Advent bicara mengenai masa penantian; dan alasannya kita butuh suatu waktu untuk merenungkan mengenai penantian ini, adalah karena banyak dari kita yang tidak siap untuk bersukacita atas kabar Natal. Kita tentu bersukacita Natal sudah datang, tapi sering kali bersukacitanya karena diskon Natal; sepanjang tahun kita sudah punya banyak barang dalam wish-list, dan kita menantikan diskon di akhir tahun untuk membelinya –ada penantiannya. Itu satu hal yang kita sudah siap, tapi sering kali kita tidak siap untuk kedatangan Kristus, untuk menantikan inkarnasi Kristus –sampai kita mengerti kebutuhan kita akan Kristus. Itulah yang akan dibicarakan dalam masa Advent; kita mempersiapkan diri untuk Natal bukan dengan membicarakan Natal-nya sendiri melainkan membicarakan kebutuhan kita akan Natal. Dalam seri Advent ini kita melakukannya dengan membahas beberapa nubuat dari Perjanjian Lama yang menantikan kedatangan Kristus di Perjanjian Baru, karena semua nubuat dalam Perjanjian Lama bukan cuma bersifat pemberian data dan informasi, tapi selalu datang dalam suatu kebutuhan, insiden, situasi, yang membuka kepada kita bukan cuma fakta akan adanya inkarnasi tapi juga kebutuhan akan inkarnasi.
Kita mulai dengan nubuat yang pertama akan keselamatan, dalam kisah “kejatuhan” di Kejadian 3; fokus pada ayat 15, kalimat kutuk Allah kepada ular, dimulainya permusuhan antara perempuan dan keturunan ular. Paulus mengambil bahasa ayat ini di akhir Surat Roma untuk mendeklarasikan kemenangan Yesus atas iblis; sehingga tidak heran salah seorang Bapa Gereja, Irenueus, menyebut ayat ini sebagai Injil yang pertama. KIta akan bahas 4 hal dari nubuat ini.
Hal yang pertama, janji/nubuat keselamatan manusia ini dimulai dengan kalimat kutukan. Ini satu hal ironis, tapi perlu kita ketahui; aneh, tapi nyata. Kita perlu melihat lebih jelas kutukannya seperti apa, dan kenapa ini malah adalah kalimat yang memulai keselamatan dari Tuhan.
Ketika Allah datang kepada Adam dan Hawa, Dia datang dengan pertanyaan. Pertanyaan ini bukan pertanyaan cari tahu data/informasi karena Allah tidak mahatahu. Pertanyaan ini juga bukan pertanyaan yang nyecer, sudah tahu tapi tetap tanya. Pertanyaannya justru pertanyaan yang menyatakan kebaikan Tuhan bagi para manusia pertama, karena pertanyaannya bukan untuk dapat informasi, bukan untuk nyecer, melainkan alat Tuhan untuk menimbulkan sikap pertobatan dalam diri Adam dan Hawa. Dari mana kita tahu? Ini jelas terlihat kalau kita membandingkan antara kalimat Tuhan kepada Adam dan Hawa dengan kalimat Tuhan kepada ular. Waktu Tuhan datang kepada ular, tidak ada pertanyaan, hanya ada kalimat kutuk, “Karena engkau berbuat demikian, terkutuklah engkau”.
Ayat14-19 bahasanya jelas bahasa penghakiman. Semua yang Allah katakan, baik kepada ular, kepada Hawa, maupun kepada Adam, semuanya bersifat penghakiman; karena ada dosa/kejahatan yang dilakukan setiap mereka, maka Tuhan menimpakan penghakiman yang adil atas pemberontakan ini. Penghakiman berarti ada kosekwensi –bagi ular, bagi Adam, bagi Hawa– tapi bagaimanapun juga ada satu hal yang berbeda antara ular dan manusia. Tuhan tidak mengatakan kepada Hawa, “Terkutuklah engkau”. Tuhan juga tidak mengatakan kepada Adam, “Terkutuklah engkau”. Apa yang Tuhan katakan? Yaitu: “Terkutuklah tanah karena engkau.” Saudara bayangkan, Adam hidup 9 abad lagi setelah itu, dan dalam 9 abad itu semua orang yang dia temui di bumi pada dasarnya bisa menunjuk-nunjuk dia dan mengatakan, “Semua ini ya, gara-gara lu” –dan itu benar– meski demikian, ketika Tuhan sendiri menghakimi Adam, Dia tidak pernah mengatakan, “Terkutuklah engkau, Adam”, melainkan, “Terkutuklah tanah karena engkau”, sedangkan kepada ular, “Terkutuklah engkau.” Jadi dalam bagian ini Saudara melihat bagaimana kutukan bisa memulai keselamatan, karena kutukan ini pada saat yang sama mengandung janji dan pengharapan bagi kita.
Para sarjana Alkitab sudah melihat bertahun-tahun bahwa bukan kebetulan cerita-cerita pertama dalam Kejadian, mencerminkan cerita-cerita terakhir dalam Kejadian juga. Apa kisah pertama dalam Kitab Kejadian? Kisah penciptaan. Memang benar, tidak salah, tapi perrhatikan bahwa dalam kisah penciptaan sebenarnya yang jadi concern utama tidak pernah ciptaannya sendiri, melainkan Pencipta-nya –seperti apa Penciptanya, menciptanya bagaimana– dan satu hal yang kita tarik adalah bahwa Allah kita Allah yang menciptakan keteraturan (order) dari kekacauan (chaos), menciptakan cosmos dari chaos. Lompat ke kisah terakhir Kitab Kejadian, bicara mengenai akhir dari kisah Yusuf; dan itu bukan cuma menyelesaikan kisah Yusuf tapi juga menyelesaikan seluruh Kitab Kejadian. Mengapa? Karena di dalam situasi keluarganya Yusuf yang sudah begitu kacau, saudara mau bunuh saudara (mirrored dengan cerita-cerita di awal, saudara mau bunuh saudara), berhubung mereka sendiri hasil dari sebuah keluarga yang berantakan (satu bapak, 2 istri, 2 gundik), Yusuf lalu mengatakan kalimat yang jadi konklusinya: “Kalian mereka-rekakan yang jahat, tapi Allah mereka-rekakannya untuk kebaikan, untuk keselamatan suatu bangsa.” Inilah Allah Alkitab, yang cara kerjanya di Kejadian awal (penciptaan) tidak beda dengan di Kejadian akhir (kisah pasal 50), yaitu Allah ini memang bekerja membawa order dari chaos, membawa salvation melalui curse.
Allah yang kita sembah adalah Allah yang tidak puas dengan sekadar melenyapkan kekacauan, tapi Allah yang justru keinginan-Nya adalah membawa keteraturan, berkat, kehidupan, dari chaos, dari kutukan. Kita lihat lagu Natal, “Joy to the World”, lagu itu bagus karena memberikan kepada kita alasan joy-nya; salah satu kalimatnya adalah: “He comes to make his blessings flow, far as the curse is found” (“Dia datang untuk mengalirkan berkat-berkat-Nya, sampai sejauh kutukan ditemukan”). Itu sebabnya kisah Natal bukan bermula dari Perjanjian Baru melainkan dari Kejadian 3, bahkan dari kutukan! Allah mengutuk ular, tapi ketika Saudara berurusan dengan Allah Alkitab, bahkan dari kutukan pun sudah terkandung satu benih pengharapan, janji keselamatan bagi semua yang percaya. Keselamatan kita adalah keselamatan yang dimulai dari kutukan –itu hal yang pertama.
Hal yang kedua, keselamatan juga dimulai dengan sebuah deklarasi perang, bahwa Tuhan akan berperang melawan kuasa gelap, kuasa dosa, kuasa pemberontakan, yang diwakili oleh ular. Untuk dapat melihat ini, kita membandingkan antara kalimat Tuhan kepada ular dengan apa yang Tuhan katakan atau tidak katakan kepada Adam dan Hawa. Tuhan mengatakan di ayat 15 kepada ular, bahwa hari itu sebuah peperangan dimulai, bahwa Tuhan mengadakan sebuah permusuhan melawan ular; lalu bandingkan dengan apa yang Tuhan tidak katakan kepada Adam dan Hawa. Ketika Adam dan Hawa berdosa, Tuhan tidak mengatakan, “Adam dan Hawa, karena kamu sudah jelas-jelas memberontak terhadap Aku, karena kamu sudah jelas-jelas melakukan apa yang Kuperintahkan untuk kamu tidak boleh lakukan, maka ini nih daftar yang kamu harus lakukan untuk kembali mendapatkan perkenanan-Ku; ini hal yang kamu harus lakukan melawan si ular, kamu harus mengadakan permusuhan antara dirimu dan si ular, kamu yang harus memerangi dia, kamu yang harus bertanggung jawab.” Saudara lihat, Tuhan tidak mengatakan seperti itu; yang Saudara lihat, Allah-lah yang malah mengadakan permusuhan antara ular dan manusia. Ada inisiatif dan peran Allah di sini.
Kita sering kali bingung dan salah baca kalimat tadi. Kita pikir, ketika Allah mengatakan, “Aku mengadakan permusuhan antara engkau dan engkau”, maka berarti Allah sedang berfungsi sebagai wasit netral di tengah-tengah dua petinju dan mengatakan, “Fight!” Tapi bukan itu. Sederhananya begini, siapa yang mendeklarasikan perang antara Israel dan Hamas, antara Ukraina dan Rusia? PBB-kah? Tidak. Yang mendeklarasikan perang bukanlah suatu pihak netral; yang mendeklarasikan perang selalu adalah pihak yang berperang. Jadi, ini memang bukan acara tinju; problem sesungguhnya dalam Kejadian 3 bukanlah ada acara tinju lalu perlu ada wasit yang netral di antara dua pihak ini. Problemnya adalah: sebelum terjadi hal ini, pihak manusia dan pihak ular justru berkawan baik, sepaham, senafas –itulah tepatnya problemnya!
Dalam pembahasan Kitab Hakim-hakim mengenai Simson, kita sempat mengatakan bahwa sering kali problem antara dunia dan umat Tuhan yang kita tidak sadar, bukanlah urusan kita dianiaya/disiksa oleh dunia –meski memang ada– bukan cuma urusan ada perang/permusuhan, tapi justru tidak ada permusuhan antara umat Tuhan dengan dunia (itu sebabnya, ketika Gereja mendoakan hubungan umat Tuhan dengan dunia, dan yang diulang terus-menerus urusan ”kami dianiaya”, itu bahaya, karena akhirnya menjadikan urusan aniaya sebagai problem terbesar, seakan-akan problemnya cuma itu, dan akhirnya kita tidak mendoakan orang-orang Kristen yang terlalu mirip dan terlalu friendly dengan dunia, sedikit banyak karena kita tidak sadar –atau sadar–orang-orang itu adalah kita sendiri). Jadi apa respons Tuhan yang baik, yang penuh anugerah, ketika Dia melihat hal ini? Dia mencari ribut! Dalam cerita Simson, Dialah yang membuat gara-gara antara Israel dengan Filistin, antara umat Allah dengan dunia. Inilah yang Tuhan lakukan di Kejadian 3. Saya rasa, adalah baik untuk kita membaca kalimat Tuhan kepada ular di Kejadian 3 dengan kacamata seperti demikian, bahwa ketika Allah menginstitusikan permusuhan antara manusia dengan ular, ini bukan sebagai wasit, melainkan seperti ketika Allah membangkitkan Simson untuk cari perkara dengan orang Filistin. Ini bukan suatu permusuhan yang negatif, ini bukan suatu hal yang jahat, ini sesuatu yang perlu, sama seperti ketika seorang dokter mendeklarasikan perang antara tubuhmu dengan kankermu karena problemnya tubuhmu dan si kanker selama ini sudah terlalu akrab, dan itu sebabnya dokter kemudian memasukkan obat-obat ke dalam tubuhmmu untuk bereaksi terhadap si kanker.
Inilah pekerjaan Allah dalam keselamatan, Ia mendeklarasikan perang; dan bukan cuma itu, ini berarti Ia sesungguhnya berperang di pihak kita. Saudara perhatikan, apa yang Ia tidak lakukan? Tuhan tidak sekadar mengangkat tangan dan mengatakan kepada Adam dan Hawa, “Ya sudah, deh, sekarang tanggung jawabnya di kamu, silakan kamu yang mengadakan permusuhan antara dirimu dan si ular”, tapi Tuhan yang mengadakan permusuhan. Tuhan yang memulai peperangan antara manusia dengan ular, justru karena Tuhan berdiri di pihak kita. Tuhan yang memasukkan bibit perpecahan antara keturunan perempuan dan keturunan ular, karena jika sampai terjadi perdamaian di antara mereka, hasil akhirnya justru kebinasaan. Dalam arti tertentu, Tuhan mengatakan kepada Adam dan Hawa: “Adam dan Hawa, karena kamu sudah jelas-jelas memberontak terhadap Aku, karena kamu sudah jelas-jelas melakukan apa yang Kuperintahkan untuk kamu tidak boleh lakukan, maka Aku akan berperang di pihakmu.” Bukankah ini amazing grace, Saudara? “Aku yang akan memulai tembakan pertama –juga terakhir– kepada musuhmu ini; Aku akan berperang bagimu, meski engkau memberontak terhadap Aku”. Di sini kita sekali lagi melihat penekanan akan kedaulatan Tuhan, inisiatif Tuhan, dalam keselamatan. Tuhan tidak menoleh balik kepada kita dan mengatakan, “Selamatkan dirimu sendiri”, atau “Fifty-fifty deh, ini sedikit anugerah tapi tidak cukup, sisanya kamu tambal sendiri”. Tidak demikian. Dia mengatakan, “Aku yang mendeklarasikan peperangan, Aku akan berperang terhadap ular, Aku akan berperang bagimu”. Inilah yang kedua, keselamatan dimulai dengan deklarasi perang.
Selanjutnya Saudara mulai melihat polanya. Polanya adalah bahwa urusan keselamatan dan nubuat-nubuat seperti ini, meski sering kali kita merasa sudah tahu, namun ternyata ada banyak hal yang aneh, yang tidak disangka-sangka –dan memang benar. Kalau Saudara senang film yang banyak plot-twist, silakan Saudara baca Alkitab, karena buat saya Alkitab adalah yang paling banyak plot-twist-nya, paling unpredictable ceritanya, tapi pada akhirnya malah masuk akal. Saudara lihat tadi, keselamatan mulai dari kalimat kutukan, bukan kalimat berkat; keselamatan dimulai dengan deklarasi perang oleh Tuhan, bukan Tuhan suruh kita mendeklarasikan perang. Selanjutnya ada hal ketiga yang polanya sama, dan mungkin paling aneh dan banyak tidak masuk akal. Saudara perhatikan, permusuhan antara manusia dan ular itu, Tuhan katakan akan dimulai dengan suatu cara yang benar-benar tidak masuk kepala kita sama sekali. Allah mengatakan, “Aku mau mengadakan peperangan, pertempuran, permusuhan yang besar, yang bergenerasi-generasi”, dan caranya bukan dengan membangkitkan sebuah tentara besar berisi pria-pria spartan, gagah, yang semuanya six pack, melainkan dengan seorang wanita –bukan wanita karier yang mendapatkan banyak uang– wanita yang melahirkan seorang anak/bayi. Itu cara Tuhan berperang. Aneh ya.
Anak saya sudah satu tahun sekarang. Saya dan istri setiap kali melihat mereka, kami geleng-geleng kepala, garuk-garuk jidat, bagaimana mungkin sih mereka dulu bisa ada di perut, gede banget sekarang. Waktu mereka lahir, fragile-nya luar biasa, sekarang sudah gede banget, merangkak kian kemari, susah dikejar, belum lagi nanti kalau sudah jalan, entah kayak apa, tapi dulu di bulan keempat angkat kepala saja tidak bisa. Saudara, bayi adalah gambaran helplessness, gambaran ketidakberdayaan yang paling tidak berdaya. Bayi, tidak disentuh bisa mati. Bayi, untuk hidup, tidak bisa sekadar diberi makanan/susu, dia perlu stimulasi, perlu sentuhan dari orang yang mengasihi dia. Dia perlu 24 jam attention, dan bukan sekadar attention tapi cinta; karena tanpa cinta, orang-orang sekitarnya tidak akan mau coba mengerti apa yang mereka butuhkan di balik erangan-erangan mereka yang ‘gak jelas itu. Bayi butuh semua itu; dan inilah yang jadi simbol –dan juga realitas– keselamatan yang Tuhan mau bawa, senjata pamungkas yang Tuhan pilih untuk memerangi kuasa ular, kuasa gelap.
Hal ini bukan cuma satu kali, dalam sepanjang Alkitab istilah “benih/keturunan/anak” muncul berkali-kali. Dalam Kitab Kejadian saja, itu sebuah tema yang besar, muncul 41 kali dalam 50 pasal, banyak banget, suatu penekanan habis-habisan. Di bagian Kejadian 3 ini, ada benih wanita, benih ular. Dalam janji Tuhan kepada Nuh di Kejadian 9, janji-Nya adalah: “Ini janji bagimu dan bagi benihmu –bagi keturunanmu”. Kepada Abraham lebih lagi, bukan cuma satu kali tapi muncul sampai tiga kali, yaitu pasal 12, pasal 15, pasal 17, dengan bahasa yang makin menjadi-jadi, “bagi engkau dan bagi benihmu”, “bagi engkau dan bagi keturunanmu”, “bagi engkau dan bagi anak-anakmu”, bahkan “bagi anak-anaknya anak-anakmu”! Dan ini tema yang terus berjalan melampaui Kitab Kejadian; dalam kisah-kisah perjuangan mati-matian, seperti perjuangan Rut, ujungnya kita baru tahu kenapa ada perjuangan begitu besar dicatat, yaitu karena ini cara yang amazing yang Tuhan pakai untuk medatangkan Obed, seorang anak, yang akan mendatangkan seorang anak lagi, yang akan mendatangkan seorang anak lagi bernama Daud. Urusan benih dan keturunan wanita, muncul dan muncul terus sampai pada nubuat mengenai kelahiran dari seorang anak dara di Yesaya pasal 7, dan seterusnya, sampai suatu hari akhirnya Maria mengandung melalui Roh Kudus, Anak Allah sendiri, Yesus Kristus. Para penulis Perjanjian Baru sadar, ini bukan sekadar kelahiran, ini adalah suatu tema besar yang tergenapi. Matius mencatat, Malaikatlah yang mengutip Yesaya 7:14 tersebut, yaitu: “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia, Imanuel –yang berarti Allah menyertai kita”. Belakangan Paulus juga menangkap hal ini sebagai kunci; Galatia 4:4, “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan …”.
Kenapa harus menyebutkan lahir dari seorang perempuan? Memangnya siapa yang tidak lahir dari seorang perempuan?? Cuma Adam tok. Ini adalah karena yang jadi perhatian Paulus bukan sekadar kelahiran melainkan satu tema besar yang dimulai sejak halaman-halaman pertama Alkitab. Apa signifikansinya? Kita sudah melihat tadi tentang keselamatan yang datang melalui seorang anak, seorang bayi yang helpless; ini satu signifikansi yang jelas keren, tapi kalimat aslinya tidak cuma itu. Kalimat aslinya adalah: keselamatan akan datang dari kelahiran seorang anak —tapi jangan lupa bagian berikutnya— melalui seorang wanita. Itulah justru punch line-nya, plot twist yang besar. Kenapa? Karena Saudara lihat, apa sih rencana setan, setan menggoda siapa? Setan bukan menggoda Adam, setan menggoda Hawa. Jadi sesungguhnya pihak pertama dalam seluruh sejarah manusia, yang pertama kali meng-abuse seorang wanita bukanlah pria, melainkan ular, setan. Setan mau menggunakan wanita sebagai alatnya, sebagai kacungnya, untuk mendatangkan kehancuran bagi seluruh umat manusia. Tapi Allah dalam kedaulatan-Nya mengatakan, “O, itu rencanamu setan?? Engkau mau membawa masuk dosa ke dalam seluruh ciptaan melalui seorang wanita? Jika demikian, Aku akan memakai wanita ini untuk justru membawa masuk Juruselamat dunia, yang akan menghancurkan kepalamu.” Saudara lihat, bukankah ini plot twist yang amazing??
Apa amazing-nya? Banyak. Yang pertama, tentu saja Tuhan seperti Seorang Jendral besar yang begitu confident dengan kekuatannya, maka Dia berani datang kepada jendral lawan dan membongkar seluruh rencana perangnya sebelum perang. “Nanti besok ya, Gua bakal kayak begini, kayak begitu; lu mau cegat Gua, silakan, ‘gak bakal berhasil, Gua tetap menang” –se-pede itu. Amazing. Kalau Saudara suka nonton bola, misalnya ada klub yang akan melawan sebuah klub besar yang tidak terkalahkan, yang sudah memenangkan 17 pertandingan, lalu sebelumnya ada press conference, dan pelatih klub ini ditanya, “Bagaimana kamu mau melawan klub besar itu? Mereka ada penyerang nomor 9 itu yang luar biasa, sudah cetak 20 gol dalam 13 pertandingan, gila rekornya!” maka pelatih tadi mengatakan, “Kami punya rencana”, sambil tersenyum najis. Tapi Tuhan kita tidak seperti manajer bola yang harus pegang kartu rapat-rapat, Dia bongkar strateginya, “Silakan lihat, ini strategi Saya”. Namun bukan cuma itu yang keren, tapi bahwa bahkan setelah apa yang Hawa lakukan, Tuhan tidak mencampakkan dia. Tuhan tidak mengatakan, “Ini karena perempuan yang bikin gara-gara, sekarang Adam sini, kamu sekarang yang akan melahirkan anak-anak.” Tidak demikian. Tuhan tidak mengatakan seperti itu. Tuhan tidak mencampakkan Hawa, Tuhan justru berbalik mennghadap Hawa, mengambil tangannya dan mengatakan kepada Hawa, “Tangan ini, tangan yang mengambil buah yang terlarang itu, tangan yang memberikan buah yang terlarang itu kepada suamimu, tangan ini akan menjadi tangan yang menggendong keselamatan bagi seluruh alam semesta, tangan ini akan menjadi tangan yang mengganti popok Sang Juruselamat”.
Saudara, waktu saya mendapatkan hal ini, saya baru menyadari mungkin ini cara terbaik membaca kalimat Paulus yang sangat sulit dimengerti itu. Paulus mengatakan, “Wanitalah yang tertipu, wanitalah yang mengambil buah, bukan pria, tapi wanita bisa diselamatkan selama dia mengandung anak”. Membaca kalimat itu, reaksi kita, “Haahh!!! Maksudnya?? Inilah sebabnya Alkitab sudah ketinggalan zaman! Yang benar saja, betapa rendahnya wanita di hadapan Paulus!” Tapi saya rasa bukan itu maksudnya. Saya rasa kalimat Paulus bukan urusan merendahkan wanita, tapi Paulus peka akan apa yang terjadi di sini, yaitu apa yang Allah lakukan kepada para wanita, bahwa Allah justru mengangkat wanita di tempat dia jatuh. Itulah yang justru Allah kita lakukan. Kita mengatakan kepercayaan Katolik yang terlalu membesar-besarkan Maria, itu jelas salah, tidak biblical, dan kita tidak terima itu; tapi mungkin alasan yang lebih biblical untuk menolak itu, adalah justru karena dalam Alkitab, kemuliaan yang Tuhan berikan seperti itu bukanlah cuma kepada Maria, itu adalah kemuliaan yang Tuhan berikan bagi semua wanita.
Disclaimer sedikit mengenai panggilan membesarkan anak. Saya percaya, panggilan ini bukan cuma bagian wanita. Panggilan untuk menjadi care taker seorang anak, termasuk mengganti popok dsb., saya percaya juga adalah bagian para bapak; dan saya merekomendasikan para bapak untuk ambil lebih banyak porsi menjadi care taker seperti ini, karena itu membuat Saudara justru lebih jadi lelaki yang sejati. Saudara tidak percaya? Silakan coba; kalau tidak bisa ambil cuti di hari biasa untuk menggantikan “mama”, boleh juga take over waktu weekend. Waktu weekend, biarkan istrimu mengerjakan apa yang dia mau, biarkan istrimu bisa mengejar panggilannya, dan Saudara yang di rumah jaga anak. Ini tidak akan membuat Saudara kehilangan maskulinitas, ini membuat Saudara justru lebih maskulin. Dadamu dan pundakmu akan menjadi lebih lebar, untuk orang-orang bisa menaruh kepalanya di sana. Saudara akan menjadi lelaki yang lebih sejati, dan anak-anakmu –misalnya mereka lelaki– akan menjadi lelaki yang lebih sejati juga, karena mereka melihat seperti apa seorang lelaki sejati di hadapan Tuhan.
Di satu sisi demikian, namun di sisi lain bagaimanapun juga kita menghadapi realitas; dan saya juga tidak akan setuju dengan posisi modern yang mengatakan pria dan wanita tidak ada beda sama sekali dalam kapasitas membesarkan anak. Orang modern melihatnya, “Pokoknya pria sama saja dengan wanita, jangan bilang ada beda-beda; apa yang wanita lakukan untuk membesarkan anak, pria juga bisa melakukan. Jadi, pria-pria juga harus stay at home, kecuali urusan menyusui. Pria-pria harus bisa, sebisa wanita”; saya tidak percaya itu. Setahun saya mengalami hidup berkeluarga, saya menyadari satu hal, bagaimanapun juga wanita punya talenta khusus dalam membesarkan anak, mereka melihat hal-hal yang kita, para pria, tidak lihat. Tapi, reaksi kita bukan kemudian mengatakan, “Ya sudahlah, lu lebih jago ‘kan, lu lebih talented dalam hal ini ‘kan, jadi lu aja yang kerjain, gua kerjain yang lain yang lu ‘gak bisa kerjain, gua bisa dapat uang banyak, dsb., dsb.” Jadi, apa reaksi yang tepat waktu Saudara sebagai pria di hadapan Tuhan melihat istrimu punya talenta yang lebih dalam mengurus anak? Saudara perlu lebih mengapresiasi mereka, memuji mereka lebih banyak dalam hal ini.
Saudara pikirkan, kenapa para wanita urban modern mengejar karier sampai sering kali mengorbankan anak dan keluarga? Tentunya bisa dijawab, “wanitanya sendiri ada error”, itu jelas; meski demikian, arguably kalau urusan dosa mengutamakan karier sampai mengorbankan keluarga, kayaknya ini lebih ke dosanya para pria ‘kan, pria tidak bunuh diri ketika anak mereka rusak ‘kan, pria bunuh diri ketika mereka di-PHK. Jadi sebelum para pria menuduhkan ini kepada para wanita, sebaiknya ngaca dulu; dan ngaca 2000 kali pun jawabannya tetap sama, kita para pria lebih ada kecenderungan mengutamakan karier di atas anak dan keluarga. Itu yang pertama; bahwa wanita ada error-nya sendiri, itu lain cerita, karena pria juga ada error yang sama, yang pria tidak kebal, bahkan mungkin lebih rentan. Lalu apa yang jadi bagian para pria, yaitu kita perlu memuji, meninggikan, peran keibuan ini, salah satunya dengan mencoba melakukannya, karena itulah cara paling jelas yang para istri bisa melihat, bahwa ini suatu hal yang dihargai oleh suamiku dan dia mau ambil bagian dalam hal itu. Namun yang terjadi hari ini, kita bukan cuma tidak mau ambil peran itu, bukan cuma kita tidak memujinya secara verbal; yang terjadi adalah kita expect wanita memang sudah seharusnya melakukan hal itu, tidak usah dipuji-puji. Yang dirayakan/dipuji adalah ketika sang pria naik pangkat, naik gaji, berhasil beli mobil dan bangun rumah; sedangkan kalau wanita mengerjakan apa yang “natural” bagi mereka, “ya sudah dong, tidak masalah ’kan”, seakan-akan mereka tidak ada kesulitan dalam mengerjakan hal tersebut, seakan-akan mereka tidak ada kesusahan, seakan-akan mereka tidak perlu mengorbankan diri waktu melakukan semua itu. Saudara, kita perlu bertobat dalam hal ini.
Saya belum lama ini nonton film “Oppenheimer”, dan di film itu ada satu adegan menarik yang menggambarkan hal tadi. Oppenheimer pulang ke rumahnya, mau mengabarkan bahwa proyeknya berhasil di-approve, dia berhasil jadi kepala proyek. Dia masuk ke rumahnya, gelap, panggil-panggil istrinya, “Kitty, Kitty, di mana engkau?” Istrinya sedang duduk diam di meja makan, dan ruangan gelap. Ini saja harusnya sudah membuat Oppenheimer peka, tapi dia mengatakan, “Kitty, Kitty, kita harus merayakan ini!” Istrinya memeluk dia, “Kenapa?” “Karena proyekku berhasil, aku akan jadi kepala proyek, dsb., dsb.” “O, ya, good, ayo kita rayakan”. Lalu terdengar suara anaknya menangis, dan Oppenheimer langsung bilang, “Kamu bukannya harus ke atas, tolongin dia.” Serta-merta si istri mendorong Oppenheimer, “Seharian saya sudah urusin dia, kamu pikir saya ngapain??” Si Oppenheimer bicaranya juga dengan tampang biasa saja, “Itu kerjaan lu ya, kerjaan lu”.
Satu lagi cerita yang saya rasa perlu diulang, cerita dari Dr. Richard Pratt waktu dia pergi dalam acara debat tiga agama besar, Keyahudian, Islam, dan Kristen, di suatu universitas. Dia mengatakan, dalam debat-debat seperti itu kita biasanya ingin tahu siapa lawan debat, apa argumennya, bagaimana meresponsnya, dsb., tapi dia justru lebih tertarik melihat para suporter yang dibawa para pemuka agama ini, seperti apa orangnya. Dia melihat kalau orang Yahudi, tentu pakai baju Yahudi, topi Yahudi, dsb.; orang Islam pakai baju muslim, berjilbab, dsb.; orang Kristen yang bersama dia malah pakai baju mencong-mencong, hancur-hancuran, parah. Tapi satu hal menarik, di antara suporter-suporter dari pihak Islam ada wanita-wanita berjilbab yang bule, mata biru, rambut pirang. Richard Pratt bingung, karena sering kali wanita Barat itu progresif, feminis, modern, sedangkan sering kali Islam dilihat sebagai agama ketimuran yang merendahkan wanita. Selesai debat, dia datang kepada wanita tersebut, tanya-tanya untuk memuaskan keingintahuannya. Jawaban pertama wanita ini sudah bikin nyesek, “Kamu tahu ‘gak, pria harusnya tidak bicara pada wanita?? Bukan cuma Al Quran yang mengatakan tapi Alkitab juga” (sampai sekarang saya belum menemukan di mana kalimatnya). Lalu yang kedua, wanita ini mulai bercerita alasannya dia sampai masuk Islam. “Saya ini dulu juga wanita karier, feminis; saya juga mencari apa yang wanita-wanita Barat kejar, kebebasan, uang, karier, pencapaian, bla-bla-bla, sampai saya menyadari satu hal: untuk saya bisa maju dalam karier, saya harus berhenti jadi wanita dan mulai jadi pria. Itu sama sekali bukan feminisme, itu feminisme yang palsu.” Maksudnya apa?
Seorang penyanyi, Billie Eilish, belum lama ini mengeluarkan satu kalimat menarik –tentu saja kita tidak setuju keseluruhan kalimatnya– dia mengatakan, “Kalian coba lihat deh, wanita secara umum memang nice, lebih baik dari para pria; kenapa? Lihat saja, kalau pria kencan dengan wanita, atau lihat gambar wanita di Instagram dsb., langsung keluar penghakiman ‘terlalu kurus, terlalu gendut, kurang sexy, kurang ini, kurang itu’, semua keluar. Sangat natural untuk para pria mengomentari tubuh wanita seperti ini. Tapi ketika kami, para wanita, berkencan dengan para pria, apakah kami ada komentar seperti itu?? Kalau kamu kurus, six pack, ya, oke juga. Kalau kamu sedikit gendut, ‘gak masalah juga, kami bisa ada yang senang juga, kami tidak masalah karena kami sayang sama kalian. Itulah wanita, wanita lebih nice daripada pria.” Memang ini kalimat generalisasi karena tentunya ada juga wanita yang picky, tapi yang menarik, memang wanita secara general lebih ramah, lebih sopan, lebih ingin merangkul. Kembali ke cerita Dr. Richard Pratt. Wanita barat tadi mengatakan, “Kalau saya dalam dunia karier, ujungnya saya harus membunuh semua itu kalau saya mau maju, saya harus injak-injak orang seperti para pria, saya harus ganas, saya harus ruthless. Ujungnya, itu bukan memperjuangkan kewanitaan, tapi simply membunuh kewanitaan demi membuat wanita jadi pria.” Tajam sekali analisanya. Dr. Richard Pratt dalam ceritanya, dia menceritakan ini dalam sebuah seminar, lalu dia bertanya, “Para wanita yang datang hari ini, bolehkah angkat tangan siapa yang setuju dengan kalimat wanita tersebut?” –dan semua wanita angkat tangan.
Saudara, para wanita bukannya tidak mau jaga anak, tapi wanita menyadari satu hal, yang dirayakan oleh dunia bukanlah “jaga anak”, yang dipuji dan diapresiasi oleh dunia adalah apa yang para pria lakukan dan dapatkan. Itu sebabnya mau tidak mau para wanita melihat, “Kalau begitu, ya, kenapa saya harus jaga anak juga?? Kalau para pria dipuji-puji karena mereka mengorbankan anak dan keluarga demi karier, kenapa saya tidak bisa mendapatkan hal itu??” Itulah psikologinya. Akhirnya mereka mengejar hal tersebut, hanya untuk pada akhirnya tabrak tembok, karena ujungnya mereka harus membunuh kewanitaannya kalau mau sukses dalam karier. Wanita Barat tadi mengatakan kepada Dr. Richard Pratt, “Satu hal yang saya harus bunuh kalau mau jadi wanita karier, adalah membunuh sense keibuan saya, karena menjadi ‘mama’ di dunia karier, itu dihina habis-habisan, dianggap sebagai tidak bertanggung jawab.” Dan dia mengatakan, “Inilah sebabnya saya masuk Islam, karena dalam Islam kewanitaan dihargai, karena dalam Islam menjadi seorang mama adalah penghormatan besar. Jadi cara saya menjadi seorang feminis sejati, yang memperjuangkan kewanitaan sebagaimana saya sendiri merasakannya, adalah dengan masuk Islam.” Mengejutkan. Dan, saya rasa menyedihkan juga. Kenapa? Karena sering kali dalam culture Kristen, kita tidak sadar akan hal ini.
Panggilan kewanitaan dalam Alkitab, bagaimanapun juga bukan model yang progresif, urban modern. Tapi jangan pernah pikir ketika Alkitab memanggil wanita untuk merenungkan baik-baik akan panggilannya sebagai seorang ibu, itu berarti kembali ke gambaran patriarkhal tradisional yang memandang rendah wanita. Yang Saudara lihat dalam gambaran ini, justru betapa tinggi Allah menaruh tangan seorang wanita, tangan yang mengganti popok itu; karena demikianlah Allah Alkitab, Ia mengambil apa yang dunia anggap rendah, untuk menjadi alat-Nya mendatangkan mukjizat terbesar atas dunia ini. Dan gilanya, waktu dunia memandang rendah kewanitaan/keibuan, mereka melakukannya atas dasar yang ngawur –dan itu jelas salah– tetapi Tuhan berhak memandang rendah Hawa karena lewat Hawa-lah dosa masuk ke dalam dunia, namun Tuhan, Allah Alkitab, malah mengambil apa yang orang tunjuk sebagai penyebab kejatuhan, menjadi alat-Nya untuk mendatangkan keselamatan-Nya. Amazing grace!Ini hal yang ketiga.
Keselamatan bukan cuma datang melalui kutukan, keselamatan bukan cuma datang melalui deklarasi perang, keselamatan bukan cuma datang melalui cara dan orang yang kita tidak sangka-sangka, tapi hal yang keempat: keselamatan dimulai melalui janji akan kemenangan tapi juga janji akan kematian. Ayat 15: “Ia akan meremukkan kepalamu, tetapi engkau akan meremukkan tumit-Nya.”
Waktu dikatakan, “Ia akan meremukkan kepalamu”, Saudara mungkin pikir gambarannya seperti satpam-satpam kompleks yang waktu ketemu ular, mereka ambil tongkat menghajar kepala si ular sampai mati, tapi gambaran Tuhan tidak demikian. Tuhan mengatakan, “Aku akan menghabisimu, meremukkan kepalamu”, namun tidak berhenti di situ; Tuhan mengatakan, “Ia yang datang ke dunia melalui wanita itu, akan mendapatkan kemenangan atasmu, ular, tapi Ia mendapatkan kemenangan itu dengan cara membayar dengan nyawa-Nya, kamu akan meremukkan tumit-Nya, kamu akan membunuh Dia; meskipun dengan membunuh-Nya, Dia akan membangkitkan banyak orang kepada kehidupan yang kekal.” Inilah keselamatan; keselamatan yang dimulai melalui janji kemenangan tapi juga janji kematian. Kenapa harus seperti ini? Pada dasarnya jawabannya adalah: kalau ini kemenangan yang menuntut harga begitu berat, begitu mahal untuk dibayar, itu adalah karena pelanggarannya juga pelanggaran yang begitu berat, itu adalah karena dosanya juga dosa yang begitu mahal harganya.
Lalu apa signifikansinya? Signifikansinya adalah kembali ke hal yang pertama tadi, mengenai kenapa ular kena kutukan tapi Adam dan Hawa tidak; bagaimana bisa Adam dan Hawa terlepas dari kutukan tersebut. Mereka mendapatkan akibat, itu jelas; tapi kenapa mereka sendiri tidak terkutuk? Koq, bisa?? Apa jawabannya? Jawabannya adalah: karena Benih yang dijanjikan, Anak yang dijanjikan, Dialah yang akan menanggung kutukan tersebut. Itulah caranya kemenangan akan datang. Adam dan Hawa tidak pernah mendengar Tuhan mengatakan, “Aku mengutuk engkau”, tetapi Sang Anak lalu menanggung kutukan Allah Bapa di atas kayu salib, di tempat mereka, di tempat semua orang yang percaya kepada-Nya. Dia yang harus berteriak, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Kau meninggalkan Aku?” bukan Adam, bukan Hawa. Sang Anak, dan Sang Bapa, tahu jawaban dari pertanyaan itu; apa jawabannya? Ada lagu yang mengatakan, “M’ngapa Yesus turun dari surga? Kasih-Nya, ya, kar’na kasih-Nya”; itu benar, tapi saya rasa jawaban itu kurang, akan lebih bagus kalau dikatakan, “Bukan cuma kar’na kasih-Nya, tapi kar’na dosaku, ya, kar’na dosaku.”
Di Taman Eden, Adam dan Hawa mendengarkan kata-kata ular, “Ada something better daripada Tuhan, you know, dan sesuatu yang lebih baik daripada Tuhan itu cuma bisa kamu temukan dengan cara kamu melanggar perintah Tuhan. Kalau kamu melanggar perintah Tuhan, kamu akan jadi seperti Tuhan, kamu akan medapatkan hal-hal yang Tuhan sembunyikan darimu, yang lebih baik dari hal-hal yang dia berikan kepadamu.” Ada sesuatu yang lebih baik daripada Tuhan, manusia mempercayai hal ini, manusia bertindak atas hal ini; dan apa yang terjadi? Ini malah menjadikan mereka hancur. Itulah cerita manusia. Hal yang kita pikir membebaskan kita, yang kita kejar-kejar, selalu ujungnya malah menjerumuskan kita. Bagi para wanita, misalnya mengejar karier, mereka pikir itu akan membebaskan mereka, meng-emansipasi mereka, tapi ujungnya tabrak tembok; atau cowok-cowok, maunya melepaskan diri dari tanggung jawab mengurus anak, karena kami merasa ini kebebasan.
Dalam sosmed-nya para goweser, Strava, di situ kalau kita friend dengan seseorang, kita bisa lihat activity-nya dia, dia pergi ke mana, dia gowes berapa lama, dsb.; dan belum lama ini grup kami heboh karena ada salah satu yang pergi ke Taiwan, gowes mengelilingi Taiwan beberapa hari, sampai 1000 km lebih. Melihat itu, kami semua ngiler abis, enak banget, bebas banget bisa gowes kayak begitu, luar biasa, bisa buang waktu satu minggu, bisa tidak usah urus anak, bisa tidak usah urus kerjaan, gowes doang setiap hari, bebas! Tapi lama-lama, saya baru sadar satu hal, kalau orang tersebut sampai bisa pergi semingguan di luar negeri, meninggalkan anak, istri, kerjaan, itu cuma berarti satu hal, bahwa orang ini tidak berguna di dalam pekerjaannya, tidak berguna di dalam keluarganya, tidak dibutuhkan bagi orang-orang di sekitar hidupnya. Waktu itu di antara kami mengobrol, “Kalau istri kita, mau ‘gak ya, mengizinkan kayak begitu?” Ada yang bilang, “Istri gua baik, kalau gua minta, dia akan setuju, anak-anak gua juga bakal survive-lah seminggu begitu, ‘gak bakal mati.” Tapi itu bukan poinnya. Tentu saja anak-anak itu akan survive, lagipula survival mereka bukan bergantung pada Saudara tapi pada Tuhan; tapi satu hal yang pasti, kalau saya tanya istri saya, “Boleh tidak, saya pergi seminggu begini?” dan dia bilang, “O, boleh, silakan”, saya akan merasa ada something wrong. Kalau Saudara mau gowes semingguan di Taiwan, dan istri oke, istri ‘gak butuh Saudara di rumah, malah dibelikan tiketnya sekalian, itu bukan kebebasan, ini berarti ada something yang sangat wrong; Saudara mungkin bukan cuma tidak dibutuhkan, Saudara tidak diharapkan ada, karena mereka akan bisa melakukan hal-hal yang selama ini tidak bisa dilakukan berhubung Saudara ada, maka begitu Saudara pergi, mereka bisa bebas. Itu berarti kehadiran Saudara tidak menjadi berkat bagi orang lain. Saudara rasa ini kebebasan??
Allah memandang kepada orang-orang yang baru saja memilih kebodohan seperti itu, memilih sesuatu di atas diri-Nya, memilih sesuatu dengan menganggap itu lebih baik daripada apa yang mereka dapatkan dari Allah; dan apa respons Allah? Allah berkata, “Aku akan pergi berperang bagimu. Aku akan mengirimkan Anak-Ku bagimu; dan bersama-sama dengan Anak-Ku, Kami akan menanggung kutukan yang harusnya engkau terima karena engkau memberontak terhadap Kami, karena engkau memilih cinta yang lain dibandingkan cinta kami. Kami akan menelan kutukan yang harusnya engkau terima itu, supaya ketika engkau percaya kepada-Nya, engkau menerima semua berkat yang harusnya Ia patut terima.” Inilah nubuat yang pertama akan kedatangan Kristus.
Kiranya ini boleh mempersiapkan kita untuk menyadari, bahwa inilah yang paling kita butuhkan, inilah yang paling kita perlukan, bukan yang lain tetapi Kristus dan kedatangan-Nya dalam hidup kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading