Judul yang diberikan LAI –dan juga terjemahan-terjemahan lain– dalam bagian ini yaitu “Samuel terpanggil” (“God calls Samuel”). Pastinya cerita ini ada kaitannya dengan Samuel karena Tuhan memanggil Samuel, tapi kalau kita melihat cerita ini secara konteksnya, mungkin fokus utamanya bukan Samuel, justru yang mau disampaikan penulis kitab ini secara khusus adalah karakter dari panggilan Tuhan. Penulis Alkitab mau menyatakan bahwa karakter dari panggilan Tuhan ada kaitan yang erat sekali dengan Firman Tuhan –khususnya dalam perikop yang kita baca. Kita akan melihat hal ini lebih jelas lagi ketika masuk ke dalam ayat-ayatnya.
Di ayat pertama, penulis kitab 1 Samuel sengaja menulis bahwa masa ketika Samuel dipanggil, Firman Tuhan jarang dan penglihatan-penglihatan pun tidak sering. Ini menarik, karena kalimat ini sebenarnya tidak terlalu esensial; kalau kita hanya fokus kepada pribadinya Samuel, sebetulnya tidak terlalu penting kalimat ini ada atau tidak, bisa langsung diceritakan bahwa ketika itu Samuel masih kecil dan Tuhan memanggil Samuel –itu saja. Namun, fakta bahwa penulis Alkitab sengaja menaruh kalimat ini, memberikan kita satu petunjuk bahwa mungkin fokusnya bukan di dalam pribadi Samuel itu sendiri, ini bukan suatu cerita yang mau memberikan konfirmasi ‘look at him, the great prophet yang akan mengurapi Daud dan Saul’ –sebagaimana pandangan dari orang-orang yang sangat kritis terhadap kitab ini. Penafsir-penafsir yang sangat kritis terhadap kitab 1 Samuel, mengatakan bahwa seluruh kitab 1 Samuel hanyalah propaganda untuk mendukung kerajaannya Daud, mungkin karena dia musuh bebuyutannya Saul, atau pengikutnya Daud yang setia, dsb., sehingga alasannya harus mendukung Samuel hanyalah karena Samuel yang mengurapi Daud –demikian menurut orang-orang yang kritis. Tapi kalau kita melihat lebih detail, cerita panggilannya Samuel ada kaitannya dengan Firman Tuhan. Itulah alasannya penulis Alkitab menulis kalimat tadi, ‘Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatan pun tidak sering’.
Secara biblikal, ketika Alkitab mengatakan satu kondisi di mana Firman Tuhan itu jarang, artinya itu adalah kondisi yang buruk, kondisi yang negatif; sebaliknya, kondisi di mana Firman Tuhan limpah, merupakan kondisi yang positif. Contohnya dalam kitab Amos ketika Tuhan menghukum bangsa-Nya sendiri, dikatakan di situ Tuhan akan menghukum Yudea, menghukum Israel, dan kalau umat tersebut mencari Firman-Nya, mereka tidak akan menemukannya. Jadi itu adalah suatu penghukuman di dalam Alkitab. Hal ini juga cukup jelas dalam kitab Hakim-hakim; dikatakan di sana, mereka melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri, mereka tidak melakukan Firman, tidak menghidupi Firman –dan ini kondisi yang negatif. Yang saya mau tekankan begini: kondisi ketika Samuel dipanggil adalah satu kondisi di mana Firman Tuhan jarang, dengan kata lain, Samuel dipanggil untuk kebangkitan Firman. Samuel bukan terutama dipanggil untuk melegitimasikan kerajaan Daud, Samuel dipanggil demi ada kebangkitan Firman, kebangkitan ketaatan kepada Firman.
Cukup jelas dalam cerita 1 Samuel, sebelum Daud dipanggil, sebelum kerajaan Daud ada, sebelum kerajaan diturunkan kepada Salomo, dst. –sebelum ada monarki– yang ada adalah: Samuel dipanggil untuk membangkitkan Firman. Apa artinya? Artinya Firman Tuhan adalah pondasi dari kerajaan Tuhan, kerajaan Israel. Tanpa pondasi ini, tanpa kebangkitan Firman, tidak ada artinya. Bait di Silo yang dipimpin Eli dan anak-anaknya, keadaanya tanpa Firman –dan itu tidak ada artinya. Mereka ada agama, ada liturginya, dan orang bisa berdoa kepada Tuhan di sana –seperti juga Hana berdoa di sana– tapi bagi Tuhan itu tidak ada artinya, tidak ada Firman. Tuhan membangkitkan Samuel sebelum Dia mendirikan kerajaan-Nya. Firman sebagai pondasi, ini satu poin yang klasik tapi saya percaya ini poin yang terus-menerus perlu kita ulang di dalam Gereja.
Seorang hamba Tuhan mengatakan untuk jangan terjebak hanya mau khotbah-khotbah yang rumit, yang fresh, yang baru –penyakitnya orang Reformed– tapi kadang-kadang kita perlu mengulang, perlu khotbah yang simpel, yang pondasional, karena sering kali khotbah-khotbah seperti ini kita tidak mau dengar lagi. Dalam hal ini kadang-kadang kita missed satu hal, bahwa Tuhan bukan membuang Israel gara-gara mereka tidak mengerti doktrin-doktrin yang rumit, yang luas, dsb.; Tuhan membuang Israel karena mereka tidak melakukan Firman yang paling pondasional, karena mereka tidak taat. Hal yang paling simpel, yang paling dasar, yang paling kita remehkan dan kita tidak mau dengar itu, justru yang menyebabkan Tuhan membuang Israel. Sekali lagi, Firman harus menjadi pondasi; dan ini harus terus kita ingat. Tanpa Firman menjadi pondasi, apapun yang kita lakukan, semua pertumbuhan Gereja yang kita alami secara jasmani/eksternal, itu sebenarnya tidak ada artinya (pointless). Bait Allah yang tidak ada Firman, itu pointless. Gereja yang tidak mementingkan Firman, yang tidak menaruh Firman sebagai pondasi, itu seperti bait di Silo yang dipimpin Eli. Mereka ada tabut Allah di situ –ada Sepuluh Hukum– tapi mereka tidak taat dan tidak peduli.
Kita di dalam gereja Reformed memegang sola Scriptura; kita sadar bahwa untuk mengenal Kristus, kita harus mengenal Kristus di dalam Firman, bukan Kristus dalam imajinasi kita, bukan Kristus dalam kecenderungan pemikiran filsafat kita. Namun sedihnya kalau kita melihat Kekristenan hari ini, sering kali sola Scriptura bukan sungguh-sungguh jadi pondasi yang kita hidupi, sola Scriptura hanya menjadi satu slogan, bahkan menjadi alat. Semua orang, baik yang paling radikal maupun yang bidat, akan bilang bahwa mereka kembali kepada Alkitab. Siapa sih yang bilang, “O, saya tidak kembali kepada Alkitab, Alkitab ini sampah!” ? Pasti tidak ada. Semua orang bilang mereka kembali kepada Alkitab, tapi secara realitas apakah Alkitab sungguh-sungguh jadi pondasi? Apakah sungguh-sungguh mereka menghidupi sola Scriptura? Sedihnya, dalam Kekristenan tidak demikian. Ada yang meninggikan visi di atas Alkitab, ada yang meninggikan pengalaman di atas Alkitab, ada yang meninggikan ambisi di atas Alkitab. Lalu kita, orang Reformed, anggap diri aman karena kita tidak begitu, kita ini memegang sola Scriptura sejati, tapi sama saja, kita bisa jadi menaruh tradisi Reformed kita on our Buffin, on our Kuyper, atau apapun –di atas Alkitab. Kita juga sangat gampang menaruh confession-confession di atas Alkitab; kalau Alkitab yang kita baca tidak baca seperti tidak begitu sesuai dengan confession yang ada, kita lalu coba sesuaikan, “O, ayatnya kayaknya bukan begini artinya, ayatnya kalau di dalam confession artinya begitu”, bukan confession yang diubah sesuai dengan Alkitab tapi justru Alkitab yang diubah sedikit dicocokkan dengan confession –dan kita masih bilang ini sola Scriptura. Benarkah itu sola Scriptura??
Bapak/Ibu danSaudara sekalian, kalau memang Kerajaan Tuhan dibangun di atas Firrman Tuhan, apa artinya secara aplikasi? Artinya: pertumbuhan Gereja yang sejati tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan Firman —kebangkitan ketaatan kepada Firman. Kalau memang kita sungguh-sungguh mengatakan sola Scriptura menjadi agenda kita, maka berarti dalam gereja, dalam seluruh pekerjaan, kita berjuang bukan hanya supaya jumlah jemaat naik, kita berjuang supaya Firman dinyatakan di dalam segala aspek pekerjaan yang kita lakukan, kita berjuang supaya umat Tuhan bertumbuh di dalam ketaatannya kepada Firman. Itulah pertumbuhan Gereja yang sejati. Pertumbuhan Gereja tidak bisa kita nilai dari hal-hal eksternal, karena Firman adalah pondasinya. Dalam hal ini kita bisa refleksi, seberapa jauh kita sungguh-sungguh melakukan Firman di dalam Gereja, di dalam Kekristenan kita. Satu contoh yang kita bisa pakai untuk melihat apakah gereja masih mementingkan Firrman atau tidak, yaitu melalui mimbarnya, apakah di atas mimbar kita tetap mementingkan Firman dan mementingkan supaya orang taat kepada Firman, atau tidak? Atau kita mementingkan hal yang lain di atas Firman?
Dalam tradisi Injili kadang-kadang seolah-olah homiletic public speaking skills jauhlebih penting daripada eksposisi, yang penting pintar bicara maka akan diterima, yang penting pintar bicara maka jemaat akan bertambah –yang penting di atas mimbar pintar bicara, ada “kuasa”, maka beres. Saudara, kita yang sebagai pengkhotbah/pembicara kadang juga tergoda akan hal ini, karena kita pembicara ‘kan tidak “autis”, kita tidak buta, kita bisa melihat repons pendengar. Ketika bicara doktrin, bicara Alkitab, kadang ada yang terkantuk-kantuk ketiduran, tapi begitu bicara pengalaman, “Bapak/Ibu, kemarin saya bertemu Ahok, beretemu orang ini dan itu …” langsung cling, bangun, matanya langsung hidup. Dalam kondisi seperti ini, kita sebagai pembicara juga bisa tergoda melakukan homiletik plus pengalaman, lalu sola Scriptura jadi sekunder karena tidak ada yang mau dengar eksposisi –dan kalau tambah lama tambah tidak ada yang mau dengar, kita bisa dipecat, jadi untuk apa, toh tidak ada orang yang apresiasi, jadi what’s the point?? Salah satu hal indah yang terjadi dalam Reformasi, khususnya di dalam gereja Calvin, setiap kali Calvin khotbah banyak orang yang datang untuk mendengar dia. Calvin sendiri khotbahnya gagap, kalau khotbah dia membaca script, dia agak introvert, dia tidak ada kharisma seperti George Whitfield atau Billy Graham, dia khotbah dengan melihat ke bawah, tapi orang tetap datang. Karena apa? Karena bukan cuma pembicaranya saja yang mementingkan sola Scriptura, bukan cuma pembicaranya saja yang rindu Firman Tuhan dinyatakan, tapi pendengarnya juga; entah pembicaranya gagap, entah pembicaranya lihat ke bawah, yang penting Firman Tuhan dinyatakan. Samuel dipanggil untuk kebangunan Firman.
Kita melanjutkan. Di ayat 4 dan seterusnya, kita melihat Samuel dipanggil 4 kali; dan menariknya, waktu dipanggil, Samuel tidak tahu Tuhan yang memanggil dia. Kenapa dia tidak tahu? Ayat 7 mengatakan bahwa Samuel belum mengenal TUHAN –bukan tidak mengenal Tuhan– dan firman TUHAN belum pernah dinyatakan kepadanya. Di pasal sebelumnya mengenai kejahatan anak-anak Eli, dikatakan bahwa anak-anak Eli itu tidak mengenal Tuhan Apa artinya ‘tidak mengenal Tuhan’? Artinya mereka tidak taat kepada Tuhan, mereka tidak mengasihi Tuhan. Itu namanya tidak mengenal Tuhan. Di dalam Alkitab, ‘mengenal’ artinya luas; Adam mengenal Hawa, dan mereka melahirkan anak; ketika anak-anak Eli tidak mengenal Tuhan, mereka tidak taat kepada Tuhan. Tetapi di bagian ini, waktu dikatakan Samuel belum mengenal Tuhan, artinya bukan tidak taat kepada Tuhan, meskipun kata yang dipakai sama. Samuel ini tidur di bait suci Tuhan, tempat Tabut Allah ada; dia tidur di sebelah tabut yang isinya Sepuluh Perintah Tuhan. Ini artinya Samuel orang yang dekat dengan perintah Tuhan, orang yang taat kepada Firrman Tuhan, Samuel bukan orang yang tidak taat. Kalau begitu, apa maksudnya ketika Alkitab mengatakan ‘Samuel belum mengenal Tuhan, frrman Tuhan belum pernah dinyatakan kepadanya’? Dalam hal ini saya setuju dengan satu penafsir dalam WBC, yang mengatakan Samuel belum memiliki relasi yang khusus yang dia akan peroleh selanjutnya. Inilah yang kita lihat di ayat 21, TUHAN selanjutnya menampakkan diri di Silo kepada Samuel dengan perantaraan firman-Nya; Tuhan menyatakan diri-Nya kepada Samuel sehingga Samuel ada relasi yang khusus dengan Tuhan, yang ditandai oleh keintiman dia dengan Firman, yang ditandai oleh ketaatan dia kepada Firman. Inilah relasi yang khusus itu, relasi Tuhan dengan Samuel, relasi Samuel dengan Tuhan. Satu relasi yang berdasar atas ketaatan kepada Firman Tuhan. Di sini saya mau menekankan bahwa inilah satu relasi yang tidak bisa dipisahkan (unbreakable relationship) antara ketaatan pada Firman dan pengenalan akan Tuhan. Samuel itu orang yang taat sejak kecil. Dalam situasi lingkungan yang semua orang tidak taat, dia taat –dan Firman itu datang kepadanya. Kepada orang yang taat, Firman itu datang kepadanya; dan ketika Tuhan berfirman kepadanya, dia juga berespons dengan ketaatan. Dan ketika dia taat, Tuhan berbicara lagi kepadanya menyatakan diri-Nya. Lalu dia taat lagi, Tuhan menyatakan lagi; dia taat lagi, Tuhan menyatakan lagi, dan seterusnya. Inilah relasi Samuel dengan Tuhan.
Kita cukup jelas dalam perikop ini bahwa ketika kita taat kepada Tuhan, kita bisa mengenal Tuhan; ketika kita taat kepada Firman, kita akan mengenal Tuhan. Ketika kita mengenal Tuhan lebih lagi, kita akan taat lebih lagi. Ketika kita taat lebih lagi, kita akan mengenal Tuhan lebih lagi. Relasi tersebut spiraling seperti tornado yang terus berputar ke atas, dan ini tidak bisa kita putuskan. Kita sering mendengar kutipan dari Blaise Pascal, “You can only know God as much as you love your God” (kita hanya bisa mengenal Tuhan sejauh seberapa besar kasih kita kepada Tuhan) –pengenalanmu kepada Tuhan dibatasi oleh kasihmu kepada Tuhan; sedangkan di dalam Reformed berbeda: ‘kita hanya bisa mengenal Tuhan dari seberapa banyak kita mengerti doktrin, mengerti Alkitab’. Rasio sangat penting di dalam tradisi Reformed, kalau kamu tidak secara rasio mengerti Firman, kamu tidak bisa mengenal Tuhan. Yang saya mau tambahkan pada hari ini dari kitab 1 Samuel adalah relasi ketaatan dan pengenalan; kalau tadi dikatakan ‘kita hanya bisa mengenal Tuhan sejauh seberapa besar kasih kita kepada Tuhan’, dalam hal ketaatan prinsipnya juga sama: kita hanya bisa mengenal Tuhan sejauh seberapa besar ketaatan kita kepada Firman. It’s not just about your logical, rational, analytical understanding, tapi seberapa besar kasih kita kepada Tuhan sejauh itu kita mengenal Tuhan, seberapa banyak kita taat kepada Tuhan sejauh itu kita bisa lebih lagi mengenal Tuhan. Tidak peduli seberapa pintarnya filsafat kita, talenta kita, kalau tidak ada ketaatan kepada Firman, maka tidak ada pengenalan yang sejati. There is no true knowledge of God without obedience to The Word. Ketika di dalam Perjanjian Baru dikatakan Yesus mengenal Allah Bapa, itu di dalam hal apa? Kita mungkin bilang, “O, Yesus ‘kan Pribadi Kedua, jadi Dia pasti mengenal Bapa, Dia datang dari Bapa”; itu memang betul, tetapi kita juga bisa mengatakan bahwa Yesus itu sepenuhnya mengenal Allah Bapa karena Dia juga sepenuhnya taat kepada Allah Bapa. His knowledge is tight with His obedience. Yesus sepenuhnya mengenal Allah Bapa karena Dia taat sepenuhnya kepada Allah Bapa. Ketaatan itu penting, Bapak/Ibu dan Saudara sekalian. Ketaatan dari Firman yang paling kecil sampai yang paling besar. Tanpa ketaatan, there is no true knowledge. Jangan bilang, “O, kita banyak mengerti”; saya bukan anti rasio, tapi masalah ketaatan tidak bisa kita buang begitu saja. Orang yang tidak taat kepada Firman, dari perintah yang paling kecil sampai perintah yang paling besar, dia tidak mungkin mengenal Tuhan.
Berikutnya, kita melihat di sini Tuhan mengulangi lagi penghukuman-Nya kepada Eli dan keluarganya, karena yang berdosa bukan cuma anak-anak Eli tapi juga Eli sendiri –semuanya berdosa, top down. Mereka begitu menghina Tuhan sampai Tuhan begitu keras menghukum mereka, ‘kamu akan dibuang, kamu akan dicopot, kamu tidak akan menjadi imam, kamu akan digantikan; Eli dan kedua anak kamu akan mati dalam satu hari, keturunanmu tidak ada satu pun yang berumur panjang, tidak akan ada orang yang tua lagi dalam keturunan Eli, semuanya mati muda; bukan hanya mati muda, semua keturunan Eli menjadi pengemis’. Itulah penghukuman Tuhan; ‘kalau kamu anggap Saya sebagai keset, diinjak-injak, I will show you who is God and who is man’.
Saya ingin kita memperhatikan ayat 11: Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: “Ketahuilah, Aku akan melakukan sesuatu di Israel, sehingga setiap orang yang mendengarnya, akan bising kedua telinganya.” Apa maksudnya ‘akan bising kedua telinganya’ di ayat ini? Dalam 2 Raja-raja 21 ketika Tuhan menurunkan proklamasi penghakiman-Nya atas Yudea gara-gara dosa Manasye, Dia mengatakan bahwa Dia akan mendatangkan malapetaka atas Yerusalem sehingga yang mendengarnya akan bising kedua telinganya. Yang dimaksud dengan ‘bising kedua telinganya’ ini bukan sekadar satu kabar yang mengerikan, yang kejam, tapi suatu kabar yang sangat bersifat polemik, yang bertentangan dengan apa yang terjadi pada saat itu. Kalau kembali ke cerita dalam 1 Samuel, kondisinya memang demikian, apa yang Tuhan mau Samuel katakan adalah jauh bertentangan dengan kondisi kehidupan yang mereka hadapi saat itu, yaitu keluarga Eli akan dibuang, keluarga Eli akan dihukum, tapi sebetulnya Eli keturunan Harun, the legitimate descendent of Aaron. Eli sungguh-sungguh sah, harusnya dia yang meneruskan keimaman tersebut, dia adalah imam, dan anak-anaknya juga harus menjadi imam; orang datang berdoa kepada Tuhan melalui Eli, melakukan persembahan melalui Eli, bahkan Hana pun diberkati oleh Eli. Kedudukan Eli ini solid, di atas; tapi Tuhan justru membangkitkan Samuel, mengutus dia untuk mengatakan proklamasi penghakiman tersebut, bahwa yang di atas itu, yang kokoh, yang menempati posisi tertinggi dalam kehidupan iman mereka, dia akan tumbang, akan dijatuhkan.
Inilah natur dari nabi; Tuhan memanggil nabi bukan untuk memprediksi masa depan, bukan untuk hitung-hitung di tahun kelinci mana yang bagus dan mana yang tidak bagus, bukan untuk hitung-hitung nasib kita. Tuhan tidak membangkitkan nabi untuk hal-hal seperti itu; yang seperti itu bukan nabi. Tuhan tidak membangkitkan nabi untuk memberikan kalimat-kalimat yang menghibur, “O, you are so good”, seperti itu. Tuhan membangkitkan nabi untuk menyuarakan kebenaran di dalam dunia yang sudah bengkok, di dalam suatu lingkungan di mana dunia tidak taat kepada Firman. Itulah sebabnya secara natur, waktu seorang nabi bersuara memberitakan Firman di dalam dunia yang sudah bengkok, kalau yang dikatakannya itu jujur datang dari Tuhan, sesuai dengan Firman Tuhan, maka apapun yang nabi katakan pasti polemik, tidak bisa tidak. Pasti bertentangan –karena mereka adalah dunia yang bertentangan dengan Tuhan, yang melawan Tuhan. Saya tidak percaya bahwa nabi-nabi adalah orang yang darah tinggi yang gampang marah, harus marah-marah terus, kalau tidak marah tidak puas, harus menurunkan penghukuman kepada seluruh Israel, dst.; saya tidak percaya mereka ada sakit jiwa seperti itu, tapi kenapa sepertinya nabi ke mana-mana selalu menurunkan penghukuman? Karena dunia mereka penuh dengan ketidaktaatan, lingkungan yang mereka hadapi adalah orang-orang yang tidak taat kepada Firman –dan mereka datang simply just to preach The Word. Mereka hanya datang untuk memberitakan Firman Tuhan –dan itu pasti polemik.
Kita semua dipanggil untuk menjalankan fungsi nabi. Kita bukan nabi, tapi kita semua di dalam Kristus –karena Kristus adalah Nabi, Imam, Raja– kita juga menjalankan fungsi nabi. Dan di dalam perikop ini, itu artinya ketika kita bersaksi, ketika kita menyatakan Firman, maka kabar yang kita sampaikan pasti polemik, pasti bertentangan di dalam naturnya sendiri. Hal yang paling sederhana saja, kalau kita bilang, “Yesus Kristus satu-satunya Juruselamat”, maka kalimat ini saja polemik, karena kalau Yesus Kristus adalah satu-satunya Juruselamat, maka artinya ‘dewa kamu bukan juruselamat’; kalau kita mengatakan, “Yesus adalah satu-satunya Tuhan”, maka berarti ‘apapun yang kamu sembah, pasti bukan Tuhan’. Jadi, mengeluarkan kalimat yang paling gampang saja pun sudah polemik. Kalau kita mengatakan, “Kristus adalah segala-galanya bagiku”, maka artinya ‘kalau kamu memiliki segala-galanya tapi kamu tidak memiliki Kristus, you have nothing’. Apapun yang kita katakan, kalau itu sesuai dengan Firman Tuhan, maka pasti polemik, pasti bertentangan, karena dunia ini dunia yang gelap. Kalau di dalam kabar yang kita beritakan atau kesaksian kita tidak ada unsur polemik seperti ini, kita harus pikir kembali, apakah yang kita sampaikan itu benar-benar Firman Tuhan atau tidak.
Sekali lagi, kita tidak perlu sengaja bagaimana caranya untuk ada keberanian maki-maki orang, kita hanya taat, kita jujur, dan kita sampaikan Firman Tuhan, as simple as that –dan itu sudah pasti polemik. Yesus di dalam hidup-Nya juga tidak sengaja mau cari polemik, Dia tidak sengaja cari gara-gara, Dia hanya menyatakan isi hati Tuhan, Dia hanya menyatakan kehendak Tuhan –dan Dia ditolak–Yesus bilang, “Kamu mau membunuh Aku karena Aku memberitakan kebenaran.” Namun dalam kita menyampaikan kabar Firman Tuhan, bukan saja aspek natur polemik ini penting, kita juga harus menyampaikannya dengan sikap hati yang benar. Ketika kita bersaksi, ketika kita berkata-kata Firman, kita bukan berkata-kata dengan hati yang menganggap diri superior sementara orang-orang lain itu inferior —“Lihat, I have the truth, saya diutus oleh Dia yang adalah kebenaran , sedangkan kamu semua adalah kegelapan, I condemn you; saya menghakimi, saya superior, kamu itu tidak tahu apa-apa, kamu bodoh, kamu tidak mengenal Tuhan, sekarang taat! Datang!” Bukan demikian; kita menyampaikan bukan dengan sikap hati yang demikian. Mengapa? Lihat ayat 15, di sana ditulis: ‘Samuel tidur sampai pagi; kemudian dibukanya pintu rumah TUHAN. Samuel segan memberitahukan penglihatan itu kepada Eli’. Dikatakan di sini, Samuel segan; dan bukan cuma segan, Samuel takut. Samuel bukan takut kapada Eli; di dalam Alkitab tidak pernah dicatat bahwa Samuel korban KDRT karena sejak kecil suka dipukul Eli dsb., sehingga dia takut memberitahu kabar buruk kepada Eli. Sama sekali tidak ada yang seperti itu, Eli tidak ngapa-ngapain Samuel. Tapi kenapa Samuel takut? Samuel takut bukan bagi dirinya sendiri, dia takut bagi Eli. Dia tidak mau Eli dihukum, dia ada compassion untuk Eli walaupun Eli berdosa, walaupun Eli menghujat Tuhan dengan menghormati anak-anaknya lebih daripada Tuhan.
Samuel tahu semua yang terjadi dalam kehidupan Eli, tapi ketika dia menerima Firman Tuhan, dia takut –takut bagi Eli. Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, kita pun sama; ketika kita bersaksi, ketika kita memberitakan Firman, kita juga takut. Kita bukan takut bagi diri kita sendiri, bukan takut dipukul, takut dihina, atau apapun; kita bukan takut seperti itu tapi kita takut bagi orang-orang yang mendengarnya, karena Injil itu menyelamatkan dan di saat yang sama Injil itu menghukum, Injil itu menyelamatkan dan di saat yang sama Injil juga menghakimi. Orang diselamatkan oleh Injil, orang juga dihukum karena Injil; orang yang sudah mendengar Injil, ketika mereka meninggal, mereka akan datang kepada Tuhan dan Tuhan akan bilang, “Kenapa kamu tidak percaya kepada Injil?” –mereka juga dihukum oleh Injil. Ketika kita mengabarkan Injil, it’s both salvation and judgment. Ketika kita datang kepada orang, lalu orang yang kita kabarkan Injil tersebut tidak mau percaya, ya sudah, tidak ada pengharapan lagi. Eli bilang kepada anak-anaknya, “Kalau kita berdosa kepada manusia, kita bisa diampuni; kalau kita berdosa kepada Tuhan, tidak ada pengampunan”; maksudnya apa? Yaitu karena anak-anak Eli menolak cara pengampunan, menolak bait Allah, menolak pengorban, menghina Tuhan –menolak cara untuk dosa diampuni– maka Eli bilang kepada anak-anaknya, ‘kalau cara pengampunan Tuhan pun kamu tolak, no salvation for you; that’s it’. Kita juga sama. Waktu kita mengabarkan Injil, kita harus sadar terus-menerus bahwa orang yang kita kabarkan Injil itu akan dihakimi juga oleh Injil. Inilah yang kita lihat dalam pribadi Samuel, orang yang sungguh-sungguh memiliki hati seorang nabi.
Hati seorang nabi bukanlah hati yang sombong, bukan hati yang merasa superior, yang anggap ‘kamu tidak tahu apa-apa, saya tahu segalanya; I have the light, you are in darkness’. Hati seorang nabi adalah hati yang mengasihi, compassion. Seorang nabi menurunkan penghakiman, namun pada saat yang sama dia sungguh-sungguh mengasihi. Nabi sungguh-sungguh mengasihi orang-orang Yudea, Israel, Yerusalem, Samaria; mereka sungguh-sungguh mengasihi orang-orang yang mereka “hakimi” itu. Kita mungkin pernah mendengar dikatakan, bahwa bersaksi memberitakan Injil itu, yang utama bukanlah didasarkan atas kasih kita kepada manusia melainkan kasih kita kepada Tuhan; kalau kita mengabarkan Injil gara-gara kasih kita kepada manusia, nanti manusia bisa mengecewakan kita, menolak kita, dan kita sendiri bisa pahit hati. Itu ada betulnya; tapi kalau dalam cerita Samuel yang kita baca, waktu kita bersaksi, itu tidak bisa tanpa kita mengasihi orang lain. Kita tidak bisa bersaksi tanpa kita sungguh-sungguh mengasihi jiwa tersebut.Gereja bukan MLM, kita bersaksi bukan untuk kejar hasil atau reward, hati seorang nabi adalah hati-hati yang sungguh-sungguh mengasihi jiwa-jiwa yang dia hakimi.
Selanjutnya, kabar tersebut diberitakan oleh Samuel yang gentar itu kepada Eli; lalu bagaimana Eli meresponinya? Di ayat 18 Eli berkata, “Dia TUHAN, biarlah diperbuat-Nya apa yang dipandang-Nya baik.” Membaca kalimat ini orang Reformed mungkin pikir ini orang lumayan, orang yang menghormati kedaulatan Tuhan. Kita juga seringkali demikian; kita berdoa minta Tuhan lakukan ini, lakukan itu, bla, bla, bla, lalu ditutup dengan, “kiranya Tuhan menggenapinya dalam kedaulatan–Mu sendiri, Tuhanlah yang berdaulat”. Di sini saya mau mengatakan, kita harus hati-hati, yang namanya ‘kedaulatan Tuhan’ dan ‘kita tidak peduli dengan Tuhan’, itu bedanya tipis sekali. Kita sama sekali tidak peduli dengan Tuhan, atau kita bilang bahwa kita menghormati kedaulatan Tuhan, itu bedanya tipis sekali. Ada orang suka bilang “Tuhan berdaulat … kedaulatan Tuhan”, tapi sebetulnya dia sama sekali tidak peduli; dia tidak peduli Tuhan mau lakukan A atau B atau C, dia tidak peduli Tuhan mau menghukum atau menyelamatkan, Tuhan mau memberkati atau mengutuk, “I don’t care!” —yang penting Tuhan itu berdaulat. Apakah itu sungguh-sungguh menghormati kedaulatan Tuhan?? Kayaknya tidak demikian.
Ada orang membaca tentang Eli di bagian ini, lalu bilang, “O, Eli ini menghormati kedaulatan Tuhan”, tapi bagi saya, dia bukan menghormati kedaulatan Tuhan, dia tidak peduli. Eli tidak peduli maka dia bilang, “Dia itu Tuhan, Dia mau lakukan apapun, lakukan saja”. Ini beda sekali dengan orang yang sungguh-sungguh dekat dengan Tuhan. Daud, waktu diberitakan ‘kamu akan dihukum, anak kamu akan mati’, dia pasti tahu Tuhan berdaulat, namun dia tetap berdoa, berpuasa di hadapan Allah. Daud tahu yang diberitakan itu pasti akan terjadi, tapi dia tidak bilang, “O, Dialah Tuhan, Dia yang memberi, Dia yang mengambil”, sebaliknya dia terus bergumul –dan dia adalah orang yang sungguh-sungguh tahu kedaulatan Tuhan. Yesus juga sama. Yesus tahu kehendak Tuhan harus jadi, tidak ada cara lain; Yesus tahu Tuhan berdaulat, dan Yesus diutus untuk menanggung dosa manusia, tapi Yesus bergumul di taman Getsemani. Yesus tidak bilang, “O, memang demikian, ya sudahlah, amin, selesai, yuk kita ke Golgota”. Tidak ada cerita yang seperti itu sama sekali, sebaliknya Dia bergumul. Ketika Yesus bilang, “Let Thy will be done, not my will” –kehendak-Mu yang terjadi, bukan kehendak-Ku– Dia bukan tidak ada pergumulan sama sekali, Dia amat sangat bergumul. Kita juga sama, kita juga orang yang mengerti kedaulatan Tuhan, tapi bukan berarti kita lalu ‘ya sudah, biarin saja, itu kedaulatan Tuhan’ dan kita tidak peduli. Justu orang yang mengerti kedaulatan, mau terus mencari kedaulatan Tuhan, apa yang Tuhan mau, mau cari tahu apa yang Tuhan lakukan, mau berduka dengan Tuhan, bersuka dengan Tuhan, mau terus dekat dengan Tuhan. Sebaliknya, orang yang sudah pasrah, yang tidak peduli, dia orang yang paling sulit kita hadapi. Orang yang paling sulit kita injili, bukanlah orang agama-agama lain tapi orang yang sudah give up, tidak peduli, mau masuk surga haleluya, mau masuk neraka haleluya, Tuhan mau hukum terserah, Tuhan mau berkati terserah. Orang yang demikian, paling sulit untuk kita Injili, kita hadapi. Eli ini, kalau dari pembacaan saya ketika dia bilang, “Dia Tuhan, biarlah diperbuat-Nya …”, ini aneh ya; Tuhan bilang ‘anak kamu dua-duanya akan mati, keturunan kamu tidak ada satu pun yang panjang umur, semua orang dalam keturunanmu akan jadi pengemis’, dan Eli seperti fine-fine saja, ‘it’s OK, Dia Tuhan, Dia yang berdaulat’, that’s it.
Harap Tuhan sungguh- sungguh membawa kita kepada orang-orang di sekitar kita yang belum totally give up, yang bukan tidak peduli kepada Tuhan, yang masih ada takut akan Tuhan. Dan, ketika kita bersaksi dengan jujur, kita kembali kepada Alkitab/kepada Firman dan menyampaikannya secara jujur, mereka juga bisa menerimanya, mereka bisa dibukakan untuk menerima Kristus.
Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading