Di Gereja ada banyak macam orang; salah satu keindahan dari hidup bergereja adalah Gereja mengumpulkan beragam orang yang berbeda-beda. Perkumpulan dalam dunia cenderung mengumpulkan orang-orang yang homogen. Kalau Saudara cari orang-orang yang di diskotik atau night club, mereka sejenis. Kalau Saudara cari orang-orang yang di universitas, mereka juga kira-kira sejenis. Kalau Saudara cari orang-orang yang ada di tempat makan-makan, mereka juga sejenis. Tapi kalau Saudara orang-orang di Gereja, segala jenis ada, macam-macam ragamnya. Dan, kalau kita lihat lebih dekat lagi, orang-orang yang beragam jenis ini dapat dibagi setidaknya dalam 3 golongan –meski tentu lebih–sehubungan dengan “kalau mereka mendapati problem, bagaimana mereka meresponsnya”.
Jenis orang yang pertama, kalau ada problem, mereka akan googling; kalau ditanya orang yang punya problem, mereka akan memberikan saran dalam bentuk buku, atau baca artikel dari sebuah link –yang mereka dapatkan dari googling juga. Jadi segala problem jawabannya adalah informasi; segala problem jawabannya adalah: “Lu, ngertinya salah, lu musti lurusin pengertian lu, nanti problem lu akan lurus juga” –jadi seolah-olah segala problem mulainya di otak dan solusinya juga di otak. Mungkin orang seperti ini banyak juga di GRII, orang-orang yang sudah khatam membaca kanonLouis Berkhof punya yang 6 jilid itu, teologi sistematika.
Orang jenis kedua adalah orang-orang yang kalau ada problem, cari dukun. Mungkin bukan benar-benar dukun yang dicari, tapi “dukun” dalam arti pemecahan magis. Pemecahan magis di sini tentu bukan soal cari ayam yang bulunya hitam, dagingnya hitam, paruhnya hitam, kakinya hitam, lalu Saudara bikin ritual, dst., tapi pemecahan magis dengan pakai cara Kristen –magis Kristen– yaitu Saudara berdoa dengan cara-cara tertentu, cari orang-orang tertentu yang rasanya lebih dekat pada Tuhan, merapal doa-doa tertentu yang kata-katanya harus begini dan bukan begitu, doanya di tempat tertentu, dengan sikap tubuh tertentu, yang kayaknya lebih manjur, dst. Jadi solusinya magis; kalau ada problem, dia bukan googling tapi cari dukun, yang bukan dukun pakai ikat kepala hitam dan mengorbankan ayam hitam di atas altar hitam, tapi “dukun Kristen”, mungkin dengan pakai medium-medium yang juga Kristen, seperti misalnya Perjamuan Kudus. Strateginya adalah magical thinking, berpikir magis. Dalam solusi magis, orang yang datang kepada dukun tidak perlu berubah, tidak seperti kalau datang kepada google; kalau Saudara pakai solusi jenis pertama tadi, Saudara otomatis harus berubah, misalnya dari tidak suka baca menjadi membaca, dari membaca tidak mengerti jadi harus mengerti, yang dulu mengertinya begini sekarang harus diubah sesuai yang dibaca. Solusi pertama tersebut menghendaki orangnya berubah, walaupun berubahnya sebatas “kepala”; tapi solusi yang kedua, orang yang datang ke dukun kira-kira perlu mengubah sesuatu dalam hidupnya atau tidak? “O, perlu, Pak, dia harus mengubah hadapan rumahnya, mengubah posisi WC-nya, pakai Feng shui dsb.; ada koq, yang diubah.“ Ya, tapi yang diubah adalah eksternalitas, urusan kamu makan apa, kamu minum apa, kamu tinggal di mana, dst., sedangkan kamu-nya tidak perlu diubah, kamu hanya ingin tujuanmu tercapai jadi kamu tidak harus berubah. Solusi kedua ini mungkin solusi yang banyak orang inginkan. Orang ingin Tuhan juga berlaku seperti dewa-dewa, atau roh-roh, yang dapat dikendalikan oleh cara-cara magis. Mungkin yang seperti ini banyak juga di Gereja –mudah-mudahan tidak terlalu banyak di sini.
Jenis orang ketiga, kalau ada masalah dia cari teman, maksudnya cari bala/sekutu. “Bukan cuma gua doang lho, yang merasa begini, bukan cuma gua doang yang lihat begini, bukan cuma gua doang punya pendapat/opini seperti ini; lu juga ‘kan, lu lihat juga ‘kan, lu ngerasain juga ‘kan?” –cari teman/bala. Lalu solusinya: “Harusnya begini ‘kan? Kayak begini ‘kan? Benar ‘kan?” Inilah jenis orang ketiga, dia cari teman/bala/sekutu.
Nanti kita akan melihat bahwa ketiga jenis posisi ini juga berlaku waktu memikirkan mengenai Perjamuan Kudus. Waktu orang merayakan Perjamuan Kudus, ada 3 macam kecenderungan dalam memahami khasiat/benefit, atau cara kerja Perjamuan Kudus. Sebelum membahasnya, kita akan membaca dari Injil Markus 14:12-25.
Pada hari pertama Hari Raya Roti Tak Beragi, orang mempersiapkan Paskah dengan menyembelih domba. Malam harinya, domba yang sudah diolah itu akan dimakan dengan sayur pahit, air garam, anggur, dan roti dari tepung yang digepeng-gepengkan lalu dibakar jadi sejenis roti kebab (roti Lebanon), untuk kemudian mereka merayakan Paskah. Perayaan Paskah dirayakan dengan cara yang kurang lebih sama seperti orang Yahudi merayakannya pada hari ini. Mereka berlumpul satu keluarga demi satu keluarga dalam sebuah ruangan, lalu ketika matahari terbenam dan hari berganti baru (orang Yahudi menghitung hari mulai dari malam ketika matahari terbenam), mereka akan memulai makan malam Paskah. Ini dimulai dengan seorang anak terkecil dalam keluarga tersebut bertanya kepada ayahnya, “Ayah, apa bedanya malam ini dengan malam-malam yang lain?” Lalu ayahnya akan menjawab, “Perbedaan malam ini dengan malam-malam yang lain, yaitu pada malam ini kita mengenang hari Tuhan membawa kita keluar dari Mesir, dari rumah perbudakan”, lalu dilanjutkan dengan sang ayah membaca kitab Keluaran, tentang bagaimana mereka diselamatkan Tuhan dari perbudakan. Yesus pun merayakan hal yang sama.
Yerusalem kota yang tidak ramai. Kota Yerusalem adalah kota di atas bukit; dan kota di atas bukit –apalagi yang merupakan pusat ibadah– hanya ramai pada hari ibadah. Pada hari ibadah, khususnya Paskah, ada 2 juta orang berkumpul di sana; dan itu saat-saat yang genting karena itu adalah saat mereka berharap-harap akan sesuatu. Apa yang diharapkan? Yang diharapkan adalah pembebasan umat Tuhan. Saat Paskah adalah saatnya orang Yahudi mengalami fanatisme akan datangnya mesias, Tuhan bertindak meluruskan yang bengkok, meluruskan ketidakadilan, membalaskan kejahatan dari musuh-musuh mereka. Dan, tentu saja penguasa wilayah yang berniat menghadirkan tatanan yang lebih baik/adil –yang sering kali dituduh menghadirkan tatanan yang oppressive— yaitu Romawi, was-was pada masa-masa itu. Mereka rela mengeluarkan uang tambahan demi mempekerjakan lebih banyak prajurit untuk berjaga, karena potensi kerusuhan lebih besar pada masa-masa Paskah. Pada masa Paskah itulah Yesus dan keduabelas muridnya datang juga ke Yerusalem.
Waktu Yesus mau merayakan Paskah, Dia perlu tempat –yang tidak begitu gampang didapat karena hampir 2 juta orang berkumpul di Yerusalem– lalu Yesus menyuruh dua orang murid-Nya mencari tempat. Tapi ini bukan sembarang tempat, karena mereka disuruh Yesus mengamati satu ciri, yang unik, yang jarang terjadi, yaitu disuruh bertemu dengan seseorang yang membawa kendi berisi air, mengikuti dia, lalu ketika sampai, menyampaikan pesan kepada si empunya rumah, “Di mana ruangan yang disediakan bagi-Ku untuk makan Paskah?” Menurut Saudara, ini petunjuk yang menolong atau tidak? Di antara 2 juta manusia yang sama-sama cari ruangan pada malam itu –dan waktu tidak ada Air BnB, Agoda, Booking.com, atau apapun lainnya– mereka musti cari ruangan! Lagipula petunjuknya “cari orang bawa kendi”, apa hubungannya dengan cari ruangan?? Perlu Saudara tahu, orang yang bawa kendi, dalam istilah Yunani adalah orang laki-laki, sudah dewasa, dan orang merdeka (bukan budak). Jadi dalam hal ini Saudara dapatkan jawabannya kalau Saudara mempertanyakan pertanyaan berikut: pada waktu itu, cowok merdeka dewasa bawa kendi berisi air atau tidak? –dan jawabannya: tidak. Yang bawa kendi berisi air biasanya perempuan (ingat cerita perempuan Samaria yang bawa kendi kosong untuk diisi air, Ribka yang bolak-balik mengisi kendinya untuk memberi minum unta-unta Eliezer), dan yang kedua adalah budak-budak, sedangkan laki-laki merdeka tidak. Kalau kita kontekstualisasikan dengan keadaan sekarang, yang disuruh Yesus mirip dengan disuruh cari cowok berdasi di Kelapa Gading lagi gotong galon AQUA –tapi orang berdasi tidak gotong galon AQUA, sama seperti laki-laki merdeka tidak membawa-bawa kendi. Tetapi ada satu jenis orang laki-laki merdeka yang bawa kendi, yaitu orang yang merupakan anggota sekte Hari Kiamat Eseni. Sekte ini tidak ada perempuannya, karena mereka percaya untuk mempersiapkan datangnya mesias, tidak boleh ada perempuan di tengah-tengah mereka; mereka selibat. Mereka percaya Hari Tuhan sudah dekat. Mereka adalah orang-orang yang menuliskan banyak peninggalan di daerah Qumran, dekat Laut Mati, yang disebut Dead Sea Scrolls. Mereka adalah orang-orang yang wajar saja terlihat di Yerusalem pada hari perayaan itu; kalau kedapatan ada cowok bawa kendi, kemungkinan adalah orang Eseni ini. Kenapa fakta ini penting? Karena ini adalah kelompok yang menantikan datangnya hari Tuhan, dan yang bersama-sama juga dengan Yesus mengkritik hirarki dominasi Bait Suci. Ada yang salah dengan pemerintahan Bait Suci, ada yang salah dengan imam-imam, ada yang salah juga dengan mereka yang tidak suka imam-imam yaitu orang Farisi, dan ada yang salah juga dengan orang-orang liberal di kalangan Israel yaitu orang Saduki, ada yang salah dengan dunia ini; dan salahnya bermula dengan ‘kita, orang Israel banyak tidak setia kepada Tuhan’, maka ‘kita perlu menjaga diri dari dunia, bahkan dari persekutuan dengan saudara seiman yang salah ini, dengan mengasingkan diri ke dekat Laut Mati’ –demikianlah orang-orang Eseni.
Yesus menyuruh cari orang semacam itu (yang kemungkinan besar orang Eseni, tapi tidak dikatakan secara eksplisit oleh penulis Injil), lalu Yesus mengatakan bahwa mereka akan berjumpa dengan seorang yang memiliki ruangan di sana. Kita tidak diberitahu bagaimana latar belakangnya, apakah Yesus sudah bayar lebih dulu, atau itu kenalan Yesus, dsb., tapi Yesus sudah memberi kode kepada murid-Nya, sama seperti waktu Yesus memberi kode untuk mereka cari keledai. Mungkin juga ada kisahnya yang tidak diceritakan, yang membuat orang tersebut seperti sudah mengerti atau sudah di-booking ruangannya, sehingga Yesus bisa memakai ruangan itu. Dan, kalau memang benar ini kelompok Eseni, kita bisa tahu kenapa Yesus memakai ruangan tersebut, yaitu karena mereka masih ada kesamaan pandangan secara politis, bahwa hari Tuhan sudah dekat, Kerajaan Allah sudah dekat (hanya saja, mungkin perselisihannya adalah ‘tidak tentu Yesus mesiasnya’). Bagaimanapun, mereka kemudian datang ke ruangan itu, mempersiapkan Paskah di sana, dan ketika malam tiba, Yesus masuk ke ruangan itu lalu mereka merayakan Paskah.
Waktu mereka merayakan Paskah, Yesus memberikan satu kabar yang tidak enak didengar, “Salah seorang dari kamu akan mengkhianati Aku”. Tidak heran, masing-masing dari mereka jadi dipenuhi dengan insekuritas; dan kalau orang dipenuhi dengan insekuritas, biasanya langsung akan menegaskan secara katastrofis, “Bukan gue, dong; bukan gue ‘kan??” Satu per satu bertanya demikian, dan Yesus tidak menjawab, “O, enggak, koq, ‘gak usah khawatir, Simon, bukan elu”. Tidak ada penegasan seperti itu. Yesus sepertinya diam saja; dan dengan demikian meningkatkan intensitas. Setelah masing-masing bertanya seperti itu, Yesus kemudian mengatakan, “Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.” Yesus malah menambahi dengan ‘celakalah orang itu, lebih baik tidak usah lahir saja’. Saya kira ini tidak menolong mengurangi insekuritas dan anxiety mereka. Hal ini kemudian di-pending dan baru dilanjutkan nanti di ayat 26, dst. ketika Petrus sesumbar, “Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak”.
Kita melanjutkan dulu dengan ayat 22, Yesus merayakan Paskah. Di situ Yesus mengatakan satu kalimat, yang kemudian diulangi oleh Paulus, sebagai satu formulasi dari Perjamuan Suci yang dirayakan oleh semua Gereja sepanjang 2000 tahun. Kalimat ini, tentu karena berasal dari Alkitab, maka tidak ada disputasi, tidak ada perdebatan mengenainya; karena Alkitab mencatat demikian, maka orang-orang Katolik, Ortodoks, Metodis, Baptis, Lurtheran, Protestan, Anabaptis, Pentakosta, ataupun lainnya, tentu setuju, karena jika tidak, berarti musti mengganti isi Alkitab –dan mereka tidak melakukan. Jadi tentu mereka semua setuju bahwa Yesus mengatakan: “Ambillah, inilah tubuh-Ku”, dan mereka setuju bahwa Yesus mengatakan, “Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang.” Mereka semua setuju dengan hal itu. Tapi apa artinya?
Pada zaman Luther berkarya, salah satu dari disputasi yang dia utarakan adalah sehubungan dengan hal ini (versi yang lebih kuat kita jumpai dalam disputasi yang diutarakan Zwingli), yaitu sehubungan dengan “inilah tubuh-Ku”, karena salah satu teori yang paling populer menjelaskan hal tersebut adalah teori Transubstansiasi. Teori Transubstansiasi, di antaranya diutarakan oleh Thomas Aquinas, mengatakan bahwa roti yang ada di tangan imam, dan sudah dikonsekrasi, sudah didoakan, sudah dipisahkan dari roti-roti yang lain, menjadi tubuh Kristus setelah dikonsekrasi. Artinya, kalau saudara makan hosti itu sebelum dikonsekrasi, oke saja, tidak perlu ada persyaratan apa-apa dan tidak punya makna apa-apa; tapi kalau sesudah dikonsekrasi, roti itu somehow berubah substansinya –maka disebut teori trans-substansiasi, bukan trans-aksidensi, karena yang berubah substansinya.
Apa arti substansi? Substansi adalah yang merupakan ciri umum, menjadikan sesuatu sebagai jenisnya. Misalnya substansi dari slederi, adalah yang membuat sledri jadi sledri. Dalam hal ini, memang tidak gampang kita menjabarkannya –kata Thomas Aquinas, untuk menyebutkan secara definitif substansi lalat saja tidak bisa, substansi sledri juga tidak bisa, apalagi substansi orang– tapi kita tahu, ada substansinya,kita tahu sledri bukan bayam, yang bikin sledri jadi sledri memang ada, namanya substansi sledri, dan itu berbeda dari bayam, itulah yang membedakan sledri dari bayam. Namun kita juga tahu sledri berbeda-beda, ada sledri yang layu, ada sledri yang segar, ada sledri yang baunya keras, ada sledri yang baunya tidak sekeras itu, ada sledri yang masih muda, ada sledri yang tua –dan semua sledri itu adalah sama-sama sledri, bukan bayam. Itulah substansi. Kita membedakan substansi dari apa? Dari penampakan, aksidensi. Dalam hal ini Thomas Aquinas memakai filosofinya Aristoteles yang sedang naik daun pada zaman itu, untuk menjelaskan soal Perjamuan Kudus –saya kira, dengan kekuatan penjelasannya yang sangat membantu (dalam hal ini kita lihat dulu positifnya). Kita tahu bahwa yang membuat sledri jadi sledri, itu berbeda dengan yang membuat bayam jadi bayam, dan itu somehow berbeda dari penampakannya. Kenapa? Karena penampakan sledri boleh berubah, misalnya dari segar jadi layu, tapi dia tetap sledri. Supaya lebih relevan, kita kenakan pada manusia; manusia bayi dan manusia tua, itu tidak sama, tapi bukan berarti kamu berubah dulunya monyet waktu masih bayi lalu sudah tua jadi orang. Tentu tidak demikian, kamu lahir manusia, dan waktu sudah tua juga tetap manusia juga, cuma penampakannya beda banget. Saya tergoda untuk mengatakan, bayi agak mirip babi kecil, antara bayi dan babi agak dekat dibandingkan bayi dan nenek-nenek; tapi bayi manusia dan nenek-nenek manusia itu masih satu substansi, sementara bayi manusia dan bayi babi sudah beda substansui. Kira-kira begitu penjelasannya.
Dalam hal Perjamuan Kudus, teori Transusbstansiasi menjelaskan bahwa roti itu secara substansi berubah menjadi tubuh Yesus. “Tapi, Pak, koq baunya sama, kalau dipegang masih tepung, bukan daging manusia; tubuh Yesus ‘kan daging manusia, tapi roti ini tidak jadi daging manusia, koq, tidak jadi kenyal-kenyal. Anggurnya juga tidak jadi darah; saya tahu, koq, minum darah itu rasanya kayak apa, bau-bau besi begitu, sementara ini tetap anggur, koq. Jadi teori Transusbstansiasi salah!” Di sini kira-kira Thomas Aquinas akan bilang, “Jangan buru-buru, Fergusson, soalnya yang saya maksud berubah adalah substansinya, bukan aksidensinya, sedangkan yang kamu sebutkan itu aksidensinya –rasanya, penampakannya, baunya, dst.”. Jadi, dengan teori ini mereka bisa menjelaskan mengapa Yesus mengatakan, “Inilah tubuh-Ku’, karena esensinya berubah tetapi yang kita lihat tetap roti yang warnanya putih, tidak jadi warna daging manusia.
Dari ketegasan bahwa substansinya adalah substansi tubuh Yesus, mereka juga bisa menjelaskan khasiatnya, yaitu kenapa orang yang ikut Perjamuan Suci, imannya bertumbuh –yang tidak bisa dijelaskan kalau kita melihatnya hanya sebagai upacara formal, ritual, yang opsional, karena yang seperti itu tidak barubah apa-apa, lucu-lucuan saja, boleh ada, boleh tidak ada, tidak ada efeknya. Dalam hal ini, mereka bisa menjelaskan demikian: karena kamu makan tubuh Yesus –walaupun secara substansi, karena pada dasarnya roti itu sudah berubah substansinya, sudah bukan roti lagi walaupun penampakannya masih roti– sehingga kamu bersatu dengan tubuh Yesus, maka kamu mengambil bagian dari tubuh Yesus; dan ketika kamu mengambil bagian dari tubuh Yesus, maka tidak heran kamu mengalami penolakan dari dunia ini, kamu menolak dunia ini, kamu menderita dalam hidupmu bersama Yesus –bukan menderita dalam dosa– dan kamu tidak perlu takut, karena dalam penderitaanmu itu ada masa depannya, bahkan kalau kamu harus mati bersama dengan Yesus, kamu akan dibangkitkan juga. Jadi, ini menjadi sesuatu yang bisa dijelaskan, mengenai “kenapa Perjamuan Suci berkhasiat”.
Lebih gampang menjelaskan “kenapa Perjamuan Suci berkhasiat” dari sisi Transubstansiasi daripada dari sisi lawannya, yaitu sisi Komemorasi versi dari Ulrich Zwingli, yang menolak teori Transubstansiasi atas dasar bahwa itu penghujatan, karena itu berarti kita mengorbankan kembali Yesus, Yesus jadi mati berkali-kali, pertama kali di kayu salib lalu berjuta-juta kali di altar Perjamuan Suci. Demikian kata Zwingli –yang saya setuju– tetapi penjelasan Komemorasi dari Zwingli ini sangat terbatas dalam menjelaskan khasiat Perjamuan Kudus. Jadinya ngapain ikut Perjamuan Kudus, cuma makan terigu yang dicampur air lalu di-oven menjadi hosti, lalu minum anggur bersama-sama, somehow terbatas seperti upacara bendera. Upacara bendera memang seperti itu, mengenang hari kemerdekaan, mengenang nasionalitas kita bersama, itu saja. Hanya ritual saja. Tentu bukan kosong/hampa sama sekali –Zwingli juga tidak percaya itu hampa– tapi kurang bisa menjelaskan dalam hal mengapa dengan mengikuti Perjamuan Suci, orang jadi bertumbuh rohaninya, jadi lebih dekat dengan Tuhan; sementara teori Transubstansiasi lebih bisa menjelaskan, walaupun kita harus menjawab keberatan Zwingli bahwa kita tentu tidak mengorbankan lagi tubuh Yesus.
Sampai di sini, saya akan coba menjelaskan juga alternatif dari dua antitesis ini, teori Transubstansiasi dan teori Komemorasi dari Zwingli ; dalam hal ini, yang di tengah-tengah keduanya itu, ada beberapa pilihan. Misalnya, Luther, sebagai antitesis dari Zwingli tapi juga tidak menerima teori Transubstansiasi, mengatakan, “Kita tidak bisa setuju dengan Zwingli”. Bahkan Luther pernah bertemu Zwingli untuk mendiskusikan masalah ini; dan dalam anekdotnya dikatakan bahwa Luther tidak bicara apa-apa, tapi dia mencoretkan satu kalimat di meja, yaitu “hoc est”, artinya “inilah”, yang tentu adalah potongan dari kalimat “hoc est corpus meum” (“inilah tubuh-Ku”). Maksud Luther, Tuhan bilang, “Inilah tubuh-Ku”, ada “inilah”-nya. Dia bukan bilang “andaikan ini tubuh-Ku”. Yesus tidak bilang, “Bayangkan ini simbol tubuh-Ku”, Yesus bilang, “Inilah tubuh-Ku” –demikian kata Luther– lalu kenapa Zwingli ganti-ganti jadi ‘ini menyimbolkan tubuh-Ku’, ‘ini merujuk pada tubuh-Ku, kamu lakukan ini jadi ingat-ingat Aku’, jadi seperti upacara bendera.
Kira-kira demikian menurut Luther, tapi tentunya diskusi ini masih panjang lebar; dan saya kira Zwingli dalam banyak hal lebih paham bagaimana handling eksegese teksnya, karena dia seorang pakar humanis yang lebih paham bahasa aslinya dibandingkan Luther. Luther lebih menekankan pembahasan dogmatikanya, metode yang dipakai Luther lebih skolastik; sementara Zwingli memakai metode yang sangat mirip, atau sama, dengan yang dipakai Calvin dalam handling Alkitab, yaitu metode humanisme. (Humanisme dan Skolatisisme adalah 2 aliran yang saling bersaing pada abad pertengahan akhir. Metode Humanisme membaca dalam bahasa aslinya dan dalam konteks aslinya, secara sastrawi; sedangkan metode Skolastisisme melihat teks hanyalah kendaraan makna saja, jadi yang paling penting isi dari teks tersebut, yang adalah ajaran Tuhan, dogma-dogmanya, dan kita handling dogma dengan pakai logika. Itu sebabnya perdebatan skolastik, seperti kita jumpai misalnya dalam karya-karya Thomas Aquinas, Petrus Lombardus, Duns Scotus, William of Ockham, adalah perdebatan-perdebatan yang bersifat dogmatis, logis, sistematis, mengenai isi ajaran Alkitab. Sedangkan dalam humanisme, mereka mulai mempertimbangkan bentuk sastranya, retorikanya, naratifnya, dst. –lebih mempertim-bangkan konteksnya.) Zwingli, saya kira memakai metode yang kedua, humanistik; humanistik di sini bukan dalam arti ‘manusia segalanya,Tuhan tidak ada’, yang seperti ini humanisme ateistik, humanisme sekular; dan Zwingli tentu saja bukan humanisme sekuler.
Kembali lagi ke Luther; Luther melihat bahwa roti itu memang tidak menjadi substansinya tubuh Yesus –dalam hal ini dia mengakomodasi kekhawatiran Zwingli, kita memang tidak mengorbankan lagi tubuh Yesus– tetapi dia menegaskan kalimat Yesus “inilah tubuh-Ku’, jadi memang tidak boleh menceraikan roti itu dari kehadiran Yesus.
Salah satu keberatan lain dalam hal mempercayai “roti itu sungguh-sungguh dihadiri oleh Yesus (real presence) dalam Perjamuan Suci”, yaitu karena Yesus ada di surga, Yesus ‘kan sudah naik ke surga. Yesus punya dua natur (natur ilahi dan natur manusiawi), dan secara natur ilahinya memang Allah bisa ada di mana-mana, tapi natur manusiawi-Nya menghalangi Yesus untuk bisa ada di dua tempat sekaligus. Jadi kalau Yesus ada di surga, Dia ‘kan tidak mungkin ada di bumi juga, dan kalau ada di bumi pun, bagaimana mungkin Yesus hadir dalam Perjamuan Kudus di Kelapa Gading lalu sekaligus di Bekasi, di New York, di Amsterdam, dsb., karena sebagai manusia tidak mungkin. Bukan tidak mungkin sebagai Allah, tapi kalau sebagai manusia Dia melakukan itu, jadinya Dia bukan manusia lagi. Dalam sense inilah, orang-orang yang menolak real presence tubuh Yesus dalam Perjamuan Suci, mengutarakan pendapatnya. Jadi bukan sekadar “tidak mungkin ada real presence, cuma komemorasi, karena kalau ada real pressence berarti mengorbankan Yesus sekali lagi; dan itu penghujatan” (ini alasan pertama), tapi juga karena “Yesus adalah manusia sejati, sementara manusia sejati harus tidak memiliki ubiquity (bisa berada di segala tempat sekaligus), dan kalau Yesus memiliki ubiquity berarti Dia bukan manusia sejati”. Demikian argumentasinya. Tetapi Luther mengatakan hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan, sebab natur manusia belum final, natur manusia diangkat oleh Tuhan lewat kebangkitan Yesus sebagai yang sulung dari yang bangkit. Yesus adalah yang sulung dari yang bangkit, maka Dia naturnya diangkat oleh Tuhan, dan Allah mengkomunikasikan atribut ilahi “ubiquity” tersebut kepada natur manusiawi Yesus yang bangkit, sehingga tentu saja Yesus –yang manusia– bisa ada di mana-mana juga. Kira-kira begitu penjelasannya.
Tentu saja Luther tidak menyangkali adanya real pressence sebagaimana golongan nominalis tadi, tetapi kita (gereja Reformed Calvinis) tahu ada perdebatan juga antara kelompok Calvinis non Zwinglian dengan kelompok Lutheran. Perdebatan ini antara lain muncul di suatu kota di daerah Palatina, yaitu di kota Heidelberg. Perdebatan ini kemudian memicu Pangeran Frederick III (Frederick the Pious) untuk memikirkan solusinya. Dia kemudian bertanya kepada Melanchthon, apa yang harus dilakukan. Singkat cerita, dia memanggil dua orang pakar Calvinis (murid Calvin) untuk menjelaskan tentang Perjamuan Kudus dalam katekismus yang mereka bikin. (Katekismus adalah sesuatu yang biasa, seperti orang membuat buku katekisasi atau buku Sekolah Minggu; ada banyak katekismus dalam gereja Reformed, dan tidak perlu terlalu dibenturkan. Pengakuan iman Reformed bukan ditujukan terutama untuk memecah belah, tapi untuk highliting kesamaan pandangan di antara orang-orang Protestan, sayangnya ada orang membanding-bandingkan katekismus dengan semangat ‘kita ini beda dengan Lutheran, kita beda dengan Anglikan’ –yang ditekankan perbedaannya).
Sekarang saya akan menjelaskan perbedaan kita, orang-orang Calvinis, dengan kelompok Lutheran. Di daerah Lutheran yang sudah sekian puluh tahun menjadi Lutheran berpisah dari Katolik, yaitu di kota Heidelberg itu, kemudian terjadi percakapan mengenai ‘Perjamuan Kudus harus diartikan apa.’ Percakapan ini muncul dari orang-orang yang juga belajar ke Jenewa, bukan cuma belajar ke Wittenberg, antara lain Caspar Olevianus dan Zacharia Ursinus; dan Caspar Olevianus kemudian menjelaskan di mana perbedaannya dengan kelompok Lutheran.
Kelompok Lutheran menganut pandangan yang mereka sebut sebagai konsubstansiasi, ada kehadiran Yesus yang menyertai roti itu, sedemikian sehingga waktu kita makan roti itu, kita disertai juga oleh Tuhan. Ini adalah pandangan yang kemudian diberikan alternatif lebih jitu oleh Calvin, yang lebih addressing soal mengapa kita tidak bisa dikatakan ‘makan tubuh Tuhan’ tanpa terjatuh ke dalam penjelasan Zwinglian (karena sulit menjawab polemik antara ‘makan tubuh Tuhan tapi tidak mengorbankan tubuh Tuhan, itu bagaimana caranya kalau itu memang tubuh Tuhan yang sejati??’ dengan versi konsubstansiasi Luther bahwa ada kehadiran tubuh Tuhan yang memang beda dengan rotinya namun keha-dirannya ada di luar-dalam-atas-bawah-kiri-kanan-depan-belakang, lalu pertanyaannya ‘kalau begitu bagaimana caranya bisa tidak termakan tubuh Yesusnya?? Apalagi kalau tidak termakan, jadi tidak ada khasiatnya juga, lalu bagaimana??) Hal ini dijelaskan oleh Calvin tanpa terjatuh ke dalam penjelasan Zwinglian; saya bacakan dari katekismus Heidelberg pertanyaan no. 75 dan no. 76, yang saya terjemahkan secara bebas:
Pertanyaan no. 75:
Bagaimana Perjamuan Suci menunjuk dan memeteraikan bagi engkau, apa yang menjadi bagianmu di dalam pengorbanan Kristus di kayu salib beserta segala manfaat/pemberian-pemberiannya?
Jawabannya:
Dengan cara ini: Kristus telah memerintahkan aku dan semua orang percaya untuk memakan roti yang dipecah-pecahkan ini dan minum dari cawan ini, sebagai ingatan akan Dia (ini anggukan kepada Zwingli, yaitu komemorasi; dan tentu saja akarnya juga dari Alkitab, Yesus mengatakan, “Lakukan ini demi mengingat akan Aku”), dan dengan perintah ini Kristus memberikan janji-janji berikut:
- Sepasti aku melihat dengan mataku, roti yang dipecahkan Tuhan bagi aku dan cawan yang diberikan Tuhan kepadaku, sepasti itulah tubuh-Nya diberikan bagiku dan darah-Nya dicurahkan bagiku di kayu salib (bukan di meja ini, tapi di kayu salib, jadi di sini ada penekanan yang kuat mengenai roti dan anggur sebagai tanda/ semeia, penunjuknya, bukan yang ditunjuk; ini mengintroduksikan sesuatu yang baru yang tidak dimiliki oleh penjelasan Lutheran dalam menjelaskan Perjamuan Kudus).
- Sepasti aku menerima dari tangan pendeta dan mengecap dengan mulutku roti dan cawan dari Tuhan, sebagai tanda yang merujuk kepada tubuh dan darah Yesus, sepasti itulah Dia memberi aku makan dan menyegarkan jiwaku kepada hidup yang tidak berkesudahan, dengan tubuh-Nya yang disalibkan dan mencurahkan darah (jadi ada kejelasan di sini bahwa tubuh Yesus yang disalibkan dan darah-Nya yang dicurahkan, terjadi secara historis, bukan di sini; dan ada kejelasan yang kedua, yaitu yang di sini, bahwa sepasti aku menerimanya, saat itulah Tuhan memberi aku makan).
Di sini saya melihat adanya juga catatan kepada Thomas Aquinas, waktu dia mengatakan dalam sajak yang gereja Reformed pun sering nyanyikan, yaitu Panis Agelicus (Roti Para Malaikat), menggambarkan bagaimana Ekaristi/Perjamuan Suci adalah cara Yesus memberi kita makan. Hanya saja dalam Katekismus Heidelberg, Caspar Olevianus menjelaskan bahwa bukan tubuh Yesus yang dipecahkan itu kemudian jadi sama dengan roti—tanda dan penanda tidak sama— roti adalah tetap roti, tidak pernah berubah substansinya, tetapi roti itu di dalam anugerah Tuhan membawa kita atau merujuk kepada tubuh Yesus. Jadi di sini pakai teori ‘tanda dan yang ditandai’.
Pertanyaan no. 76:
Jadi apa artinya makan tubuh Kristus yang disalibkan dan minum darah-Nya yang dicurahkan?
Jawabannya:
- Menerima dengan hati yang percaya segala penderitaan dan kematian Kristus, sehingga kita menerima pengampunan dosa dan hidup yang kekal, sepasti mata kita melihat dan lidah kita mengecap.
- Penyatuan –kita akan semakin bersatu– dengan tubuh-Nya yang suci itu melalui Roh Kudus, sehingga kita yang hidup, kita di dalam Kristus dan Kristus di dalam kita, kita boleh semakin berpartisipasi ada di dalam hidup Yesus dan hidup Yesus ada dalam hidup kita, sehingga walaupun Kristus ada di surga dan kita ada di bumi, tetapi kita adalah daging dari daging-Nya, dan tulang dari tulang-tulang-Nya, dan kita akan selamanya hidup serta dipimpin oleh satu Roh saja sebagai anggota tubuh Kristus. (menekankan bahwa Kristus tidak di sini tapi di surga; ini berbeda dengan penjelasan Luther soal ada atribut ilahi ‘ubiquity’ yang dikomunikasikan kepada natur manusia Kristus),
Bagian ini, “daging dari dagingku, tulang dari tulangku”, adalah bahasa yang sangat jelas menggambarkan yang dikatakan Adam kepada Tuhan mengenai Hawa; dan pada akhirnya itulah yang dialami oleh Gereja ketika merayakan Perjamuan Kudus, yaitu merayakan pernikahan dengan Yesus yang ada di surga, sementara Gereja ada di bumi. Gereja diingatkan dan dibawa masuk lebih dalam kepada realitas bahwa dia adalah milik Kristus; dan bukankah itu tema besar Katekismus Heidelber, bahwa kita ini, dalam kesengsaraan kita, kita punya penghiburan bahwa kita dimiliki oleh Tuhan –“daging dari daging-Ku, dan tulang dari tulang-Ku”. Kita memiliki satu Roh, yaitu Roh Tuhan, yang memerintah atas kita. Saya kita ini formulasi yang indah sekali dari Caspar Olevianus, satu usaha menjelaskan –tentu tidak sama dengan Alkitab, tapi satu usaha menjelaskan– antara lain Markus 14:22-25 ini, ketika Yesus mengatakan, “lakukan ini sebagai peringatan akan Aku; inilah tubuh-Ku, inilah darah-Ku”.
Poin terakhir, Yesus menutup bagian ini dengan ayat 25: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, dalam Kerajaan Allah.” Menarik bahwa di sini ada kata “tidak”, kata sangkalan; kata ‘tidak’ ini disandingkan dengan ‘minum hasil pokok anggur’ — “Aku tidak akan minum hasil pokok anggur”. Minum hasil pokok anggur, itu artinya apa? Dan, tidak minum hasil pokok anggur, adalah tindakan apa?
Kita ingat dalam Perjanjian Lama, yang tidak minum hasil pokok anggur adalah orang-orang nazir yang dijanjikan bagi Tuhan. Ada apa dengan anggur? Kenapa Tuhan tidak berkenan dengan anggur? Bukan Tuhan tidak berkenan dengan anggur –Tuhan yang bikin anggur–bahkan Alkitab pernah mengatakan, Tuhan menciptakan anggur untuk menyukakan hati anak-anak manusia. Memang Paulus pernah mengatakan kepada Timotius, “Jangan minum air saja, campurkan anggur supaya pencernaanmu lebih baik”, tentu saja itu hanya sebagian dari kegunaan anggur, tapi kegunaan anggur yang lain adalah untuk menyukakan hati –dan ada dasar Alkitabnya. Tetapi, kenapa beberapa orang disuruh Tuhan, atau berjanji kepada Tuhan, untuk tidak menyentuh anggur? Karena anggur dipakai bukan untuk menenggelamkan kesedihan –meski ada bagian Alkitab bilang kalau orang minum anggur, dia lupa akan kesedihannya– anggur diminum bukan terutama waktu frustrasi, bukan untuk melupakan masalah, melainkan untuk merayakan kegembiraan. Ini beda, lho, dengan minum anggur untuk melupakan masalah. Kegunaan anggur yang terutama dalam cerita Alkitab adalah: merayakan sesuatu. Apa yang dirayakan itu? Yang dirayakan adalah datangnya Kerajaan Allah, lenyapnya kejahatan. Lalu kenapa Yesus bilang, “Gue kagak minum … “? Kenapa Dia menahan diri seperti orang nazir?
Orang nazir menahan diri karena mereka mau hidup prihatin. Kenapa prihatin? Karena umat Tuhan menderita, karena Tuhan belum bertindak. Beberapa orang hidup prihatin seumur hidupnya karena menantikan sesuatu; orang Essenes hidup prihatin, bukan karena Tuhan senang orang sengsara tapi karena mereka mengingat penderitaan –khususnya penderitaan umat Tuhan– dan mereka menantikan Tuhan bertindak. Dan, Yesus, dengan indah dikatakan di sini bahwa Dia mengatakan kepada murid-murid-Nya, “Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur … “. Omong-omong, Yesus perlu atau tidak berpuasa menahan diri dari bersenang-senang di surga? Bukankah pekerjaan Dia sudah selesai, boleh dong Yesus minum-minum merayakan kemenangan-Nya bersama Allah Bapa di surga? Tentu boleh. Tapi Dia adalah seperti semua pemimpin yang baik, tidak happy-happy dulu sampai manusia terakhir dihapus air matanya, sampai darah Habel terakhir dibalaskan ketidakadilannya. Yesus menahan diri karena solider dengan penderitaan kita, karena kita ini masih Ecclesia militans toh, belum menjadi Ecclesia triumphal, jadi kita belum waktunya merayakan. Kita prihatin, sebab ada orang-orang yang hidupnya masih menderita dalam dunia ini, karena ketidakadilan khususnya, karena masih ada orang benar yang mati, yang menderita, yang tertindas. Itu sebabnya Tuhan puasa buat kita. Indah sekali. Tuhan tidak minum-minum, karena kita. Dia tentu saja bisa, pertama-tama karena Dialah bos-nya; dan kedua, Dia memang sah merayakan, soalnya pekerjaan Dia sudah genap, sudah tetelestai, sudah diterima Tuhan dengan baik. Tetapi kita belum; dan Dia menahan diri demi kita.
Namun yang lebih indah lagi, Dia memberi kita alasan untuk bersukacita, sehingga dalam kemenangan dan segala kelegaan-Nya Dia menahan diri, tetapi untuk kita dalam segala penderitaan serta kesesakan kita, Dia memberikan pengharapan, penghiburan; kita yang diberi minum oleh Tuhan sementara Tuhan tidak minum. Tetapi waktu kita minum anggur itu, kita bukan minum alkoholnya, dan khususnya juga bukan untuk melupakan kesedihan (karena orang Kristen bukanlah orang yang obatnya dengan melupakan kenyataan, sebaliknya orang-orang Kristen diberikan alasan untuk berani menghadapi kenyataan); salah satu alasannya adalah: Kristus sudah menyelesaikan bagian-Nya. Dia ada di surga, tidak di sini, tetapi kita sudah dijanjikan buat Yesus, bone of His bone, flesh of His flesh. Waktu kita melihat roti ini, mencium anggur ini, dan cairannya mengalir lewat kerongkongan kita, di situlah kita ingat seperti orang yang melihat cincin dan ingat ‘saya ini sudah dijanjikan kepada orang lain, ada yang memiliki saya’.
Kembali ke ilustrasi saya yang pertama, dalam Gereja ada 3 macam orang: ada problem –>googling, ada problem –> cari dukun, ada problem –> cari bala. Orang jenis pertama, menganggap problemnya adalah informasi, maka dia cari informasi; kalau problemnya salah informasi, dia cari informasi yang benar. Tapi Alkitab isinya bukan cuma informasi yang benar, walaupun tentu informasi di dalam Alkitab adalah benar –tapi bukan itu yang terutama tujuan diberikannya Alkitab.Yang kedua, orang yang mencari semacam cara-cara magis sehingga ‘saya tidak harus berubah, tapi masalah saya hilang’. Martin Luther, Ulrich Zwingli, John Calvin, Caspar Olevianus, sangat prihatin akan manusia jenis begini dalam Gereja Medieval abad 16 karena jumlahnya banyak sekali –“saya punya masalah, ikut Perjamuan Suci, nanti masalah saya selesai, tapi sayanya tidak perlu berubah”.
Problematik orang seperti itu kemudian coba diluruskan; dan pelurusannya bukan dengan swing ke jenis pertama, ‘masalahmu cuma salah pikir saja, coba diluruskan, di-install ulang operating system-nya, nanti semua masalah beres’ –bukan demikian, karena manusia bukan cuma res cogitans (diri yang berpikir saja). Manusia adalah manusia yang utuh, yang holistik, dan ditentukan terutama bukan dengan isi otaknya, bukan dengan isi dompetnya, bahkan bukan dengan kebiasaan hatinya (habits of his hearts), melainkan terutama oleh ini: ‘dia milik siapa’, ‘dia mencintai apa’, ‘dia daging dari daging siapa, tulang dari tulang siapa’. Jadi ada benarnya juga solusi yang ketiga, yaitu cari bala, hanya saja orang yang cari bala biasanya ‘gue bener ’kan’; sedangkan bala (bantuan) yang kita punya yang adalah di dalam nama Tuhan. Tuhan kita itu tidak selalu membela kita, Dia bukan berprinsip ‘right or wrong is My children’. Dia punya prinsip ‘right or wrong is right or wrong, whether you are My children or not; but you’re my children, therefore I love you; because you are the bone of My bone and flesh of My flesh, therefore you’re partaking in My life’. Kamu berbagian dalam hidup-Ku karena kamu tulang dari tulang-Ku, daging dari daging-Ku. Saya kira ini adalah cara pemahaman mengenai Perjamuan Suci yang diutarakan oleh Caspar Olevianus, yang hari ini saya pakai untuk menutup khotbah kita.
Waktu kita merayakan Perjamuan Suci, harap kita mengingat bahwa Yesus menahan diri dari merayakan, karena Dia solider dengan penderitaan kita di bumi. Sementara kita menderita di bumi, di bawah matahari yang ini, kita masih ada tangis, kita masih ada keringat, dan kita masih ada berdarah, kiranya kita ingat ada yang berpuasa bagi kita, ada yang berprihatin melihat kita. Dia adalah yang mencintai kita, lebih dari Dia mencintai diri-Nya sendiri, Yesus, kekasih jiwa kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading
