Hari ini kita mendengar Votum dari Mikha pasal 6:8, “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?”; dan kita mau merenungkan bagian ini (ayat 6-8).
Saudara, saya percaya waktu mendengar bagian ini, cukup jelas bahwa ayat 6-7 dan ayat 8 itu kontras; ayat 6-7 adalah pertanyaan retoris, pertanyaan yang jawabannya sudah jelas sekali, tidak perlu dijawab, orang sudah tahu apa jawabannya –jawaban negatif. “Dengan apakah aku akan pergi menghadap TUHAN dan tunduk menyembah kepada Allah yang di tempat tinggi?”, pertanyaan pertama ini memang pertanyaan netral. Tapi kemudian ditanggapi dengan pertanyaan, “Akan pergikah aku menghadap Dia dengan korban bakaran?” —ya, bukan itu kali, ya– “… dengan anak lembu berumur setahun?” –ya, memang itu kebiasaan, tapi apakah itu yang utamanya?? Selanjutnya: “Berkenankah TUHAN kepada ribuan domba jantan, kepada puluhan ribu curahan minyak?” —kayaknya tidak, sih. “Akan kupersembahkankah anak sulungku karena pelanggaranku” —wah, luar biasa lho mempersembahkan anak sulung, tidak ada yang bisa lebih berharga lagi–“ dan buah kandunganku karena dosaku sendiri?” —ini pun juga kayaknya ‘gak terlalu menolong. Jadi jawaban-jawabannya adalah jawaban negatif, dan baru kemudian ayat 8 menyatakan apa yang dikehendaki, “yang dituntut Tuhan dari padamu”–dari Saudara dan saya– yaitu 3 hal: “berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu (berjalan dengan rendah hati bersama dengan Allahmu)” . Jadi ayat 8 ini memang klimaksnya.
Lalu untuk apa berlama-lama dengan 2 ayat sebelumnya, yang lebih panjang pula? Apakah supaya penulisan Alkitab jadi agak lebih panjang –seperti tulisan mahasiswa Teologi yang memenuh-menuhi halaman karena disuruh tulis paling sedikit 4000-5000 kata, maka ngecap-ngecap sedikitlah, dsb.? Mikha pasti tidak ada urusan seperti itu. Lalu kenapa ayat 6 dan 7 seperti itu? Karena ini riil; ini gambaran yang salah, yang harus dijawab dengan jelas secara negatif. Ini adalah gambaran yang sangat riil di dalam kehidupan beragama; bukan cuma agama lain, bukan cuma agama Yahudi, tapi juga agama Kristen. Saudara jangan pikir yang urusannya masih urusan ritual-ritual kayak begini pasti bukan Kristen, mungkin agama lain, tipikal agama dari bawah; apa Saudara yakin dalam Kekristenan tidak ada persoalan ini?? Yakin tidak ada persoalan dengan orang yang memegahkan korban yang dia kerjakan?? Yakin setiap kali kebaktian kita selalu bicara tentang apa yang dilakukan Tuhan bagi kita, dan bukan apa yang kita lakukan?? Yakin di dalam Kekristenan sudah bersih bagian ini?? Yakin bahwa di dalam Kekristenan, Saudara selalu menangkap the real substance adalah keadilan, kesetiaan, hidup dengan rendah hati –dan bukan korban-korban yang didaftarkan di sini?? Atau kita rasa lucu sekali ayat 6 dan 7 ini, ‘apa-apaan sih kayak begini; tahun berapa nih mikirnya kayak begini’, dan yakin tahun 2022 sudah tidak ada lagi??
Kadang-kadang kita bisa masuk ke dalam suatu model keagamaan yang kelihatan strukturnya tapi dalamnya keropos. Keropos. The substance tidak ada. Bukan cuma kurang, tapi tidak ada. Inilah persoalan di dalam Kekristenan. Sekali lagi, bukan bahwa hal-hal seperti korban dsb. itu sama sekali sampah; itu tentu ada tempatnya. Ayat ini bukan satu bagian yang menyatakan semua ritual itu omong kosong saja, bahwa tidak ada keagamaan sejati yang pakai ritual. Tentu bukan itu maksudnya Mikha, melainkan bahwa sangat mungkin kita menjalankan suatu kehidupan agama yang bukan yang dituntut oleh Tuhan, kita mengajarkan hal-hal yang lebih sepele –dan celakanya, kita memegahkan hal-hal itu. Konon ada cerita presiden suatu negara bertemu dengan presiden negara lain yang lebih maju. Negara yang lebih sederhana itu, yang baru merdeka, dsb., tanya, “Bagaimana kalau negara kami punya nuklir?” –berambisi sekali. Lalu dijawab oleh pemimpin negara yang lebih besar itu, “Orang kalau belum pakai celana dalam, jangan pakai dasi” –kasar ya, pakai celana dalam saja belum tapi lu sibuk ngomongin dasi. Kadang-kadang, inilah juga keadaan Kekristenan; yang basic tidak ada, tapi kita ngomonginnya muluk-muluk, dasi-lah, konde-lah, bros-lah, dsb., sedangkan –maaf istilah ini– celana dalam pun tidak ada. Ngenes, keadaan seperti ini. Itu sebabnya penting untuk melihat kontras tersebut. Ini bukan kontras yang mengada-ada. Ini bukan kontras yang ‘ngapain sih, Mikha ngomong yang begini-begini, sekadar menyerang anjing yang sudah mati, kuda yang sudah ‘gak ada’, dsb. Bukan demikian, karena ini sangat riil di dalam kehidupan beragama, bukan cuma Israel pada zaman itu, tapi orang Yahudi di zaman Yesus dan juga tahun 2022 zamannya Saudara dan saya pun persoalan ini masih tetap sama.
Ayat 8 ini terkenal sekali, mungkin salah satu yang memopulerkan adalah Library of Congress di Washington, yang di ruang bacanya ada tulisan tersebut. Bagus ya. Amerika pada zaman dulu religius; ini bukan perpustakaan di fakultas teologi, ini perpustakaan umum, perpustakaan nasional, tapi ada ayat Alkitabnya. Sekarang keadaan evangelical di Amerika sebagian besar tercabik-cabik dengan polarisasi politik, sampai akhirnya yang lebih dilihat dalam teologi bukan lagi Kitab Suci, tapi partai ini atau partai itu yang agendanya masuk ke dalam gereja. Namun pada zaman dulu, mereka mengaitkan demikian, ‘kalau kamu baca buku, belajar, punya pengetahuan, apa artinya itu kalau tidak sampai membawa pada kelakuan yang adil, mencintai kesetiaan, kehidupan yang rendah hati di hadapan Allah’ –bukan sekadar tambah wawasan, tambah pengetahuan, makin smart atau apapun, tapi kelakuan yang diubahkan.
Dalam Yeremia 7, ada bagian yang penting untuk kita mengerti Mikha 6. Yeremia 7:3-5, “Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel: Perbaikilah tingkah langkahmu dan perbuatanmu, maka Aku mau diam bersama-sama kamu di tempat ini. Janganlah percaya kepada perkataan dusta yang berbunyi: Ini bait TUHAN, bait TUHAN, bait TUHAN, melainkan jika kamu sungguh-sungguh memperbaiki tingkah langkahmu dan perbuatanmu, jika kamu sungguh-sungguh melaksanakan keadilan di antara kamu masing-masing, tidak menindas orang asing, yatim dan janda, tidak menumpahkan darah orang yang tak bersalah di tempat ini dan tidak mengikuti allah lain, yang menjadi kemalanganmu sendiri, maka Aku mau diam bersama-sama kamu di tempat ini, di tanah yang telah Kuberikan kepada nenek moyangmu, dari dahulu kala sampai selama-lamanya.” Bagian ini menjelaskan dirinya sendiri, tidak perlu dijelaskan lagi –yaitu memperbaiki tingkah laku, tingkah langkah, perbuatan.
Saudara, dalam Teologi Protestan, waktu bicara ‘justification trough faith alone’, kita bilang ‘tidak ada tempat untuk good works’. Memang benar tidak ada tempat untuk good works, tapi maksudnya tidak ada tempat untuk good works dalam hal justification —dan hidup ini isinya bukan cuma justification, hidup ini bukan cuma tentang pembenaran belaka, tapi juga ada bicara tentang pengudusan. Dalam hal ini persoalannya dari Luther, dia mengatakan, “Dari doktrin inilah –doktrin justification— Gereja jatuh atau berdiri”, dan kalimat ini sebenarnya bahaya, karena berarti doktrin justification adalah meta-doktrin. Dengan segenap respek, kita banyak mengutip Luther secara afirmatif positif, tapi kalimat tadi salah; justification bukanlah meta-doktrin. Dalam hal ini kalau Saudara bandingkan dengan teologinya Calvin –kalau mau bicara meta-doktrin– Calvin lebih melihatnya ke ‘union with Christ’; dan itu pun bukan tanpa relasi dengan doktrin-doktrin yang lain. Namun, kalau kita menjadikan justification sebagai meta-doktrin, sebagai payungnya, yang di bawahnya semua bergantung, dan di bawah doktrin justification tersebut tidak ada tempat untuk good works (perbuatan), maka jadinya doktrin mana yang berani membicarakan good works?? Kalau yang meta saja tidak memberi tempat untuk itu, jadinya doktrin mana yang boleh membicarakan good works?? Inilah kecelakaan di dalam teologi Protestan, khususnya dari aliran Lutheran –kalau kita tidak hati-hati. Omong-omong, Injili sangat-sangat dipengaruhi oleh Lutheranism –mungkin tanpa sadar– lebih banyak daripada Reformed atau Calvinism, khususnya di bagian ini; setiap kali membicarakan perbuatan baik, langsung dicurigai dulu, tidak bisa membicarakannya secara positif. Akhirnya, muncullah model kekristenan yang dekat sekali dengan antinomianisme, cheap grace, dsb.
Kalau Saudara membaca di dalam Yeremia, di situ dikatakan ‘perbaikilah tingkah langkahmu dan perbuatanmu’, dan ini tidak bentur sama sekali dengan doktrin anugerah. Justru orang yang mengerti anugerah, orang itu memperbaiki kelakuannya, memperbaiki perbuatannya. Kekristenan itu bicara tentang kehidupan yang diubahkan, bukan cuma bicara tentang korban-korban ritual –meskipun itu ada tempatnya–yang kemudian diceraikan/dipisahkan dari kehidupan yang diubahkan. Saudara bisa saja menyaksikan semacam keagamaan, termasuk juga dalam kekristenan, yang cuma ada ritual-ritual, persembahan-persembahan –ada kolekte, ada nyanyi, ada kebaktian, ada PA, ada tanya jawab, dan macam-macam lagi– yang semuanya jalan somehow, bahkan juga ada gedung. Seperti dikatakan di bagian ini, mereka menyebut ‘ini bait TUHAN, bait TUHAN, bait TUHAN’, istilah yang besar, bukan istilah sembarangan –atau kalau di kita, menyebut ‘gerakan Reformed Injili’, istilah yang bagi kita sakral, tidak bisa sembarangan– tapi substansinya ternyata tidak ada. Yang ada ya, korban-korban tadi, yang terpisah dari kehidupan yang diubahkan, yang terpisah dari melakukan keadilan, mencintai kesetiaan, dan berjalan dengan rendah hati bersama dengan Tuhan.
Sekali lagi, inilah sebabnya ayat 8 Mikha penting; J.M.P. Smith mengatakan ayat 8 ini adalah “the finest summary of the content of practical religion to be found in the Old Testament.” (ini adalah ringkasan yang paling indah dari isi keagamaan praktis, yang kita bisa temukan di Perjanjian Lama). Boadt mengatakan: “The rabbis who commented on this verse in the early centuries of the Christian era called it a one-line summary of the whole Law” (rabi-rabi waktu mengomentari bagian ini mengatakan, inilah ringkasan satu baris tentang Taurat). Kita kadang-kadang sebal kalau setelah PA orang tanya, “Pak, tadi yang dibicarakan rumit sekali, bisa ‘gak dibikin satu baris saja?” –tapi ternyata dalam Alkitab benar-benar ada seperti ini; tentu saja tidak semua bisa dibuat begini, tapi kalau Alkitab memperlakukan seperti ini, kita terima. Saudara baca the whole law, ada banyak sekali, rumit, kompleks corpus Torah itu, tapi ternyata memang bisa diringkas di bagian ini, sebagaimana Boadt katakan waktu rabi-rabi waktu mengomentari bagian ini, bahwa kalau kamu mengerti tentang Taurat, inilah ringkasan satu barisnya, inilah intinya: berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan berjalan dengan rendah hati bersama/di hadapan Allahmu. Tidak bisa di-overemphasized kepentingan dari ayat ini.
Kita akan membicarakan satu per satu bagian ini. Yang pertama, ‘berlaku adil’. Kita sudah cukup sering bicara tentang keadilan. Pembicaraan secara negatif, lawan kata keadilan adalah keberpihakan (partiality), memandang muka, lihat orang, membagi-bagi orang. Inilah ketidakadilan. Yesus, waktu hadir ke dalam dunia, Dia bisa bergaul dengan siapa saja. Dia bisa bergaul dengan orang Farisi, ahli Taurat, tapi juga dengan pelacur, dengan orang yang miskin, dengan janda –dengan semua. Hidup-Nya tidak ada like and dislike; Yesus itu adil. Adil berarti Dia bergaul dengan semua orang. Dia bukan pilih-pilih orang. ‘Saya kalau ngomong sama orang ini nyambung, comfortable; kalau ngomong sama orang itu berat sekali, tiap kali saya ngomong sama dia, entah bagaimana jadi kayak cicipan neraka, saya jadi kepingin cepat-cepat selesai, begitu selesai, saya merasa cicipan surga’ –kita pilih-pilih. Kalau mau bicara dengan orang, kita pilih yang kita senang, yang kita comfortable; kita menderita waktu bicara dengan orang-orang tertentu yang menurut kita ‘gak level-lah, ‘gak berdampak, tidak menguntungkan, dsb. –inilah artinya orang yang tidak berlaku adil.
Perhatikan, di sini dikatakan ‘berlaku adil’. Ada tafsiran mengatakan, ini bukan mere talk about justice. Saya di sini ini bahaya, saya sedang bicara tentang keadilan, tapi kita bisa jadi hanya sebatas membicarakan, mendiskusikan, memperdebatkan apa artinya keadilan, sedangkan ayat ini tidak ngomong itu; ayat ini bicara: “apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil …”.Bukan membicarakan konsep/ide keadilan saja –meskipun itu ada tempatnya– tapi melakukan keadilan. Kekristenan itu bicara tentang embodiment, karena Logos yang kita percaya adalah Logos yang inkarnasi, ada embodiment-nya, ada penubuhannya, ada konkretisasinya. Kalau kita cuma bicara keadilan seputar ide saja, ya sudah, cuma tinggal ide.
Sama juga kalau kita bicara tentang ‘mencintai kesetiaan’. Siapa yang tidak akan setuju mencintai kesetiaan? Saya pikir dalam hal ini yang akan bilang “amin” bukan cuma orang Kristen. Coba Saudara tanya kepada orang sejahat apapun, “Menurut Anda mana lebih indah, kesetiaan atau pengkhianatan?” maka pasti dijawab, “kesetiaan”. Mana mungkin di dunia ada orang bilang, “pengkhianatan adalah kebajikan, kesetiaan adalah kejahatan”. Bukan cuma orang Kristen yang bilang mencintai kesetiaan itu indah, yang bilang “amin, haleluya” terhadap mencintai kesetiaan. Tapi teologi yang kayak begini, teologi yang tidak ada konteks, yang mengawang-awang, yang di atas, yang cuma disetujui secara doktrinal —doctrinal assent –tapi tidak betul-betul ada perwujudan (embodiment). Celakanya, ada teori seperti ini sudah sejak zaman Medieval, doctrinal assent, bahwa Saudara setuju. Ada yang pernah mengkhotbahkan seperti ini, kalau tidak salah Ravenhill atau Paris Reidhead, pengkhotbah kebangunan rohani, dia bilang: kalau Saudara tanya orang-orang Injili, “Siapa itu orang-orang Injili?”, maka jawabnya, “O, orang-orang Injili adalah yang percaya ini, ini, ini, yang bilang amin, saya setuju”–ada assent terhadap hal-hal itu, tapi merely assent, tanda tangan doang, cuma subscribe. Pengakuan iman (confession) mana yang Saudara subscribe? “O, Westminster, Heidelberg, Belgic Confession, saya tanda tangan di bawahnya, saya berjanji setia”, dsb., ya, sudah, cuma assent saja, tapi bukan kelakuan, bukan mencintai. Yang namanya mencintai, jelas tidak bisa dalam konsep ‘assent’ tadi; intellectual assent itu satu hal, sedangkan mencintai melibatkan seluruh keberadaan Saudara untuk masuk ke dalamnya, termasuk segala resikonya. Itulah yang namanya mencintai. Ada hubungan covenantal waktu bicara tentang kesetiaan. Sebetulnya istilah ‘mencintai kesetiaan’, terminologinya adalah terminologi teologi kovenan. Dalam bahasa aslinya istilah yang dipakai adalah khesed; khesed bisa diterjemahkan dengan kasih setia (steadfast love), bisa diterjemahkan juga dengan belas kasihan (mercy), kesetiaan (faithfulness), faithful love –bahasa covenantal.
Apa arti kovenan? Kovenan sebetulnya bahasa politik. Misalnya ada kerajaan besar dan ada kerajaan kecil; kerajaan besar ini bisa in covenant relationship dengan kerajaan yang kecil itu, artinya dalam ikatan perjanjian, kalau negara kecil tersebut diserang oleh negara lain maka negara besar tadi musti bantu. Inilah hubungan kovenantal dunia; kerajaan besar proteksi kerajaan kecil, kerajaan besar punya obligasi untuk memproteksi, kalau kerajaan kecil diserang maka musti dibantu, sementara kerajaan kecil juga punya obligasi ke atas, dengan taat, memberi upeti, dst. Dalam hal ini Israel unik, karena Israel dipanggil untuk menjalin kovenan dengan Yahweh, bukan dengan kerajaan besar. Pencobaannya tentu saja adalah: Israel menjalin kovenan dengan Mesir, dengan Babilonia, yang adalah kerajaan-kerajaan besar, supaya bisa aman. Namun keunikan Israel adalah Israel harus belajar percaya bahwa bangsa yang kecil ini bukan dilindungi oleh Babilonia, Media-Persia, Mesir, Romawi atau siapapun, tapi dilindungi oleh Allah yang sejati; Isarel dan Yahweh in covenantal relationship. Oleh karena itu, yang dituntut dalam covenantal relationship adalah khesed. Yahweh memberikan diri-Nya, setia kepada Israel, setia dalam memelihara Israel, memproteksi Israel, memelihara Israel –dan Israel juga setia kepada Yahweh. Ini bukan konsep sederhana.
Sekali lagi, kalau kita bicara konsep negatifnya, kita jadi gampang mengertinya, yaitu masyarakat kita sekarang yang sangat oportunistik, hampir tidak ada hubungan covenantal. Contohnya Saudara bekerja di satu perusahaan, lalu Saudara berpikir, ‘apa ini, saya kerja di perusahaan yang tidak memperhatikan saya, saya sewaktu-waktu bisa diganti kayak begini, dianggap disposable, tidak ada kepedulian terhadap saya, begitu ada yang lebih murah, begitu ada yang lebih efektif, saya main diganti begitu saja; ya, sudah, kalau begitu saya juga kutu loncat’ –inilah society Saudara dan saya. ‘Saya sewaktu-waktu bisa dibuang, ngapain saya setia, goblok-lah kalau saya setia; karena perusahaan oportunistik terhadap saya, saya juga oportunistik terhadap perusahaan, kecuali saya tolol’. Tidak ada hubungan kovenan, jarang sekali. Dalam hal hubungan dengan perusahaan mungkin “masih oke”, tapi hal ini juga masuk dalam hubungan suami istri. ‘Suami saya tidak mencintai saya, ngapain saya musti tunduk pada dia’; atau sebaliknya, ‘untuk apa saya care sama istri kayak begini, yang dominan kayak begini, ngatur-ngatur, dsb., untuk apa saya mencintai dia’. Sangat oportunistik. Di dalam gereja pun kayak begitu, ‘ngapain datang ke gereja ini, ‘gak dapat makanan, ‘gak dapat kesempatan pelayanan, saya ‘gak dihargai,’ dsb. Jadi Saudara cari apa sebetulnya? ‘Saya untung apa datang ke gereja kayak begini, memangnya ini gereja satu-satunya?? Memangnya saya ‘gak bisa cari gereja lain??” –kayak begini cara pikirnya, sangat oportunistik.
Di dalam banyak hal Saudara bisa sebutkan, mulai dari urusan asuransi sampai gereja, bahkan sampai urusan theme park, sekolah anak, dsb., semuanya didominasi oleh cara pikir oportunistik dan kalkulatif. Dan, kita tidak sadar bahwa ini bukan narasi Kristen, kita bilang, “Saudara, kita harus mencintai kesetiaan”, lalu semuanya bilang, “Amin, amin, mencintai kesetiaan”. Tidak ada konteksnya. Di dalam kehidupanmu dan kehidupanku, kayaknya hal itu tidak ada konteksnya. Coba saja kalau Saudara di dalam covenantal relationship, danSaudara terluka/dilukai, lalu let’s talk about mencintai kesetiaan di situ. Jangan bicara mencintai kesetiaan supra konteks, semua juga pasti setuju, tidak akan ada yang bilang, “O, tidak, Pak, pengkhianatan lebih indah daripada mencintai kesetiaan”. Tidak ada yang akan bilang begitu; orang ateis pun tidak mengajar kayak begitu. Tidak ada yang lebih menjunjung tinggi pengkhianatan sebagai lebih baik daripada kesetiaan, semuanya setuju kesetiaan lebih baik daripada pengkhianatan. Tetapi, yang setuju itu sebatas doctrinal assent tadi; lalu waktu masuk ke dalam konkretisasi, banyak orang ngacir, mundur, tiba-tiba kayak bukan orang yang di dalam covenant relationship dengan Tuhan. Inilah gambaran yang kacau.
Tadi kita bicara bahwa di dalam covenant relationshipada obligasi, kerajaan yang besar memproteksi; Yahweh sendiri mengikatkan diri-Nya, “obligasi”-Nya memelihara Israel, memberkati Israel, sementara yang di bawah obligasinya adalah berlaku adil, mencintai kesetiaan, hidup dengan rendah hati di hadapan Allah. Kalau obligasi ini tidak dijalankan, berarti apa? Berarti covenant breaker, berarti orang ini mengeluarkan dirinya dari ikatan kovenan, berarti orang itu tidak di dalam kovenan —sesederhana itu. Saudara lihat dalam dunia politik, misalnya kerajaan yang kecil itu tiba-tiba tidak mau taat lagi, tidak memberi upeti, lalu apa Saudara pikir yang di atas musti proteksi terus?? Kalau yang dibawah tidak menaati yang di atas, berarti dia breaking the covenant, itu saja; dan yang di atas tidak ada kewajiban lagi untuk melindungi. Betul begitu ‘kan. Tapi Saudara perhatikan di dalam kekristenan, apa betul kita ini berlaku adil, mencintai kesetiaan, hidup dengan rendah hati di hadapan Allah? Waktu bagian ini tidak ada, tapi orang Kristen tetap bermegah, “saya bagaimanapun tetap in covenant relationship dengan Tuhan”, pertanyaannya: itu tuhan yang mana?? Tuhan yang mana yang bisa dibegitukan?? ‘Saya tidak melakukan obligasi saya, itu tidak ada; Tuhan punya obligasi terhadap saya, Dia harus proteksi saya, tapi saya ‘gak ada-lah itu, Tuhan jangan tuntut!’ Ya, sudah, berarti Saudara di luar kovenan kalau begitu, Saudara tidak di dalam kovenan; mengapa? Karena orang yang di dalam kovenan ada obligasinya, bahkan Tuhan pun sudah mengikatkan diri-Nya dengan janji-Nya –saya tidak pakai istilah ‘obligasi’ karena tidak cocok pakai istilah itu untuk Tuhan– sehingga bagaimana mungkin umat-Nya bisa tidak terikat, tidak perlu melakukan keadilan, tidak perlu mencintai kesetiaan?? ‘Saya boleh tetap oportunistik; yang tadi itu ‘kan cerita di gereja hari Minggu, hari Minggu bicara kesetiaan, dsb., lalu dalam kehidupan waktu kita bisnis, dsb., tidak ada cerita kovenan, cerita itu ‘gak jalan sama sekali, yang ada adalah kalkulasi dan oportunistik!’ –Saudara yakin bahwa Saudara masih di dalam kovenan??
Sekali lagi, di dalam Alkitab konsep kovenan kayak begitu tidak pernah ada. Di dalam dunia politik pun tidak jalan, tidak ada negara yang mau jalin kovenan kayak begitu; kalau tidak ada lagi upeti, tidak ada lagi ketaatan, tidak ada lagi submission, berarti bubar kovenannya. Tapi herannya di dalam agama Kristen bisa ada semacam konsep ‘orang mau oportunistik kek, mau tidak setia kek, mau kutu loncat, mau memandang muka, dsb., lalu bisa tetap yakin ‘saya in covenant relationship dengan Tuhan’. Itu dusta, Saudara. Itu teologi dusta namanya. Itu bukan ajaran Alkitab; dan inilah yang membinasakan orang, karena Alkitab tidak pernah mengajarkan seperti itu. Sekali lagi, kita diselamatkan/ dibenarkan, itu tetap adalah karena kasih karunia; tapi orang yang sungguh-sungguh mengerti kasih karunia, dia mengikatkan dirinya di dalam covenant relationship dengan Tuhan yang menyelamatkan dia, dengan Tuhan yang memberikan kasih karunia, mercy, kesetiaan, khesed. Itu semua atribut Tuhan, ‘atribut ke bawah’ –kalau saya pakai istilah saya sendiri.
Kemarin baru saja ada SPIK sengan tema ‘martabat, dignitas manusia’. Kalau boleh menyambung sedkiti, waktu kita membicarakan tentang martabat dan dignitas manusia, pasti tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan bahwa kita ini created after the image of God, karena waktu bicara martabat/digintas/kehormatan manusia pasti musti dilihat dari perspektif doktrin ‘gambar rupa Allah’. Sampai di sini memang betul, tapi coba Saudara perhatikan, Saudara mengerti ‘gambar rupa Allah’ itu terutama dalam hal apa? Allah yang seperti apa? Kadang-kadang kita ini one sided –meski tidak keliru dan sangat ada tempatnya– kita lebih suka atribut ke atas. Contoh: Allah kita Allah yang kreatif, Allah yang menciptakan langit dan bumii; maka kita sebagai gambar rupa Allah juga kreatif. Ini kalimat bukan salah, dan ada dasar Alkitabnya. Bezaleel dipenuhi Roh Allah waktu membangun kemah suci, maka dia kreatif. Seperti Allah menciptakan langit dan bumi, maka Bezaleel dipenuhi Roh Kudus waktu dia menciptakan miniaturnya, yaitu kemah suci –kreatif. Contoh lain lagi: Allah kita mahakuasa, Allah kita mahakuat, we believe in the powerful God, maka kita yang created after the image of God, kita akan berjalan bersama dengan Allah from strength to strength. Itu betul, ada ayat Alkitabnya di Mazmur 84, berjalan dari kekuatan menuju pada kekuatan –atribut ke atas. Tapi orang agak jarang membicarakan atribut ke bawah, bahwa kita created after the image of God, after merciful God, diciptakan menurut gambar rupa Allah, Allah yang berbelas kasihan –maka jadilah merciful seperti Allahmu yang merciful, mencintai mercy, mencintai belas kasihan –karena Allahmu mencintai belas kasihan. Kurang menarik ya, yang kayak begini. Allah yang merendahkan diri-Nya, merangkul orang berdosa, membalut orang yang jatuh, menguatkan mereka yang discourage, menegakkan kembali buluh yang terkulai –gambaran kayak begini tidak menarik. Tapi inilah artinya mencintai kesetiaan.
Saudara mungkin pernah melihat meme yang lumayan terkenal dari Margaret Mead,meskipun sebetulnya orang tidak terlalu pasti juga apakah benar dari Margaret Mead atau bukan, tapi kita mau bicara ceritanya karena menurut saya sangat menarik. Konon, Margaret Mead waktu dalam kuliah ditanya, “What is the beginning of civilization?” –apa tandanya permulaan dari peradaban manusia, kita tahu dari mana? Kalau ditanya kalimat ini, dari mana kita tahu kelompok manusia ini peradabannya mulai dari titik tersebut, maka secara arkeologis Saudara akan cari apa? Biasanya orang akan cari misalnya kendi, atau misalnya alat-alat yang terbuat dari besi, karena manusia adalah manusia dikarenakan dia pakai alat, sedangkan binatang tidak pakai alat; sehingga waktu kita bicara peradaban manusia, dignitas manusia, salah satunya tentang adanya kerajinan tangan (handycraft), meskipun mungkin masih sangat sederhana, misalnya pisau; meskipun pisaunya masih dari batu, agak primitif, tapi tetap saja ini permulaan dari peradaban. Tapi Margaret Mead bukan menjawab itu; waktu ditanya ‘kapan permulaan dari peradaban, dia lalu mengangkat sebuah femur (tulang paha). Maksudnya apa? Seni primitif? Bukan. Ini tidak membicarakan seni atau handycraft atau artwork. Dia menunjukkan tulang tersebut, dan di tulang itu ada bagian yang menebal, menunjukkan bahwa tulang itu pernah patah dan kemudian sembuh. Ini berarti apa? Berarti ada orang yang berhenti untuk sesamanya, membalut dia, yang seharusnya as good as death, sehingga dia sembuh –karena ada orang yang merciful— dan inilah permulaan peradaban. Menarik ya. Saudara lebih tertarik gambaran kayak begini, atau yang soal kerajinan, arsitektur, musik, dsb.? Saya bicara begini bukan berarti sinis, memang itu semua tidak salah, dan penting untuk peradaban; saya sendiri suka sekali ke concert hall dan museum, itu sangat menyenangkan. Tapi, femur yang pernah patah dan dibalut itu, siapa yang pernah pikir bahwa inilah dignitas dan martabat manusia karena manusia bisa berbelaskasihan? Binatang tidak memiliki itu, lagipula binatang tidak diciptakan menurut gambar rupa Allah. Binatang memang tidak diciptakan according to merciful God; mana ada singa yang mau menerkam, lalu tiba-tiba menangis karena iba?? Coba saja lihat saluran-saluran TV tentang binatang, tidak pernah ada yang seperti itu, yang ada ya, terkam saja, persaingan, makan-memakan, survival of the fittest, dst. Jadi, kalau kita sebagai manusia menekankan kebesaran manusia dari kehebatan seperti ini, itu level binatang sebetulnya, karena binatang bisa mengerjakan yang seperti itu. Yang tidak ada pada binatang, dan ada pada manusia karena manusia diciptakan menurut gambar rupa Allah, adalah being merciful, berhenti, menanti, membalut —dan pasti kalah. Dunia sedang berlomba, lalu kalau berhenti dan menolong sesamanya, maka sudah pasti kalah. Namun inilah civilization, karena dia tahu dunia memang bukan tentang perlombaan, dunia adalah tentang bagaimana mencintai sesama, bagaimana mencintai kesetiaan. Itulah dunia yang diciptakan oleh Allahku, yang mencintai kesetiaan. That is human being.
Zaman dulu ketika belum ditemukan vitamin C, kalau ada yang kena influenza, orang sudah takut sekali, dan memang influenza bisa bikin orang mati –itu sebabnya di Inggris kalau ada yang bersin, orang lalu bilang, “God bless you”, maksudanya Tuhan memberkati engkau supaya kamu jangan mati. Kalau sekarang, kelihatan seperti konyol sekali mati karena flu, tapi zaman dulu keadaannya demikian, maka jika ada budak-budak di kapal yang kena flu, mereka langsung ditinggal di satu pulau, disisihkan begitu saja, dan itu as good as death. Demikian juga tulang paha yang sudah patah tadi, itu as good as death, ‘kamu tidak bisa jalan bareng kita lagi, kita musti jalan terus, jadi ya sudah, bye-bye, kamu hidup baik-baik, kita tidak bisa lagi mengurus kamu’, lalu ditinggal pergi. Itulah yang terjadi di zaman dulu. Tetapi yang membedakan dengan masayarakat beradabadalah ‘berhenti’ itu tadi. Inilah artinya mencintai kesetiaan.
Waktu anggota keluarga Saudara atau gereja Saudara, kacau balau, tapi Saudara tetap ada di sana, itulah mencintai kesetiaan. Waktu orang di perusahaan Saudara memperalatmu, menusuk Saudara dari belakang, atau apapun lainnya, tapi Saudara tetap di sana di dalam pimpinan Tuhan, itulah yang kita bisa bilang ‘mencintai kesetiaan’. Mencintai kesetiaan itu hadirnya di dalam konteks; Yesus itu mencintai kesetiaan dengan Dia tetap ada di dalam dunia sampai mati di atas kayu salib. Dia tidak check out balik ke surga, Dia mencintai kesetiaan. Allah yang mencintai kesetiaan, Allah yang merciful, Dia merciful sampai tuntas. Kita, yang diciptakan menurut gambar rupa Tuhan yang mencintai kesetiaan, kalau kita betul-betul mengenal Tuhan yang seperti ini, maka Saudara dan saya menjadi orang-orang yang bisa membalut tulang yang patah itu tadi, yang bagi dunia cuma buang-buang waktu, yang bagi dunia itu tidak menghasilkan uang, yang bagi dunia itu ‘gak keren, tidak ada yang bisa dipamerkan, ‘gak impressive, tidak bisa dipajang di Instagram dan Facebook, ‘gak menarik, karena Saudara cuma berhenti menunggu orang lain, menunggu bertumbuh, menunggu lebih mencintai Tuhan, menunggu berbuah, menunggu hidup kudus.
“Apa yang dituntut Tuhan dari padamu selain berlaku adil, mencintai kesetiaan”, ini berarti ada ketekunan (perseverance), jalan salib. Bukan setia karena Saudara memang ada passion di sana –yang seperti itu, anak kecil– tapi kalau kita benar-benar mengerti apa artinya khesed di dalam konteks relasi kovenan, maka kita boleh mengatakan bahwa kita mengenal Allah. Saudara dan saya mengenal Allah yang merciful, karena kita diubahkan dari orang yang tidak berbelaskasihan, yang dingin, yang tidak peduli sama sekali dengan kejatuhannya orang lain bahkan malah sukurin karena jadi berkurang kompetitor, lalu menjadi orang yang gampang berhenti, menunggu, menanti orang lain. Kita pernah mengkhotbahkan satu bagian Injil, waktu Yesus menyembuhkan orang buta yang pengemis itu, ada satu kata yang mungkin seperti tidak terlalu penting. Ketika itu si orang buta berteriak-teriak, lalu murid-murid Yesus menyuruh diam, “Ssstt… don’t disturb Tha Master, ada kerjaan penting, tahu ‘gak sih!! We have important project! Proyek salib lho, pergi ke Yerusalem, jangan diganggu, nanti My Master distracted! Ssstt… jangan ganggu.” Tapi dicatat oleh Lukas, waktu Yesus mendengar orang buta itu berteriak, Yesus berhenti. Dia berhenti, Saudara. Kalau Yesus tidak berhenti untuk Saudara dan saya, kita semua ke neraka. Kalau Yesus tidak menanti kita, kita tidak ada yang diselamatkan. Saudara dan saya mengaku mengenal Yesus, tapi apakah kita berhenti atau tidak ya, untuk orang lain? Atau kita jalan terus cepat-cepat, karena dunia ini sibuk, dunia ini kompetitif, dunia ini musti jalan cepat, musti bersaing karena kalau tidak bersaing akan kalah? Apalagi sekarang semua menipis, krisis energi, musti cari cara bagaimana jalan yang lebih cepat lagi, lebih efisien lagi, lebih efektif lagi pekerjaannya, maka Saudara berhenti atau tidak untuk orang lain? Kalau Saudara tidak berhenti untuk orang lain, saya tanya: allahmu itu siapa/apa sebetulnya? Karena Allah yang di dalam Alkitab, yang menyatakan diri-Nya secara sempurna di dalam Pribadi Yesus Kristus, Dia berhenti. Dia berhenti untuk sesamanya, Dia membalut sesamanya, Dia berada untuk sesamanya. Itulah Allah yang kita kenal.
Sekali lagi, dalam covenantal relationship ada obligasi; waktu obligasi ini ‘gak jalan, berarti covenant breaking. Inilah orang yang tidak mencintai keadilan, tidak berlaku adil, selalu memandang muka. Inilah orang yang tidak mencintai kesetiaan, selalu oportunistis, selalu memikirkan apa yang menguntungkan dirinya, apa yang beneficial dan profitable untuk dirinya; bahkan bicara pun ada pertimbangannya, ‘saya kalau ketemu dengan orang ini, untungnya apa, apakah bisnis saya akan tambah maju kalau saya bicara dengan orang ini, apakah keluarga saya akan tambah bahagia kalau saya bicara dengan orang ini’. Itukah orang yang mencintai kesetiaan? Bukan. Itu orang yang tidak mencintai kesetiaan. Lalu, orang yang tidak mencintai kesetiaan seperti ini, apa Saudara pikir tetap berada dalam covenantal relationship dengan Tuhan?? Tidak. Pasti di luar kovenan. Ini orang yang tidak mengerti kovenan dengan Tuhan; karena orang yang berada di dalam kovenan dengan Allah, dia mengerti obligasinya, berlaku adil, mencintai kesetiaan –yang bisa dikontraskan dengan berbagai macam ideologi dunia.
Ada terjemahan yang sederhana dari Alkitab NIRV, suatu terjemahan yang agak populer, tapi menjelaskan dengan baik pengertian bagian ini; demikian: “The LORD has shown you what is good. He has told you what he requires of you. You must treat people fairly –perlakukanlah manusia dengan adil. You must love others faithfully –kasihilah sesamamu dengan setia. And you must be very careful to live the way your God wants you to –hidup dengan rendah hati maksudnya hidup dengan berhati-hati di dalam jalan yang Tuhan mau”. Istilah ‘your God’ di sini adalah istilah kovenan (‘I am yor God and you are My people’ adalah covenantal formula); dan ‘hidup rendah hati’berarti hidup berhati-hati sebagaimana Tuhanmu menghendakinya.
Kalau kita bertumbuh, maka ada perubahan/transformasi yang jelas dalam hidup kita; yaitu apa? Hidup yang tadinya semau sendiri, ‘saya mau ini!’ lalu minta Tuhan menyetujuinya, kekanak-kanakan seperti ini –dan semua dari kita ada fase seperti ini–kalau kita bertumbuh, maka seperti yang Yesus katakan kepada Petrus; “Waktu kamu muda, kamu berjalan ke tempat yang kamu kehendaki –kamu sak karepe dewe, semaunya sendiri– tapi waktu kamu tua, orang lain mengikat tanganmu, dan kamu berjalan ke tempat yang tidak kamu kehendaki”. Inilah pertumbuhan rohani. Orang yang cuma mau mengerjakan bagian yang dia senang, yang dalam kalkulasinya bakal tidak terlalu membebani, dsb., ya, sudah, jangan bicara pengorbanan kalau begitu. Apa Saudara pikir Yesus senang naik ke atas kayu salib? Apa Yesus itu cita-citanya naik ke atas kayu salib? Tidak. Sudah pasti tidak. Kalau kita bertumbuh di dalam Kristus, kita bertumbuh dari kehidupan yang cuma mau mengerjakan apa yang kita mau, dengan segala kalkulasi kita itu, kepada kehidupan yang berkorban seperti Yesus Kristus, live, or walk carefully with your God, to live the way your God wants you to.
Bagian ini sangat mungkin adalah bagian yang juga Yesus rujuk waktu Dia mengatakan kalimat-Nya dalam Matius 23:23, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan (justice, rigtehousness, berlaku adil), dan belas kasihan (khesed, mercy) dan kesetiaan (faithfulness)” –dekat sekali dengan Mikha 6:8. Maksud saya apa? Bahwa setelah ratusan tahun Mikha bicara tentang ada model keagamaan yang hanya ritual belaka, yang kehilangan substansinya (Mikha 6:6-7), ternyata kayak tidak bergerak, keagamaannya masih di situ juga, Yesus masih ngomong hal yang sama lagi, “yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan”. Sekarang tahun 2022, kita juga ngomong yang sama lagi; kenapa? Karena kerusakan di ayat 6 dan 7 ini terus-menerus terulang sepanjang sejarah. Orang bicara tentang perpuluhan, memperdebatkan soal perpuluhan, tapi mana pembicaraan tentang kesetiaan, mana pembicaraan tentang belas kasihan, mana pembicaraan tentang keadilan, mana pembicaraan tentang berjalan dengan rendah hati di hadapan Allah?? Memang tidak harus salah bicara soal perpuluhan, Saudara juga mungkin memberi perpuluhan, ini bukan mau menggeser ritualnya sama sekali, tapi Saudara bisa tangkap ‘kan di mana poinnya? Kita bisa bicara tentang bait Allah/bait Tuhan, bicara tentang gereja/gedung gereja, bicara tentang persembahan/perpuluhan, bicara tentang ini, itu, dsb., tapi tetap melihat orang dengan memandang muka. Bicara tentang persembahan, tentang dukung pekerjaan Tuhan, tapi tetap memandang muka. Saudara yakin Saudara kenal Tuhan kalau begitu? Saudara yakin Saudara sudah berjumpa dengan Tuhan? Atau Saudara di luar kovenan, tidak pernah mengenal Tuhan sebetulnya. Orang yang memandang muka, berarti dia tidak memandang Tuhan —as simple as that.
Orang yang memandang muka Tuhan, mencari wajah Tuhan, dia tidak mungkin tertarik dengan wajah manusia; bukan buang muka maksudnya, tapi bagi dia semua muka sama, semua orang berdosa dan semua dicintai Tuhan, itu saja. Namun dunia kita tidak begitu, dunia kita melihat muka. Orang yang terlalu melihat muka manusia, dia pasti tidak mencari wajah Tuhan, itu sebabnya kehidupannya dipenuhi dengan bagaimana dia memandang mukanya manusia, karena tidak pernah ada perjumpaan dengan wajah Tuhan! Akhirnya dalam kehidupannya tidak mungkin ada keadilan. Lalu masih merasa diri berada dalam kvenan dengan Tuhan?? Omong kosong! Tidak ada itu. Tidak ada kovenan dengan Tuhan dalam keadaan seperti itu, karena Tuhanmu dan Tuhanku adalah Tuhan yang berlaku adil dan mencintai kesetiaan, hidup dengan rendah hati. Yesus Kristus itu rendah hati. Allah sendiri rendah hati, Dia turun ke dalam dunia. Pribadi Kedua, itu kerendahan hati. Saudara dan saya, kalau kita tidak mengerti kerendahan hati, ya, jangan bilang kita mengenal Allah; kita di luar kovenan.
Sekali lagi, waktu Yesus mengatakan kalimat ini, itu menyatakan bahwa setelah sekian ratus tahun, tidak jauh berbeda. Seperti jalan di tempat. Tapi ini bukan berarti tidak ada orang yang diselamatkan, bukan berarti tidak ada yang dibelaskasihani Tuhan. Oleh karena itu, waktu kita merenungkan Taurat dalam Perjanjian Lama, ada bagian-bagian yang sulit kita mengerti, kompleks, bahkan perlu commentary karena kita perlu tahu konteks sejarahnya dsb., sehingga bersyukur ada ayat seperti Matius 23:23, bersyukur ada ayat seperti Mikha 6:8 yang sederhana ini. Tapi, sudah sesederhana ini, yang sudah one line summary, lalu kalau orang masih tidak mau tahu juga, itu menakutkan. Saudara mungkin bilang, “Saya susah lho kalau baca Bilangan, apa sih maksudnya; saya susah lho mengerti Taurat, koq rumit sekali, detail sekali pengaturannya, apa sih ini??” –Saudara bisa saja bilang begitu. Tapi kalau Saudara baca Mikha 6:8, “apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” lalu Saudara bilang ‘pusing ah, dengar ayat kayak begini; rumit ah, buat saya, ‘gak ngerti, kebanyakanlah sampai 3, kenapa ‘gak 1 ½ saja’, yang benar saja?? Ini one line summary, dan kita masih kesulitan juga?? Lalu bagaimana?? Yang dikatakan Yesus pun demikian, “yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan” –hanya 3 ini saja, keadilan, belas kasihan, kesetiaan.
Profesor saya, Michael Welker, suka sekali mengutip bagian ini; dia membicarakan Pneumatologi dalam kaitan dengan Theology of the Torah, lalu dia bilang tentang tiga hal ini menyatakan apa sebetulnya. Mengenai righteousness, kita tahu bahwa penggunaan hukum adalah memang untuk mengatur righteousness, justice, supaya tidak terjadi ketidakadilan; ayat ini menjelaskan dengan sendirinya, kita tidak perlu menjelaskan lagi. Tapi apa artinya mercy; mengapa di dalam Taurat dikatakan tentang mercy? Kalau Saudara membacanya, di dalam Taurat ada pengaturan untuk orang-orang yang “kurang beruntung”, the poor, the needy, dst. Ini berarti Taurat itu bicara tentang perlindungan terhadap yang lemah, supaya tidak ditindas; ini dekat sekali dengan ketidakadilan, karena ketidakadilan suka menindas yang lemah. Dengan demikian, selain bicara tentang keadilan, tentang tidak boleh memandang muka, maka bagian yang berikutnya ini adalah bahwa yang kurang, yang lemah, haruslah diperhatikan. Saudara baca dalam teologinya Paulus di dalam konsep ‘anggota Tubuh Kristus’, dia pakai prinsip yang sama, perlindungan terhadap yang lemah, bahwa anggota-anggota yang lemahlah yang paling diperhatikan. Tapi coba Saudara lihat Gereja sekarang, apa betul ini terjadi? Betulkah anggota yang paling lemah yang paling diperhatikan? Atau anggota yang paling kuat yang malah ditonjolkan?? Betapa jauhnya Gereja dengan apa yang diajarkan oleh Paulus! Jadi sebetulnya kita mengerti atau tidak apa yang diajarkan Alkitab?? Atau kita tidak peduli, ‘terserahlah Alkitab ngomong apa, saya jalani sendiri apa yang saya pikir; seluruh dunia kayak begini, ya, kita jalankan yang kayak begini, ngapain jadi gereja aneh’. Gereja aneh?? Itu bukan gereja aneh tapi Gereja normal, Gereja sehat, yang lemah lebih diperhatikan. Anggota-anggota yang tidak elok –demikian kata Paulus–diberi perhatian lebih, hal mana tidak dibutuhkan oleh anggota-anggota kita yang elok. Tapi yang terjadi di dalam gereja sekarang, yang sudah elok makin ditepuktangani, yang tidak elok makin orang buang muka terhadapnya, maka tidak heran gap-nya makin besar! Inikah komunitas Kristen?? Ini komunitas dunia, bukan komunitas Kristen; mana ada komunitas Kristen seperti ini??
Sekali lagi, Saudara, apa yang dituntut Tuhan dari padamu selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu. Dunia kita dipenuhi dengan orang-orang susah, dipenuhi dengan orang-orang yang dipinggirkan, yang tidak diperhatikan, yang tidak elok tadi. Dan, kalau kita ini sehat, kalau kita ini bertumbuh, kita akan punya kepekaan, kita akan bertumbuh, direstorasi sesuai gambar rupa Allah –dan satu saja di bagian ini: being merciful. Merciful itu sifat Allah; dengan being merciful itulah Saudara bermartabat, seperti Allah, seperti Kristus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading