Hari ini Minggu Adven I dalam Kalender Gereja, maka seperti umumnya mendekati masa Natal, orang-orang Kristen mulai merenungkan pertanyaan ‘mengapa Yesus datang’. Khotbah hari ini lebih bersifat devosional, perenungan; kita bukan akan studi Alkitab dengan struktur-struktur penulisannya dsb., tapi merenungkan tentang ‘siapa Kristus’, dan setelah itu tentu saja ‘siapa tubuh Kristus itu’. Kita akan merenungkannya melalui Mazmur 69, salah satu mazmur Daud, karena dalam Yohanes 15 ketika Yesus membicarakan tentang begitu banyak permusuhan terhadap Dia, di ayat 25 Tuhan Yesus mengutip dari Mazmur 69 ini, “Mereka membenci Aku tanpa alasan”.
Mazmur 69 ini memang ditulis oleh Daud dan berbicara tentang apa yang Daud alami pada waktu dulu itu, yaitu orang-orang membenci Daud. Namun inilah cara kerja Alkitab, banyak hal dalam Alkitab tidak hanya punya satu lapisan makna melainkan bisa beberapa; Mazmur 69 tersebut bukan cuma mengacu kepada Daud saja tapi juga mengantisipasi Dia, Raja yang lebih besar daripada Daud, dan Raja yang penderitaan-Nya pun lebih besar daripada Daud. Ketika Tuhan Yesus membacakan mazmur tersebut, Dia melihat diri-Nya di sana; dan bagi Kristus, bahasa mazmur ini membicarakan apa yang sedang Dia alami. Ini sebabnya kita akan coba merenungkan pertanyaan Adven melalui mazmur ini, “Mengapa Yesus datang?” Ada 3 hal yang bisa kita dapatkan dari 10 ayat pertama mazmur ini: pertama, Tuhan Yesus datang untuk tenggelam; kedua, Dia datang untuk dibenci; ketiga, Dia datang untuk disubstitusi/ditukar.
Yang pertama, Tuhan Yesus datang untuk tenggelam. Mazmur 69:2-3, “Selamatkanlah aku, ya Allah, sebab air telah naik sampai ke leherku! Aku tenggelam ke dalam rawa yang dalam, tidak ada tempat bertumpu; aku telah terperosok ke air yang dalam, gelombang pasang menghanyutkan aku.” Kita akan merenungkan dalam hal apa bagian ini merefleksikan hidup Yesus, mengenai kenapa Dia datang.
Apa yang Tuhan Yesus lakukan ketika Dia datang? Kita tahu Yesus datang untuk melayani, Dia sendiri mengatakan, “Aku datang untuk melayani, bukan untuk dilayani”, dst., tapi waktu kita melakukan perenungan devosional, kita tidak boleh puas dengan jawaban-jawaban di permukaan saja; kita perlu merenungkan dengan menggali sampai ke dalam, apa maksudnya ‘Tuhan melayani’? Waktu Dia datang untuk melayani, bagaimana Dia melayani kita? Gambaran yang kita dapat dalam mazmur ini, saya rasa gambaran yang cukup jarang kita pakai untuk menggambarkan apa yang Tuhan Yesus lakukan, yaitu Dia melayani dengan cara tenggelam. Kalau gambaran ‘turun’, sudah sering kita pakai waktu merenungkan mengenai kedatangan Yesus; kita cukup terbiasa mengatakan, “Dia turun dari surga ke bumi”. Tapi saya rasa istilah ‘turun’ mungkin sudah jadi terlalu netral, dan mungkin istilah ‘tenggelam’ lebih tepat; bukan cuma turun, tapi tenggelam. Ini salah satu esensi kenapa Tuhan Yesus datang, Dia datang melayani dengan cara tenggelam.
Saudara bisa ingat Filipi 2 membicarakan hal yang sama, Tuhan Yesus datang untuk melayani, dan menjadi seorang pelayan berarti tenggelam (menenggelamkan diri). Filipi 2 pada dasarnya mengatakan, ketika Yesus datang, Dia bukan cuma turun tapi tenggelam. Dikatakan: ‘Dia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankan’; tapi lalu apa? Bukan cuma turun doang, tadinya God lalu sekarang jadi demigod seperti Hercules yang tetap saja kuat, tapi sesungguhnya turun tenggelam dengan mengambil rupa seorang hamba, seorang manusia yang mati tenggelam di kayu salib. Itulah gambaran yang Alkitab berikan ketika membicarakan mengenai Yesus yang datang ke dunia ini.
Memang waktu kita memikirkan mengenai kedatangan Kristus, sulit bagi kita hari ini untuk menceraikan gambarannya dari gambaran kartu-kartu Natal, atau kalau zaman sekarang bukan kartu Natal tapi picture-picture WA yang kita kirim waktu Natal, yang menggambarkan Yesus sebagai bayi manis tidur di palungan dengan warna putih mendominasi gambarnya. Tetapi, Mazmur 69 menyadarkan kita bahwa inkarnasi bukanlah sesuatu yang sweet; inkarnasi sesungguhnya adalah sebuah violence. Inkarnasi itu suatu tindakan violence terhadap Yesus; dan Yesus rela mengambil violence ini. Mengapa demikian? Violence itu apa sebenarnya?
Violence bukan cuma soal ‘kita memukul’, violence adalah merenggut sesuatu dari seseorang. Kalau seseorang punya wajah yang cantik, lalu ada orang yang menyiram air keras ke mukanya misalnya, itu berarti merenggut sesuatu daripadanya. Ini bukan cuma violence dalam arti bikin luka, tapi violence dalam arti merenggut sesuatu dari orang tersebut, merenggut kecantikannya, merenggut identitasnya. Contoh lain, masuk penjara juga harusnya suatu tindakan violence. Kadang-kadang kita marah kalau melihat kondisi penjara di Indonesia hari ini, dalam arti kondisi penjara bagi para selebriti dan para politikus; mengapa? Karena kita melihat penjara tidak seharusnya enak seperti itu, kita melihat koq selnya sudah seperti apartemen, besar banget, ada AC, dan segala macam lainnya. Ada esensi ‘penjara’ yang hilang di situ, karena penjara harusnya sesuatu violence, orang yang masuk penjara harusnya direnggut kebebasannya, direnggut hak miliknya. Itulah yang kita pikirkan mengenai violence. Dengan melihat gambaran violence seperti ini, maka berarti inkarnasi memang adalah violence. Anak Allah, yang bukan cuma indah tapi justru sumber dari segala keindahan, direnggut keindahannya dan menjelma jadi seorang manusia yang tidak ada semaraknya. Dia direnggut kekayaannya sebagai Anak Allah, dan menjadi miskin. Dia punya relasi kasih dengan Bapa-Nya, dan itu direnggut sehingga Dia jadi sendirian.
Violence dalam inkarnasi ini bukan cuma bisa kita lihat dari hidup Tuhan Yesus atau dalam kematian-Nya di kayu salib, tapi sejak dari kelahiran-Nya. Allah menjadi manusia, itu violence pada dirinya sendiri, bisa Saudara bayangkan Allah menjadi sel! Dalam Pengakuan Iman Rasuli, kita mengakui “Dia dikandung oleh Roh Kudus”, ini berarti Allah Pencipta alam semesta menjadi bentuk kehidupan yang paling lemah di seluruh alam semesta itu, menjadi sebuah sel, lalu sel ini berkembang jadi seorang bayi. Saudara bayangkan, Anak Allah yang tangan-Nya mahakuasa, yang tangan-Nya membentuk dasar-dasar bumi, sekarang tangan-Nya seperti bayi, goyang-goyang ke sana kemari. Saudara, sejak punya anak, saya jadi lebih ngeh dengan gambaran ini; anak saya kalau tidur, tangannya bisa ke sana, ke sini, dan kita ketawa melihatnya, lucu. Saudara bayangkan, Anak Allah menjadi bayi seperti ini, diketawain orangtua-Nya, “lucu ya, lucu ya..”. Saudara bayangkan, Anak Allah yang mahakuasa sekarang harus digantiin popoknya, dan pantatnya kita yang lap dengan kapas basah, karena Dia tidak mampu melakukan sendiri. Bayi saya kemarin ini, ketika saya sedang ganti popoknya tiba-tiba “air mancur”, dan air mancur itu bukan cuma kena ke saya tapi juga ke mukanya sendiri. Saudara bisa bayangkan, Allah Pencipta alam semesta melakukan ini, turun sampai seperti ini?? Ini bukan cuma turun, ini benar-benar tenggelam. Seorang bayi new born, itu benar-benar bergantung total. Saya sempat bingung kenapa anak saya ngamuk terus, padahal popok sudah diganti, baru saja minum sampai kenyang, temperatur ruangan oke, semua baik-baik saja –dan dia tetap ngamuk. Lucunya lagi, dia menguap terus sambil ngamuk, seperti ingin tidur tapi tetap menangis; kenapa kayak begini?? Lalu istri saya bilang satu hal, bahwa itu karena seorang bayi bahkan tidak tahu caranya menenangkan diri kalau mau tidur, dia tidak tahu caranya tidur seperti kita, untuk bisa tenang pun, harus kita yang menenangkan dia. Seperti itulah ketergantungan seorang bayi kepada orangtuanya. Dan, kalau Saudara melihat inkarnasi seperti ini, apalagi kalau bukan violence terhadap diri Anak Allah? Inkarnasi itu violence sekali, bukan cuma karena Yesus turun lalu dicambuk-cambuk di kayu salib, tapi juga karena Dia datang untuk dirajut di dalam rahim seorang wanita dan bergantung kepada Maria dan Yusuf dalam segala sesuatu. Itu sebabnya ini bukan cuma turun, tapi tenggelam.
Ketika kita merenungkan hal ini, kita baru sadar kenapa diri Yesus benar-benar tabrakan dengan semua konsep dunia mengenai artinya keagungan (greatness).Bagi orang dunia, keagungan berarti mempromosikan diri, mendudukkan diri di atas orang lain, mengumpulkan harta, mengumpulkan kuasa, mengincar posisi nomor satu atau setidaknya sedekat mungkin dengan nomor satu. Tetapi Kristus naik, adalah dengan turun. Ada judul buku yang bagus mengenai kehidupan Tuhan Yesus, “Descending into Greatness” –turun kepada keagungan. Keagungan itu, jalannya turun. Seperti yang Tuhan Yesus katakan, jalan menuju kuasa adalah dengan melayani, cara mendapatkan nyawa adalah justru dengan kehilangan nyawa, caranya mendapat kebahagiaan adalah dengan kita mengejar kebahagiaan bagi orang lain.
Jika demikian, apa artinya menjadi seorang Kristen? Waktu kita mengatakan bahwa Kristus seperti ini, maka pengikut-Nya seperti apa? Ini berarti seorang Kristen adalah seorang yang seharusnya pasti juga tabrakan total dengan bijaksana duniawi. Seorang Kristen adalah seorang yang mengatakan, “Aku mengambil pola Kristus ini dan memakai pola ini untuk hidupku”. Jika kita seorang Kristen –dan seorang hamba tidaklah lebih besar daripada tuannya– maka kita-kita ini adalah hamba kepada Tuan tersebut, Tuan yang adalah Seorang Hamba tersebut. Ketika kita menjadi seorang Kristen, itu adalah poin di mana kita memutuskan ‘jalan hidupku juga adalah jalan yang menuju ke bawah, esensi kehidupanku adalah juga untuk tenggelam sebagaimana Kristus tenggelam’. Pertanyaannya, pernahkah kita sadar akan hal ini? Atau kita mengatakan, “Aduh, ‘gak pernah lho ada yang beritahu saya waktu saya jadi orang Kristen, kayaknya iming-imingnya waktu itu lain deh; iming-imingnya waktu itu lepas dari neraka, lepas dari penghukuman, masuk surga, dsb.” Ya, saya tidak bisa bertanggung jawab kalau Saudara mendengarnya injil palsu, tapi sebenarnya dalam banyak model Injil yang tidak utuh pun, urusan ke-tenggelam-an ini tetap muncul. Misalnya, langkah pertama yang hampir universal dalam versi Kekristenan yang berbeda-beda itu cukup mirip, yaitu bukan cuma turun ke dalam pertobatan (bertobat berarti kita turun), tapi bahkan tenggelam. Pertobatan orang Kristen bukanlah cuma turun, pertobatan orang Kristen berarti tenggelam. Pertobatan Kristen bukanlah cuma urusan mengakui kesalahan; kalau cuma itu, semua orang juga sadar mereka ada kesalahan, semua orang juga bisa mengakui bahwa mererka tidak sempurna, bahkan dalam dunia hari ini, yang namanya human error itu sesuatu yang wajar dan normal bagi banyak orang. Jadi, tidak mungkin pertobatan Kristen semata-mata hanya cuma mengakui kesalahan tok, yang seperti itu, tidak ada uniknya sama sekali.
Minggu lalu waktu saya melayani di Harapan Indah, ada pengurus tanya: “Pak, kalau kita jadi liturgis dan pimpin jemaat doa Pengakuan Dosa, sebenarnya bagaimana sih caranya?” Pertanyaannya sederhana saja, dalam doa Pengakuan Dosa bersama itu kita harus diam dan mengakui dosa masing-masing, atau harus buka suara, atau bagaimana. Saudara, waktu kita doa Pengakuan Dosa, sering kali konsepnya kurang tepat. Banyak orang merasa waktu kita doa Pengakuan Dosa, kita tidak perlu buka suara (sementara doa syafaat kita buka suara), karena doa Pengakuan Dosa adalah semacam mendaftarkan kesalahan pribadi minggu lalu, jadi tidak perlulah didengar semua orang, maka kita tidak buka suara. Tetapi poinnya bukan itu, doa Pengakuan Dosa Kristen poinnya tidak pernah urusan mengakui tindakan dosa-dosa kita minggu lalu atau tahun lalu, dsb., karena semua orang juga bisa melakukan hal ini, tidak cuma orang Kristen. Semua orang juga bisa sadar akan kesalahan mereka dan mengakui kesalahan mereka –juga bisa turun seperti ini– dan ini tidak unik-unik banget. Yang unik dalam pertobatan Kristen bukanlah soal mengakui keberdosaan tok, tapi mengakui ketidakberdayaan dalam dosa. Inilah keunikannya. Bukan cuma mengakui diri sebagai sinners, tapi bahwa kita ini helpless sinners. Kita ini pendosa yang tidak ada harapan bisa membayar dosa-dosa ini, kita tidak ada excused di hadapan Tuhan.Kita tidak bisa mengatakan, “Dosaku ini wajar, namanya juga manusia, ada human error-nya ‘kan”. Tidak bisa, Saudara. Yang harusnya kita akui adalah: ‘wajar bagi diriku adalah diceraikan dari kehidupan, alias dimatikan, karena aku helpless dalam dosa-dosaku; hari ini minta ampun pun, kalau tetap aku yang mengendalikan diriku, maka besok pun aku akan berdosa lagi’. Itulah yang namanya mengakui ketidakberdayaan dalam dosa. Kita butuh Juruselamat dan Raja yang baru untuk menentukan arah hidup kita, karena kalau arah hidup kita diserahkan kepada kita sendiri, yang akan kita lakukan selalu adalah menyetirnya menurut keberdosaan kita. Itulah yang sebenarnya kita akui setiap Minggu. Ini bukan mengenai dosa-dosa individual, ini mengenai identitas jemaat secara keseluruhan, kita datang dan mengakui diri sebagai apa. Jadi, doa Pengakuan Dosa tetap bisa dengan membuka suara, karena Saudara bukan mengakui ‘minggu lalu saya tendang kucing tetangga’ atau apapun, melainkan Saudara bersama-sama mengakui –Saudara berbicara dan mendengar orang lain bicara; orang lain bicara dan mendengar Saudara bicara– bahwa identitas kolektif kita di sini bukan cuma sebagai orang-orang berdosa tok, tapi sebagai orang berdosa yang tidak berdaya akan dosa-dosa kita, dan itu sebabnya perlu ada something.
Pengakuan Dosa Kristen atau pertobatan Kristen seperti ini, berarti tidak cuma turun, tapi tenggelam. Kalau Saudara mengaku dosa seperti ini, maka ada konsekuensinya, ada kelanjutannya. Kalau Saudara mengaku dosa sejauh ini, setenggelam ini, berarti Saudara mengakui bahwa berikutnya tidak ada lagi hak untuk Saudara memakai waktumu sesuai maumu karena kecenderungan hatimu adalah memakai waktumu untuk dosa, tidak ada lagi hak untuk mengatur uangmu sesuai maumu, tidak ada lagi hak untuk membalas kejahatan orang sesuai apa yang engkau rasa pantas. Itulah konsekuensinya mengakui dosa sampai sejauh ini, sedalam ini, setenggelam ini. Ini tantangan Kekristenan. Jangan Saudara pikir mengaku dosa itu simpel. Sama sekali tidak. Kalau Saudara merasa ini kejauhan, pertama-tama berarti Saudara mungkin tidak sadar apa artinya pertobatan Kristen. Pertobatan Kristen itu tenggelam, tidak cuma turun. Kalau Saudara merasa ini keterlaluan, saya akan mengatakan bahwa itu baru langkah pertama saja, karena sebenarnya menjadi orang Kristen tidak cuma berhenti sampai di situ.
Sekali lagi, pertobatan seperti ini jadi bukan cuma urusan sekali jadi di depan doang; mengaku dosa seperti ini bukan cuma berarti Saudara mengakui salah, tapi Saudara juga mengakui bahwa Saudara perlu Tuan yang baru dalam hidupmu. Saudara perlu kompas yang baru, perlu betare yang baru, perlu operating system yang baru. Ini sebabnya istilah ‘juruselamat’ dalam bahasa Yunaninya ‘soter’ adalah istilah bagi seorang raja. Rakyat memang diselamatkan oleh raja tersebut dalam masa perang terhadap musuh, tapi bukan berarti di masa damai si raja bobo siang sementara rakyatnya hidup seenak jidat, semau mereka. Tidak demikian. Harga yang harus Saudara bayar ketika Saudara diselamatkan dari musuh adalah bahwa di masa damai Saudara taat pada aturan si raja, taat pada gambaran kehidupan si raja. Itulah yang namanya keselamatan. Keselamatan tidak pernah cuma berarti Saudara diambil dari kehidupan yang lama, melainkan bahwa Saudara diatur dalam kehidupan yang baru. Saudara tidak cuma diambil dari kerajaan yang gelap, tapi bahwa sekarang Saudara dipindahkan ke kerajaan yang terang, yang tentu saja tidak berarti Saudara sekarang lepas dari aturan. Mengapa? Karena Saudara tidak berdaya! Karena Saudara tidak berdaya, maka tidak mungkin Saudara bisa hidup secara lurus kalau hal itu dikembalikan kepada dirimu. Kalau Saudara punya akses ke kemudi hidupmu sendiri, maka yang terjadi adalah Saudara akan terus berdosa. Jadi, yang namanya mengakui keberdosaan seperti ini, ketidakberdayaan seperti ini, adalah bahwa Saudara mengatakan, “Aku menyerahkan kemudi hidupku, silakan Tuhan atur aku sebagaimana Engkau mau; aku harus hidup bukan berdasarkan apa yang aku rasa masuk akal, tapi apa yang Engkau perintahkan untuk lakukan, dan aku akan lakukan, karena aku tidak berdaya.” Mengerikan ya. Itu berarti pertobatan seperti ini mengubah habis seluruh kehidupan kita yang ke depan; bukan cuma pertobatannya saja, standar hidup kita juga akan ikut turun dan tenggelam.
Itu sebabnya Paulus mengatakan, “Lihat Tuhan Yesus, meskipun Dia kaya, Dia menjadi miskin, supaya lewat kemiskinan-Nya, engkau menjadi kaya”. Saudara mungkin lalu bilang, “O, itu standarnya naik, Pak, bukan turun.” Tapi coba Saudara lihat, kaya-nya seperti apa, kaya-nya adalah seperti Yesus yang kekayaan-Nya Dia pakai untuk mempermiskin diri supaya orang-orang lain boleh menjadi kaya. Itulah artinya. Kalau selama ini Saudara memberi sejauh Saudara “mampu”, maka mungkin itu indikasi bahwa selama ini kita cuma peka dengan keberdosaan kita saja, dan bukan peka dengan ketidakberdayaan kita, karena yang menentukan seberapa banyak Saudara memberi adalah diri Saudara sendiri; dan ini berarti Saudara masih pegang sesuatu di sini yang Saudara anggap bagus, Saudara belum benar-benar tidak berdaya. Seorang Kristen yang menyadari pertobatannya adalah urusan dirinya dipimpin dalam standar yang baru, dia tidak lagi bisa memberi berdasarkan standar dirinya, dia memberi sampai standar kehidupannya pun jadi turun.
Beberapa tahun lalu Pdt. Agus Marjanto sharing di suatu retreat hamba Tuhan. Dia bicara tentang panggilan seorang hamba Tuhan yang disuruh pindah tempat pelayanan, itu masa-masa yang mengerikan, dan yang langsung terpikir tentu adalah ‘uang bakal cukup atau tidak di tempat yang baru ini’. Ketika di tempat yang baru itu standar kehidupannya lebih mahal dsb., maka uang jadi tidak cukup; dan Pak Agus mengatakan, kalau uang tidak cukup cuma urusan buat kita sendiri, itu tidak terlalu masalah, tapi yang jadi masalah adalah di tempat yang baru itu, susu formula anak kita jadi turun grade, dari Enfamil Pro+ turun ke Dancow. Waktu itu saya tidak mengerti apa maksudnya, tapi sekarang setelah punya anak, saya baru mengerti karena baru tahu Enfamil itu kayak apa, harganya berapa, ternyata muahalll-nya luar biasa, tapi buat anak kita, kita rela berikan yang terbaik, kita tidak hitung-hitungan. Lalu bagaimana jika demi Saudara memberi kepada orang lain, demi melayani orang di tempat yang baru, susu formula anak harus turun grade? Pak Agus mengatakan, siap tidak menerima hal ini, terbayangkan tidak melakukan pelayanan sampai sejauh ini? Inilah pelayanan di mana kita memberi sampai tenggelam. Kita tidak lagi mempertahankan standar hidup menurut saya; kita memberi sampai standar hidup kita pun ikut turun, ikut tenggelam. Dalam situasi seperti ini, pertanyaannya adalah apakah kita benar-benar pelayanmatau tidak? Kita lebih mencintai standar hidup tertentu, atau lebih mencintai Kristus yang melayani sampai seperti itu? Kalau standar hidup tertentu itu menghalangi Saudara untuk turun, ini juga akan menghalangi Saudara untuk naik, karena jalan untuk naik adalah melalui turun.
Waktu kecil, saya merasa banyak keinginan yang tidak dipenuhi oleh orangtua, biasanya urusan mainan. Saya merasa orangtua saya pelit banget, tidak pernah membelikan saya mainan. Dan bukan cuma urusan mainan, keluarga kami itu memang tidak beli barang kalau tidak perlu, mobil bisa dipakai sampai sepuluh tahunan lebih, sampai AC-nya pun sudah sering rusak. Dan yang mengesalkan, ini bukan karena orangtua tidak punya uang, melainkan karena menurut mata saya, papa saya punya uang tapi uangnya dipakai untuk orang lain. Dia punya banyak anak asuh di mana-mana, termasuk salah satunya adalah keponakannya, yang sudah diberi uang berjuta-juta untuk sekolah tapi uangnya malah dipakai beli motor. Itu sebabnya dalam mata saya sebagai anak kecil pada waktu itu, sementara keluarga kami tidak beli barang, mobil AC-nya rusak pun tidak beli yang baru, tapi uangnya dipakai untuk orang-orang yang tidak menghargai seperti itu –dan saya marah. Saya marah karena anak sendiri minta mainan, tidak dikasih, tapi anak orang lain dikasih uang malah disalahgunakan, “rasain!!” Tapi sekarang saya respek luar biasa pada ayah saya, karena uangnya bukan cuma tidak dia pakai untuk dirinya sendiri, tapi bahkan dia tidak pakai hanya untuk keluarganya sendiri; dia pakai uangnya untuk memperkaya orang lain –meskipun kadang-kadang bisa bikin kecewa. Saudara, respek kayak begini –yang berarti ‘naik’–itu naik-nya lewat ‘turun’. Kadang banyak orangtua yang merasa ‘saya sudah memberi semua yang anak saya mau, tapi akhirnya dia tidak respek saya, kenapa ya?’ Mungkin itulah problemnya; karena yang anak lihat Saudara lakukan hanyalah memberi kepada orang lain sebatas itu tidak mempengaruhi standar hidup keluargamu, sebatas engkau “mampu”, dia tidak pernah lihat Saudara memberikan sampai mengurangi standar hidupmu sendiri. Lucu ya, jalan ‘ke atas’ adalah dengan’ke bawah’. Saudara, inilah panggilan menjadi orang Kristen, yaitu sampai se-tenggelam ini. Yang Tuhan Yesus katakan pada dasarnya adalah: ‘Berikan uangmu kepada orang miskin, Aku akan memberikan kepadamu kekayaan jenis yang lain, yang tidak bisa hilang, yang tidak dimakan rayap. Serahkan reputasimu, dan Aku akan memberikan kepadamu kemuliaan jenis lain, yang tidak hilang hanya karena manusia-manusia tidak mau mengakuinya. Buang obsesimu untuk mengontrol hidupmu, dan Aku akan memberikan keamanan yang lain, yang tidak terpengaruh dengan naik turunnya situasi hidup. Orang yang kehilangan nyawanya karena Aku, akan mendapatkannya’. Kenapa bisa begini? Karena Yesus sendiri datang untui tenggelam; itu sebabnya pengikut Yesus, orang Kristen, adalah orang yang tahu bahwa jalan ke atas itu menuju ke bawah, dan jalan ke bawah itu sebenarnya menuju ke atas. Mengerikan. Itulah hal yang pertama, Dia datang untuk tenggelam.
Yang kedua, Dia datang untuk dibenci. Kita lompat ke ayat 5 mazmur ini, Daud mengatakan: “Orang-orang yang membenci aku tanpa alasan lebih banyak dari pada rambut di kepalaku; terlalu besar jumlah orang-orang yang hendak membinasakan aku, yang memusuhi aku tanpa sebab; aku dipaksa untuk mengembalikan apa yang tidak kurampas.” Ini bagian yang dikutip Yesus secara langsung; dalam hal ini, Yesus pada dasarnya mengatakan bahwa kedatangan-Nya/kehadiran-Nya itu mengundang orang-orang membenci Dia tanpa sebab. Saya rasa istilah ‘tanpa sebab’ di sini agak misleading karena yang namanya kebencian pasti ada sebabnya; yang dimaksud di sini adalah kebencian yang tidak berdasar, kebencian yang tanpa alasan valid. Lalu apa penyebabnya orang-orang membenci Tuhan Yesus?
Kalau kita merenungkan bagian ini, penyebab orang-orang yang membenci Yesus tanpa dasar, adalah karena Yesus itu Manusia yang kudus. Ada sesuatu di dalam hati manusia berdosa, yang takut dan membenci kekudusan. Saudara tahu istilah ‘whistleblower’? Misalnya dalam suatu instansi, ada kecurigaan instansi tersebut melakukan korupsi, tapi tidak ada buktinya, lalu ada seseorang dari dalam yang membongkar bahwa memang telah terjadi korupsi; inilah orang yang disebut whistleblower. Saudara bisa bayangkan, orang kayak begini nasibnya pasti dibenci. Tentu saja tidak semua whistleblower sama, ada whistleblower yang memang tukang cari sensasi, tukang ngadu, dsb., tapi secara umum semakin taruhannya besar, seorang whistleblower akan berpikir 1000x sebelum melakukan tindakan itu karena konsekuensinya besar, karir Saudara di situ biasanya tamat, Saudara bisa diancam bahkan dibunuh, keluarga Saudara juga bisa dalam bahaya. Itu sebabnya orang yang sudah tahu akan hal ini, sudah mempertimbangkannya, dan tetap mengambil keputusan untuk membongkar dan menjadi whistleblower, itu adalah karena dia punya standar integritas moral yang tinggi. Menjadi seorang yang punya integritas moral tinggi seperti ini, orang yang beda dengan yang lain, orang yang kudus –karena di dalam Alkitab, kekudusan berarti ‘beda’– sudah pasti akan dikucilkan. Sekali lagi, tidak semua orang yang dikucilkan adalah karena dia kudus; tapi orang yang benar-benar kudus, sedikit banyak cepat atau lambat akan mengalami pengucilan. Contoh sederhana: misalnya di antara kita masuk seseorang yang kemudian ikut melayani, dan belakangan kita baru tahu dia adalah seorang whistleblower, seorang yang pernah membongkar kebobrokan di gereja lain; lalu apa respons kita? Bukankah dengan sangat mudah muncul kecurigaan, ‘lu mau ngapain melayani di sini’. Mengapa bisa seperti itu? Inilah penyebabnya, hati manusia senantiasa secara sadar atau tidak sadar berusaha menyemat daun ara sebagai cawat untuk menutupi bolong-bolong dalam hidup kita, kita berusaha meyakinkan diri bahwa meskipun tidak sempurna tapi kita bukan sampah-lah ya. Dan, kebohongan ini, cawat ini, akan sulit dipertahankan kalau kita dekat-dekat dengan seseorang yang punya integritas tinggi, yang kudus, karena hal itu akan mengekspos diri kita. Itu sebabnya kita tidak senang dengan orang-orang seperti itu.
Saya ambil contoh dari diri saya sendiri; misalkan Saudara seorang pengkhotbah seperti saya, dan Saudara kerja setengah mati baru bisa mengeluarkan khotbah yang standar, yang tidak ngawur. Lalu dari mana kita tahu standar tersebut cukup oke atau tidak? Caranya yaitu membandingkan dengan orang-orang lain; kalau kita pengkhotbah, kita membandingkan dengan pengkhotbah-pengkhotbah lain. Kita lihat orang yang lain itu persiapannya bisa lebih pendek, dan kita merasa ‘waduhhh’. Tapi setelah diperhatikan, memang orang itu persiapannya lebih pendek tapi hasilnya juga kurang rapi; kalau begitu, ‘ya lumayanlah, memang gua persiapannya lebih panjang, tapi hasilnya juga lebih rapi, jadi okelah, bukan sampah-lah’ –dan inilah cawat. Kita melakukan hal ini. Atau misalnya dalam Saudara mendidik anak. Kalau kita punya anak 2 dan kita sudah keteteran karena anak-anak kita bandelnya luar biasa, lalu kita lihat tante yang lain itu anaknya 7 dan anaknya baik-baik semua, kita jadi merasa insecure, ‘gua ini mama yang beres atau enggak, ya??’ Contoh lain, misalnya Saudara ada dalam suatu kelompok KTB Pemuda, dan dalam kelompok tersebut satu demi satu mulai ada yang menikah, ada yang punya anak; dari 7 orang di kelompok itu, 6 orang sudah menikah dan punya anak, sementara Saudara sendiri pacar pun tidak ada. Lalu suatu hari ada outing KTB, pergi bersama, dan 3 hari 2 malam Saudara bakal terperangkap dalam grup itu yang masing-masing pasti membawa suaminya atau istrinya, anaknya, dsb., sementara Saudara sendirian. Saudara mau ikut atau tidak? Seribu kali mikir pun, jawabannya pasti tetap sama: ‘gak mau. Demikianlah kita; waktu kita menghadapi suatu standar, maka kita akan memilih kabur, atau jika sampai kepepet kita gilas balik orang itu.
Dari sini kita bisa mengerti kenapa orang-orang membenci Yesus “tanpa dasar”, yaitu karena Yesus ini, waktu Dia hadir, bahkan tanpa bicara pun Dia sudah memperlihatkan standar yang begitu tinggi sehingga orang-orang membenci Dia tanpa sebab, sampai-sampai jumlah mereka ini lebih banyak daripada rambut di kepala. Dan sama seperti pola dalam poin pertama, ketika kita merenungkan ini, kita bukan cuma merenungkan untuk jadi bisa mengerti dan simpatik, bahwa kita juga mungkin tidak lebih baik dari orang-orang yang membenci Yesus, bahwa kita juga mungkin kabur dari Dia atau sebaliknya gilas balik Dia karena tidak tahan melihat Orang seperti ini; sebaliknya –mirip seperti poin pertama– kita bisa merenungkan begini: kalau demikianlah diri Kristus, berarti inilah tandanya menjadi pengikut-Nya, yaitu kita ini dibenci tanpa sebab atau tidak? Sekali lagi, Saudara jangan ambil hal ini jadi semacam pembenaran kalau selama ini Saudara jadi orang yang menyebalkan, karena tidak semua orang yang dikucilkan adalah orang yang kudus. Namun, orang yang benar-benar kudus, yang mengikut Kristus sedemikian, dia akan dikucilkan dan akan dibenci, seperti Kristus dibenci. Lalu apa gambarannya dalam hidup kita hari ini?
Apa yang membuat kita bereaksi terhadap sesuatu? Kita ini bereaksi terhadap sesuatu kalau kita rasa hal tersebut tidak biasa. Kalau Saudara melihat pagi-pagi matahari terbit, Saudara tidak akan bereaksi terhadap itu; Saudara akan bereaksi kalau matahari tidak terbit. Yang namanya berita, adalah kalau ‘orang gigit anjing’, tapi ‘anjing gigit orang’ tidak akan jadi berita. Kita bereaksi terhadap hal yang tidak biasa. Ini berarti apa? Sederhana saja, kalau ada orang yang membenci kita karena kita berbuat baik, maka kenapa hal itu jadi sesuatu dibicarakan, jadi news, menjadi sesuatu yang kita perlu bereaksi, adalah mungkin karena saking kita tidak terbiasa memberi sampai-sampai kita jarang dibenci seperti itu. Ini satu hal yang perlu dipikirkan. Saya rasa, mungkin kalau gereja kita sudah sangat sering memberi, kita tahu ekspektasi yang tepat waktu kita melakukan pekerjaan-pekerjaan Kristus adalah: kita akan dibenci oleh banyak orang tanpa dasar. Tetapi, fakta bahwa kita sangat tidak terbiasa dengan hal ini lalu kita membesar-besarkan hal ini, berarti kita jarang melakukan itu. Ini kritikan terhadap kita sendiri sebagai sebuah gereja, refleksi buat kita. Yesus sendiri mengatakan, seorang pelayan seperti Dia akan dibenci tanpa dasar oleh banyak orang; lalu kenapa kita tidak kayak begitu?? Ini hal yang kedua.
Yang ketiga, Dia datang untuk disubstitusi, untuk menukar diri-Nya. Ayat 10 tadi mengatakan, “… sebab cinta untuk rumah-Mu menghanguskan aku, dan kata-kata yang mencela Engkau telah menimpa aku”(ayat 10 ini juga pernah dikutip Yohanes mengenai Tuhan Yesus di bagian yang lain). Apa maksud ayat ini? Bagi Daud waktu dia menuliskannya, ini adalah sebuah komplain, protes, “Kenapa Tuhan, cinta-ku untuk rumah-Mu malah akhirnya berakibat buruk, malah akhirnya menghanguskan aku?? Kenapa kata-kata yang dipakai orang untuk mencela Engkau, malah akhirnya dipakai untuk mencela aku??” Saudara lihat, seperti ada penukaran di sini, substitusi. Ini nyambung dengan nada keseluruhan mazmurnya, misalnya ayat 18: “Makanya Tuhan, jangan sembunyikan wajah-Mu dariku” –aku ini seorang pelayan yang sejati, lho, aku ini mengasihi-Mu dan berjuang bagi-Mu, kenapa sekarang cintaku akan rumah-Mu malah akhirnya menghanguskan aku?? Kenapa Engkau mengizinkan penderitaan yang tidak sepatutnya aku terima? Kenapa kesalahan orang lain, aku yang tanggung?
Saudara, ini doktrin Substitusi (penukaran); dan kita secara manusiawi memang sulit untuk menerima hal ini. Misalnya Saudara punya dua anak, lalu anak yang pertama bikin berantakan, dan Saudara suruh dia bereskan. Dia mungkin enggan, malas, membereskannya setengah hati, lambatnya setengah mati; tapi sedikit banyak dia tetap kerjakan karena dia tahu ini tanggung jawabnya, karena dia sendiri yang bikin berantakan. Tapi kalau anak pertama yang bikin berantakan dan Saudara suruh anak kedua membereskannya; apa yang terjadi? Rumah Saudara akan tambah berantakan! Anak yang kedua akan bilang, “Ini salah siapa ya?? Kenapa saya harus tanggung kesalahan orang lain?? Hidup saya sudah cukup berantakan, sudah sulit membereskannya, kenapa sekarang juga harus membereskan berantakannya orang lain?”
Di Jakarta ini kadang-kadang ada jalan yang sempit, dua arah pula, lalu suatu hari pemerintah daerah mulai sadar dan ada pembangunan melebarkan jalan. Kita merasa, “Wah, akhirnya… memang perlu seperti itu”. Tapi setelah jalan dilebarkan sepanjang sekitar 500 meter, tiba-tiba ada satu rumah yang menjorok ke jalan karena tidak bersedia ikut terkena pelebaran jalan. Lewat jalan itu bikin kita kesal, apa gunanya jalan dilebarkan kalau ujungnya tetap ada satu rumah yang bikin bottle neck kayak begini, jadi sama saja; lagipula kalau diperhatikan ruma tersebut juga tidak kecil-kecil amat, apa salahnya diambil sebagian, dan kita mulai pikir ‘pelit banget sih, egois banget sih’. Saudara, sebenarnya kenapa kita berpikir begitu? Karena kita bukan pemilik rumah itu. Bayangkan kalau Saudara dalam posisi si pemilik rumah, lalu suatu hari orang Pemda datang dan mengatakan, “Karena ada tata kota yang tidak beres, karena pengguna jalan terlalu banyak, karena sistem lalu lintas kita hancur, maka kami harus ambil area depan rumah Bapak”, dengan harga yang terlalu murah, atau mungkin tidak ada reimbursement-nya, atau dijanjikan tapi tidak dibayar-bayar, dsb., apa respons Saudara? Kita akan mengatakan sebagaimana anak kedua tadi katakan, “Mengapa saya musti menanggung kesalahan orang lain?? Ini yang tidak beres ‘kan tata kotanya, sampai ada problem kayak begini karena terlalu banyak orang yang lewat sini ‘kan, ya bikin saja jalan di tempat lain, kenapa harus ambil rumah gua??” Sebagai pemilik rumah, kita akan dengan gampang mengatakan demikian; dan di sini kita jadi lebih bisa bersimpati. ‘Kenapa saya harus menanggung kesalahan orang lain?” inilah insting semua manusia. Waktu saya kuliah di Melbourne, saya sampai belajar satu istilah yang menarik: the nimby pricipal. Apa artinya? Nimby adalah singkatan ‘not in my backyard’. Misalnya begini, dalam perkumpulan warga, pemerintah membuat proposal, ‘kita perlu lebih banyak panti rehabilitasi narkoba’, maka semua warga setuju, “tapi not in my backyard”. Kita tahu musti ada affordable housing supaya orang-orang yang tidak mampu akan bisa punya tempat tinggal; dan semua setuju, “tapi not in my backyard”. “Kita musti bikin panti rehabilitasi narkoba” –setuju; “Boleh tidak di belakang rumah Bapak?” –jangan. “Mau bikin affordable housing supaya mereka ada kehidupan yang lebih baik” –setuju; “Boleh tidak di samping rumah Bapak?” –jangan. Ini namanya nimby pricipal. Menarik, ya.
Dari sini kita bisa menyadari bahwa Yesus sungguh adalah Pelayan yang sejati, yaitu karena Dia rela menukar diri-Nya dengan tempat orang lain. Dia mengatakan kalimat sebagaimana seorang hamba katakan, “Ini bukan salahku, tapi aku yang beresin”. Itulah pelayan. Itulah seorang pembantu, servant, ‘yang muntah siapa, yang ngepel si pembantu’. Dan, Yesus bukan cuma membersihkan muntah, Dia bukan cuma menyerahkan halaman depan secuil, Dia bukan cuma memberikan tempat nuclear power plant di belakang rumah-Nya, Dia bukan cuma membereskan berantakan kokonya, Dia mengambil bobot dari seluruh dosa dunia. Adam disuruh taat dengan diiming-imingi kehidupan yang kekal –dan Adam gagal. Yesus Kristus taat, dan ketaatan-Nya itu iming-imingnya adalah penderitaan, penghinaan, pengolok-olokan, penyiksaan, dan kematian –dan Yesus taat. Saudara, mendengar semua ini, kita berespons apa? Yesus Kristus datang ke dunia, hidup sebagai pelayan; dan Dia melayani dengan tenggelam, Dia melayani sampai dibenci, Dia melayani dengan menukar diri pada tempat orang lain. Melihat semua ini, Saudara berespons apa?
Waktu mempersiapkan khotbah ini, saya merasa ini standar yang terlalu tinggi; dan waktu kita berhadapan dengan standar yang terlalu tinggi kayak begini, kita berusaha kabur! Kita berusaha kabur dari Orang ini, dan ‘Lu jangan pepet gua, ya, gua gilas Lu balik’. Saudara, mana bisa kita melakukan semua ini! Betapa mengerikan merenungkan semua ini, karena ini berarti level pelayanan dan pertobatan kita selama ini jadinya apaan?? ‘Saya pikir saya selama ini sudah turun, bertobat, mengaku dosa, tapi ternyata panggilannya adalah untuk tenggelam dalam dosa-dosa tersebut, menyadari ketidakberdayaan itu!’ Saudara tahu kenapa kita disuruh doa Pengakuan Dosa mengakui ketidakberdayaan itu setiap Minggu? Kenapa tidak cukup satu kali untuk selamanya? Karena kita akan lupa –kita tahu itu. Itu sebabnya kita melakukan setiap Minggu. Bukan cuma mengakui daftar dosa minggu lalu, tapi mengakui ketidakberdayaan saya, dan saya butuh anugerah dari Tuhan, kalau tidak, tidak bisa. Siapa yang sadar hal ini terus-menerus? Kita juga pikir kita sudah memberi, tapi ternyata panggilannya adalah memberi sampai sakit, memberi bukan sebatas kemampuan saya tapi memberi sampai turun standar hidup saya, seperti Kristus. Siapa bisa memberi kayak begitu? Kita mungkin berpikir sudah melayani, tapi begitu orang lain sedikit jahatin kita, kita langsung sensitif banget, yang berarti kita belum sebegitu banyaknya melayani, buktinya kita masih kaget dengan reaksi orang yang seperti itu; atau mungkin juga kalaupun kita banyak melayani, standar pelayan kita itu tidak mengancam bagi orang-orang dunia, itu sebabnya mereka santai-santai saja terhadap kita. Mampus ya. Semua ini terekspos karena kita merenungkan mengenai Kristus, semua ini tereskpos karena kita dekat-dekat dengan Kristus, lebih baik ‘gak usah dekat-dekat Dia, ngeri banget renungan kayak begini.
Sejak punya anak, memang seperti orang bilang, jadi banyak bahan ilustrasi. Satu bulan pertama ini semua orang bilang, “Musti begadang ‘kan, ‘gak bisa tidur ‘kan?” tapi sebnarnya itu cuma waktu di rumah sakit karena kami musti urus sendiri, sedangkan setelah pulang, di rumah ada Ai Medan yang membantu kami sebulan, dan juga ada suster, karena anak kami kembar –dan memang benar mereka ini sangat helpful, apalagi ini anak kami yang pertama. Tetapi lama-kelamaan mereka bukan cuma helpful, mereka “mengancam”, karena mereka lebih mampu dari saya. Saya gendong anak dan anak itu tetap menangis terus, tapi begitu mereka yang gendong, langsung diam. Beberapa kali kejadian kayak begini, saya jadi penasaran, saya lalu coba minta balikin anaknya ke saya, dan langsung nangis lagi, dibalikin ke dia lagi, langsung diam lagi. Sampai dua kali coba, seperti Gideon. Akhirnya saya kesal, saya ini bapak macam apa, koq tidak mampu?? Memang mereka lebih expert, dan ini mulai mengancam, saya mulai merasa tidak ingin ada mereka. Kalau saya membedong anak atau gantikan popok, dan mereka berdiri di situ, ngeliatin dengan nada penghakiman, saya rasa insecure. Inilah ketidakberdayaan.
Saya rasa repons yang tepat dari melihat Kristus dan pelayanan-Nya, adalah sebagaimana dibicarakan di awal tadi, kita sadar bahwa kita bukan cuma butuh pengampunan, kita sadar akan ketidakberdayaan kita. Kita tidak mampu! Ini bukan cuma berdosa tok, ini adalah: kita tidak berdaya dalam dosa-dosa kita, dan kita ingin kabur dari hadapan Yesus yang seperti ini. Kita tidak tahan. Awas Lu, jangan dekat-dekat! Lu pergi saja deh, gua gilas Lu kalau Lu ‘gak mau! Sampai akhirnya kita menyadari bahwa Tuhan Yesus ini ternyata bukan hanya datang untuk jadi standar integritas moral, bukan hanya datang untuk jadi standar pelayanan yang sejati kayak apa. Dia bukan cuma datang lalu tenggelam, Dia bukan cuma datang untuk kemudian dibenci, Dia bukan cuma datang untuk menggantikan dosa dunia; Dia datang untuk tenggelam bagi kita, Dia datang untuk dibenci bagi kita, Dia datang untuk dosa-dosa Saudara dan saya. Inilah paradoksnya kedatangan Kristus. Di satu sisi, ketika Yesus datang, kehadiran-Nya dalam hidup kita mengangkat cermin yang begitu tajam sehingga kita menyadari semua kebobrokan kita. Di sisi lain, itulah sebabnya Dia datang; Dia datang memang karena kita sebobrok itu. Dan ini berarti, bertemu dengan Tuhan Yesus selalu ada dua sisi ini: di satu sisi, kita ditenggelamkan jauh lebih dalam dari yang kita pikir selama ini –dan ini mengerikan; di sisi lain, Saudara diangkat begitu rupa. Hanya sejauh Saudara bisa melihat ke-tenggelaman Saudara-lah, Saudara bisa melihat kedalaman kasih-Nya bagimu. Memang benar, yang diampuni sedikit, bersyukur sedikit; yang diampuni banyak, bersyukur banyak; jalan ke atas adalah menuju ke bawah.
Lalu apa respons kita sebagai orang Kristen? Apa yang menggerakkan kita untuk bisa mau mencoba hidup seperti Kristus? Kita tahu kita tidak mampu. Melihat standar yang begitu tinggi, kita tahu diri, kita sadar tidak mungkin hidup seperti Dia hidup. Jadi, kenapa kita mau mencoba untuk melakukannya? Anak kecil suka pelajaran yang dia bisa, dia tidak bakal tertarik pelajaran yang dia tidak bisa. Dia suka apa yang dia mampu, dia suka olahraga yang dia bisa; lalu bagaimana mungkin kita mau/suka untuk melakukan pekerjaan pelayanan ini yang kita tahu kita tidak mampu? Bagimana caranya? Inilah yang menggerakkan kita: kita melakukannya bukan kerena kita bisa, bukan kerena kita sanggup, bukan kerena kita perfect, karena jika itu motivasi kita berarti itu cuma bentuk lain dari keegoisan, itu cuma satu jenis cawat-cawat lagi yang kita semat dalam bolong-bolong hidup kita supaya kita bisa merasa memenuhi standar, bisa centang (ü) –dan itu adalah keegoisan, bukan motivasi yang tepat. Jadi, kenapa kita bisa mau melakukannya? Sekali lagi, karena Dia tenggelam bukan hanya tenggelam tapi tenggelam bagi kita, karena dia dibenci bukan hanya dibenci tapi dibenci bagi kita, Dia menggantikan dosa dunia dan bukan cuma itu tok tapi Dia menggantikan dosa-dosa Saudara dan saya. Kita melakukan ini, semata-mata karena Kristus sudah terlebih dulu melakukannya bagi kita. Itu kuncinya.
Dalam kitab Lukas ada satu ayat yang aneh, yang mungkin kita tidak pernah baca atau terlewatkan karena terlalu tidak masuk akal; Lukas 12:37, “Berbahagialah hamba-hamba yang didapati tuannya berjaga-jaga ketika ia datang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia (tuannya) akan mengikat pinggangnya dan mempersilakan mereka duduk makan, dan ia akan datang melayani mereka.” Mengikat pinggang pada zaman dulu berarti menarik bawah jubah ke atas dan taruh di pinggang supaya gampang bergerak melayani orang lain; ini postur seorang pelayan. “Sesungguhnya Ia, Sang Tuan, akan mengikat pinggangnya dan mempersilakan mereka, para hamba, duduk makan, dan Ia, Sang Tuan, akan datang melayani mereka, sang hamba.” Saudara tahu di dalam Alkitab ada seperti ini, sang tuan melayani hamba-hambanya, Yesus melayani Saudara dan saya. Kenapa kita bisa rela untuk berjuang mencoba untuk hidup seperti Tuan ini, meskipun kita tahu kita tidak sanggup? Jawabannya, siapa sih yang tidak rela melayani Tuan yang seperti ini, siapa sih yang tidak berbahagia melayani Tuan seperti ini; benar-benar sungguh berbahagia hamba-hamba Tuan ini, karena ini satu-satunya Tuan yang pernah, dan akan, melayani hamba-hamba-Nya. Saudara mau jadi hamba Tuan seperti ini? Maukah Saudara? Mari kita merenungkan hal ini dalam Masa Adven ini, merenungkan apa artinya Yesus Kristus datang, dan apa artinya menjadi Tubuh-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading