada rumahnya semasa dia hidup. Inilah dunia. Itu sebabnya sebagai orang Kristen kita punya sikap yang lain dalam menghadapi usia lanjut, di mana kita memang menjadi lemah, kita memang menjadi menurun, kita tidak perlu takut dengan ini karena Saudara menaruh pengharapanmu pada menantikan Tuhan, dan bukan pada nostalgia akan kekuatan manusia di masa lampau; karena Kristus dalam berita Natal, kebesaran-Nya, kekuatan-Nya, kemuliaan-Nya, justru ditemukan dalam kerelaaan-Nya untuk menjadi kecil, lemah, dan hina. Justru lewat cara inilah Tuhan bekerja melalui Yesus Kristus, mengerjakan pekerjaan-Nya yang terbesar dan teragung.
Terakhir, kalimat dari C.S. Lewis: “Keagungan orang yang besar, Saudara temukan justru dalam kemampuannya untuk bersentuhan dengan mereka yang kecil”. Saudara setuju? Bukti bahwa kita lebih besar daripada seekor anak kucing adalah bahwa meskipun kita tidak bisa berdiskusi filsafat dengan anak kucing ini, kita bisa duduk dan mengelus-elus kepalanya. Ketika kita punya hati yang bersukacita dan damai sejahtera, kita gampang masuk ke hati orang yang sempit dan marah, tetapi ketika kita sempit dan marah, kita tidak bisa masuk ke hati orang yang bersukacita dan damai sejahtera; ini berarti sukacita dan damai sejahtera lebih besar daripada kesempitan dan kemarahan. Abraham Lincoln pasti bisa mengerti Hitler, tapi Hitler tidak mungkin mengerti Abraham Lincoln. Seseorang yang agung, itu adalah karena dalam kebesaran-Nya, Ia bisa bersentuhan dengan yang lemah; Ia cukup kuat untuk menjadi lemah, Ia cukup besar untuk menjadi kecil. Inilah jalan Allah kita dalam Natal. Mari Saudara-saudara, engkau dan saya, kita meneladani Dia.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading