Hari ini kita membaca narasi Esau dan Yakub dari Kejadian 25; di sini ada 4 pembagian yang saya buat, yaitu Extraordinary Parents (ayat 19-21), Extraordinary Birth (ayat 21-26), Extraordinary Contrast (ayat 25-28), dan Extraordinary Exchange (ayat 29-34).
Beberapa waktu terakhir ini di Indonesia kalau kita membaca berita, beritanya selalu dipenuhi dengan skandal. Ada beberapa skandal yang menimpa bangsa negara kita, misalnya tragedi polisi tembak polisi, dan belakangan tentang polisi menembakkan gas air mata yang mengakibatkan ratusan orang meninggal di stadion. Kita berdecak keheranan, koq bisa ya, polisi yang seharusnya melindungi, malah melakukan hal-hal yang bertolak belakang. Dalam hal ini kita ingin bertanya, waktu kita membaca Alkitab dan mendapati ternyata Alkitab ini juga buku yang penuh dengan skandal, apakah kita juga berdecak keheranan? Kalau kita peka dalam membaca Alkitab, kita menemukan Alkitab itu banyak skandal, dan tidak ditutup-tutupi. Skandal-skandal yang terjadi pada tokoh-tokoh Alkitab dinyatakan dengan gamblang; dan hari ini kita akan membahas 3 skandal yang ada di dalam satu perikop pendek yang kita baca tadi, yaitu: skandal Kedaulatan Tuhan, skandal Anugerah Tuhan, dan skandal terbesar: Salib Kristus.
Waktu kita membaca perikop ini, ada 4 bagian yang luar biasa dinyatakan. Yang pertama,ayat 19-21 tentangorangtua yang luar biasa (extraordinary parents), yaitu Ishak dan Ribka. Dikatakan, Ishak berumur 40 tahun ketika dia menikah dengan Ribka. Ishak ini, di kalangan bapa-bapa iman (Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf) adalah yang paling pasif dan tidak menonjol, hidupnya seperti datar, berbeda dari Abraham yang banyak gejolak naik-turun, apalagi Yakub yang hidupnya sangat penuh drama, sangat penuh naik-turunnya; kalau kehidupan Ishak dijadikan video/klip/film, sangat membosankan. Namun demikian, dalam perikop ini kita bisa melihat Ishak dicatat sebagai seorang yang aktif, karena dikatakan ketika dia tidak punya anak, berdoalah dia kepada Tuhan untuk istrinya –ada inisiatif dari pihak Ishak untuk mendoakan istrinya. Belakangan, kita akan melihat anak-anaknya akan jauh lebih colorful kehidupannya, Yakub sendiri menjadi cycle yang paling colorful. Tapi di perikop ini pun kita sudah melihat bagian yang paling colorful dari kehidupan Ishak yang membosankan, karena di sini kita melihat ada intrik-intrik yang juga terjadi dalam kehidupan manusia. Ada orangtua yang pilih kasih, ada adik yang menipu kakak, ada kakak yang marah dan ingin membunuh adiknya, lalu belakangan ada adik yang kabur ke rumah paman, ada paman yang ditipu. Ada banyak intrik-intrik, yang kalau kita bacakan kepada anak-anak lalu menanyakan ‘apa pesan moral dari kisah ini’, jawabannya tidak ada, karena semuanya memperlihatkan intrik-intrik dalam relasi yang negatif, tidak ada yang kita bisa pelajari sebagai contoh-contoh teladan positif. Meski demikian, dari kegagalan mereka kita justru bisa melihat ada anugerah Tuhan. Setidaknya di awal, Ishak dan Ribka digambarkan positif. Ishak adalah anak perjanjian yang dipertemukan dengan jodohnya yang Tuhan pimpin, yaitu Ribka, yang cantik, cakap, serta cekatan. Pertemuan mereka juga merupakan pimpinan Tuhan.
Tetapi setelah pernikahan yang positif, yang bagus itu, langkah berikutnya untuk mendapat anak ternyata sangat sulit. Dikatakan di ayat 20, Ishak berumur 40 tahun, lalu di ayat 26 dikatakan dia berumur 60 tahun waktu anak-anaknya lahir; ini berarti ada jangka waktu 20 tahun sejak mereka menikah sampai punya anak. Kita tahu tentu tidak gampang bagi suami istri untuk menunggu mendapatkan anak sampai 20 tahun. Ini satu pergumulan yang tidak mudah. Abraham dan istrinya harus menunggu 25 tahun, namun Ishak tidak kalah lama juga, menunggu sampai 20 tahun. Di sini sepertinya Tuhan ingin memberitahu satu hal. Tuhan memberi janji kepada Abraham ‘lewat keturunanmu akan datang berkat’, lalu Abraham harus bergumul begitu berat untuk mendapat keturunan –anak perjanjian itu, yaitu Ishak– dan Abraham bahkan mencoba mencari jalannya sendiri lewat Hagar tapi tidak diperkenan Tuhan, baru akhirnya Tuhan memberikan Ishak. Di sini Abraham harus belajar bahwa menggenapi kehendak Tuhan tidak bisa lewat usahanya sendiri, tapi harus menunggu waktu Tuhan, caranya Tuhan. Demikian juga Ishak, dia harus belajar bergantung pada kedaulatan Tuhan, serta waktunya Tuhan. Lalu apa yang Ishak lakukan selama 20 tahun? Apakah dicatat dia mengambil jalan pintas seperti Abraham? Tidak. Dia tetap setia menunggu waktu Tuhan. Ini bagian yang dia belajar dari kesalahan papanya, Abraham; apa yang papanya lakukan, dia tidak lakukan lagi, dia tidak mengulangi kesalahan/dosa-dosa yang papanya lakukan.
Kita melihat dari antara extraordinary parents, bapa-bapa iman –Abraham, Ishak, dan Yakub—Ishak satu-satunya yang monogami. Abraham mempunyai istri dan gundik, Yakub mempunyai 2 istri dan 2 gundik, sedangkan Ishak satu-satunya yang monogami. Mungkin ini karena Ishak sendiri pernah melihat pedihnya hidup dalam keluarga yang penuh perselisihan. Dia mungkin melihat mamanya, Sara, yang terus-menerus berantem dengan Hagar; juga di Alkitab dicatat sedikit hint bahwa dia pernah di-bully oleh Ismael sehingga Ismael harus diusir. Itulah mungkin yang membuat Ishak menetapkan dalam hatinya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kita bisa jadi dilahirkan dalam keluarga yang tidak ideal, tapi kita tidak boleh menjadikan itu sebagai alasan, ‘karena papa saya begitu, ya, saya begini’, atau seperti kasus perploncoan di kampus, ‘dulu saya diplonco, sekarang saya harus plonco lagi’. Ishak bisa berkata ‘cukup, berhenti’ untuk segala kesalahan tersebut, dan tidak megulangi.
Dikatakan ‘Ishak berdoa’, dan Tuhan menjawab doanya –walaupun jawabannya dengan menunggu 20 tahun. Ini jawaban doa yang harus ditekuni dalam waktu sangat lama menunggunya. Dalam hal ini, seorang pakar bernama Derek Kibner pernah menulis: “Cara Tuhan memulai sebuah pekerjaan besar, seringkali dengan kesulitan besar”. Sebuah pekerjaan besar, Tuhan mulai dengan kesulitan besar –ini pola yang kita lihat terus-menerus di dalam Alkitab. Orang-orang yang besar kadang-kadang kehadirannya harus lewat kelahiran yang penantiannya begitu lama atau sangat sulit. Misalnya Simson dan Samuel, mereka termasuk orang-orang yang dilahirkan setelah lewat banyak kesulitan dan doa, namun lewat mereka-mereka ini pekerjaan Tuhan yang besar digenapi.
Dalam hal kisah Ishak, poinnya bukan soal menunggu jawaban doa, bukan seperti Abraham yang menunggu jawaban doa dan hal itu dibahas berpasal-pasal bahkan sampai dia mencoba jalan pintas dengan mengambil Hagar, dsb.; Kejadian 25 ini tidak terlalu banyak membahas soal menunggu anak, hanya satu ayat saja, dan kita pun baru terkaget-kaget bahwa menunggunya sampai 20 tahun ketika ada ayat-ayat yang menunjukkan umur Ishak, karena dalam hal ini fokusnya bukan tentang pergumulan Ishak menunggu anak, melainkan bagaimana dua anak kembarnya yang saling bertolak belakang tersebut menjadi fokus pergumulannya. Itu sebabnya bagian berikutnya, tentang extraordinary birth (ayat 21-26), kita akan melihat dua anak kembar ini ternyata tidak akur, penuh dengan konflik. Konflik yang sebenarnya kita dapatkan polanya di Alkitab selalu begitu, satu tema yang namanya sibling rivalry, perseteruan antar kakak adik bersaudara. Kita sudah lihat ini sejak Kain dan Habel, lalu anak-anak Nuh, Ishak dan Ismail, Yusuf dan kesepuluh kakaknya; dan di bagian ini Yakub sendiri penuh dengan konflik. Ada konflik Yakub dengan Esau, Yakub dengan Laban (pamannya), Yakub dengan Rahel, lalu berikutnya kedua istrinya –Rahel dan Lea– juga penuh dengan konflik, kemudian juga Yakub dan Malaikat. Kehidupan Yakub penuh dengan konflik; tapi konflik yang paling benar-benar mendominasi kehidupan Yakub adalah konfliknya dengan Esau, yang bahkan sudah dimulai sejak dari kandungan. Dikatakan di ayat 22: Tetapi anak-anaknya bertolak-tolakan di dalam rahimnya dan ia berkata: “Jika demikian halnya, mengapa aku hidup?”
Seorang ibu yang mengandung lalu sampai minta mati, berarti pasti stresnya luar biasa; itu sebabnya Ribka minta petunjuk dari Tuhan. Dan, jawaban yang datang sangat berbeda dari yang mungkin dia expect; jawabannya adalah: “Dua bangsa ada dalam kandunganmu”. Hebat ya; bagi seorang ibu yang dikatakan akan jadi ibu dari dua bangsa, itu bangga rasanya. Tetapi, kalimat berikutnya tidak enak: “… suku bangsa yang satu akan lebih kuat dari yang lain, dan anak yang tua akan menjadi hamba kepada anak yang muda”. Jawaban ini anti-mainstream banget; Tuhan dari dulu sudah anti-mainstream. Selama ini yang namanya ordo selalu ditekankan, bahwa anak yang tua akan jadi pengganti papa, akan dapat warisan yang lebih besar dibandingkan adik, tetapi di sini dikatakan adiknya akan menguasai, dan anak yang tua akan menjadi hamba terhadap anak yang muda. Jadi, bahkan sejak dari anak-anak itu dalam kandungan, Ribka harus belajar satu hal, bahwa yang namanya ordo alamiah itu tidak selalu berlaku, ada yang namanya ordo anugerah, dan itu tergantung dari kedaulatan Tuhan. Kalau Tuhan mau pilih yang lebih muda, Dia berhak; kalau Dia tidak mau pakai yang lebih tua, Dia juga berhak. Anugerah Tuhan tidak harus mengikuti pakemnya dunia; pekem dunia mengatakan begini, tetapi Tuhan bilang, ‘Saya tidak harus pakai cara begini, Saya mau pakai cara yang sama sekali beda dari dunia’, dan itu boleh, karena Dia berdaulat. Lalu yang lebih mengagetkan biasanya adalah: Tuhan menetapkan itu sebelum mereka lahir, bukan sebelum Esau bikin gara-gara misalnya sehingga ditolak Tuhan, ini ditolaknya sejak dari kelahiran. Inilah hal yang seringkali sulit diterima –dan inilah yang mau kita bahas—skandal pertama adalah skandal kedaulatan Tuhan.
Dalam sebuah outing, saya sempat bicara dengan seorang jemaat yang sudah lumayan berumur. Dia berkata, “Saya sudah lama di GRII, Pak; saya sudah dibaptis 8-9 tahun yang lalu, tapi sampai sekarang saya belum bisa terima doktrin Predestinasi, kedaulatan Tuhan; susah banget bagi saya untuk menerimanya, sampai sekarang pun belum terlalu bisa mengerti.” Saudara, ini memang bagian yang sulit diterima, tapi pola ini bukan pertama kali muncul, melainkan sudah berulang kali muncul. Kita sudah melihat Tuhan menerima persembahan Habel dan menolak persembahan Kain, Dia memakai Ishak dan bukan Ismael, Dia memakai Rahel dan bukan Lea, Dia memakai Yusuf dan bukan kakak-kakaknya. Di kemudian hari, yang menjadi pemimpin pun bukan Ruben dan Simeon—urutan pertama dan kedua– tapi ternyata Yehuda, yang urutan keempat. Kenapa ya? Kenapa Tuhan pakai cara-cara yang melawan pakemnya dunia? Kenapa urusan kedaulatan Tuhan ini sulit diterima? Saya percaya, Ruben dan Simeon pun sulit menerimanya; dan di bagian ini, Esau tentunya juga sulit terima. Kenapa bekerjanya kayak begini?? Kita tidak mengerti; walaupun nantinya di Perjanjian Baru Tuhan memberikan hint-hint untuk kita bisa mencoba memahaminya. Misalnya 1 Korintus 1:27-29, ada alasan-alasan yang diberikan: ‘Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah.’ Kita melihat di ayat-ayat ini, anugerah Tuhan tidak bisa diikat oleh urutan kelahiran, oleh tradisi, oleh aturan umum manusia; anugerah Tuhan, itu benar-benar berdasarkan satu hal –dan satu hal saja—yaitu: kedaulatan Tuhan. Anugerah Tuhan hanya berdasarkan kehendak Tuhan.
Paulus kemudian memakai pertistiwa ini untuk menjelaskan kepada orang-orang Yahudi, “Kamu jangan pikir karena kamu orang Yahudi, keturunannya Abraham, keturunan suku ini dan itu, lalu kamu spesial; memang kamu keturunan Abraham secara fisik tapi tidak otomatis kamu diterima Tuhan”. Contoh yang dia pakai yaitu Yakub dan Esau; “Lihat Esau. Esau itu tidak dipakai Tuhan; dan Yakublah yang jadi jalur yang dipilih Tuhan, bukan karena dia lebih baik daripada Esau, Yakub dipilih sekadar karena kedaulatan Tuhan”. Di sinilah skandal kedaulatan Tuhan itu sulit diterima, karena Tuhan tidak menjelaskan secara detail; dan kita tidak suka sesuatu yang tidak dijelaskan, seakan-akan Tuhan wajib menjelaskan kepada kita dulu sampai kita terima, baru kita mau taat, baru kita ngeh. Tapi Tuhan tidak demikian, Tuhan terkadang menjelaskan, terkadang juga tidak, dan Dia tidak meminta maaf untuk itu, Dia berkata bahwa Dia berhak menaruh belas kasihan kepada siapa Dia mau berbelas kasihan. Kalau begitu, Tuhan semena-mena ya?? Kita tahan dulu sampai di sini, karena kalau kita hanya melihat skandal yang pertama, skandal kedaulatan Tuhan, kita memang bisa mendapatkan kesan Tuhan semena-mena, Dia mau pilih siapa saja yang Dia mau, Dia pilih kasih, Dia tidak cinta kasih, Dia tidak peduli kita terima atau tidak terima. Baiklah sementara kita simpan dulu pendapat kita, kita lihat sampai bagian akhirnya untuk bisa mendapatkan gambaran yang lebih komplit.
Di ayat-ayat selanjutnya ketika mereka lahir, kita mendapati extraordinary contrast: dua anak yang lahir dari perut yang sama, ketika mereka keluar ternyata benar-benar berbeda, dan tidak bisa lebih kontras lagi. Secara fisik mereka sangat berbeda, yang satu dikatakan merah dan berbulu seperti sudah pakai jubah, sementara yang kedua lebih kecil, dan dia pegang tumit kakaknnya seakan-akan tidak rela keluar belakangan –dan kita lihat selanjutnya memang seakan-akan dia tidak rela menjadi yanbg bungsu, dia mau jadi yang sulung. Bukan hanya kontras sewaktu bayi, setelah besar pun sikapnya, attitude-nya, hobby-nya, juga berbeda. Esau suka berburu, suka ke padang, suka outdoor, mungkin Esau ini macho, kekar, pakai topi cowboy, gagah; sedangkan Yakub mommy’s boy, dikatakan dia sukanya indoor, mungkin bantu mamanya merajut, dsb. Tidak bisa lebih kontras lagi, yang satu begini, satunya lagi begitu. Yang satu macho, satunya lagi tenang; yang satu suka outdoor, satunya lagi suka di dalam kemah.
Bukan hanya waktu lahir dan waktu besar kontras, perlakuan orangtua kepada mereka juga kontras. Di situ dikatakan favoritisme orangtuanya, Ishak suka kepada Esau karena dia suka makan, sedangkan Ribka sayang kepada Yakub. Dengan demikian, yang sudah kontras itu semakin dipertajam lagi kekontrasannya dengan favoritisme dari kedua belah orangtua. Memang ini bukan teks yang mengajarkan parenting,ada teks-teks lain yang lebih jelas, tetapi saya rasa bahaya favoritisme dari orangtua di sini sangat clear, bahwa ini semacam menaruh bom waktu untuk kedua anak tersebut saling perang. Itu sebabnya kita sebagai orangtua harus waspada, jangan sampai karena keegoisan kita atau karena lucu-lucuan, kita mengatakan pertanyaan yang paling sering kita tanyakan, “Kamu lebih sayang papa atau mama?” Anak jadi bingung. Ini dua hal yang seharusnya tidak dipertentangkan; anak harus sayang dua-duanya. Justru orangtua yang normal dan waras, kalau anaknya berkata, “Saya cuma sayang papa”, dia akan bilang, “Tidak boleh, kamu juga musti sayang mama, karena papa dan mama sama-sama mengasihi kamu”, jangan sampai diperuncing dengan bilang, “Bagus, memang mamamu itu kebangetan, sedikit-sedikit diomelin, kalau papa engga, papa lebih penuh cinta kasih, mama itu garang.” Tidak demikian, Saudara. Seorang papa yang waras akan mengatakan, “Mama marah karena kamu salah; kalau kamu lakukan di depan papa, papa juga pasti akan marah.” Mustinya begitu. Pertanyaan seperti tadi, itu pertanyaan error yang seperti menanyakan, “Kamu lebih suka Bapa atau Allah Anak?” dan ini tentu bukan pertanyaan yang kita harus pilih, karena harusnya dua-duanya. Itu sebabnya di bagian ini kita lihat perlakuan orangtua yang mempertajam kontras-kontras yang sudah ada, itu justru jadi menaruh bom waktu, yang akan kita lihat di bagian berikutnya.
Sekarang kita melihat bagian yang merupakan hasil yang terjadi di dalam keluarga dari dua anak yang kontras tersebut, yaitu dari ayat 29-34, extraordinary exchange. Dalam bagian ini, tidak ada yang bagus. Esau dan Yakub sama-sama hancur, sama-sama error. Esau error-nya apa? Dia adalah seorang yang dikatakan dikuasi oleh nafsu, oleh feeling. Nafsunya tidak mengenal kata ‘tunggu’, saya mau sekarang ya, harus sekarang, tidak bisa tunggu. “Gua lapar, gua mau makan sekarang juga”. Filosofi hidupnya mungkin YOLO, ‘You Only Live Once’, maka you got to enjoy everything now –here and now—dan bukannya harus tunggu, sabar, dsb., ‘ngapain mikir jauh-jauh warisan masa depan, yang penting sekarang perut lapar, here and now’. Dia tidak bisa lihat lebih jauh dari satu meter, ‘yang satu meter ini saja ‘gak bisa kelihatan, ngapain mikirin jauh-jauh ke depan urusan warisan masa depan’.
Sedangkan Yakub sebaliknya; namun kita bisa melihat Yakub ini orang yang dipenuh nafsu juga, hanya saja nafsu yang berbeda, nafsu yang tidak mengenal kata ‘tidak bisa’. Apa yang tidak bisa, harus jadi bisa, itu nafsu Yakub. Dia mau dapat hak kesulungan, dia mau dapat berkat; orangtua bilang itu tidak bisa, kultur zaman itu juga bilang tidak bisa, tapi bagi dia bisa dan harus bisa –dan, dia terus memikirkan ini. Walaupun ‘bisa’-nya harus memaka cara-cara yang licik, cara-cara yang picik, manipulasi, eksploitasi, namun semuanya itu akan dia jalankan untuk jadi ‘bisa’. Dan, ternyata bisa. Suatu hari Yakub sedang memasak sesuatu lalu Esau pulang dari padang dan berkata, “Berikanlah aku yang merah-merah itu.” Dan di sini Yakub adalah seorang yang tenang, tidak berapi-api, penuh perhitungan; dia teliti, dia tahu bagaimana menangani kakaknya yang kasar, dia tidak mengintimidasi, dia tidak membalas dengan kasar; dia lalu bilang, “Mau? Jual dahulu hak kesulunganmu.” Mungkin Esau lalu tanya, “Mau apa dari hak kesulungan?” dan Yakub jelaskan panjang lebar, tapi kemudian Esau bilang, “Sudah, sudah, jangan kuliah panjang lebar, ‘gak bisa nunggu, sebentar lagi aku akan mati, apa sih gunanya hak kesulungan?? Ya, sudahlah daripada nunggu lama-lama, dede tahu apa sih, mana supnya?” Yakub lalu bilang, “Oke, mau? Bersumpahlah dulu kepadaku.” Kita bisa lihat di sini, Yakub seorang yang berdarah dingin, dia tahu apa yang dia inginkan, dia sudah persiapkan dengan matang. Esau memang seorang pemburu yang hebat, tapi Yakub seorang sniper, dia tahu titik lemahnya Esau, dia tahu umpan yang tepat bagi Esau untuk dia bisa mendapatkan hal yang sudah diincarnya bertahun-tahun. Yakub tidak tawarkan Esau misalnya tukar hak kesulungan dengan pisau berburu, dia tidak tawarkan tukar hak kesulungan dengan jubah berburu yang hangat, yang dia tawarkan adalah yang Esau paling butuhkan pada momen itu, yaitu semangkuk kacang merah. Di sini kita bisa menduga-duga, ini mungkin bukan kebetulan, ini mungkin sebuah rancangan yang sudah di-set up demikian rapi. Yakub mungkin sudah tahu kalau kakaknya pulang berburu dan lapar, maka harus saat itu juga makan, dan apapun akan dilakukan atau ditukarkan untuk itu. Yakub tahu itu, maka dia pikir, ‘oke, saya akan masak yang paling enak untuk mendapatkan yang saya paling inginkan’. Yakub bisa kenal kakaknya itu seperti tangannya sendiri, dia tahu segala gerak-geriknya. Yakub juga seorang ekonom yang ulung, dia tahu caranya mendapatkan hal yang paling berharga dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Yakub tidak menawarkan kakaknya tukar hak kesulungan dengan 100 kambing domba, dia tukar dengan semangkuk kacang merah yang tidak berharga, yang dalam keadaan lain bisa dibeli di warung atau dimasakkan oleh mamanya sendiri, dsb. Kita bisa bilang Yakub ini jenius; dia tahu waktu yang tepat, umpan yang tepat, dan pengorbanan yang tepat yang sekecil mungkin, untuk mendapatkan yang terbesar. Dan, jika Yakub ini jenius, maka dalam hal ini Esau itu bodoh karena tidak bisa menilai.
Esau bukan tidak tahu nilai yang berharga, tapi Esau bisa dijebak karena Yakub tahu Esau itu desperate; dan ketika kita desperate, kita akan gelap mata, jadi bodoh, dan bisa menukarkan apa yang terpenting untuk sesuatu yang kita sangat inginkan yang kalau dalam keadaan lain tidak mungkin kita lakukan. Kita geleng-geleng kepala, bagaimana bisa begitu bodoh menukar hak kesulungan dengan semangkuk kacang merah?? Lebih cengli kalau tukarnya dengan 100 kambing domba atau kemahnya, dsb. Kalau di kondisi sekarang, ini seperti seseorang menukarkan tanahnya di Kelapa Gading seluas 3 hektar di Gading Boulevard dengan satu mangkuk mi babi. Itu bodoh banget, tapi itulah yang terjadi pada Esau. Namun sebelum kita bego-begoin Esau, Alkitab ingin kita bekaca, kita ini juga esau-esau tersebut kalau kita desperate dan dijebak oleh setan.
Apa kebodohan Esau? Ada dua; yang pertama, menilai sup kacang merah terlalu tinggi dan menilai hak kesulungan terlalu rendah. Menilai sup kacang merah terlalu tinggi karena Esau dijebak dan dimanipulasi; tetapi dia tidak bisa jatuh ke dalam manipulasi Yakub kalau dia sendiri tidak punya karakter yang bisa dimanipulasi. Dari perkataannya saja, kita bisa menilai karakter Esau seperti apa —“Sudahlah, berikan kepadaku; sebentar lagi aku akan mati; apakah gunanya bagiku hak kesulungan itu?” Apa dia benar-benar berpikir kalau tidak ada sup kacang merah itu dia akan mati?? Apa benar dia sebegitu kelaparannya, sampai masalah hidup dan mati? Atau itu sekadar lebay, yang menunjukkan dia itu kalau lapar, dia tidak bisa tunggu. Saudara mungkin pernah mendengar ‘a hungry man is an angry man’, itulah yang terjadi, sekadar lapar dan tidak sabaran. Esau sudah begitu kelaparan, meski tentu saja bukan kalau tidak ada sup kacang merah lalu dia akan mati; dia hanya so hungry, angry, and impatience. Terkesan bodoh? Tidak. Inilah orang yang memang sudah desperately menginginkan sesuatu sehingga apapun bayarannya, dia akan bayar. Itulah yang namanya berhala.
Berhala adalah sesuatu yang sebegitu kita inginkan, sampai merasa ‘gua mati saja kalau tidak bisa dapat ini, gua rela tukarkan apapun demi dapat sesuatu yang kuinginkan ini’ –mulai dari mimpi. Di company saya dulu sering jual mimpi, “Kalau kamu bisa achieve level sekian, komisi sekian, kamu dapat meja ini; lalu kalau bisa dapat sekian, kamu jadi team leader, team manager, dan mejamu akan di pinggir jendela, bisa melihat ke skyscrapers di luar sana, kamu tidak harus berdesakan di meja-meja dengan orang-orang lain, kamu punya ruangan sendiri, meja sendiri, kursi direktur yang canggih”. Lalu kita mulai beimajinasi, kapan, ya, bisa duduk di sebelah jendela; dan imajinasi itu mendorong kita untuk punya ambisi, dan ambisi yang liar kalau tidak dikontrol akhirnya menjadi pemberhalaan (idolatry). Kalau sudah terikat dengan pemberhalaan, itulah yang membuat kita berani ambil resko apapun demi menggapai mimpi, imajinasi, ambisi, dan idolatry kita.
Esau menukar legacy masa depannya dengan kenikmatan kacang merah 5 menit. Di dalam Alkitab bahkan dengan ironis dikatakan,’ ia makan dan minum, lalu berdiri dan pergi’; digambarkan semuanya berlangsung cepat saja, dia bahkan tidak menikmatinya –kenikmatan sementara yang jadi penyesalan seumur hidup. Momen ini di-capture di kitab Ibrani pasal 12 ayat 16-17: ‘Janganlah ada orang yang menjadi cabul atau yang mempunyai nafsu yang rendah seperti Esau, yang menjual hak kesulungannya untuk sepiring makanan. Sebab kamu tahu, bahwa kemudian, ketika ia hendak menerima berkat itu, ia ditolak, sebab ia tidak beroleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sekalipun ia mencarinya dengan mencucurkan air mata.’ Idolatry itu seperti fatamorgana; fatamorgana yang menjanjikan mata air, tapi ketika kita sampai ke situ, yang kita dapati hanya air mata. Itulah idolatry, menjanjikan sungai tapi yang kita dapatkan adalah kekeringan dan air mata. Air mata penyesalan, air mata kedukaan. Karena kita gelap mata, akhirnya kita hanya bisa mencucurkan air mata.
Tadi kita bilang, Esau itu bodoh, tapi sekarang kita bisa bertanya, apa sih ‘sup kacang merah’ kita? Kita mungkin tidak akan tukar dengan sup kacang merah, tapi Saudara bisa saja menukar dengan sesuatu yang Saudara sangat inginkan, sampai Saudara jadi mata gelap, lupa resiko-resiko di depan; apakah itu? Ada seorang jemaat, waktu dia selingkuh dengan teman lamanya, dia tahu resikonya kalau sampai ketahuan. Tapi kalau dia dapat sms dari si WIL, dia langsung lupa –lupa keluarga, lupa anak, lupa masa depan, lupa semua reputasinya. Dia tahu bahwa dia akan kehilangan pelayanan, dia akan kehilangan relasi, dia akan kehilangan nama baik, dan mungkin dia akan kehilangan anaknya, tapi kalau sudah dapat sms itu, langsung lupa, langsung mata gelap, langsung pergi saat itu juga. Ada lagi seorang yang terus-menerus tunggu pasangan hidup, usia terus bertambah tapi pasangan hidup tak kunjung datang. Tahun berganti tahun, setiap kali pergi ke pernikahan, yang dia dapatkan pertanyaan yang sama, “Kapan giliran lu, bro?” Satu per satu teman baik yang dia biasa bisa curhat, sudah menikah di gereja. Dia memimpikan, ‘kapan ya, saya bisa pakai tuksedo itu’, ‘kapan ya, saya bisa pakai gaun putih itu’. Dia tidak sabar tunggu sampai 20 tahun seperti Ishak, akhirnya datang lamaran dari teman kantor yang non Kristen, dan dia tukar hak kesulungannya dengan ‘gaun putih’. Dia tidak tukar dengan sup kacang merah, tapi dia tukar dengan gaun putih. Kenapa bisa? Karena memandang sup kacang merah –gaun putih—terlalu tinggi, atau memandang hak kesulungan terlalu rendah.
Esau tadi ingin mendapatkan yang belum ada, yang jadi miliknya Yakub, untuk dia tukarkan dengan sesuatu yang berharga yang dia punya, tapi dia tidak anggap penting. Kalau saya sekarang kelaparan, lalu misalkan saya ke restoran, minta cepat-cepat mi babinya keluar dan pelayan restoran bilang, “Harganya 10 juta”, saya akan berkata, “No way”. Tapi kalau pelayannya bilang, “Coba tukar dengan cicin kawinmu”, lalu saya setuju, itu adalah karena saya memandang cicncin kawin itu memang sudah sempit juga, memang saya tidak suka juga, dsb. Walaupun cincin tersebut secara objektif harganya bisa milyaran, tapi kalau di mata kita secara subjektif tidak berharga, kita akan buang, kita jual. Jadi di sini narator mengatakan, Esau memandang rendah hak kesulungannya. Dalam hal ini Esau tidak bisa berkelit bahwa dia menjual hak kesulungannya karena ditipu oleh Yakub, karena dia tidak akan tertipu kalau dia tidak memandang rendah hak kesulungannya; dia melepaskan itu karena dia memang tidak pegang erat-erat koq, dia memang mau buang begitu saja.
Dalam bahasa aslinya, istilah ‘memandang rendah’ yaitu baza, baru muncul pertama kali di bagian ini, lalu berikutnya muncul dalam 2 peristiwa lagi yaitu di 1 Samuel 2:30 ketika Hofni dan Pinehas menghina Tuhan (baza) dengan merampas korban persembahan umat; kemudian 2 Samuel 12:9, “Mengapa engkau (Daud) menghina TUHAN dengan melakukan apa yang jahat di mata-Nya?” Dari 3 peristiwa ini ada satu kesamaan, tiga-tiganya kena kutukan, karena mereka baza Tuhan, karena mereka baza sesuatu yang digambarkan sangat berharga di mata Tuhan. Apakah hak kesulungan yang kita punya, yang kita pandang rendah?
Saudara sebagai jemaat GRII, sebagai anak Tuhan, apa sih hak kesulungan yang Tuhan sudah berikan dalam diri Saudara, yang Saudara tidak pandang berharga, yang Saudara sia-siakan? Setidaknya dalam hal ini saya melihat satu pola yang terus berulang ketika saya mewawancara orang-orang yang mengikuti katekisasi atau masuk pelayanan, yaitu dari 2 macam orang yang sangat kontras, yang satu sejak dari dalam kandungan sudah di GRII, satunya lagi berasal dari gereja lain yang datang ke GRII baru 1-2 tahun terakhir. Di situ saya mendapatkan 2 sikap yang sama sekali berbeda; orang yang pertama sikapnya ‘yah, PA lagi PA lagi, Firman lagi Firman lagi, dari Senin sampai Jumat, sudahlah, kebaktian saja cukup, ‘gak perlu belajar-belajar yang lain’, sedangkan orang yang baru, tidak henti-henti kejar firman Tuhan, ikut PA, mendegarkan dari YouTube, ikut ini dan itu, haus banget. Ini seperti hak kesulungan yang dipegang erat-erat oleh orang yang baru, dibandingkan dengan orang yang lama. Hak kesulungan tentu bukan cuma kesempatan mendegarkan Firman, tapi juga bagaimana dengan iman kita bergantung pada Tuhan. Atau, kalau kami sebagai hamba Tuhan, hak kesulungan yang sering kali bisa kami pandang enteng adalah penyertaan Tuhan, lalu kita bergantung untuk sesuatu yang lain; kita mungkin mintanya, “Tuhan, saya minta hari ini ada khotbah yang spesial, saya minta jemaat yang banyak, saya minta eksegese yang menawan hati, saya minta gedung yang lebih besar”, tapi melupakan hak kesulungan yang paling penting, yaitu penyertaan Tuhan. Apa gunanya gedung yang besar, jemaat yang penuh, kalau gereja kita tidak disertai Tuhan. Saya terkesan dengan doa Pendeta Eko; dia pernah berdoa demikian: “Tuhan, jangan berikan hari ini khotbah yang bagus sehingga kami memuji sang pengkhotbah, tapi juga jangan berikan kami khotbah yang jelek sehingga kami menghina Firman Tuhan, tapi berikan kami penyertaan Tuhan sehingga kami memuliakan nama-Mu”. Saya rasa doa seperti itu benar-benar pinpoint pada hak kesulungan yang paling inti dari kita sebagai anak-anak Tuhan, sebagai jemaat Tuhan, sebagai hamba Tuhan; ini hak kesulungan yang kita tidak boleh lepaskan, tapi sering kali kita menukarnya dengan hal-hal lain yang sekunder.
Kembali ke tiga skandal yang tadi. Skandal kedaulatan Tuhan –kenapa Tuhan pilih Yakub dan bukan pilih Esau? Kalau Saudara jadi Esau, Saudara akan sulit sekali menerima fakta tersebut. Itu sebabnya ‘kedaulatan Tuhan’ bisa jadi tema perdebatan panjang yang tidak henti-henti. J.I. Packer menulis satu quote: “Men treat God’s sovereignty as a theme for controversy, but in Scripture it is matter for worship” –manusia memperlakukan kedaulatan Allah sebagai bahan kontroversi, tetapi di Alkitab, kedaulatan Allah adalah tentang bagaimana kita menyembah Dia.
Skandal kedaulatan Tuhan, itu harus disertai dengan skandal anugerah Tuhan. Kita sudah melihat Esau dan Yakub tidak ada yang lebih baik, keduanya sama-sama error, sama-sama hancur; yang satu tidak percaya janji Tuhan dan membuang-buangnya, sementara satunya lagi sangat menginginkan janji Tuhan tetapi dia merebut dengan cara yang salah. Kalau kita harus memilih mana yang lebih baik, dua-duanya tidak layak, apalagi jalan Tuhan bukanlah jalan kita. Namun skandalnya adalah: Tuhan tetap pilih salah satu yang hancur itu, untuk melanjutkan janji-Nya. Saudara jangan heran kalau dalam Pemilu tidak ada calon yang baik, dua-duanya calon yang hancur; tapi itu bukan berarti janji Tuhan, kehendak Tuhan, rencana Tuhan pasti gagal. Tidak demikian. Tuhan bisa pakai pemimpin yang paling hancur sekalipun untuk genapkan rencana Dia. Dia bukan hanya memilih yang lemah untuk mempermalukan yang kuat, memilih yang berdosa untuk mempermalukan yang baik, tapi inilah realitasnya: kita sering kali melihat justru kehendak Tuhan terjadi di tengah lilitan keegoisan dan keberdosaan manusia. Tuhan menggenapi rencana-Nya, kehendak-Nya, bukan pakai bahan yang terbaik tapi justru pakai bahan yang rusak, yang ngaco, bahkan kotor. Dia tidak harus pakai keramik yang paling indah dan paling sempurna, Dia bisa pakai keramik yang lecet, yang pecah.
Namun, skandal yang terbesar adalah ini: Salib Kristus. Saudara tadi geleng-geleng kepala, ‘koq, bisa sih ada barter yang sangat memalukan, seorang kakak sulung menukarkan hak yang paling berharga demi sup kacang merah, tanah 3 hektar untuk semangkuk mi babi??’ Namun kalau Saudara bergumul tentang kedaulatan Tuhan, bukankah ada satu skandal yang sangat sulit diterima, bahwa Anak Sulung Allah, satu-satunya, yang dikatakan ‘walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib’, untuk mendpatkan kita, orang-orang berdosa yang seharusnya dibuang supaya kita diangkat menjadi anak-anak Allah? Bukankah ini skandal yang lebih besar, skandal yang tidak pernah terjadi? Yang kita lihat, dikator mengorbankan rakyatnya supaya dia selamat, tetapi di sini ada Raja yang berdaulat, Raja di atas segala raja, yang mati demi rakyat-Nya dengan Dia mengorbankan diri-Nya. Tidak ada yang seperti demikian; ini skandal yang teramat besar. Tapi ini bukan skandal yang harus ditutup-tutupi, sebaliknya justru skandal yang harus kita beritakan, kita sebarkan lebih besar lagi. Mengapa? Karena ini bukan sekadar skandal, this is the most beautiful scandal ever in history.
Apakah Saudara hidupnya penuh skandal? Mungkin Saudara bilang, “O, tidak, hidup saya baik-baik saja; saya bukan dari keluarga broken home, bukan anak haram; saya tidak melakukan hal-hal yang aneh-aneh, hidup saya polos-polos saja.” Tapi saya berkata bahwa kita, orang Kristen, hidup kita itu penuh dengan skandal karena kita menghidupi skandal paling besar di dalam sejarah, yaitu kita menerima Kristus, Raja yang mati bagi umat-Nya, di atas kayu salib. Dan, ini harusnya berita skandal yang tidak berhenti pada diri kita sendiri, tapi yang kita bangga untuk memberitakannya kepada orang lain.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading