Kita sedang dalam pembahasan satu seri singkat mengenai bagaimana kita mengenal diri Allah. Kita sudah memulai dengan membicarakan mengenai Allah Sang Pencipta, lalu Allah Sang Pemelihara, dan terakhir kali Allah yang mahakuasa. Untuk Hari Ulang Tahun GRII Kelapa Gading ke-24 ini kita akan membahas mengenai Allah yang adalah Allah yang berjanji, Allah yang bisa dipercaya. Kenapa kita membicarakan ini pada hari ulang tahun? Karena pada hari ulang tahun, perenungan mengenai “waktu” membawa kita untuk merenungkan relasi kita dengan Allah dalam “waktu”, dan ini artinya membicarakan bagaimana Dia setia kepada kita, apakah Dia akan menepati janjii-janji-Nya di masa lalu kepada masa depan dan seterusnya, apakah Tuhan itu bisa dipercaya (trust worthy). Inilah yang akan kita coba bicarakan, yaitu kenapa kita percaya (trust) kepada Tuhan, trust God dan bukan cuma believe, bukan cuma percaya ada Tuhan tapi percaya/mempercayakan diri kepada Tuhan.
Dalam pembacaan kita hari ini, Ibrani 6:12:20, membicarakan Allah yang karakternya apa? Yaitu bukan cuma Allah yang mencipta, bukan cuma Allah yang memelihara, bukan cuma Allah yang mahakuasa, tapi salah satu hal paling penting mengenai diri Allah Alkitab adalah bahwa Allah ini Allah yang mengikat diri-Nya dengan sumpah dalam sebuah perjanjian. Kenapa ini penting? Kenapa penting mempunyai Allah yang demikan? Kenapa penting untuk kita bisa percaya kepada Allah yang berjanji seperti ini? Dan, kenapa kita bahkan perlu percaya kepada Tuhan yang demikian?
Di ayat 19, gambaran yang diberikan adalah Yesus sebagai sauh (jangkar) bagi jiwa kita, dan bahwa jangkar ini jangkar yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir. Coba kita renungkan ini metafora ini, “jangkar bagi jiwa kita”. Kalau Saudara pernah berlayar atau naik perahu, Saudara bisa coba membayangkan apa yang membuat sebuah jangkar bisa menjadi jangkar yang baik? Kenapa jangkar diperlukan? Ambil contoh, suatu hari Saudara pergi bersama anak-anak mau memancing ikan di sungai. Tapi ikan-ikan di sungai itu kecil-kecil dan agak jarang, maka anak-anak mengeluh, mereka capek kalau memancing lalu cuma dapat ikan-ikan kecil. Saudara baru bisa menemukan ikan-ikan besar di danau yang besar atau di laut, jadi Saudara menyewa perahu dan mulai mengarungi danau yang besar. Kalau Saudara berhadapan dengan danau yang besar, yang ujung pesisir seberang sana tidak kelihatan, Saudara tahu bahwa tidak mungkin pergi sampai ke ujung, dan Saudara harus tahu kira-kira sebatas mana Saudara bisa pergi supaya nanti masih ada tenaga untuk mendayung balik pulang, atau masih ada waktu cukup untuk balik sebelum gelap. Saudara lalu mendayung dan mendayung sampai ke titik tersebut. Sampai di situ, Saudara tidak bisa hanya diam lalu memancing, Saudara harus melepaskan jangkar, karena jika tidak, perahu pelan-pelan terbawa arus, makin lama makin ke tengah, dan begitu Saudara sadar sudah telat. Dengan demikian, jangkar berfungsi untuk mengamankan kita. Tapi bagaimana persisnya sebuah jangkar mengamankan kita? Dalam hal ini jangkar perlu melakukan 2 hal: pertama, bahwa jangkar harus terpasang dan terikat kepada kita, harus ada rantai yang terhubung dengan kita, jangkar yang rantainya putus tidak ada gunanya, boleh dikatakan “jangkar harus ada komitmen terhadap kita”, jangkar yang fungsional tidak boleh putus dari kita; kedua, bahwa jangkar ini, selagi terikat kepada kita, juga harus bisa pergi masuk menembus ke tempat yang kita tidak bisa pergi. Jadi, jangkar harus bisa menyambung dengan kita, terikat dengan kita, tapi juga harus bisa pergi, masuk ke tempat yang kita tidak bisa pergi. Tentu Saudara tahu, jangkar bukan sekadar masuk ke air tok; kita sudah berada di air, dan air itulah justru problemnya, air tidak memberikan keamanan karena air selalu bergerak, tidak stabil, senantiasa berubah, itu sebabnya jangkar kita pakai bukan cuma untuk masuk ke air tapi untuk menembus air tersebut sampai tempat yang kita tidak bisa capai, yaitu dasar danau/laut, ke batu-batuan di dasar yang tidak bergerak itu, yang stabil itu, yang permanen itu. Jadi, jangkar tidak cuma perlu komit kepada kita, tapi juga harus bisa pergi ke suatu tempat yang kita tidak sanggup pergi, berlabuh di sana, sehingga keamanan dari tempat tersebut ditransfer kepada kita melalui si jangkar, melalui rantainya. Itu sebabnya di ayat 19 dikatakan “pengharapan dalam Yesus Kristus adalah jangkar jiwa kita”; kenapa? Karena jangkar ini telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir, ke tempat di mana kita tidak bisa pergi. Inilah gambaran jiwa manusia dalam kitab Ibrani.
Kita merenungkan hal ini lebih lanjut; gambarannya adalah jiwa manusia membutuhkan suatu jangkar spiritual. Dan, kalau kita pikir-pikir, seorang manusia perlu jangkar spiritual ini lebih daripada sebuah perahu membutuhkan jangkar besi. Kenapa? Karena perahu diombang-ambing di dalam air yang senantiasa berubah, tetapi jiwa manusia –hidup manusia– kita tahu hidup dalam realitas di mana dunia ini lebih parah daripada air; dalam dunia ini tidak ada security, tidak ada yang bisa kokoh, segala sesuatu berubah. Seorang filsuf Yunani, Heraclitus, pernah mengatakan kalau Saudara lihat sungai yang mengalir, sesungguhnya Saudara tidak bisa melangkah ke sungai yang sama 2 kali, karena sungainya sudah berubah, airnya sudah berubah, sudah mengalir. Bukan cuma sungai yang berubah sebenarnya, jalan raya pun berubah, perubahannya mungkin lebih lambat dibandingkan sungai tapi bagaimana pun juga berubah; setiap aspek dalam dunia berubah, dan perubahan-perubahan ini adalah perubahan yang tidak reversible, tidak bisa di-undo, tidak bisa kembali lagi. Dalam arti tertentu, bahkan ketika setiap hari kita pergi keluar, bekerja, lalu pulang kembali ke rumah, kepada keluarga kita yang kita tahu dan kita kenal, itu pun sebenarnya kita tidak menemukan keluarga yang persis sama. Satu hal menarik waktu saya tanya ke Pendeta Heru mengenai kenapa dia ambil Ph.D., kenapa ambil S3, apa pertimbangan positifnya dan negatifnya, dsb., salah satu hal yang Pak Heru katakan, yang membuat dia tadinya tidak yakin untuk ambil S3, adalah: “Karena ini momen anak-anak gua lagi mulai gede-gedenya, jadi kalau gua pergi 1 tahun, 3 bulan, 4 bulan, 6 bulan, gua bakal kehilangan momen-momen itu; momen-momen seperti itu tidak akan kembali lagi”. Kita semua sadar akan hal ini, betapa keluarga kita senantiasa berubah. Waktu-waktu ketika kita punya anak adalah waktu-waktu yang membuat kita tidak ingin pergi dari rumah, karena kita tahu ini tahun-tahun yang akan hilang, yang akan lewat, kita tidak boleh kehilangan ini, karena kalau kita kehilangan maka tidak ada cara lagi untuk mengambilnya.
Dunia ini senantiasa berubah. Dunia ini senantiasa dalam flux. Semakin kita tua, semakin kita berumur, semakin kita melihat hal ini. Salah satu kesulitan ketika kita makin berumur adalah kita semakin menyadari segala sesuatu berubah, dan perubahan-perubahan ini tidak bisa kembali lagi. Kita melihat satu lagi restoran jadul itu tutup. Satu lagi restoran jadul sejak masa kecil yang kokinya ganti, dan makanannya tidak pernah kembali seperti yang sebelumnya. Waktu saya kecil ada memori di mana setiap kali kami diajak berenang oleh orangtua, kami sarapan dulu di Bakmi Gendut –dan Bakmi Gendut ini sudah lama tutup. Tiba-tiba waktu sekarang saya cari-cari makanan di GoFood, ada Bakmi Gendut. Saya pikir ini sama dengan yang dulu, lalu coba pesan, ternyata beda –tidak bisa kembali lagi. Kita juga melihat satu lagi gedung lama berganti dengan gedung baru. Bukan cuma itu, kita juga melihat seberapa cepat orang melupakan orang lain. Waktu memasuki kehidupan kantor, kita melihat seorang kolega mulai ada yang meninggal; bukan cuma orang-orang mulai meninggal, tapi juga seberapa cepat komunitas kantor itu melupakan mereka yang meninggal. Bahkan di dalam Gereja, kita melihat orang yang sudah bertahun-tahun melayani bersama-sama, mulai ada yang meninggal, mulai ada yang meninggal; dan makin sering kita datang ke funeral, kita semakin melihat betapa cepat orang-orang move on dari mereka yang telah meninggal. Tentu bukan satu hal yang negatif-negatif banget bahwa orang bisa move on, kita tidak ingin jadi orang seperti yang dunia zaman sekarang katakan “gamon” (gagal move on), tidak bisa kita jadi orang-orang yang gagal move on, karena memang dalam dunia ini realitasnya orang harus bisa move on, cepat atau lambat semua orang harus bisa move on. Bahaya, jikalau orang tidak bisa move on; kalau kita tidak bisa move on, kita mengikat diri dengan apa yang manusiawi dan yang fana, itu bahaya sekali. Begitu banyak kasus di mana orang gagal untuk move on, terus memendam kepahitan, memendam kesedihan, sampai bertahun-tahun tidak bisa melepaskan, dan akhirnya tidak bisa hidup.
Itu sebabnya dalam hidup ini, bagaimanapun kita melihat ada kolega meninggal, ada orang yang telah dilupakan, kita tahu kita tetap harus bisa move on, tidak bisa tidak. Namun di sinilah ironi dari eksistensi manusia; kenapa? Karena kita tahu koq kita harus move on, kita tahu koq dunia ini senantiasa berubah, kita tahu koq dunia ini senantiasa di dalam situasi yang flux, tetapi kita ingin sesuatu yang tidak berubah! Kita ingin sesuatu yang bersifat jangkar itu. Kita ingin punya relasi yang kokoh dan kekal, yang tidak terputus itu. Kita ingin ada seseorang yang secara setia dan tidak berubah mengikat dirinya kepada kita. Kita ingin punya seseorang yang selalu ada di situ bagi kita. Tetapi ironisnya, kita tahu bahwa bukan cuma kita tidak bisa menemukan orang seperti itu bagi kita, kita sendiri pun tidak mungkin bisa jadi orang seperti itu bagi orang lain. Believe it or not, salah satu alasan kita ingin menikah adalah karena kita ingin punya relasi yang seperti itu. Kita ingin punya seseorang seperti itu dalam hidup kita, yang dependable, yang tidak berubah, yang mengikat dirinya kepada suatu janji yang akan terus berlangsung sampai momen terakhir, yang pada hari kita meninggal nanti dia tidak memperlakukan kita seperti seorang dokter terhadap pasiennya yang meninggal. Seorang dokter adalah yang paling harus bisa cepat move on; kalau seorang dokter menghadapi pasien meninggal lalu dia menangis tersedu-sedu, jadi menyusahkan, tidak bisa begitu. Itu sebabnya Saudara lihat di rumah sakit waktu dokter bicara dengan perawat/suster, mereka kadang-kadang bahkan tidak menyebut nama si pasien, mereka hanya bilang, “Pasien kamar 540 bagaimana kabarnya?”, “Pasien kamar 58 meninggal, Dok”, lalu dijawab, “Oh, begitu, ya sudah” –tidak bisa ada attachment, karena terlalu benyak perubahannya, terlalu cepat rotasinya. Dan, kita tahu realitasnya seperti itu, tapi kita tidak mau yang seperti itu. “Ketika suatu hari saya meninggal, saya ingin ada seseorang yang tidak memperlakukan saya sebagai nomor dan angka, saya ingin ada seseorang yang meneteskan air mata, paling tidak hari itu dia ambil cutilah”. Kita ingin memiliki seseorang yang bersama-sama dengan kita sampai momen terakhir kita, yang setia sampai kita mati. Tapi problemnya: kalau pun Saudara mendapatkan orang seperti ini, maka yang menyebabkan dia hari itu ambil cuti, yang menyebabkan dia hari itu meneteskan air mata, adalah karena Saudara gagal untuk menjadi orang yang setia kepada dia. Mereka berhasil setia bagi Saudara sampai Saudara mati, tapi Saudara gagal untuk setia sampai kematiannya mereka, Saudara pergi duluan, Saudara telah gagal menjadi jangkar bagi jiwa mereka. Saudara lihat, relasi pernikahan yang langgeng, solid, dan begitu harmonis pun, tidak bisa menjadi jangkar. Itu sebabnya dalam kehidupan ini kita senantiasa bertanya, apa yang bisa menjadi jangkar, adakah yang bisa?? –inilah ironi eksistensi hidup manusia. Dan kalau Saudara tembakkan ke skala yang lebih luas lagi, inilah pertanyaan begitu banyak manusia: Apakah itu, yang bisa jadi pegangan di dalam alam semesta yang senantiasa berubah ini? Adakah sesuatu itu, yang sebegitu kokoh, yang kita bisa pegang, yang tidak akan mengecewakan? Dan kalau ada, apakah kita bisa menyentuhnya, apakah kita bisa mendapatkannya?
Saudara, jawaban dari Alkitab bahwa penyebab kita menginginkan hal ini, dan penyebab kita tidak bisa menemukannya dalam dunia ini, adalah karena memang Saudara dan dunia ini diciptakan oleh Tuhan, yang melampaui tabir tersebut, Tuhan yang melampaui dunia. Dalam arti tertentu, jika Saudara merasa kita membutuhkan sebuah jangkar bagi jiwa kita, maka memang benar jangkar ini tidak cuma perlu mengomitkan dirinya kepadamu, jangkar ini perlu merupakan suatu jangkar yang bisa menembus ke dalam suatu tempat yang Saudara tidak bisa mencapainya. Jangkar ini harus berasal lebih daripada waktu dan ruang. Jangkar ini harus mengakar dan berlabuh ke belakang tabir. Jangkar ini harus mencapai apa yang di luar sana, tapi jangkar ini juga harus mencapai kita yang di dalam sini. Kalau Saudara melihat demikian, maka Saudara akan menyadari satu hal, bahwa ini berarti ketika kita menaruh jangkar pada diri Tuhan, ini bukan urusan boleh atau perlu, ini adalah sesuatu yang keharusan, karena tidak ada alternatif selain ini.
Saudara, membuktikan “keberadaan Tuhan” buat saya itu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Sama seperti seekor semut tidak mungkin bisa membuktikan kepada semut lain tentang keberadaan manusia, kita sebagai manusia tidak mungkin bisa membuktikan keberadaan Tuhan yang melampaui kita kepada manusia yang lain. Tetapi, meskipun di satu sisi kita tidak bia membuktikan keberadaan Tuhan, kita harusnya bisa melihat, bisa ditunjukkan, bahwa bagaimanapun juga kita tidak bisa hidup tanpa Tuhan. Kepada siapa kita mau menaruh kepercayaan kita, kalau bukan kepada Tuhan? Kepada orang lain? Kepada manusia? Manusia itu mengecewakan; bahkan mereka yang tidak mengecewakan pun, mereka adalah manusia yang fana, yang suatu hari akan berlalu. Dalam hal ini, banyak orang lalu mengatakan, “Kalau begitu, kepada diri sendiri; jangan percaya orang lain”; dan kalau Saudara jadi orang seperti ini, yang hanya percaya kepada diri sendiri dan tidak percaya kepada orang lain, hati kita akan menjadi hati yang dingin dan keras, lalu ujungnya diri kita sendiri pun akan mengecewakan kita —anyway, diri kita sendiri pun diri yang fana. Saudara, bukankah banyak dari kita yang seperti ini, mulai dengan secara naif menaruh kepercayaan kita pada orang-orang lain, kita merasa perlu jangkar dalam hidup ini, dan kita menemukannya dalam orang-orang lain, kita mengharapkan orang-orang lain bisa menjadi jangkar bagi kita, sampai kita kemudian patah hati, kita dikecewakan lagi dan lagi dan lagi. Kita semua dihantui oleh Mazmur 103 –meskipun mungkin kita belum pernah baca– “Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi.” Menaruh pengharapan kepada manusia, cepat atau lambat akan kecewa, cepat atau lambat akan berlalu, jadi kita switch ke ekstrim satunya lagi, “Kalau begini, saya hanya bisa percaya kepada diri sendiri, jangan percaya kepada orang lain” –dan kita menjalani jalan keras tersebut, kita mulai menjadi orang yang pahit, kita menjadi orang yang tidak manusiawi, kita menjadi orang yang akhirnya juga kehilangan arti hidup.
Saudara lihat, kenapa kita perlu percaya kepada Tuhan? Kenapa kita perlu mempercayakan diri kepada Tuhan? Sebelum kita membicarakan mengenai Tuhan-nya sendiri, kita perlu menyadari satu hal: percaya kepada Tuhan, itu bukan cuma perlu; percaya kepada Tuhan, itu harus. Kenapa? Karena Saudara tidak punya jalan lain atas hidup ini. Setiap kita punya satu urge untuk mencari apa yang kokoh, di tengah dunia yang selalu berubah. Namun itu berarti satu-satunya tempat Saudara bisa mendapatkannya, hanyalah ketika jangkarmu berlabuh di tempat yang engkau tidak bisa tembus, tempat yang engkau tidak berasal dari situ. Di mana? Yaitu tempat di mana Tuhan berada. Itu sebabnya Saudara harus percaya kepda Tuhan, atau Saudara kehilangan kemanusiaanmu. Tidak ada opsi selain itu.
Demikian yang pertama, tidak ada alternatif selain percaya kepada Tuhan; tapi yang kedua, yang kita perlu lihat, kenapa Tuhan yang ini Tuhan yang bisa dipercaya (trust worthy)? Perikop yang tadi kita baca, bukan cuma mengatakan kita perlu atau harus percaya kepada Tuhan, tapi juga menceritakan secara singkat kisah yang membuat seseorang di masa lampau bisa mengatahui Allah yang ini patut dipercaya, yaitu kisah Abraham. Narasi tentang Abraham, bermula dengan Allah memanggil Abraham keluar meninggalkan negerinya, Ur-Kasdim, untuk mengembara di tanah yang suatu hari Tuhan akan memberikan kepadanya. Ini janji. Selain disuruh mengembara, Abraham disuruh menunggu janji satu lagi, yaitu akan diberikan anak. Abraham diberikan semua janji ini ketika dia masih berumur 75 tahun. Lalu dia menunggu dan menunggu, mengembara dan mengembara, dan sampai dia berumur 100 tahun janji ini masih belum digenapi, Abraham masih mengembara, masih belum settle, dan masih menunggu kehadiran seorang anak. Saudara bayangkan, umur 100 tahun masih belum ada rumah tetap dan masih belum juga punya anak, seakan-akan kehidupan Saudara belum benar-benar mulai –di umur 100!
Kalau Saudara mendengar kisah Abraham seperti ini, Saudara bisa saja membayangkan Abraham itu tokoh besar, bapak orang beriman, dalam masa-masa tersebut setiap kali datang keraguan mungkin Abraham langsung menangkis dan selesai urusan; bahkan Paulus sendiri mengatakan di Roma 4, bahwa sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap, dan juga percaya bahwa ia akan jadi bapak banyak bangsa. Dengan demikian kecendrungan kita waktu membaca kisah-kisah seperti ini, adalah menganggap tokoh-tokoh Alkitab ini ada something special, mereka ini bisa percaya karena mereka lebih keren, lebih hebat, bahan dasarnya lain dengan kita. Tapi tidak demikian, Saudara. Kalau Saudara kembali ke cerita Abraham, Saudara lihat bahwa yang menyebabkan Abraham menjadi bapak orang beriman bukanlah urusan Abraham-nya, yang menjadikan Abraham seseorang yang berharap di tempat dia tidak bisa berharap bukanlah urusan apa yang Abraham lakukan atau apa yang Abraham tidak lakukan, melainkan sesungguhnya apa yang Allah lakukan bagi dia.
Dalam Kejadian 15, Allah menampakkan diri-Nya kepada Abraham, dan mengatakan, “Lihat langit, bisakah engkau hitung bintang? Lihat pasir, bisakah engkau hitung pasir? Sejumlah itulah keturunanmu”. Lalu setelah itu apa reaksi Abraham? Saudara bisa bayangkan, 25 tahun setelah dijanjikan anak dan dijanjikan tanah, tidak ada kejadian apa-apa, lalu setelah 25 tahun itu Allah kembali mengatakan, “Lihat langit, Abraham, hitung bintang; lihat pasir, Abraham, hitung pasir, nanti keturunanmu sebanyak itu”, jadi kalau Abraham memang orang yang bahan dasarnya lain, kalau Abraham memang jagonya karena diri dia sendiri, maka mungkin dia akan mengatakan kepada Tuhan, “O, terima kasih Tuhan akan firman-Mu; mendengar suara-Mu sungguh meyakinkan diriku, thanks a lot, aku merasakan diriku penuh derngan iman sekarang”. Tetapi Abraham tidak mengatakan seperti itu. Abraham, ditengah-tengah mendengar suara Tuhan dari awan atau apalah yang sudah pasti mengguntur dan menggelegar, dia sesungguhnya bicara balik ke pada Tuhan –atau bisa dibilang menantang Tuhan– “Tuhan, dari mana aku bisa yakin, bagaimana aku bisa tahu?” Dengan kata lain, di tengah-tengah kejdaian seperti ini, Abraham mengatakan, “Jangan cuma bisa ngomong tok, Tuhan, 25 tahun sudah aku menunggu, 25 tahun sudah aku mengembara, dan hidupku masih ‘gak mulai-mulai! Jadi sekarang jangan cuma ngomong, beri aku sesuatu; dari mana aku bisa tahu, dari mana aku bisa yakin??” Saudara lihat, Abraham tidak beda dari Saudara dan saya. Dia juga orang yang penuh dengan keraguan yang natural, seperti Saudara dan saya.
Allah kemudian mengatakan, “Oke,Saya perlihatkan kamu sesuatu”. Dia menyuruh Abraham mengambil binatang, membelahnya jadi dua, kiri dan kanan, lalu Allah menampakkan diri sebagai obor berasap di tengah kegelapan, berjalan melewati potongan-potongan binatang tersebut. Selagi Dia berjalan melalui potongan-potongan binatang tersebut, Allah kembali berfirman, “Aku akan memberikan engkau tanah ini, Aku akan memberikan engkau keturunan, engkau akan jadi bangsa yang besar”. Yang menarik, setelah itu Abraham bungkam, tidak lagi bertanya ‘dari mana aku bisa tahu’. Ini satu hal yang aneh menurut kita, karena bagi kita ini tidak beda dengan bagian sebelumnya. Di bagian sebelumnya, Allah datang kepada Abraham, ngomong kepada Abraham, bersuara kepada Abraham, berjanji kepada Abraham, lalu Abraham tanya jaminannya apa, lalu Tuhan cuma menampakkan diri lagi, lalu berjanji lagi, bersuara lagi kepada Abraham; jadi bedanya apa?? Bagi kita, tidak ada beda. Tapi Saudara, bedanya adalah bahwa yang terjadi pada kali kedua itu, dalam Kejadian 15 itu, Alkitab menyatakan bahwa Allah pada saat itu mengikat perjanjian dengan Abraham.
Dalam bahasa Ibraninya ada satu hal yang menarik karena istilah yang dipakai dalam hal mengikat/membuat perjanjian di situ bukan ‘mengikat’ atau ‘membuat’. Kalau dalam bahasa Inggris, biasanya ada istilah “make a deal” —Let’s make a deal— waktu mau bikin perjanjian; tapi juga ada kata kerja yang kadang dipakai dalam hal deal, yang bukan “make”, yaitu “cut” —Let’s cut a deal— bikin perjanjian dengan cara memotong, “memotong janji”. Kesannya seakan-akan janjinya dibuang, tapi “memotong janji” sesungguhnya adalah “membuat janji”; dan itulah istilah yang dipakai dalam bahasa Ibraninya di bagian ini —to cut a deal, to cut a covenant, memotong perjanjian. Istilah bahasa Inggris ini, dasarnya adalah dari narasi Abraham, karena dalam zaman Israel kuno waktu orang membuat janji, mereka bukan membuat tapi memotong janjinya. Kalau Saudara perhatikan Perjanjian Lama, setiap kali perjanjian (covenant) dibuat, selalu ada pencurahan darah, ada sesuatu yang dipotong, entah itu sunat ataupun memotong binatang seperti di bagian ini. Inilah cara orang-orang zaman dulu di Timur Tengah. Itu sebabnya dalam bahasa Ibrani Perjanjian Lama, waktu orang mengikat/membuat perjanjian, selalu kata kerjanya adalah “to cut a covenant”. Kata “memotong’ menjadi satu hal yang begitu identik dengan janji, karena memotong itulah esensi perjanjiannya.
Dalam covenant seperti ini, yang ditekankan adalah kutukannya, dalam arti “jika aku sampai tidak melakukan janji ini, jika aku sampai melanggar kovenan ini, biarlah aku terpotong”. Mereka mengambil binatang, memotongnya, mencurahkan darahnya, berjalan di antara potongan-potongannya, mengelilinginya –dan implikasinya: ”jika aku tidak menjalani apa yang aku janjikan ini, biarlah aku dipotong seperti demikian”. Inilah deklarasi publik janji seseorang di hadapan saksi-saksinya pada zaman itu, to cut a covenant, bukan cuma membuat perjanjian atau mengikat perjanjian tapi memotong perjanjian. Inilah yang membuat Abraham sampai terdiam; kenapa? Karena ini semua berarti satu hal: “Abraham, kamu mau tahu secara pasti kamu bisa percaya Saya, kamu mau tahu dari mana jaminannya? Dengarlah ini, lihatlah ini, jikalau Aku tidak menepati perkataan perjanjian-Ku kepadamu, biarlah yang kekal menjadi fana, biarlah yang tidak terbatas menjadi terbatas, biarlah yang tidak mungkin terjadi akan terjadi, yaitu jikalau Aku, Allah, ingkar janji, maka kiranya Aku, Allah yang kekal, menderita kematian; jikalau Aku sampai ingkar janji, maka kiranya Aku, Allah yang terbatas, menderita keterbatasan; jikalau Aku adalah Allah yang ingkar janji, maka kiranya Aku terpotong, Aku akan mati” Itulah hal pertama yang amazing; hal ini memberikan kepada kita dan Abraham satu ide, sejauh apa Allah kita rela demi Dia menjalankan janji-Nya, bahwa Allah yang kekal somehow bisa dipotong, bahwa Allah yang mahakuasa somehow bisa dibelah.
Tapi, problem kita dengan janji-janji ini sebenarnya bukan selalu mengenai sisi Allah-nya. Seorang pastor di luar negeri, memberi kesaksian bahwa orang-orang yang punya problem dalam mempercayakan diri kepada Tuhan (trusting God), sering kali masalahnya bukan cuma urusan Tuhan-nya tok, bukan urusan mereka meragukan atau tidak yakin Tuhan bisa melakukan janji-janji-Nya atau tidak. Problem terbesar yang banyak orang alami ketika mereka merasa sulit memercayakan dirinya kepada Tuhan, bukanlah karena Tuhan tidak bisa dipercaya, tapi karena kita sendiri yang tidak bisa dipercaya. Seperti kita bicarakan tadi, masalah relasi dalam hidup ini, masalah kita mencari jangkar dalam hidup ini, itu bukanlah soal menemukan orang lain yang bisa menjadi jangkar bagi kita, melainkan bahwa sering kali diri kita yang tidak sanggup menjadi jangkar bagi orang lain. Banyak orang ketika ragu untuk menikah, pertanyaan yang mereka pikirkan bukan urusan ‘bagaimana saya bisa tahu dia mencintai saya’, tapi sering kali ‘bagaimana saya bisa yakin saya mencintai dia, bagaimana saya bisa yakin saya akan terus setia kepadanya; bagaimana saya bisa tahu hal seperti itu’. Saudara, ini karena kita tahu betapa diri kita tidak trust worthy.
Satu contoh dari kesaksian pastor tadi: orang datang kepadanya, mengatakan, “Saya sulit percaya Tuhan”. Sang pastor menjawab, “Tapi Allahmu ‘kan Allah yang berjanji; dan Allah yang berjanji ini Allah covenant, Allah yang mengikat diri dalam perjanjian, Allah yang menjamin janji-Nya dengan diri-Nya sendiri”. Lalu orang tadi mengatakan, “Ya, tapi itu tidak terlalu membantu, sih, karena yang namanya perjanjian ‘kan selalu dua arah, Pak Pendeta, selalu ada give and take, Allah berjanji akan melakukan A tentu ada hubungannya juga dengan saya bisa melakukan porsi saya atau tidak ‘kan. Jadi, kalau pun Allah berjanji dan bersumpah akan memberkati saya, menyelamatkan saya, menjadi jangkar yang kokoh bagi saya sepanjang masa, saya tidak meragukan bahwa Dia mampu melakukan itu; tanda tanya paling besarnya bukan di Dia tapi di saya, saya tidak mampu menjalankan porsi saya. Itu problemnya. Setiap hari Minggu saya datang Kebaktian, saya bingung betapa saya sudah gagal begitu banyak seminggu ini, saya bahkan gagal memenuhi standar-ku sendiri, boro-boro standarnya Tuhan! Jadi, bagaimana saya bisa tahu Dia akan tetap setia kepadaku?? Mana mungkin! Bukan karena Dia tidak mampu, tapi karena saya tidak mampu!”
Ketika Dia membuat perjanjian dengan kita, “Aku akan menjadi Allahmu, dan kamu akan menjadi umat-Ku”, Saudara lihat kovenan selalu dua arah. Memang kita tidak terlalu khawatir dengan sisi yang ‘Aku akan menjadi Allahmu’, kita tahu koq, Dia akan back up kata-kata-Nya itu, Dia rela terpotong-potong demi memenuhi janji-Nya, Dia komit terhadap kita, Dia memang mau menjadi Allah kita; tapi yang jadi masalah selalu adalah: apakah kita sanggup jadi umat-Nya, apakah kita punya komitmen cukup kuat untuk masuk ke dalam relasi dengan Dia, apakah kita sanggup menjalani semua perintah dan ketetapan Tuhan?? Kita tidak bisa melihat diri kita sanggup mencapai garis finis, kitalah yang bakal mengecewakan Tuhan, bahkan kita bakal mengecewakan diri kita sendiri.
Ada satu hal lagi yang saya baru sadar ketika saya punya anak, bahwa momen-momen pertama kehidupan mereka itu bukan cuma sekadar ngomong-ngomong ‘gak jelas (babbling) dan tidak ada hubungannya dengan diri mereka. Saudara langsung bisa mengenali anak ini karakternya seperti apa, bahkan dalam bulan-bulan pertama mereka. Dalam 10 bulan anak saya lahir, banyak sekali momen yang membuat saya mengenal mereka, siapa mereka, seperti apa karakter sesungguhnya. Saya tahu anak saya si Niko itu lebih bawel, apapun dia komentari, terganggu sedikit langsung menangis, senang sedikit langsung tertawa ngakak habis-habisan tidak bisa berhenti. Sedangkan Erik terbalik, dia tidak banyak komentar, tidak banyak ngomong, tapi dia kepo, semua dia harus tahu, ada suara sedikit dia langsung bereaksi ingin tahu, kalau kita putar badan kita, dia musti lihat, dia akan ambil posisi untuk bisa lihat apa yang terjadi, kayak tidak mau ketinggalan. Niko kalau tertawa, matanya tutup, mulutnya buka; sedangkan Erik kalau tertawa mulutnya tutup, mata buka. Banyak sekali momen-momen seperti ini, maka dalam bulan-bulan pertama pun Saudara bisa melihat karakter mereka makin jelas. Yang menarik –tujuan saya cerita ini– adalah saya baru sadar bahwa mereka sendiri tidak akan mengingat momen-momen ini. Yang tahu dan ingat momen-momen ini hanya kita, orangtua mereka, sedangkan mereka sendiri tidak tahu. Mereka –kita semua– baru develop memori kita mungkin umur 3 atau umur 4, tapi sebelum kita mengingat itu, sudah begitu banyak hal yang terjadi, sudah begitu banyak momen yang lewat, yang sesungguhnya kita tidak pernah tahu dan ingat; yang lebih tahu dan ingat –dan itu sebabnya lebih mengenal kita– justru orangtua kita. Ini satu hal yang membuat saya menyadari, kita sebenarnya tidak benar-benar mengenal diri kita. Semakin tua, kita semakin sadar akan hal ini: kita tidak sungguh-sungguh mengenal diri kita! Kita bahkan dikejutkan oleh apa yang ternyata kita capable untuk lakukan, kita tidak sadar kita bisa marah sampai sebegitu marahnya, kita tidak sadar kita bisa sedih sampai sebegitu sedihnya –karena kita tidak mengenal diri kita. Dan, kalau kita tidak mengenal diri kita, bagaimana “saya bisa tahu kalau saya itu trust worthy di hadapan Tuhan”?? Apa yang bisa jadi pegangan? Saudara, problem dalam hal “kita percaya kepada Tuhan”, bukanlah cuma keraguan akan Tuhan, tapi juga keraguan akan diri. Itu sebabnya dalam kisah Abraham, juga ada hal kedua yang terjadi di sini.
Hal yang pertama tadi adalah hal yang mencengangkan, bahwa Allah berjanji, Allah yang melewati potongan-potongan itu, Allah yang memberi diri-Nya mengatakan, “Kalau Aku tidak menepati janji-Ku, biarlah Aku terpotong seperti binatang-binatang ini”. Namun hal yang kedua, yang juga mencengangkan, adalah bahwa setelah Allah lewat, Abraham tidak lewat, perjanjiannya selesai. Jadi, hal pertama yang menarik adalah “Siapa yang lewat”, hal kedua yang menarik adalah “siapa yang tidak lewat” –Abraham tidak lewat dalam kisah ini.
Sumber-sumber sejarah dan arkeologi menyingkapkan bahwa kebiasaan zaman Israel kuno membuat janji seperti ini bukan cuma terjadi di antara orang Ibrani, ini satu kebiasaan yang sangat menyebar luas di antara orang-orang Timur Tengah pada waktu itu. Dan khususnya, ini adalah satu cara perjanjian yang biasa dilakukan antara seorang raja besar dengan raja kecil di bawah dia. Ketika seorang raja besar membuat perjanjian dengan raja kecil bawahannya, mereka melakukan cara ini supaya serius. “Ayo, raja kecil, ambil binatang, potong, dan kita sama-sama lewati potongan daging ini, yang berarti saya berjanji akan mampus seperti binatang ini kalau saya tidak melindungi kamu, dan kamu berjanji akan mampus seperti potongan binatang ini kalau kamu tidak menaati saya” –kira-kira seperti itu. Tetapi, kejadian dua-duanya ikut berjalan melewati potongan binatang seperti itu cuma terjadi kalau raja yang besar adalah raja yang baik; yang sering terjadi, raja yang besar tidak mau melakukan ritual ini, dia tidak mau jalan lewat potongan daging tersebut karena siapa butuh siapa?? “Saya raja besarnya, koq, saya yang pegang kartu. Kamu sudah takluk, kamu yang harus menurut pada saya, kamu yang perlu saya, saya tidak butuh kamu! Jadi saya tidak perlu menjalani semua itu, kamulah yang harus jalan di antara potongan-potongan daging itu, kamulah yang harus janji jadi bawahan yang baik, maka saya akan melindungi kamu, dsb., tapi saya tidak mau jalan melewati potongan-potongan itu”. Seandainya raja besar ini baik banget, barulah kadang-kadang dia ikut berjalan beserta raja kecil itu, yang adalah bawahannya, tapi yang biasanya terjadi perjanjiannya dibuat dengan hanya si bawahan yang berjalan.
Saudara lihat dalam Kejadian 15, itu adalah satu-satunya dalam sejarah yang mencatat ada perjanjian yang dibuat dengan hanya satu pihak yang berjalan, tapi ini malah pihak Si Raja Besar, Dia yang berjalan; sementara justru “raja yang kecil”, Abraham, hamba-Nya, tidak menjalani itu –dan setelah itu dilakukan, perjanjiannya jadi. Maksudnya apa? Allah pada dasarnya mengatakan, “Saya akan member-katimu, Abraham, Saya pasti melakukannya; dan kalau Saya gagal menepati janji Saya maka Saya akan membayar penaltinya; tapi, kamu mau tanya bagaimana kalau engkau yang gagal, siapa yang membayar harganya. Jadi, karena hanya Saya yang menjalani potongan-potongan binatang ini, maka kalau engkau gagal, yang akan membayar harga penaltinya pun Saya, dan bukan kamu. Bagian-Ku akan Kutanggung; bagianmu, kewajiban-kewajibanmu, kalau engkau gagal, Saya yang akan menanggungnya” –perjanjian sepihak. Inilah keunikan Kekristenan. Semua jalan agama, semua jalan kehidupan/keyakinan yang lain, siapa yang harus berjalan di tengah-tengah potongannya? Manusialah yang harus membayar harganya. Manusialah yang harus bayar penaltinya. Tapi lihat, di dalam Alkitab –dan perhatikan bahwa ini sejak Perjanjian Lama– yang berjalan di antara potongan-potongan itu justru Allah, dan Allah saja.
Itulah perjanjian Allah dengan Abraham; dan Abraham pada waktu itu berhenti ragu. Tetapi, sekarang giliran kita yang bertanya, “bagaimana kita bisa tahu?” Kita sering kali pikir, “Oke, saya mengerti, Pak, jelas bukan Abraham bahan dasarnya lebih bagus. Abraham bukan yakin karena Abrahamnya yang hebat, tapi karena janji yang dilakukan Allah bagi dia begitu luar biasa, karena Allah berjanji bukan cuma menjamin dengan diri-Nya sendiri tapi bahkan menjamin kegagalan Abraham dengan diri Allah. Itu janji yang luar biasa! Tidak heran Abraham menjadi bapak orang beriman. Oke, saya bisa melihat itu sekarang, bahwa karunia yang Abraham terima, bukan dari dirinya tapi sungguh-sungguh dari Allah. Tapi itu ‘kan Abraham; Abraham pasti yakin karena dia mengalaminya sendiri, dia melihat sendiri Allah berjalan di antara potongan daging itu, sedangkan kita hari ini ‘kan hanya membaca mengenai pengalaman Abraham, jadi dari mana kita bisa yakin untuk percaya kepada Tuhan??”
Saudara, satu hal yang pasti, Abraham memang percaya tapi Abraham belum melihat bagaimana Tuhan sungguh menggenapi janji itu, Abraham tidak pernah melihat dengan matanya sendiri bagaimana Allah yang kekal menjadi fana, bagaimana Allah yang adalah pencipta bisa terpotong seperti ciptaan. Dalam hal ini, sesungguhnya Saudara dan saya hari ini jauh lebih bisa dikuatkan, karena kita bukan kurang dari Abraham, kita justru lebih daripada Abraham, karena hari ini kita punya lebih banyak data dibandingkan Abraham. Kita tahu sesuatu yang Abraham waktu itu tidak tahu! Kita mengetahui bagaimana pada akhirnya Allah akan menggenapi janji-Nya –bukan cuma tahu janji-Nya saja– yaitu bahwa beberapa abad setelah Abraham, kegelapan kembali turun, dan kegelapan kali ini begitu mengerikan sehingga membuat matahari berhenti bersinar. Kita membaca di Markus 15:33, bahwa pada jam 12, siang bolong, kegelapan meliputi seluruh daerah itu, dan berlangsung sampai jam 3. Kenapa? Karena pada hari itu Allah bukan cuma menampakkan diri kepada manusia, tapi Allah telah menjelma menjadi manusia. Di dalam diri Yesus Kristus, Dia telah menyatakan diri-Nya kepada manusia. Hari itu kegelapan menyelubungi salib di Bukit Kalvari; dan di atas kayu salib, apa yang terjadi pada Yesus? Yesaya 53 mengatakan, “Ia terputus dari negeri orang-orang hidup”; dalam bahasa Ibraninya, “Ia dipotong dari negeri orang-orang hidup” –istilah covenant, istilah perjanjian. Untuk apa Dia melakukan ini? Karena kita telah melanggar perjanjian kita, maka Ia telah membayar pelanggaran-pelanggaran kita.
Bagaimana kita mengaplikasikan hal ini sebagai Gereja yang merayakan hari ulang tahun? Saudara bisa melihatnya dalam kasus-kasus hidup banyak orang Kristen. Kasus pertama, orang yang sudah tahu banyak mengenai Kekristenan tapi tidak kunjung mau menerima Tuhan Yesus. Kita biasanya tanya kepada dia, “Kenapa belum mau terima Tuhan Yesus meskipun sudah tahu begitu banyak?” Jawabannya: “Karena mau diri beres dulu, Pak. Saya sudah tertarik tapi saya masih belum yakin banget-banget, jadi saya tidak bisa terima begitu saja”. Kedengarannya masuk akal dan bertanggung jawab, saya harus bersih dulu dari segala keraguan maka saya baru bisa terima –ini kasus yang pertama. Kasus yang kedua, orang yang sudah menjadi Kristen, tapi masih ragu akan keselamatan. “Karena diri saya belum beres, Pak; bagaimana saya bisa yakin saya diselamatkan??” Sekali lagi, kedengarannya masuk akal dan bertanggung jawab, saya harus ada kesejatian dulu, saya harus bersih dari dosa dulu, baru saya bisa yakin akan keselamatan. Saudara lihat, dalam dua kasus ini polanya sama, dan ini justru tindakan yang melawan Kekristenan, suatu tindakan yang justru kontradiksi dengan dasar dari iman Kristen.
Semua agama yang lain, membuat kita menjalani potongan dagingnya. Semua gaya hidup yang lain adalah “saya harus beres, baru saya bisa percaya; saya harus yakin sepenuhnya, baru saya bisa masuk”. Ini bukanlah Kekristenan. Ini adalah jalan lain, di mana kita menyuruh diri kita yang jalan melalu potongan daging itu. Kelihatannya di permukaan seperti sikap orang yang menganggap komitmen kepada Tuhan itu penting, tidak boleh sembarangan, tapi sikap seperti ini sesungguhnya sedang mengatakan kepada Tuhan, “Biarkan saya yang jalan melewati potongan daging itu, biarkan saya mengandalkan diri sendiri” –kelihatan seperti respek terhadap iman Kristen, tapi justru menyangkal inti dari iman Kristen. Itu sebabnya, ketika dua kasus ini tidak pernah dibereskan, maka akan berlanjut pada kasus yang ketiga, yaitu kasus orang sudah menjadi Kristen ketika diminta melayani sebagai orang Kristen. Ada kebutuhan akan pengurus baru, para diaken; ada kebutuhan akan song leader, liturgis, orang-orang yang masuk dalam paduan suara; ada kebutuhan akan para penginjil, orang-orang yang berkhotbah dalam KKR regional, guru-guru Sekolah Minggu; ada kebutuhan akan orang-orang yang menjadi hamba Tuhan penuh waktu, vikaris, pendeta; lalu apa responsnya? Responsnya adalah: “Jangan saya”. Kenapa? “Karena saya tidak yakin, karena saya harus yakin dulu; saya harus bisa melakukan, baru saya mau”; dan Saudara harus tahu, itu bukan Kekristenan, itu adalah jalan agama. Itulah inti dari semua jalan agama maupun jalan sekuler dalam hidup ini.
Semua pendekatan agama lain maupun gaya hidup sekuler adalah menempatkan tanggung jawab menjalani potongan daging itu pada dirimu. “Saya orang beragama”; yaitu kenapa? “Karena saya menjalani aturan agamawi”. Jalan orang sekuler pun sama saja. “Saya orang modern”; yaitu kenapa? “Karena saya bebas dari otoritas Gereja, karena saya bebas dari otoritas agama, karena saya mencari arti hidup saya sendiri, karena saya self-suficient, karena saya free thinker”, dst. Orang agamawi bukan orang sekuler, orang sekuler bukan orang agamawi, tapi Saudara lihat, ujungnya adalah saya, saya, saya, dan saya —saya harus menjalani potongan daging itu. Ini bukan Kekristenan. Sadarkah Saudara akan hal ini?
Bagaimana dengan pengikut Kristus? Apa yang menjadikan kita unik, berbeda? Orang Kristen, mengatakan, “Saya orang Kristen bukan karena saya menjalani potongan daging itu, tapi karena ada yang lain yang telah menjalaninya. Itu berarti bukan karena saya mampu jadi orang Kristen maka saya menjadi orang Kristen, bukan karena saya bebas dari segala keraguan maka saya menjadi orang Kristen, bukan karena saya yakin saya punya kualifikasi dan talenta yang cukup maka saya menjadi orang Kristen, tetapi karena saya menaruh diri saya, kepercayaan saya, kepada Dia yang adalah sumber talenta, karena Dia telah menganugerahkan kepada saya, karena Dia adalah sumbernya, karena Dia adalah jangkarnya”. Saudara, ini salah satu hal yang saya ingin kita lihat bersama-sama dalam hari ulang tahun ini. Kadang-kadang dalam gereja pun masih banyak kita mendengar, misalnya dalam Persekutuan Doa, orang yang mengatakan, “Tuhan, tolong orang yang melayani disucikan supaya mereka bisa melayani dengan baik; tolong kami disucikan, dimurnikan, supaya kami bisa melayani.” Saudara, kita bukan disucikan untuk melayani, kita bukan disucikan baru boleh melayani; sadarkah bahwa kita disucikan lewat melayani? Inilah salah satu aplikasinya kalau kita Gereja yang mempercayakan diri kepada Tuhan. Kalau jangkar imanmu bukanlah dirimu sendiri, bukan engkau yang menjalani potongan daging itu tapi Tuhan yang menjalaninya bagimu, Tuhan yang menjaminkan diri-Nya bagimu bahkan bagi kegagalan-kegagalanmu, maka Saudara harus tahu satu hal: kita kehilangan kontrol atas hidup ini, mau tidak mau, di hadapan Tuhan yang seperti ini.
Tapi satu hal yang pasti juga, Tuhan tidak cuma memberitahu kita akan hal ini, Tuhan memberikan kita suatu cara untuk senantiasa mengingat akan hal ini, yaitu Perjamuan Kudus. Apa sih Perjamuan Kudus? Jangan pernah Saudara sempitkan Perjamuan Kudus hanya pada hal yang terjadi di belakang, yang Tuhan sudah lakukan di mana Saudara diselamatkan; Perjamuan Kudus adalah ritual untuk Saudara mengerti, mengingat kembali, bahwa seperti Abraham melihat Tuhan akan terpotong-potong jikalau Dia ingkar janji, demikian Perjamuan Kudus adalah ritual yang kita jalankan untuk kita melihat Tuhan sudah terpotong-potong bagi kita karena Dia telah menggenapi janji-Nya. Dan, itu berarti waktu kita memegang roti dan meminum anggurnya, inilah yang perlu kita lihat dan kita percaya, bahwa Saudara menjalani pelayananmu, mengambil arah hidupmu, bukanlah karena engkau sanggup, bukan karena engkau merasa talentamu cukup, bukan karena engkau merasa karaktermu sesuai dengan kebutuhan pelayanannya, tapi karena engkau telah dibeli oleh darah Kristus yang begitu mahal, engkau tidak punya lagi kontrol atas hidupmu. Inilah satu implikasi yang jelas waktu kita menyadari apa yang terjadi di atas kayu salib bagi kita. Ini satu hal yang harusnya menantang kita, membuat kita menyadari, bahwa kalau kita mempercayakan diri dan menaruh jangkar kita di dalam diri Tuhan, maka kita tidak bisa lagi mengontrol diri kita sebagaimana yang kita mau.
Satu contoh sederhana, ada orang tanya kepada saya, sebenarnya acara Global Convention ini seberapa pentingnya sih bagi jemaat? Saudara, saya akan mengatakan bahwa kita perlu belajar mengikuti suatu acara bukan karena kita bisa melihat itu penting atau tidak penting, tapi coba pikirkan satu hal: kalau Saudara cuma pernah mengikut acara karena Saudara merasa itu penting buat Saudara, karena Saudara bisa melihat “O, ini, jelas, bagus banget, berguna banget bagi saya, saya yakin banget, saya perlu ini, maka saya ikut”, jangan heran jika suatu hari anak-anakmu juga hanya akan mencari hal-hal yang mereka yakin baik bagi mereka, penting bagi mereka –yang baik di mata mereka– karena Saudara tidak pernah memberikan teladan yang lain dalam hidupmu, karena Saudara tidak pernah melakukan satu model di mana Saudara mengambil suatu acara, pelayanan, tanggung jawab, bukan karena Saudara yakin sepenuh-penuhnya. Dalam Kekristenan justru Saudara dipanggil untuk berserah kepada Tuhan, mempercayakan diri kepda Tuhan; dan itu berarti salah satunya adalah: kita melepaskan kontrol.
Saudara, ini satu message dalam hari ulang tahun yang mungkin kita tidak harapkan dan kita tidak senang, tapi ini satu hal yang saya rasa sangat perlu kita renungkan sebagai sebuah Gereja. Dalam tahun-tahun mendatang, gereja ini akan perlu banyak orang yang melayani. Dalam masa-masa mendatang, gereja ini akan perlu banyak orang untuk maju dan bangkit berperang bagi Tuhan. Tapi itu cuma bisa terjadi kalau kita mau melepaskan kontrol di hadapan Tuhan. Saudara, saya harap 24 tahun tidak akan terus berjalan dan berjalan jadi 25 tahun, 26 tahun, dst., dan gereja kita terus menjadi gereja di mana kita hanya ikut apa yang kita mau dan melihat apa yang baik di mata kita, melainkan gereja ini berkembang menjadi gereja yang menaruh jangkarnya bukan pada diri kita tapi pada diri Tuhan –dan ini implikasinya berat. Tapi implikasi ini bukan cuma berat, ini implikasi yang juga indah; karena apa? Karena bukan cuma Saudara yang pernah melakukan ini, tapi Tuhan yang pernah melakukan bagi Saudara, Tuhan sendiri menjalaninya. Momen terakhir sebelum malam Ia disalibkan, Tuhan Yesus sendiri mengatakan, “Bukan kehendak-Ku yang jadi, tapi kehendak-Mu”. Itulah center dari iman kita, bahwa Tuhan kita pun bukan mencari apa yang jadi kesenangan-Nya tapi mencari apa yang menjadi kehendak Bapa-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading