Hari ini saya akan menjelaskan sedikit mengenai policy Sinode GRII mengenai Baptis, Sidi, dan Atestasi –yang sebenarnya bukan policy baru. Ini policy yang sudah kita jalankan sejak Pendeta Billy Kristanto masih menjabat Gembala Sidang di GRII Kelapa Gading, bahkan sudah ada sejak sebelum pandemi. Pak Billy sendiri sudah pernah menjelaskan dari mimbar tapi masih banyak yang bertanya-tanya, karena policy ini mungkin dirasa berbeda banget dari yang umumnya di gereja-gereja Indonesia. Tambahan lagi, karena hari ini karena kita akan membaptiskan seseorang yang sudah lama melayani di tengah-tengah kita sebagai vikaris dan juga diakones, hal ini mengundang banyak pertanyaan. Itu sebabnya saya rasa bolehlah kita ulang lagi penjelasan mengenai Baptis, Sidi, dan Atestasi di Sinode GRII; dan tentunya berharap hal ini ujungnya bukan terfokus pada Saudara tersebut, tapi untuk kita semua lebih mengerti keputusan sinodal, dan juga diingatkan akan signifikansi Baptisan kita di hadapan Tuhan.
Permasalahannya di mana? Pada umumnya kita berpikir kategori Baptis, Sidi, dan Atestasi, adalah sbb.: Baptisan Dewasa adalah bagi orang-orang yang belum pernah dibaptis, biasanya orang-orang yang menerima Tuhan saat mereka dewasa; orang-orang Kristen yang memang berada dalam keluarga Kristen, biasanya mereka dibaptis dalam Baptisan Anak, lalu setelah usia remaja mendapat kesempatan untuk mengakui iman mereka secara publik, maka mereka di-Sidi; sedangkan Atestasi adalah bagi orang-orang yang sudah dibaptis di gereja lain, sinode lain, denominasi lain, dan ingin bergabung ke sinode kita. Demikian biasanya pengertian yang umum yang ada di banyak gereja, termasuk di GRII 10 tahun lalu. Sekitar lima tahun lalu, Pimpinan Sinode GRII –jadi ini bukan keputusan saya pribadi– mengubah kategori-kategori tersebut. Apa yang berubah? Misalnya, kita tidak otomatis mengakui Baptisan dari gereja luar sebagai baptisan yang sah, dengan demikian ada orang-orang yang sudah pernah dibaptis di gereja lain, lalu mau masuk ke GRII sebagai anggota, dan kemudian dibaptis lagi –termasuk hari ini Saudara yang kita sebut di awal tadi yang sudah dibaptis di Gereja GBT, dan juga seorang yang sudah dibaptis di GBI.
Kenapa sampai dibaptis ulang? Pertama, yang kita perlu luruskan adalah: GRII tidak memakai istilah “baptis ulang”; bagi GRII tidak ada yang namanya baptisan ulang. Lalu kenapa kita membaptis lagi? Yaitu karena Baptisan yang dulu, kita anggap tidak sah. “Wah, lebih serius lagi… jadi bukan baptis ulang tapi baptisan yang dulu sama sekali tidak sah: kenapa bisa seperti itu?? Apakah karena GRII menganggap gereja-gereja tersebut gereja sesat, gereja setan?? Jadi gereja yang dulu saya beribadah , yang orangtua saya juga masih di sana, dsb., adalah gereja sesat bagi GRII?? Ini ‘gak bener!” Demikian mungkin reaksi banyak orang; tapi jangan, Saudara. Bukan karena kita menganggap gereja-gereja tersebut sesat, gereja setan, tidak percaya Tuhan, dsb. –bukan demikian– tetapi karena Surat Baptisan-nya punya formulasi Nama Allah Tritunggal yang tidak tepat— dan kesalahan ini bisa banyak penyebab, tidak harus karena gereja tersebut gereja sesat. Kesalahan bisa banyak faktor penyebabnya, tetapi tetap kesalahan tersebut bagi gereja GRII merupakan hal yang cukup serius. Jadi inilah masalahnya, yaitu formulasinya. Apa persisnya kesalahannya? Kita akan melihat sbb.:
“Dalam nama Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus, YAITU YESUS KRISTUS”
“Dalam nama Allah Bapa, Allah Anak YAITU YESUS KRISTUS, dan Allah Roh Kudus”
Saudara perhatikan kedua formulasi di atas, Saudara bisa lihat bedanya? Formulasi yang pertama, adalah formulasi yang salah, “Dalam nama Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus, YAITU YESUS KRISTUS”; di sini saya tanya kepada Saudara, jelas atau tidak, Yesus Kristus itu Pribadi yang mana? Tidak jelas. Kalau dikatakan “Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus, YAITU YESUS KRISTUS”, jadi tidak jelas yang Yesus Kristus yang mana. Ini adalah Konsep Allah Tritunggal yang bagi kita tidak alkitabiah. Kalau Saudara lihat formulasi yang kedua, itu adalah formulasi yang tepat, yang kami akui, dan akan pakai dalam GRII: “Dalam nama Allah Bapa, Allah Anak YAITU YESUS KRISTUS, dan Allah Roh Kudus”. Di sini sangat jelas Yesus Kristus sebagai Pribadi Allah yang Kedua, Allah Anak. Demikian bedanya.
Kalau dalam Surat Baptis Saudara formulasinya menggunakan yang pertama, maka waktu Saudara mau masuk ke GRII sebagai anggota, Saudara akan dibaptis. Sekali lagi, bukan “baptis ulang” melainkan “dibaptis”, berhubung dianggap Baptisan yang sebelumnya bukanlah baptisan yang sah menurut Alkitab, karena Allah-nya tidak jelas jadinya. Sekali lagi, saya tekankan berkali-kali, ini bukan keputusan lokal GRII Kelapa Gading; ini adalah policy sinodal di GRII, termasuk di GRII Pusat. Saya di sini hanya menjelaskan policy ini sebagaimana ditetapkan seperti itu.
Formulasi yang pertama tadi, yang tidak tepat itu, memang sangat banyak dipakai dalam gereja-gereja di Indonesia; dan memang sering kali dipakai secara tidak sadar. Misalnya, Saudara kita dari GBI yang hari ini bergabung ke kita, saya sendiri mendapatkan dokumen/surat dari Sinode GBI sendiri yang mengakui kesalahan tersebut, dan mereka mengoreksi hal ini melalui surat penggembalaan bagi seluruh sinode mereka. Sinode GBI mengerti bahwa formulasi tersebut tidak sesuai dengan Konsep Allah Tritunggal dalam Alkitab, dan mereka mengeluarkan surat yang ditujukan bagi seluruh sinodenya untuk mengoreksi formula Baptisan mereka mulai sekarang (saya mendapatkannya tahun ini, tapi saya tidak tahu kapan persisnya surat tersebut resmi diterbitkan). Intinya, bagi Gereja GBI pun, ini satu hal yang serius dan memang perlu dikoreksi; demikian pula Gereja GBT, setahu saya sekarang sudah membereskan formulasi tersebut. Bagaimanapun juga, kedua Saudara kita ini dibaptis dengan formulasi yang lama sejauh yang kita bisa cek dalam Surat Baptisannya. Jadi demikianlah masalahnya, formulasi dalam Surat Baptisannya.
Saudara sekarang sudah jelas problemnya; dan sekarang kita masuk ke dilema-nya. Apa dilemanya? Dilemanya, Saudara mungkin mengatakan, “Ya, okelah, mungkin memang ada kesalahan, tapi apa sampai harus dibaptis ulang??” Sekali lagi, kami tidak pakai istilah “baptis ulang”, kami anggap Baptisan yang dulu tidak sah. “Nah, itu, Pak! Kalau kita tidak menganggap Baptisan yang dulu itu sah, berarti kita seperti mengatakan pertobatan orang yang bersangkutan juga somehow di-anulir.” Saudara perhatikan, jawaban saya adalah: tidak demikian; waktu Saudara dibaptis di GRII meskipun Saudara sudah pernah dibaptis dengan formulasi yang salah di tempat lain, bukan berarti pertobatan Saudara selama ini jadi hilang. Kenapa? Jawabannya sederhana: Saudara bukan bertobat ketika Saudara dibaptis, Saudara bukan diselamatkan ketika Saudara dibaptis; Saudara diselamatkan lebih dulu, lalu ada orang-orang yang melihat dan mengakui ini dalam hidupmu, barulah Saudara bisa dibaptis. Semua gereja pakai proses ini, bahwa keselamatan dan pertobatan selalu mendahului Baptisan. Baptisan itu sendiri tidak pernah menyelamatkan, demikian dalan Theologi Protestan. Jadi, jangan sampai Saudara anggap bahwa berhubung Baptisan yang dulu itu kami anggap tidak sah lalu pertobatannya kami anggap tidak sah juga. Sama sekali tidak. Ini dua hal yang berbeda. Baptisan, dalam Theologi Protestan adalah simply sebuah tanda yang kelihatan dari realitas keselamatan yang tidak kelihatan.
Sederhananya, saya pakai analogi sbb.: ibaratnya Saudara menikah, dan tentunya Saudara bikin cincin kawin. Cincin kawin ‘kan bukan cinta itu sendiri; kalau cincin kawin suatu hari rusak, ‘kan bukan berarti cinta-nya juga rusak. Cincin kawin adalah lambang/tanda yang kelihatan dari cinta yang tidak kelihatan. Lalu ketika sekarang ditemukan ternyata cincin kawinnya salah nama –dan Saudara baru sadar setelah sekian lama– maka apa yang kepingin kita lakukan? Kita akan mengatakan kepada pasangan kita, “Yuk, kita bikin cincin yang baru, yang benar,” dan pasangan Saudara akan mengatakan, “Ya, boleh juga, daripada kita pakai nama orang lain, ‘gak lucu.” Ketika kemudian Saudara bikin cincin baru, apakah berarti pernikahan Saudara sepuluh tahun silam itu nihil, bohong? Ya, tidak dong. Realitasnya tetap ada; dan justru karena realitasnya tetap ada, justru karena realitasnya sejati, maka kita berusaha memperbaiki lambang/tandanya supaya sinkron dengan realitasnya. Tapi kalau kita mengalami hal itu, dan kita malas mengubah nama-nya, bisa jadi pernikahannya sudah tinggal “nama” tok, sudah tidak ada cinta; karena pernikahannya tidak riil, jadi ngapain kita musti ubah-ubah nama-nya, apa bedanya?? Jadi, Saudara jangan melihat urusan “dibaptis di GRII meski sudah pernah dibaptis di tempat lain” tadi sebagai hal yang negatif.
Kami bukan membaptis seperti ini karena kami memandang rendah Baptisan, bukan karena kami menganggap rendah pertobatanmu; kami membaptis justru karena kita sangat serius menghargai Baptisan, menghargai nama Allah yang disematkan dalam diri kita ketika kita dibaptis. Dan, bagi GRII inilah yang esensial dan kunci, yaitu “nama Allah”-nya. Saudara tentu tahu ada gereja-gereja membaptis lagi orang-orang yang sudah pernah dibaptis karena metode baptisnya menurut mereka salah; misalnya, orang tadinya dibaptis selam lalu harus dibaptis tuang, orang tadinya dibaptis tuang lalu harus baptis selam, dsb. Tetapi bagi kami, justru hal metode seperti itu tidak masalah; kalau Saudara dibaptis dengan formula nama Allah Tritunggal yang tepat, maka entah Saudara dibaptis pakai metode selam atau tuang atau percik, dsb, di GRII diterima, karena hal tersebut bagi kami justru fleksibel, bukan hal yang esensial, sedangkan urusan “nama” adalah urusan yang serius. Ini urusan yang sampai ada hukumnya sendiri di dalam Sepuluh Hukum Tuhan, “Jangan memakai nama Allahmu dengan sembarangan.” Ini seserius seperti Saudara sedang upacara bendera di Istana Presiden Indonesia lalu Saudara salah pasang bendera negara lain.
Dari semua yang kita bicarakan ini, saya harap Saudara bisa ambil satu hal: Baptisan itu sendiri tidak menyelamatkan. Itu sebabnya waktu GRII membaptis orang-orang yang sudah dibaptis di gereja lain, bagi kami bukan berarti pertobatannya tidak kami akui, tapi justru kami mengakui pertobatan mereka, justru kami merasa ini orang yang sejati telah bertobat, maka kami merasa, “Sayang banget ya, pertobatannya asli, tapi tanda/lambangnya meleset” –maka perlu dikoreksi; dan itu sebabnya dibaptis, bukan sidi atau atestasi. Dalam arti tertentu, Saudara boleh melihat kesempatan koreksi ini sebagai sesuatu yang positif, bahwa dalam anugerah Tuhan, kita yang dalam zaman Perjanjian Baru, lambang/tanda keikutsertaan kita dalam Kerajaan Tuhan adalah Baptisan sehingga ada ruang untuk koreksi; coba Saudara bayangkan kalau tandanya masih dengan sunat, tidak ada koreksinya lagi ‘kan. Jadi kita bersyukur untuk itu; dan saya harap Saudara bisa mengerti bahwa ini satu hal yang bukan tanpa alasan kami lakukan, dan bukan karena kami merendahkan pertobataan seseorang tapi justru karena kami mengakui pertobatan mereka, dan kami ingin ada kesinambungan antara apa yang di luar dengan apa yang di dalam.
Kiranya acara Baptisan, Sidi, dan Atestasi hari ini boleh memuliakan nama Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia