Kalau dalam liturgi hari ini kita menyanyi “Allah Jadi Benteng yang Kukuh”, kita tahu bulan ini bulan sucinya orang Reformed, bulan Reformasi. Tapi hari ini kita akan membahas satu tema yang mungkin tidak terlalu berkaitan dengan Reformasi, yaitu tentang penggembalaan atau konseling. Kita berharap lewat tema ini, kita sebagai satu jemaat bisa menjadi jemaat yang saling menggembalakan, yang saling menasihati. Roma 15:14, “Saudara-saudaraku, aku sendiri memang yakin tentang kamu, bahwa kamu juga telah penuh dengan kebaikan dan dengan segala pengetahuan dan sanggup untuk saling menasihati.”
Saudara, kita melihat di zaman sekarang banyak sekali kebutuhan untuk konseling; kalau sedang galau, kita merasa, “Ah, saya perlu konseling”. Dan dalam hal konseling, biasanya pemikirannya langsung ke para profesional, ke para psikolog, psikiater, atau hamba Tuhan. Tapi kata “konseling” itu sendiri, yang dalam bahasa Inggrisnya “counseling” dari kata “counsel”, adalah suatu kata yang sangat umum yang artinya nasihat. Berarti, konseling bisa dilakukan oleh siapa saja; dan justru adalah bagian kita sebagai jemaat untuk saling menasihati. Jadi tidak perlu melihatnya sebagai sesuatu yang sangat misterius, formal; tapi bahwa juga waktu kita bercakap-cakap, ternyata ada hikmat/bijaksana Tuhan yang kita bisa berikan kepada sesama.
Konseling atau penggembalaan ini, apakah hanya terjadi satu lawan satu secara personal, atau bisa juga Tuhan kerjakan dalam konteks Ibadah? Ini yang kita ingin coba gali bersama-sama, bagaimana Tuhan menggembalakan jemaat bukan hanya lewat situasi formal –satu orang bertemu satu orang, hamba Tuhan dengan satu jemaat dalam permasalahannya– tapi juga lewat Ibadah.
Ibadah ini penting, karena waktu kita membahas mengenai Reformasi, kita melihat bagaimana jemaat Tuhan di zamannya Luther atau Calvin menyerap ide-ide mengenai Reformasi; apakah dengan mereka membaca pamflet-pamflet teologinya Luther? Kemungkinan besar tidak, karena banyak dari mereka yang buta huruf. Jadi bagaimana ide-ide Reformasi bisa tersebar dengan begitu luas? Di sini kita melihat para reformator menyebarkan ide-idenya atau pemikirannya lewat dua cara yang paling umum, yang semua jemaat alami, yaitu di dalam Ibadah; dan dalam Ibadah ada 2 komponen besar yaitu khotbah dan liturgi. Ini adalah dua hal yang menyebabkan Reformasi terjadi di dalam umat Tuhan. Misalnya, yang namanya Reformasi, itu bukan hanya ketersesatan dalam bidang theologi; kita berkata, “Wah, jual surat pengampunan dosa itu sesat; banyak sekali kesesatan di dalam cara menafsirkan Alkitab”, tapi bukan hanya itu. Yang sangat dikritisi oleh para reformator adalah kekacauan dalam bidang Ibadah. Banyak sekali hal-hal dalam Ibadah, baik khotbah maupun liturgi, yang tidak berdasarkan Alkitab. Kita tahu, khotbah secara pengajaran perlu direformasi, tetapi liturgi ternyata juga sangat perlu direformasi. Itulah yang dilakukan oleh para reformator.
Kita hanya akan membahas salah satu contoh liturgi. Misalnya, di dalam zaman Luther, ketika orang mengikuti Perjamuan Kudus (Eucharist), ternyata jemaat hanya menerima roti, tidak menerima anggur. Kemudian coba dianalisa kenapa demikian, karena bukankah Perjamuan Kudus harusnya roti dan anggur; dan ternyata konon karena muncul banyak pelanggaran yang terus-menerus dari beberapa orang yang ceroboh menumpahkan anggur. Seperti Saudara tahu, anggur itu dipercaya sebagai darah Kristus, sehingga menumpahkan darah Kristus itu betapa kurang ajarnya; dan oleh karena itu jemaat tidak lagi diberikan anggur, hanya diberikan roti. Luther kemudian protes, bagaimana mungkin seperti itu karena bukankah menurut Alkitab, kita berbagian di dalam roti dan anggur, bukankah Kristus berkata darah-Nya tercurah bagi semua orang dan bukan hanya bagi kaum rohaniwan. Dari situlah mulai ada reformasi liturgi; gereja-gereja lokal yang menerima paham Reformasi, sekarang memberikan roti dan anggur kepada jemaat. Ini berarti di zaman itu kita bisa tahu gereja mana yang menerima paham Reformasi dan gereja mana yang tidak, yaitu ketika datang dalam Perjamuan Kudus. Gereja yang menerima paham Reformasi, memberikan roti dan anggur; yang menolak Reformasi, hanya roti saja. Dari situ kita bisa melihat bagaimana Reformasi membuat banyak sekali perubahan di bidang khotbah, maupun juga liturgi.
Luther sendiri mendobrak atau menelurkan reformasinya itu, sangat didorong bukan melulu oleh urusan theologi tapi juga urusan-urusan yang sangat personal di dalam jiwa manusia (pergumulan jiwa manusia). Di dalam filmnya digambarkan, yang menyebabkan Luther memakukan 95 tesis, adalah karena jemaatnya, seorang ibu yang mempunyai anak yang agak lumpuh, ikut dalam pertemuan orang yang menjual surat pengampunan dosa, namanya Tetzel, yang berkata, “Ibu, apakah engkau ingin anakmu yang lumpuh itu masuk surga? Atau engkau ingin anakmu yang lumpuh itu terbakar di dalam api neraka??” Ibu ini berkata, “Aku mau dia masuk surga…”. Lalu orang itu berkata, “Belilah surat pengampunan dosa bagi anakmu ini!”, dan ibu ini membelinya. Besoknya ibu ini datang ke Luther, menunjukkan dia sudah beli surat pengampunan dosa. Di situ Luther bilang, “Lu beli begituan?? Alamak… itu cuma kertas, itu tidak bisa menghapuskan dosa! Keterlaluan, cari cuan dari penderitaan orang, dari kegalauan jiwa manusia. Ibu beli berapa?” Si ibu mengatakan, “Saya beli 2 gulden”, lalu Luther mengambil 2 gulden dari dompetnya, “Ibu, ini 2 gulden, rawatlah anakmu”. Tetapi hati Luther begitu terbakar, dan dia menuliskan 95 tesis lalu memakukannya. Jadi Saudara bisa lihat, Reformasi bukan sekadar urusan theologi, tapi juga sangat berkaitan dengan keadaan dan pergumulan jemaat pada saat itu. Reformasi sendiri merupakan gerakan pelayanan pastoral, karena para reformator sangat peduli dengan keselamatan jiwa manusia (zaman dulu orang sangat concern dengan keadaan jiwa mereka, sedangkan kita sekarang concern-nya urusan mental, mental health).
Saudara, yang kita ingin lihat adalah bagaimana khotbah dan liturgi sangat penting, dan dua-duanya ternyata membentuk kita. Dalam hal pentingnya khotbah, itu tidak perlu diragukan lagi dalam jemaat GRII. Setiap kali katekisasi, kami para hamba Tuhan akan menerima berkas-berkas dokumen dari jemaat yang di-katekisasi, berisi tulisan-tulisan kesaksian dan juga survei. Salah satu surveinya adalah: “Apa yang membuat Saudara tertarik datang ke GRII?” Kira-kira apa yang menyebabkan orang pindah ke GRII? Persekutuannya yang hangat? Lagu-lagunya yang sesuai dengan zaman? Atau pengajarannya yang Alkitabiah, dan dalam, dan filosofis? Hampir semua menjawab “pengajaran”. Jadi bahwa pengajaran membentuk kita, bahwa khotbah sangat membentuk hati kita, warga GRII tidak perlu terlalu diceramahi lagi, tapi saya rasa kita sangat bolong di dalam hal “liturgi”. Kemarin saya khotbah dalam retreat katekisasi tentang tema “liturgi”; saya berkata, “Kita sangat paham pentingnya khotbah, maka kita tidak bakal telat untuk khotbah, tetapi kita telat untuk semua yang lain” –liturgi sangat tidak dianggap penting, yang penting khotbahnya. Oleh karena itu kita sekarang ingin melihat, apa sih pentingnya liturgi di dalam Ibadah, dan kita akan melihat bahwa liturgi sangat penting.
Seorang penulis, James Smith, menasihati seorang anak muda yang baru saja tergugah dan sangat bersemangat membaca tentang Calvinisme, TULIP, Lima Pokok Calvinisme –dan saat itu akan pindah kota. Anak muda ini tanya, “Apa pedoman-pedoman untuk saya nanti cari gereja di sana, apakah saya harus mencari gereja yang mengajarkan Calvinisme?” James Smith bilang, “Ya, tentu. Tapi, saya ingin mengingatkan kamu, hai anak muda, jangan hanya cari gereja yang hanya mengkhotbahkan Calvinisme, tapi juga yang seluruh kebaktiannya benar-benar membawa engkau ke dalam pengenalan akan Tuhan, yang gerejanya adalah juga satu keluarga umat Tuhan yang bertumbuh bersama-sama. Jadi yang namanya datang ke gereja, kamu jangan melihatnya sebagai datang ke lecture hall, karena yang namanya Ibadah, itu bukan hanya mencari informasi, melainkan untuk kamu diformasi, dibentuk”. Jadi yang dinasihati oleh James Smith kepada anak muda tersebut, bahwa gereja adalah the place where God invites us to renew our loves, reorient our desires, and retrain our appetites —gereja adalah tempat di mana kita diundang oleh Tuhan untuk memperbarui cinta kita, kembali mengkalibrasi hasrat kita, dan juga untuk melatih selera kita. Kita akan membahas lebih seksama poin “melatih selera” ini (membentuk selera), bagaimana khotbah, dan juga liturgi, membentuk selera kita.
Yang namanya selera, itu tidak netral, tidak kita pilih secara sadar. Misalnya, kenapa Saudara suka duren dan tidak suka keju bau ketek yang di Belanda; kenapa orang Belanda kalau datang ke Indonesia akan bilang, “Durian itu bau sampah, koq kalian suka?”, dan saya akan bilang, “Kejumu bau kaos kaki, kalian kenapa suka?” Kenapa, Saudara? Ya, karena kita lahirnya demikian, kita suka duren, kita suka sup berwarna seperti comberan tapi nikmat (rawon), karena kita lahir di Indonesia, kita sejak kecil sudah dilatih seleranya menyukai makanan-makanan tersebut. Misalnya, kenapa Saudara suka dangdut, kenapa suka K-Pop, kenapa suka Liu Te Hua, ya, karena mungkin sejak kecil dilatih mendengar musik-musik demikian tanpa kita pilih. Kemarin saya dijemput Vikaris William, dan di mobilnya diputar lagunya Liu Te Hua (Andy Lau). Dia bilang, “Anak saya hafal lagu ini”; kenapa? Karena kakeknya setiap kali antar jemput anak ini, dia pasang lagu tersebut, jadi anak ini bisa hafal, seleranya sudah begitu –dan itu tanpa dia memilih. Menurut riset, hanya 5% dari aktifitas sehari-hari yang kita pilih secara intensional, sedangkan 95%-nya tidak kita sadari. Model baju yang kita pilih, jenis lagu yang kita pilih, dan segala sesuatu yang lain, itu datang tanpa kita pilih. Desire atau hasrat, ternyata sudah terbentuk sejak kita kecil oleh lingkungan tanpa kita sadar. Dan, orang dunia (orang marketing) sepertinya lebih mengerti “doktrin manusia” ini, bahwa kita adalah desire being, bukan sekadar thinking being dibanding kita. Saudara tahu merk “Victoria Secret” (bra/beha)? Mereka tidak memasarkan produknya dengan memberikan benefit-benefit seperti misalnya, cutting-nya kayak apa, bahannya bagaimana, dibuatnya di mana, dsb., melainkan dengan membiarkan model-model yang berwujud malaikat itu berjalan-jalan pakai produknya, lalu boom! setiap orang tertarik untuk membeli, karena para wanita punya imajinasi “kalau saya beli produk itu, saya akan jadi seperti malaikat, seperti mereka”. Itulah yang dilakukan; bukan lewat jalur pengetahuan tapi lewat beauty, lewat keinginan, lewat hasrat. Tapi banyak dari kita, Gereja, masih berpikir bahwa cara untuk membentuk adalah dengan cara rasio –“Kamu punya masalah? Baca buku ini”–pokoknya dengan informasi– sedangkan sering kali kita dibentuk lewat formasi, bukan hanya sekadar informasi, formasi yang datangnya lewat hal-hal yang kita alami, yang kita lakukan sehari-hari.
Agustinus berkata, “Jiwa kita tidak akan pernah damai, tidak akan pernah menemukan ketenangannya sampai dia beristirahat di dalam Engkau”; bahwa jiwa selalu mencari, menghasratkan sesuatu, dan tidak akan pernah tenang sampai akhirnya menemukan hasrat kita hanya di dalam Kristus. Kenapa? Agustinus bilang, karena pada dasarnya manusia adalah loving being; inti yang paling dasar dari manusia adalah cinta. Manusia tidak bisa hidup tanpa cinta. Manusia akan selalu mencintai, dan berusaha untuk dicintai. Manusia baru bisa tenang kalau dia mencintai, dan dicintai balik. Itu yang mengakibatkan Agustinus berkata, “Kalau kamu mencari cinta di dalam berhala-berhala, kamu tidak akan pernah tenang, karena kamu mencurahkan segala cintamu kepada berhala tapi berhala tidak akan pernah balik mencintaimu, jadi cinta sepihak, bertepuk sebelah tangan. Kamu hanya bisa tenang jiwanya kalau kamu memberikan cintamu kepada Kristus yang mencintaimu kembali, bahkan Kristus terlebih dahulu mencintaimu, dan kamu yang berespons terhadap cinta-Nya”.
Saudara, selera kita tidak netral, selera kita tidak kita pilih, tapi selera kita bisa kita latih ulang. Sama seperti Saudara yang sukanya makanan lemak-lemak, yang tidak sehat tapi nikmat, waktu harus berusaha makan sehat, itu susah banget karena rasanya tawar, tidak enak. Saya rasa sengsara waktu seminggu pertama di Belanda makannya yoghurt dan roti keras. Tapi setelah beberapa minggu, saya mulai meng-akulturasi gaya makan orang Belanda yang sehat, mereka makan siang cuma roti dan apel, padahal mereka badannya gede-gede (sementara saya dan Pendeta Ivan yang kecil makan nasi dan rawon). Kalau Saudara lama di situ, Saudara mulai mengadopsi dan melatih selera, dan akhirnya mulai menikmati makan seperti itu, mulai bisa makan sandwich dan apel. Dan, itu sesuatu yang harus dilatih. Dilatihnya bukan dengan berpikir “saya mau makan apel sekarang”, tapi dengan melihat setiap orang melakukan hal yang sama, lalu kita lakukan juga.
Waktu saya tinggal di Singapura, saya dan istri pernah berantem hanya karena urusan makan bak kut teh (iga babi). Waktu makan, lemaknya saya buang dan saya makan dagingnya saja, lalu oleh istri saya lemaknya diambil dan dimakan. Saya marah-marah, “Itu ‘gak boleh! Itu lemak semua, nanti penyumbatan”, dsb. Tapi istri saya bilang, “Enggak, itu enak”, dan dia makan. Akhirnya berantemlah kami gara-gara urusan itu, karena saya ambil lemak dari bak kut teh dia dan buang ke lantai. Kemudian waktu saya ke Indonesia, masuk STT, saya ditempatkan di GRII Kelapa Gading yang makanan di sini dari ujung ke ujung babi semua. Lalu saya masuk OSG, yang bolak-balik setelah kebaktian, pergi makan babi. Awalnya saya tidak mau makan babi, saya pesan ayam, lalu mulailah ada apologetika dari jemaat, “Babi itu binatang yang paling jujur, daging dan lemaknya terpisah, tidak kayak sapi yang lemaknya disembunyikan di dalam dagingnya. Babi tampil apa adanya, ‘ini lemakku, ini dagingku’, tidak menutup-nutupi, maka seharusnya babi lebih kristen, lebih reformed, lebih jujur. Sudahlah kalau tidak bisa makan yang tebal, coba yang tipis-tipis dulu”, dan ternyata benar, enak, not bad. Lalu lama-lama kalau ditanya, “Makan di mana?” saya pilih yang ada babi. Yang seperti itu, datangnya dari mana, Saudara? Apakah datangnya lewat seminar, lewat pamflet? Tidak. Selera kita dilatih lewat kebiasaan dan lewat komunitas sehari-hari.
Selera kita tidak netral, tapi selera kita bisa dilatih. Jadi jangan berpikir, “Gua seleranya begini; saya hobinya dangdut, saya tidak menikmati musik klasik”. Saya juga awalnya tidak suka musik klasik, tapi saya ingat Pak Jethro dan juga Pak Billy bilang itu harus dilatih, maka saya mulai memaksa diri mendengarkan Bach, Mozart, Beethoven, sambil nyetir. Lama-lama enak juga, sampai suatu saat saya sudah tidak terpikir untuk menikmati lagu-lagu yang lain, langsung otomatis pilih klasik saja, dan ternyata bisa dinikmati. Jadi kalau Saudara tidak suka theologi, itu bukan “memang gua orangnya tidak suka theologi”, tapi justru harus dilatih. Dengan cara bagaimana? Dengan datang ke PA, ke SPIK, ke NREC, maka lama-lama mulai muncul selera theologi, Saudara mulai suka gali Alkiitab. Misalnya Saudara tidak suka doa, Saudara bilang, “Gua kalau doa, baru 1 menit, langsung ke langit tingkap ketujuh”. Kalau demikian, datanglah ke Persekutuan Doa –karena Saudara tentu malu kalau tidur di PD– maka di situlah mulai muncul selera untuk berdoa secara komunal.
Selera kita bisa dilatih, selera kita harus dilatih. Dengan apa? Dengan liturgi. Inilah yang kita ingin bahas, mengenai bagaimana liturgi atau Ibadah menggembalakan kita atau melatih selera kita. Tujuannya untuk apa? Yaitu sebagaimana dikatakan di ayat 14, supaya kita bisa menjadi satu jemaat yang sanggup untuk saling menasihati, saling menggembalakan. Kalau pakai istilah “penggembalaan”, otomatis kita pikir ini tugasnya gembala, tapi tidak demikian. Ternyata, yang namanya “pastoral care” itu bukan hanya tugas pastor, “penggembalaan” bukan hanya tugas gembala, tetapi seperti Paulus katakan di sini, “… aku sendiri memang yakin tentang kamu, bahwa kamu juga telah penuh dengan kebaikan dan dengan segala pengetahuan dan sanggup untuk saling menasihati”. Satu hal yang Paulus sangat yakini, bahwa jemaat bisa saling menasihati, dan juga mereka diperlengkapi untuk itu. Saudara, satu hal yang paling penting dalam konseling itu apa? Gelar S3 dalam bidang konseling? Tidak; melainkan cinta kasih, kepedulian, kebaikan, mau meluangkan waktu, medoakan –dan kita semua punya modal untuk hal tersebut. Hari ini kita mau membahas bagaimana liturgi membentuk kita untuk menjadi orang yang bisa saling menggembalakan, saling menasihati.
Apa karakteristik liturgi? Ada 3 hal. Yang pertama, liturgi adalah suatu praktek yang melibatkan tubuh (bersifat badani). Yang kedua, liturgi bersifat proses, yang lama, yang terjadi rutin, terus-menerus, berulang-ulang. Yang ketiga, liturgi bersifat komunal, terjadi di dalam komunitas.
Yang pertama, tentang praktek yang bersifat badani. Kita akan coba melihat bagaimana konseling atau penggembalan ternyata bisa terjadi di dalam konteks Ibadah. Misalnya orang mengatakan, “Pak, anak saya itu ‘gak pernah menurut. Kalau disuruh duduk, tidak bisa duduk, jalan-jalan terus; kalau disuruh makan, malah jalan-jalan. Susah taat.” Lalu Saudara pikir bagaimana caranya untuk dia belajar taat? Ternyata salah satu latihan untuk taat adalah di dalam Ibadah; ajaklah dia ikut Ibadah, maka Ibadah otomatis akan melatih ketaatan. Ibadah kesannya pasif, tapi sebenarnya sangat aktif. Waktu Saudara mendengarkan khotbah –yang kesannya adalah puncak Ibadah– sebenarnya semua duduk pasif, tidak ada yang goyang-goyang, dansa-dansa, dsb., sedangkan sepanjang liturgi lainnya justru Saudara aktif, berdiri, menyanyi, memberikan persembahan. Semua itu ada aktif-nya –mulut aktif memuji, telinga aktif mendengar– dan melatih kataatan, karena Saudara mengikuti aba-aba dari mimbar. Saudara tidak bebas melakukan apapun yang Saudara inginkan kecuali diperintahkan oleh sang liturgis di mimbar. Misalnya liturgis berkata, “Mari kita mengambil waktu teduh”, lalu ada orang tidak mau, maunya Pengakuan Iman Rasuli; sementara semua tenang, dia mengucapkan, “Aku percaya kepada Allah …”, itu jadi aneh sendiri ‘kan? Misalnya lagi liturgis berkata, “Mari kita menyanyi”, tapi dia tidak mau menyanyi, dia malah maju ke depan memberi persembahan; waktu liturgis bilang, “Saudara dipersilakan duduk, mari kita mendengarkan khotbah”, dia tidak mau, dia mau berdiri di depan. Itu sangat aneh. Saudara justru belajar taat di dalam Ibadah. Waktu semua berdiri, kita berdiri; semua duduk, kita duduk. Dan, ini juga yang dikatakan Aquinas.
Aquinas mengatakan, yang namanya kebajikan/kesalehan (virtue) dan sifat yang buruk/kejahatan (vice) adalah karakter yang tertanam di dalam kita, sehingga kita menjadi sejenis orang yang dikenal sabar, atau tenang, atau lainnya, karena kita sudah terbiasa melakukan hal-hal tersebut secara terus-menerus sampai jadi mendarah daging. Tapi sebelum hal itu mendarah daging, Saudara harus dilatih, harus ada yang namanya law (hukum). Aquinas berkata, orang yang perlu hukum adalah orang yang belum saleh, yang masih harus diingatkan. Kita para orangtua, pasti tahu anak kita tidak lahir dengan diprogram untuk sopan. Anak kita, factory setting-nya adalah tidak sopan, tidak ada lahir dengan sudah bisa bilang, “Pagi, mama; pagi, papa”. Mereka musti diajar untuk menyapa orang yang lebih tua, panggil “Om”, panggil “Tante”, jangan melengos saja. Tapi meski sudah puluhan kali atau ratusan kali, kalau di lift ada orang masuk, tetap saja harus disenggol, tetap harus terus diingatkan untuk sapa, baru mereka panggil, “Om, Tante”. Itulah maksudnya law, karena belum mendarah daging dalam hidupnya, perlu terus diingatkan. Sampai apa? Sampai mendarah daging, sehingga begitu ada orang dewasa lewat, dia akan berkata, “Om, Tante”. Itu berarti dia sudah tertanamkan. Demikian di dalam pemikiran Aquinas.
Hal-hal yang first nature sifatnya biologis; Saudara tidak usah berpikir ‘saya mau nafas atau tidak, saya harus kedip atau tidak’, itu sudah otomatis. Sedangkan second nature adalah hal-hal yang yang tidak otomatis tapi menjadi otomatis. Seperti apa? Ternyata beberapa karakter kita, untuk menjadi second nature kita, harus dilakukan dan disiplinkan terus-menerus sampai jadi otomatis, seperti misalnya berlaku sopan dalam contoh tadi. Dan, ternyata empati tidak serta-merta otomatis, empati harus diajarkan. Misalnya saya ajak anak saya ke rumah duka. Di sana dia lari-lari, tertawa-tertawa, main-main dengan adik-adiknya atau teman-temannya –juga karena pergi ke rumah duka sekarang mirip dengan datang ke kondangan– jadi saya musti bilang ke anak saya, “Ssst, tidak boleh …”. Lalu anak saya tanya, “Kenapa?”, dan saya bilang, “Sedang berduka; kalau ke rumah duka, kamu musti belajar ikut berduka, karena Om itu lagi sedih, Tante itu lagi sedih, kita datang ke sini belajar ikut merasakan kesedihan Om dan Tante itu. Dengan apa? Dengan setidaknya kamu jangan lari-lari, tenang, duduk di sini.” Berikutnya, datang lagi ke rumah duka, tetap musti diajar dan diingatkan lagi, sampai suatu kali nanti jadi otomatis, ‘O, kalau ke rumah duka tidak boleh tertawa-tertawa, main-main, lari-lari’. Mereka mulai belajar, dan mulai bisa berempati, “Om, Tante, turut berduka, ya” –mulai mucul second nature-nya tanpa harus diajarkan lagi, second nature yang sudah tidak perlu mikir langsung otomatis terjadi.
Karakter-karakter yang saleh ternyata tidak datang otomaatis, harus dilatih sampai jadi otomatis bagi kita. Misalnya karakter murah hati, itu juga tidak otomatis, harus terus-menerus dilatih untuk kita bisa rela memberi. Saudara mungkin bilang, “Tapi, Pak, kalau saya memberi tidak dengan rela, bukankah itu munafik?” Di sini kita harus membedakan antara munafik dengan disiplin. Saudara tahu, kalau saya lari maraton, dan untuk persiapan lari itu saya harus bangun pagi jam 4, itu tidak selalu dengan ‘O, saya sangat suka bangun pagi jam 4 untuk lari, untuk keringatan’, dst.; tetap saja rasanya badan masih ingin tidur, masih ingin nempel di ranjang, tapi ada target lari hari itu, dan harus lari. Itulah artinya harus melatih. Apakah saya kemudian sambil lari sambil merasa ‘saya munafik sekali, saya tidak ingin lari tapi saya lari’ ? Tentu tidak. itu namanya disiplin. Walapun saya tidak ingin, tapi karena hari itu adalah jadwalnya, maka saya harus lari, dan setelah itu ternyata menikmati. Jadi kita harus membedakan antara munafik dengan disiplin. Apakah Saudara akan membiarkan anak Saudara yang les piano bilang, “Ah, saya lagi ‘gak mau latihan, Ma”? Sadara tentu bilang, “Tidak bisa dong, ini jadwal latihan kamu; setiap hari musti latihan 1 jam”. Lalu anak itu bilang, “Saya lagi ‘gak mood; kalau lagi ‘gak mood tetap main piano, jadi munafik dong main pianonya”; apakah demikian? Saudara tentu akan bilang, “Tidak, kamu harus disiplin; kamu suka atau tidak suka, kamu harus tetap latihan terus-menerus”. Sampai kapan? Sampai suatu saat ketika hal itu sudah mendarah daging, sudah jadi second-nature-nya, dia sudah menikmati main piano, dan dia tidak lagi harus lihat terus-menerus jari-jarinya di atas piano, karena tuts piano dan jari-jarinya sudah menyatu, seakan-akan jari-jarinya bisa menari dengan nyaman. Itu karena apa? Untuk sesuatu menjadi second nature, perlu latihan terus-menerus, perlu disiplin yang melibatkan praktek bodily. Yang namanya disiplin, berarti kita memberi tempat dan memberi waktu untuk bertumbuh sampai hal itu menjadi sesuatu yang mendarah daging dan otomatis. Ini penting.
Body itu penting, karena body language atau body posturing ternyata berbicara akan sesuatu juga di belakangnya. Kalau Saudara google “counseling”, mungkin akan keluar gambar sebagaimana gambaran orang tentang psikolog, yaitu ada psikolog-nya sedang duduk, lalu ada sofa agak panjang dan orang yang sedang dianalisa selonjor di situ. Body posturing demikian itu menandakan ada hirarki antara “saya” sebagai psikolog dan “kamu” sebagai pasien, kamu yang bermasalah, saya yang mengobati/membereskan. Tapi dalam konseling Kristen, misalnya Jay E. Adams, dia menolak semua hal tersebut, dia melakukan konseling secara profesional seperti di kantor. Jadi jemaat datang ke kantor hamba Tuhan, ada meja antara tempat duduk jemaat dengan hamba Tuhan (jadi ada jarak), lalu dia mengkonseling, mendoakan. Tetapi generasi selanjutnya berkata, “Tidak harus begitu juga, kita bisa juga menghilangkan mejanya, cuma ada 2 bangku” –dan ini speak something juga, sekarang jadi yang mana konselor dan yang mana konseli. Dengan tidak adanya jarak, ini mau memberitahu sesuatu di balik body posturing tadi, bahwa saya dan kamu sama-sama bergumul, kamu punya masalah, saya pun sebenarnya punya masalah, kamu perlu bimbingan dan saya saat ini yang membimbiing, tetapi kita pun sebenarnya sama-sama masih di dalam progres; bukan kamu ‘orang yang masih dalam proses’ sementara saya sudah jadi, tapi sama-sama. Body posturing itu penting, demikian juga di dalam kita saling menasihati.
Poin yang kedua, pembentukan selera datangnya lewat proses dan rutinitas yang terus-menerus, yang berulang kali. Tapi, kalau Saudara punya masalah lalu Saudara datang ke konseling, sering kali attitude-nya sangat berlawanan dengan proses dan rutinitas. Ada yang mengatakan, banyak orang datang ke konseling dengan semangat datang ke bengkel.
Pendeta Ivan cerita, suatu kali ada orangtua murid telpon minta atur waktu untuk bertemu dia. Pak Ivan bilang, “Oke, Selasa jam 3”. Lalu orangtua murid ini bilang, “Oke, Pak, nanti saya datang bersama anak saya; Bapak tolong benerin dia ya, Pak”. Pak Ivan lalu jawab, “Bu, ini bukan bengkel, saya ‘gak bisa benerin anak Ibu dalam satu sesi”. Jadi jangan pikir asal datang bertemu hamba Tuhan satu sesi, maka semua masalah beres. Yang seperti itu namanya bengkel. Kalau mobil Saudara banyak masalah, bempernya baret, mesinnya bermasalah, dsb., lalu Saudara masukkan ke bengkel, Saudara expect dalam seminggu semua masalah diberesin dan begitu keluar sudah beres, itu namanya bengkel yang beres. Sedangkan bengkel yang tidak beres, waktu Saudara datang, minggu depannya harus datang lagi, minggu depannya harus datang lagi, harus kontrol lagi –dan Saudara tidak mau ke bengkel yang demikian. Tapi di dalam konseling justru Saudara tidak bisa datang seperti ke bengkel, karena manusia itu rumitnya luar biasa, seperti benang kusut.
Ada satu studi kasus dalam konseling; orang ini abusive terhadap isteri, punya masalah dengan orangtuanya, punya masalah dengan masa lalunya, keuangannya hancur, di kantor hampir dipecat karena tidak performed, lalu dia datang ke hamba Tuhan, “Pak, coba tolong diberesin dalam satu sesi”. Tidak bisa, Saudara. Seorang konselor yang bertanggung jawab akan berkata, kita harus rutin bertemu selama beberapa periode. Mungkin kali pertama hanya untuk dengar apa masalah dia. Lalu sesi kedua mungkin tanya lebih dalam lagi, apa sih yang menjadi inti masalahnya yang dia belum ceritakan. Berikutnya sesi ketiga mungkin baru bisa mengurai satu masalah doang, mungkin urusan relasi dengan istrinya. Sesi berikutnya baru membahas urusan pekerjaannya, berikutnya lagi tentang hubungan dengan orangtuanya, dst. Tidak bisa semuanya langsung dibereskan satu kali. Namun, kita yang hidup dalam zaman instan seperti sekarang ini, kita otomatis menginginkan yang namanya quick and instant result.
Banyak orang tua mengatakan, “Itulah generasi sekarang, maunya cepat, maunya gampang. Kalau kami dulu itu tangguh, tapi anak zaman sekarang lembek, ya, baru diomelin guru sudah nangis. Kami, dulu disiksa sama guru, dan tidak ada yang namanya orangtua datang ke guru untuk membela, apalagi sampai lapor ke Komnas HAM.” Kita dulu di sekolah hukumannya sabet rotan, dilempar kapur, kalau tidur langsung penghapus melayang. Sekarang, kalau sampai guru lempar penghapus, langsung viral di TikTok lalu gurunya dipecat. Jadi, bagaimana membuat generasi Stroberi sekarang ini lebih tangguh? Ternyata kalau kita teliti lebih mendalam, alasannya adalah karena mereka memang beda generasi. Ini generasi yang sudah sangat digital native, sejak lahir sudah ada iPad. Saudara yang lahir di zaman TVRI, kalau mau nonton Doraemon harus tunggu hari Minggu jam 8 pagi, kalau mau nonton MacGyver hari Jumat jam 8 malam; lalu lagi seru-serunya MacGyver mau mati, keluar tulisan “bersambung”, harus tunggu minggu depan. Sedangkan Netflix sekarang, kita bisa langsung nonton next episode, next episode, dst., gampang. Dulu kalau kita mau buka email, menunggunya bisa sambil bikin kopi dulu; mau nge-print, bisa sambil bikin Indomie; kalau lapar, ingin makan bakwan, musti tunggu tukang bakwan lewat. Kalau sekarang, begitu lapar bisa langsung GoFood, kalau bosan bisa langsung social media menghibur kita. Itu sebabnya kita zaman sekarang tidak terbiasa melewati proses menunggu lama, kita maunya instan, cepat, maka kalau ada problem juga maunya langsung, cepat.
Saudara, kenapa banyak sekali anak zaman sekarang bermasalah dalam relasi? Mungkin karena tidak ada gap waktu. Saya ingat waktu dulu kuliah di Singapura, saya terima satu surat yang bikin saya ngamuk besar pada mama, saya tonjok tembok, lalu saya tulis surat dengan berapi-api penuh kemarahan. Namun karena sudah malam, saya tidak bisa kirim suratnya ke pos, musti tunggu besok. Lalu setelah tidur tenang, besoknya baca lagi surat itu, rasa ‘gua koq kurang ajar banget’, akhirnya robek-robek lalu tulis lagi dengan hati lebih tenang, jadi tidak ada perang dunia ketiga. Seandainya waktu itu ada WA, lalu saya kirim tulisan itu, bisa-bisa saya dicoret dari kartu keluarga. Tapi sekarang yang terjadi kalau kita dapat WA marah-marah, kita balas dengan marah-marah juga. Setidaknya, kalau ada gap waktu sedikit, kita sudah bisa tenang, mungkin tidak ada perpecahan, tidak ada putus cinta, tidak ada patah hati, yang harus terjadi.
Jadi memang kita ini harus belajar menunggu dan salah satu belajar menunggunya dengan Ibadah –ibadah fisik, bukan live streaming. Kalau Saudara ibadah live streaming, lalu rasa mulai bosan, ‘Pak Heru ini udah kelamaan, di-pause sajalah’, langsung pencet pause, tapi kalau fisik ‘kan tidak bisa. Kalau ibadah fisik, biarpun Saudara sudah bosan, Saudara rasa kelamaan, musti tetap tunggu sampai selesai. Saudara musti menunggu. Ibadah memang seperti ini, liturgi memang seperti ini, suka atau tidak suka Saudara musti menunggu, musti belajar mengikuti urutan-urutannya. Dan, ini ternyata membentuk kita, membentuk jadi seseorang yang bisa menunggu, membentuk jadi seseorang yang bisa diproses oleh Tuhan. Kita tahu, memang proses pembentukan Tuhan itu takes time, datangnya lewat proses yang berulang-ulang juga. Jadi Ibadah ternyata membentuk kita tanpa kita sadar. Membentuk apa? Membentuk kita untuk taat, membentuk kita untuk belajar sabar. Ini pembentukan yang Saudara tidak bisa lakukan. Coba saja Saudara suruh anak remajamu untuk duduk tenang selama 1 jam tanpa lihat gadget, itu susah banget. Tapi dia bisa melakukan itu di dalam Ibadah; kenapa? Karena sudah terjadi setiap minggu, dia tahu itu, dan ekspektasinya ya, memang begitu kalau dalam Ibadah, tidak bebas main-main game, harus duduk dan tidak boleh keliling-keliling. Itulah pembentukan. Dia harus belajar taat, dia harus belajar menunggu, dan dia juga harus belajar peka terhadap orang lain –komunal.
Yang namanya konseling/penggembalaan, paling ideal terjadi di alam konteks komunal. Gambaran konseling sering kali seperti tadi, one on one, psikolog dengan pasiennya. Mungkin yang lebih tepat, gambarannya seperti kita sekarang ini dalam ibadah ini; di sini kita sedang mass counseling, sedang terjadi pembentukan. Yang kiita bisa lihat dalam hal ini, bahwa kita memerlukan orang lain; dan orang lain itu bisa berarti generasi yang berbeda. Saudara yang lebih muda, para remaja, mungkin berpikir ‘saya pertemanannya hanya dengan yang muda-muda’, tapi tidak demikian, kita juga perlu lintas generasi. Demikian juga yang tua perlu ada exposure terhadap generasi yang muda. Itu sebabnya ibadah inter-generasi sangat baik dan sangat penting, terutama karena sekarang di dalam gereja kita sudah tersegmen-segmen, ada Sekolah Minggu, PA Remaja, PA Pemuda, PA Wanita, PA Umum. Kita ternyata perlu belajar dari generasi yang sudah mendahului ataupun yang lebih muda. Dulu saya sering mengundang pasangan muda untuk datang ke rumah, membangun relasi. Mereka juga kadang-kadang tanya tentang pacaran, tentang persiapan pernikahan. Mereka belajar dari kami yang lebih senior, sekaligus kami juga belajar dari mereka yang lebih muda, yang masih lovey-dovey, masih cinta yang mula-mula, untuk kita yang sudah tua jadi dibakar kembali. Lalu dalam satu diskusi, kami mendengar tentang perlunya anak-anak bukan hanya punya sosok orangtua yang adalah papa-mamanya, tapi juga orangtua dari yang lain, yang mereka temukan di dalam gereja. Jadi saya bilang kepada istri, “Lain kali kita musti undang bukan lagi pasangan muda tapi teman-temannya Revive (anak Pdt. Heru) untuk datang ke sini”, karena ada anak-anak yang broken home yang ternyata mendapatkan sosok orangtua-nya dari om, atau tante, atau papa-mama teman-teman mereka yang lain.
Kemarin anak saya habis ujian diundang ke rumah temannya. Di sana ada play station dan ada teman-temannya main game. Dia tahu saya tidak suka main game, dan dia menikmati banget pergi ke situ. Jadi sekarang terbentuk liturgi baru, kalau selesai ujian, dia akan tanya, “Boleh ‘gak main ke rumah Om itu?” –karena di rumah Om yang itu ada liturgi baru. Om yang lain lagi, bisa ajak main sepak bola. Itu bagus juga, karena kita sebagai orangtua tidak sempurna, mungkin kita bisa mengajarkan dalam hal 1, 2, 3, tapi dalam hal sportifitas lapangan tidak bisa karena kita tidak sporty, dan mungkin bisa didelegasikan ke orangtua yang lain. Bukankah itu yang juga terjadi di dalam Baptisan Anak? Dalam Baptisan Anak, ketika hamba Tuhan membaptiskan, dia berkata kepada orangtuanya, “Sekarang inilah tanggung jawab untuk membesarkan anak ini dalam iman, kiranya Tuhan beranugerah kepadamu”, tapi kemudian hamba Tuhan juga memalingkan wajahnya kepada jemaat dan berseru, “Jemaat sekalian, kalian juga mempunyai tanggung jawab yang sama, untuk bersama-sama membesarkan, merawat, dan membina anak ini”. Jadi tugas membesarkan bukan hanya tugas orangtua kandungnya, tapi juga kita semua sebagai orangtua-orangtua “angkat”. Saudara tidak perlu jadi profesional, tapi Saudara bisa jadi paman, kakak, bagi bocil-bocil Sekolah Minggu.
Konseling memang paling efektif di dalam konteks komunal, OSG (cell group). Misalnya ada jemaat datang kepada Pendeta Jethro, “Aduh Pak, saya berbeban berat, saya rasanya sudah tidak mampu lagi menjalani hidup ini”, maka mungkin Pak Jethro dengan iba akan berkata, “Ya sudah, kamu kayaknya perlu istirahat, ambil cuti”. Itu karena apa? Karena mungkin sebagai hamba Tuhan tidak mengenal secara pribadi. Tapi kalau misalnya orang itu minta nasihat dalam OSG di mana Pak Jethro juga hadir, bisa jadi teman OSG-nya akan bilang, “Pak, jangan disuruh istirahat, dia memang malas, dia lagi cari excused saja. Saya tahu, dia orangnya memang begitu, justru kalau disuruh istirahat malah counter productive”. Kenapa bisa demikian? Karena ada perspektif-perspektif dari orang-orang yang lebih mengenal dia. Jadi kesannya yang dibutuhkan adalah rest, ternyata justru bukan; dan itu bisa tahu dari kita saling menasihati sebagai suatu komunitas.
Dalam PA Jumat saya membahas tentang kekeringan rohani, tentang orang Israel di padang gurun yang bersungut-sungut terus-menerus. Tuhan beri air, bersungut-sungut. Tuhan beri manna, mereka senang, lalu bersungut-sungut lagi. Musa pecahkan batu keluar air, bersungut-sungut lagi. Selalu bersungut-sungut. Lalu ada satu ibu tanya, “Pak, bagaimana menasihati teman saya yang komplain terus, masalah dia selalu paling besar, sungut-sungut terus; sebaiknya saya tinggal, atau saya doakan, atau justru tetap saya temani?” Saya mengatakan, orang yang sedang bersungut-sungut itu tidak bisa melihat anugerah Tuhan, bisanya melihat kesulitan. Jadi fungsi kita di sebelahnya justru untuk membawa pertolongan dengan cara meperlihatkan apa yang dia tidak bisa lihat. Apa yang dia tidak bisa lihat? Anugerah Tuhan. Coba minta dia, “count your blessing”. Misalnya dia bilang, “Saya orang yang paling kasihan di seluruh dunia, tidak ada orang yang peduli sama saya”, katakan, “Saya ini lagi di sebelahmu, apa ini lagi tidak peduli?? Saya mendoakan kamu, ini bukannya bentuk kepedulian?? Teman-teman kamu masih ada yang nanyain kamu, itu bukankah bentuk kepedulian?? Kamu belum diusir dari rumah, itu bukankah bentuk kepedulian orangtua kamu??” Jadi dia akan mulai melihat, ‘iya juga ya, saya bukan orang paling kasihan’. Saya teringat, Pak Jethro pernah memberitahukan bahwa esensi dari doa syafaat adalah berdoa bagi orang yang sedang tidak mampu berdoa; dengan demikian konseling juga bisa dilihat dalam angle yang sama, yaitu memperlihatkan apa yang orang di dalam masalahnya, tidak bisa lihat atau tidak mau lihat.
Waktu saya pelayanan di Stockholm, saya baru tahu ada PRII Stockholm yang ternyata sudah 17 tahun. Jemaatnya memang sedikit, hanya 20-30 orang, karena memang sedikit orang yang datang ke Stockholm dibandingkan ke Belanda atau Jerman. Lalu seorang ibu di sana bilang, “Pak, kami berbeban berat, sudah jemaatnya kecil, baru saja mereka mulai pelayanan, mulai tahu theologi Reformed, mulai bisa pelayanan, eh sudah selesai kuliahnya dan musti balik ke Indonesia. Lalu di sana jadi liturgis di Kelapa Gading, ikut choir di Bandung, dsb., jadi cabang-cabang lain yang menikmati. Susah ya, kami”. Lalu saya bilang, “Bu, panggilan tiap cabang berbeda. Memang Stockholm jangan bermimpi bisa bangun gedung gereja yang megah, bisa punya jemaat 300-400. Jangan harap, karena itu tidak mungkin. Tetapi, panggilan bapak/ibu di Stockholm mungkin jadi training center”. Saya kemudian cerita Singapore Airlines terkenal dengan training center-nya, sehingga setiap pilot dan pramugari setelah lulus dan selesai kontrak kerjanya di sana, langsung direbutin, oleh Qantas, Qatar, Emirates, dsb., karena sudah terkenal piawai. Jadi mungkin panggilan bapak/ibu di Stockholm adalah jadi training center untuk memperlengkapi cabang-cabang lain; karena di situ cuma 20-30 orang, maka semua ikut melayani –di dalam keterbatasannya– tapi karena dilatih terus-menerus selama 3 tahun, lama-lama jadi pengalaman, jadi bagus. Ibu tadi akhirnya bilang, “Betul juga, ya”. Jadi, kalau mereka bisa melihat panggilan mereka, bahwa bukan untuk keep tapi untuk sending out, maka nantinya ketika ada yang pulang ke Indonesia, mereka melepas bukan dengan, “Yah, pergi lagi satu orang”, melainkan dengan, “Pergilah dengan membawa berkat, dan jadilah berkat di cabang yang lain” –pengutusan.
Dalam Doa Berkat di akhir Ibadah, apakah Saudara menunggu karena, “Saya mau dapat berkat turun ke atas saya” ? Doa Berkat bukanlah terutama tentang kita mendapat berkat; pada awalnya Doa Berkat adalah tentang pengutusan. Sebagaimana Saudara di awal Ibadah dipanggil dari dunia untuk masuk ke dalam Gereja, sekarang Saudara kembali diutus keluar, ke dunia, untuk menjadi berkat.; dan sebelum Saudara diutus keluar, Saudara disertai oleh berkat Tuhan.
Itulah yang menjadi esensi dari Ibadah, tentang bagaimana kita punya selera di-train untuk bisa taat, untuk bisa menunggu, untuk peka terhadap kebutuhan sesama. Datangnya lewat apa? Bukan hanya lewat khotbah, tapi lewat liturgi, yang kadang-kadang membosankan, yang terus-menerus terjadi setiap Minggu, dan itu membentuk kita sampai suatu saat kita menjadi seperti Kristus bersama-sama.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading