Kita hari ini akan merenungkan tentang Kebangkitan Kristus dari Markus 16:1-8. Saya percaya ini satu perikop yang tidak asing bagi kita.
Di bagian awal, ada perempuan-perempuan, yaitu Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus, dan Salome, yang membeli rempah-rempah untuk pergi ke kubur dan meminyaki Yesus. Catatan ini menarik, karena kita tahu mereka tidak akan bisa melakukan hal itu; mengapa? Tentu saja karena Yesus sudah bangkit. Tetapi, kita membaca di dalam kitab Injil bahwa ada suatu earlier event, suatu perminyakan yang lebih dahulu, yang sudah terjadi di Betania, yaitu oleh seorang perempuan yang dalam Injil versi Markus tidak disebut namanya. Ini menganstisipasi ketidakmungkinan untuk meminyaki Yesus setelah Dia mati, karena Yesus bangkit. Dengan demikian Saudara melihat ada signifikansi baru ketika kita membaca kembali bagian yang dicatat di pasal 14:3-9. Di dalam cerita tersebut, Markus mencatat ada seorang perempuan yang memecahkan buli-buli minyak narwastu, lalu dicurahkannya minyak itu ke atas kepala Yesus; dan perminyakan ini merupakan satu antisipasi terhadap kematian Yesus (penguburan-Nya). Ini dikatakan di pasal 14:8, “Ia (perempuan ini) telah melakukan apa yang dapat dilakukannya. Tubuh-Ku telah diminyakinya sebagai persiapan untuk penguburan-Ku.” Dalam hal ini, kita jadi melihat betapa cerita tersebut indah, karena hal yang tidak bisa dilakukan lagi oleh perempuan-perempuan yang datang ke kubur Yesus, sudah dilakukan oleh seorang perempuan; dan itu mengantisipasi kematian Yesus. Jadi kita melihat bahwa yang dilakukan perempuan-perempuan di pasal 14 betul-betul adalah kairos, yang bahkan setelah Yesus betul-betul mati, beberapa perempuan yang pernah mengasihi Yesus mau melakukan hal tersebut tapi mereka tidak ada kesempatan lagi, karena Yesus sudah bangkit.
Dari cerita ini saja, ada poin yang kita bisa belajar, bahwa kesempatan yang diberikan Tuhan untuk melayani Dia, betul-betul suatu kairos yang bukan tergantung Saudara dan saya, tapi suatu privilege yang diberikan oleh Tuhan. Cerita tentang perempuan yang meminyaki kepala Yesus di pasal 14, jadi sangat menarik kalau Saudara kaitkan dengan perikop ini. Perempuan-perempuan di perikop ini tidak bisa lagi meminyaki Yesus karena Yesus sudah bangkit; tapi kebangkitan Yesus ini bukan berarti membuat semua jadi berantakan –karena orang mati harusnya ada perminyakan, tapi karena Yesus bangkit jadi tidak bisa ada perminyakan, dsb. –karena toh sudah pernah dilakukan oleh perempuan yang di Betania (pasal 14).
Mengapa di bagian ini dicatat tentang perempuan-perempuan? Seperti kita tahu, cerita kebangkitan ini tidak otomatis dipercaya, ada yang menganggap ini cerita isapan jempol, kabar bohong, hoax, dan juga ada yang menganggap mayat Yesus dicuri; dan kemudian Markus mencatat bahwa saksi pertamanya adalah perempuan-perempuan. Agaknya, sulit untuk mengatakan bahwa kebangkitan ini adalah cerita kebohongan; kalau ini suatu cerita yang dibuat-buat, lalu mengapa saksi-saksi pertamanya perempuan-perempuan?? Mencatat perempuan-perempuan sebagai saksi pertama, bukanlah satu langkah strategis yang pintar, karena kita tahu di dalam Yudaisme, mereka tidak menerima kesaksian perempuan-perempuan; lalu dengan Markus mengatakan kesaksian ini dari perempuan-perempuan, itu justru malah lebih beresiko. Dalam hal ini, bagi para pakar Perjanjian Baru yang percaya, ini justru merupakan satu argumen bahwa ceritanya betul-betul historis. Mengapa? Alasannya adalah: jika ini cerita kebohongan, tentu tidak mungkin memasukkan saksi yang adalah perempuan-perempuan, karena yang seperti itu bukannya mengukuhkan tapi malah menimbulkan keraguan. Tetapi, bukankah ini justru yang adalah berita Injil? Berita Injil selalu ada aspek yang bagi dunia yang tidak percaya, mereka akan terus skeptis, agnostis, ragu-ragu, tidak percaya, karena orang-orang yang dipakai menjadi saksi-saksi Injil di dalam Kerajaan Allah adalah orang yang di dalam masyarakat tidak termasuk kualifikasi orang-orang yang cocok –bukan Kaisar, misalnya. Kalau Kaisar yang bicara pasti semuanya percaya –karena Kaisar yang bilan, dan Kaisar ‘kan tidak mungkin salah; tetapi, yang dipakai di sini justru perempuan-perempuan. Ini sesuai dengan yang dikatakan Paulus dalam 1 Korintus, bahwa justru orang-orang yang biasa, yang sederhana, yang sering kali dipakai oleh Allah –dan bukan orang-orang yang terpandang, yang berhikmat menurut dunia ini. Sekali lagi, Saudara lihat di sini, dalam cerita kebangkitan juga menyatakan hal yang sama. Berbahagialah kalau Saudara dan saya adalah orang-orang yang sederhana seperti ini; sebaliknya orang-orang yang merasa dirinya hebat, besar, penting, jangan-jangan mereka adalah orang-orang yang dilewati.
Dalam cerita ini bahkan ada semacam sindiran, ketika ada catatan ‘mereka berkata seorang kepada yang lain: “Siapa yang akan menggulingkan batu itu bagi kita dari pintu kubur?”’ Yang seharusnya menggulingkan batu tentu laki-laki, tapi mana laki-lakinya? Kalau Saudara baca di Injil Yohanes, laki-lakinya semua bersembunyi ketakutan. Mungkin perempuan-perempuan ini juga ada ketakutannya, karena di dalam keadaan “kalah” karena Yesus mati, tentu bahaya sekali; tetapi setidaknya, mereka adalah perempuan-perempuan yang lebih berani untuk mendatangi kuburan Yesus daripada para laki-laki yang entah bersembunyi di mana. Jadi Saudara lihat di sini ada semacam sindiran, ‘di mana laki-lakinya, di mana orang-orang yang harusnya lebih powerful itu yang lebih cocok menggulingkan batu, mana keberaniannya?’ Di dalam cerita kebangkitan, ada membongkar/mengekspos –tapi bukan dalam pengertian mempermalukan— bahwa orang-orang yang mengaku percaya, ternyata tidak ada courage. Dan itu bisa mengecewakan.
Gereja mengecewakan, kalau tidak ada orang-orang yang berani untuk menegakkan keadilan, menjadi saksi kebenaran, tetap menyatakan kesetiaan di dalam mengikut Kristus. Dan ternyata, di dalam cerita kebangkitan, cerita seperti ini juga masuk. Saudara tidak mendapatkan cerita kebangkitan model triumphalistic, utopia, seperti misalnya setelah Yesus bangkit, Dia disertai semua murid-murid-Nya prosesi mau menghadapi musuh, dsb. Bukan itu sama sekali ternyata ceritanya. Ceritanya, waktu Yesus bangkit, Dia bangkit sendirian; sama seperti waktu Dia mati, Dia juga mati sendirian, murid-murid-Nya meninggalkan Dia, kecuali justru beberapa perempuan. Mungkin bukan kebetulan beberapa perempuan yang menjadi saksi kematian-Nya, dalam kebangkitan-Nya pun mereka yang jadi saksi pertama, mereka yang dilayakkan oleh Tuhan. Meski demikian, bahwa kebangkitan ini sepenuhnya adalah pekerjaan Tuhan, itu jelas sekali.
Waktu mereka menjumpai kubur itu dari dekat, batu tadi memang sudah terguling. Bukan laki-laki yang mengerjakan ini –mereka entah bersembunyi di mana– juga bukan perempuan-perempuan ini. Juga bukan jasa dari perempuan-perempuan ini yang misalnya minta tolong kepada laki-laki siapa pun yang ada di situ, melainkan sepenuhnya adalah pekerjaan Allah. Saya tertarik dengan salah satu kalimat dalam commentary; dia mengatakan seperti ini: “The human role in the event is that of witness, not worker”; kalau saya boleh terjemahkan: peran manusia di dalam peristiwa kebangkitan ini adalah peran ‘saksi’, bukan ‘yang mengerjakan’. Dia yang berkarya, adalah Allah –dan Allah saja, tidak ada campuran dari manusia. Ini harusnya jadi paradigma, bukan cuma dalam pelayanan tapi juga dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen. Kita ini hanya bersaksi; yang bekerja adalah Allah. Allah bekerja dengan sempurna, dan Dia bekerja melalui kita, lalu kita hanya menjadi saksi saja. Tapi manusia tidak suka dengan narasi ini, manusia lebih suka diakui jasanya. ‘Ini pekerjaan saya, ini hasil usaha saya, ini saya yang merencanakan, ini saya yang mengerjakan, ini jasa saya,’ dsb. Bentur dengan narasi kebangkitan. Narasi kebangkitan tidak bicara itu. Narasi kebangkitan bicara bahwa yang laki-laki ngacir entah ke mana, ketakutan, bersembunyi; sedangkan perempuan-perempuan ini katakanlah lebih ada keberanian, tapi mereka juga tidak sanggup menggulingkan batu itu. Lalu siapa yang mengerjakan? Sekali lagi, sepenuhnya adalah Allah yang Saudara dan saya percaya.
Ayat 5: ‘Lalu mereka masuk ke dalam kubur dan mereka melihat seorang muda yang memakai jubah putih duduk di sebelah kanan. Mereka pun sangat terkejut,’ Dikatakan ‘mereka sangat terkejut’, yang dalam bahwa Inggris istilah ‘terkejut’ memakai istilah ‘alarm’, maksudnya mereka dikagetkan, dibangunkan, tersentak. Dalam bahasa yang dipakai Markus di bagian ini, termasuk di dalamnya ada semacam ketakutan, tapi juga ada astonishment, perasaan kegentaran dan dahsyat, fear, wonder, trembling. Di satu sisi ada kekaguman/ ketakjuban (astonishment, wonder), dan di sisi lain juga ada ketakutan (fear), perasaan tertekan (distress), dsb.; istilah ini juga dipakai untuk menggambarkan Yesus di dalam distress yang sangat intens dalam pergumulan di Getsemani. Dengan demikian, peristiwa kebangkitan ini betul-betul memberikan semacam teror; dan itulah cerita yang asli.
Saya mengutip lagi perkataan dari commentary, dari The Pillar New Testament Commentary: “When the bible relates divine human encounters, mortals, invariably sense the dread and terror of their position before The Almighty”; waktu Alkitab mengaitkan perjumpaan Ilahi dengan manusia, perjumpaan yang dari surga dengan yang di bumi, maka manusia-manusia yang fana ini bisa merasakan adanya ketakutan (dread), bahkan termasuk juga keterancaman (terror) posisi mereka di hadapan Allah yang Mahakudus. Ini gambaran yang penting; perjumpaan yang sejati dengan Allah, itu menimbulkan rasa takut; dan ini juga terjadi di dalam peristiwa kebangkitan.
Kalau gambaran kita tentang Allah, melulu adalah gambaran yang menyenangkan saja, lalu kita lebih suka gambaran yang metaforanya padang rumput hijau serta air yang tenang (dan ada ayatnya, Mazmur 23), saya kuatir itu bukan seluruh gambaran Alkitab. Memang betul ada gambaran seperti itu, tapi ada gambaran lain juga. Bahkan di Mazmur 23 juga ada ‘gada dan tongkat’, dan Tuhan juga bisa mengizinkan kita untuk melalui lembah kekelaman. Perjumpaan dengan Allah sendiri, Allah yang Mahakudus itu, kalau Saudara baca di Perjanjian Lama khususnya, bukanlah satu perjumpaan yang menyenangkan, it’s a dreadful experience. Contoh klasiknya di Yesaya pasal 66, waktu Yesaya mendapatkan visi demikian, dia langsung berkata, “Celakalah aku”; Yesaya bukan senyum-senyum, bangga-bangga sendiri, “Ha, ha, ha, di antara semua orang Israel ternyata saya yang diizinkan untuk melihat visi ini” —bukan itu responnya Yesaya. Dia bukan merasa bangga, ‘koq, bisa-bisanya, di antara semua orang Israel cuma saya yang mendapatkan visi ini’; cerita yang seperti ini, tidak ada sama sekali. Yang ada adalah: dia sadar, perjumpaan ini membawa kepada kebinasaan, karena dia tahu Allah adalah Allah yang mahakudus sedangkan dirinya orang yang berdosa, yang najis bibirnya.
Kembali ke pembahasan Injil Markus, ayat 5-6, di bagian ini ada malaikat; dikatakan bahwa mereka melihat seorang muda yang memakai jubah putih, dan orang muda ini berkata kepada mereka, “Jangan takut! Kamu mencari Yesus orang Nazaret, yang disalibkan itu. Ia telah bangkit. Ia tidak ada di sini. Lihat! Inilah tempat mereka membaringkan Dia.” Saudara, istilah ‘malaikat’ (angel), secara harfiah artinya utusan Allah (messenger of God), yang menjadi pembawa berita. Apa fungsinya? Malaikat ini sebagai mediator/perantara antara: di satu sisi, fakta/realitas kebangkitan yang pasti terjadi itu, dan di sisi lain, perempuan-perempuan yang sama sekali tidak mengharapkan itu. Mediator antara peristiwa kebangkitan yang tidak terelakkan, dengan wanita-wanita yang sama sekali tidak mengharapkan itu. Dalam arti tertentu, Gereja mempunyai tugas seperti ini, yaitu sebagai messenger, seperti malaikat. Kita ini juga berada di tengah-tengah; kita punya berita yang begitu berharga –berita injil, berita kematian Kristus, berita kebangkitan Kristus– tetapi dunia tempat kita berada, tidak pernah mengharapkan itu, sama seperti perempuan-perempuan tadi juga tidak mengharapkan hal itu. Perempuan-perempuan itu datang ke sana bukan dengan mengharapkan Yesus bangkit, pikiran itu tidak ada sama sekali; seperti juga di dalam dunia tidak ada yang mengharapkan juruselamat, Tuhan, kebenaran dan keadilan. Mereka sering kali sinis kalau bicara keadilan; bahkan di gereja pun banyak orang mulai give up kalau bicara soal keadilan. Dunia kita adalah dunia yang seperti ini, dunia yang tidak siap untuk diperhadapkan dengan fakta/realitas berita kebangkitan –seperti juga perempuan-perempuan tadi; dan adalah tugas Saudara dan saya untuk menjadi pemberita-pemberita seperti malaikat ini.
Selanjutnya, dikatakan bahwa mereka ini mencari Yesus. Istilah ‘mencari’ (looking for), di dalam bahasa Yunaninya adalah zeteiri. Ini istilah yang menarik, di dalam Injil Markus dipakai beberapa kali, dan semuanya dalam pengertian yang buruk, yaitu ‘mencari’ di dalam pengertian seperti mau membatasi Yesus, imposing constraints on Jesus. Misalnya dalam Markus pasal 1:36-37, ketika pagi-pagi benar Yesus bermeditasi dan berdoa kepada Bapa-Nya, Simon dan kawan-kawannya menyusul, lalu dikatakan di ayat 37: waktu menemukan Dia mereka berkata: “Semua orang mencari Engkau” –ada istilah ‘mencari Engkau’. Apa maksudnya ‘mencari’ di sini? Ini seakan-akan mereka mengatakan, “Lu, koq bisa-bisanya sih ada di tempat yang sunyi itu?? Harusnya ‘kan berada di sini, semua orang sudah ngantri”, seakan-akan Yesus ini wajib ada di sana, seakan-akan Yesus ini dibatasi. Spiritualitas kayak begini kadang-kadang juga terjadi di dalam kehidupan kita; kita mencari Yesus sih mencari, tapi mencari sambil memojokkan Yesus. “Tuhan, saya sudah susah lho, sudah bertahun-tahun seperti ini, di mana Engkau?? Ayo, dong, Tuhan, selesaikan perkaraku” — imposing constraints on Jesus, imposing constraints on our Lord. Betulkah yang seperti itu namanya Tuhan? Apakah bisa Tuhan dibegitukan? Mereka ini mencari sih mencari, tapi istilah ‘mencari’ dalam bahasa Yunani yang dipakai di sini bagi pembaca Markus artinya negatif. Jadi di sini ada semacam peringatan, kamu jangan mencari Tuhan berdasarkan imajinasimu sendiri; kamu jangan mencari Tuhan tapi kamu sendiri mau mendikte Dia. “Aku mau mencari Engkau, Tuhan, tapi Engkau bekerjanya musti begini, begini, begini; aku mau mencari engkau –mencari mayat-Mu– tapi Engkau harus tetap mati lho, Tuhan, harus tetap di situ, soalnya aku maunya begitu”. Tuhan dibatasi seperti ini, Tuhan jadinya tidak boleh “bangkit”, harusnya tetap mati, tetap di sini. “Okelah batu terguling, memang tidak diharapkan, mungkin ada orang yang menggulingkannya –tidak harus Tuhan yang menggulingkan—tapi mayat Yesus harus ada di sini, itu yang saya cari” –yang saya cari adalah yang saya pikirkan. Bukankah cerita kebangkitan ini juga meng-ekspos spiritualitas Saudara dan saya, yang sering kali mau mendikte Tuhan? Mencari Tuhan tapi sambil imposing constraints. Tuhan tidak bisa dibegitukan; itu bukan realitas kebangkitan. Kalau realitas kebangkitan, maka biarkan Tuhan yang bekerja, biarkan Tuhan yang mendikte Saudara, biarkan Saudara dibuat surprised. Itulah namanya berita kebangkitan.
Ada banyak orang mengikut Tuhan, tapi seperti tidak percaya berita kebangkitan, mereka selalu imposing constraints terhadap cara Tuhan bekerja, mereka mengharapkan Tuhan seperti mayat saja, “Saya mau meminyaki, koq”. Orang yang melayani di gereja, mungkin bukan tanpa pengorbanan, bisa saja seperti meminyaki, maksudnya mengerjakan ini itu, tapi gereja musti seperti yang saya mau, yang di dalam bayangan saya. Bukan seperti yang Tuhan mau, tapi seperti yang saya mau, “menurut saya gambaran kayak begini kayaknya bagus, mayatnya kayaknya jadi bagus”, dsb. Mayat tetap saja mayat. Tuhan tidak tertarik memperkenalkan diri-Nya sebagai mayat kepada Saudara dan saya, Dia memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah yang hidup, yang bangkit dari kematian.
Sekali lagi, saya mengutip dari The Pillar New Testament Commentary: “The Jesus they are looking for enshrined in a safe place, cannot be found”; bahwa Yesus yang mereka cari ini, yang ditaruh di dalam suatu tempat yang aman, itu tidak bisa ditemukan. Tidak ada Yesus yang seperti itu. Mana ada Yesus yang bisa enshrined in a safe place. Kita ini suka security, dan saking kita memberhalakan security, sampai-sampai gambaran kita tentang Yesus pun musti secure seperti yang kita mau, yang enshrined in a safe place. Tetapi, Yesus yang seperti itu tidak bisa ditemukan. Selanjutnya kutipan tadi mengatakan: “The visit to the tomb is vintage Markan irony: the living are consummed with death, but the Crucified One is consumed with life”. Inilah ironinya, orang-orang yang hidup justru seperti ditelan oleh kematian, mereka berurusan dengan mayat-mayat, sementara Dia yang disalibkan justru sekarang dipenuhi dengan kehidupan. Orang hidup maunya cari mayat, cari kematian, inilah realitas dunia kita; tetapi Dia yang mati, bangkit, Dia bukan di dalam dunia kematian. Kita sebetulnya mencari yang mana?
Saudara jangan bilang, “Ya, tapi ‘kan saya tetap hidup, saya bukan orang mati, yang penting ‘kan saya mencari; I look for, therefore I am”. Saudara mendasarkan eksistensi Saudara karena mencari, tapi kalau menurut Alkitab, yang penting mencari apa atau mencari siapa. Mayat tidak pernah menjadi ‘siapa’, mayat cuma mayat, seperti barang saja karena sudah tidak ada kehidupan di dalamnya. Yesus tidak dapat ditemukan di tempat-tempat seperti itu karena Yesus bangkit. Yesus bangkit, termasuk juga keluar dari “kuil-kuil berhala” kita, yang kita ini suka maunya enshrine Jesus in a safe place, yang maunya mendikte Dia. Tapi yang seperti itu, bukan Yesus yang asli. Tidak mungkin kita bisa mengurung Yesus di dalam pen-dikte-an kita, itu pastinya bukan Yesus yang asli, itu pasti Yesus yang lain, karena yang dicatat Markus di sini Yesus yang bangkit.
Mungkin Saudara pernah mendengar bahwa Yesus sepenuhnya Ilahi dan sepenuhnya manusia, tetapi waktu bicara tentang kebangkitan, Alkitab memberitakan bahwa Yesus ini dibangkitkan. Di dalam bahasa Indonesia memang kurang jelas; kalimatnya ‘Ia telah bangkit’, yang kalau dibaca secara sederhana ini kalimat aktif. Tetapi sebetulnya di dalam bahasa aslinya, sebagaimana juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris, istilahnya adalah ‘Ia telah dibangkitkan’ (He was resurrected, He was raised). Dibangkitkan siapa? Dibangkitkan Bapa. Poinnya apa? Poinnya adalah: Yesus ada solidaritas dengan Saudara dan saya. Saudara dan saya adalah manusia, kita bukan bangkit sendiri, kita juga dibangkitkan. Di dalam narasi Kerajaan Allah, waktu Kerajaan Allah datang dengan kuasa, kuasanya pun kuasa yang datang dari atas, bukan Saudara dan saya yang aktif membangkitkan diri.
Saya kuatir dengan gambaran Kekristenan yang berusaha membangkitkan diri sendiri dengan kuasa-kuasa manusia, dsb.; mungkin memang ada kekuatan, lalu pakai strategi-strategi manusia, kuasa-kuasa manusia, hikmat-hikmat manusia, talenta-talenta manusia, dsb. Itu bukan realitas kebangkitan. Realitas kebangkitan adalah bahwa Yesus pun, Yesus Sang Anak Allah, Dia dibangkitkan. Kalau kita mau menghidupi narasi Kerajaan Allah, mintalah supaya Tuhan membangkitkan kita. Tuhan yang membangkitkan pekerjaan-Nya, bukan kita yang membangkitkan. Saudara dan saya ini memangnya siapa, lalu bisa membangkitkan dari kematian?? Itu orang yang arogan sekali, dia pikir bisa membangkitkan pekerjaan Tuhan. Siapa sih yang bisa membangkitkan seperti itu, kalau bukan Allah sendiri? Sungguh kacau kalau kita mulai coba-coba menggulingkan batu sendiri, lalu melakukan hipnosis seakan-akan kita yang membangkitkan mayat Yesus jadi hidup kembali; mana ada sih cerita kayak begini?? Mana ada cerita batunya digulingkan oleh Petrus, Yakobus, dan Yohanes, lalu Petrus teriak “hai bangkitlah!”, lalu Yesus jadi bangkit?? Yang seperti itu, cerita sesat, karena bukan itu ceritanya. Tapi hati-hati, di gereja bisa terjadi kayak begini, seakan-akan jadi manusia yang membangkitkan pekerjaan Tuhan. Memangnya siapa kita ini?? Kita percaya cerita kebangkitan atau tidak sebetulnya?? Jadi, apa aplikasinya dalam kehidupan kita kalau kita percaya kebangkitan? Salah satunya adalah: menghargai dan mempersilakan Tuhan yang bekerja, Dia yang membangkitkan. Waktu Kerajaan Allah itu hadir di dalam segala kuasanya, yang bekerja adalah Tuhan. Kita sebetulnya pasif. Yesus pun pasif, Dia dibangkitkan –was raised. Dia pasif dalam hal ini. He was resurrected, bukan Dia yang membangkitkan diri-Nya sendiri. Kalau Yesus saja seperti ini, apalagi Saudara dan saya, apalagi Gereja.
Yesus boleh dibilang bisa saja bangkit dari diri-Nya sendiri, tapi mengapa tidak demikian? Karena Yesus menjadi model bagi kita, untuk memperingatkan kita, bahwa pelayanan yang kita kerjakan itu dibangkitkan Tuhan, atau kita yang membangkitkan diri kita sendiri. Ini bukan cuma soal pelayanan gerejawi, tapi juga dalam kesaksian Saudara di tengah-tengah masyarakat, dalam kehidupan Saudara di tengah-tengah keluarga; di situ ada kuasa kebangkitan yang dari atas, atau Saudara berusaha membangkitkan diri sendiri? “Saya mau membangkitkan cinta di dalam keluarga saya”; Saudara yakin bisa?? Seperti juga Saudara teriak membangkitkan mayat Yesus?? Memangnya Saudara mendapat kuasa dari mana?? Hati-hati dengan ke-ge-er-an rohani seperti ini yang tidak tanggung-tanggung. Kalau ceritanya Petrus, Yakobus, dan Yohanes teriak-teriak mau membangkitkan, lalu benar-benar Yesus bangkit karena kharismanya ketiga rasul ini, maka itu adalah cerita yang bakal jadi cerita sesat. Gereja menghidupi cerita seperti ini juga atau tidak sebetulnya? Gereja Saudara dan saya, kita menghidupi cerita ini atau tidak sebetulnya? Siapa yang punya kuasa sebetulnya? Tuhan, atau Saudara dan saya? Kuasa kebangkitan ini dari mana sebetulnya? Siapa yang boleh klaim kuasa ini? Siapa yang mati dan mengorbankan diri? Saudara dan saya, atau Yesus sebetulnya? Ini bicara yang sangat dasar tentang Injil.
Selanjutnya, dalam cerita ini tentu saja ada motif “kubur kosong” (empty tomb) yang sangat terkenal itu. Kita tahu, ada lagu-lagu yang cenderung seperti evidensialis, yang syairnya mengatakan: “Kubur kosong membuktikan bahwa Yesus bangkit”. Hati-hati dengan kalimat ini. Kubur kosong sebetulnya tidak membuktikan bahwa Yesus bangkit. Iman kita tidak dibangun berdasarkan bukti-bukti. Kalau boleh mengutip Platinga, dia mengatakan, memang iman Kristen bukan tanpa dasar (groundless), tapi iman kita bukan dibangun berdasarkan bukti (evidence); ‘dasar’ (ground) dan ‘bukti’ (evidence) adalah dua hal yang berbeda. Kembali ke ceritanya, kubur kosong tidak bisa dikatakan merupakan bukti bahwa Yesus betul-betul bangkit. Kalau Saudara membaca cerita di dalam Injil-injil itu sendiri, di situ pun diberikan alternatif bahwa kubur kosong jangan-jangan karena mayat Yesus dicuri. Tentu saja penulis Injil tidak mengatakan bahwa ini benar, tapi paling tidak mengatakan bahwa sekedar tradisi ‘kubur kosong’ saja sebetulnya tidak membuktikan bahwa Yesus bangkit. Jadi, bukan ‘kubur kosong’ yang membuat kepercayaan akan kebangkitan Yesus jadi meaningful , tapi justru sebaliknya, kebangkitanlah yang menjadikan ‘kubur kosong’ itu meaningful. Bukan karena ‘kubur kosong’ maka kebangkitan jadi bermakna –kebangkitan bukan mendapatkan maknanya dari kubur kosong– tapi sebaliknya, bahwa kekosongan kubur ini jadi bermakna karena ada peristiwa kebangkitan.
Markus di sini mau mengarahkan kita untuk beriman kepada Yesus yang dibangkitkan, bukan soal bukti-bukti dari kebangkitan-Nya. Markus tidak berusaha mengarahkan kita pada bukti-bukti yang jadi alasan bahwa yang dikatakan Yesus itu benar. Kekristenan bukan tentang mendukung bukti-bukti. Tentu saja kita dipanggil untuk menjadi saksi. Istilah ‘kesaksian’ (testimony) berbeda dari ‘bukti’ (evidence). Istilah ‘bukti’ adalah seperti menyediakan hal-hal yang membungkam orang untuk mau tidak mau harus percaya. Percaya, itu tidak pernah ‘harus’; orang bisa saja tidak percaya. Tuhan memberikan ruang kepada manusia untuk tidak percaya. Tidak ada istilah ‘harus percaya’ dalam pengertian ‘nah, sudah tersudut ‘kan, jadi jelas ‘kan kamu keliru, maka sekarang terimalah Yesus jadi juruselamatmu’ –tidak ada model penginjilan seperti itu. Berita kebangkitan bukan diberitakan dengan cara triumphalist atau colonialist seperti itu; Alkitab tidak tertarik menyajikan dengan cara seperti itu. Dan, karena itu jugalah masih ada orang yang tetep tidak percaya meskipun Yesus jelas-jelas bangkit. Mengapa? Karena memang Tuhan tidak pakai cara demonstrasi ala hikmat manusia, yang membungkam seluruh dunia hingga tidak bisa tidak mereka harus percaya. Berita kebangkitan bukan itu. Di dalam hal ini, ada kemiripan antara berita salib dengan berita kebangkitan; berbahagialah mereka yang diberikan hikmat, yang Tuhan berbelas kasihan sehingga mereka boleh percaya.
Sekali lagi, Markus lebih tertarik untuk membawa pembacanya beriman kepada Yesus yang bangkit, daripada menyediakan bukti-bukti kebangkitan. Ini adalah suatu perjumpaan dengan Tuhan yang bangkit, bukan perjumpaan dengan kubur kosong. Perjumpaan dengan kubur kosong itu apa? Yaitu pikiran kita yang berusaha mendikte Tuhan tadi; itulah yang kosong. Pikiran bahwa Tuhan masih mayat, Tuhan kalau bekerja harus begini begiutu caranya, ketidakadilan yang saya alami harus selesai dalam sekian waktu dan tidak boleh lebih daripada itu, saya dalam kesulitan/pergumulan dan harus ada solusinya paling telat dalam 1 minggu ini –saya kasih deadline untuk Tuhan, inilah “mayat-mayat” yang waktu perempuan-perempuan datang ternyata kosong. Kosong dari apa? kosong dari gambaran mayat-mayat tadi, gambaran-gambaran yang berusaha mendikte Tuhan. Itu kosong –dan memang harus kosong. Karena kalau itu tidak kosong, kalau memenuhi pikiran Saudara dan saya –pikiran-pikiran yang bukan-bukan yang merupakan proyeksi imajinasi kita tentang Tuhan– maka berarti tidak ada kebangkitan untuk kita. Memang benar Yesus bangkit secara objektif, tapi Dia tidak bangkit untuk kita, buktinya kita masih lebih suka gambaran Yesus yang enshrined in a safe place, Yesus yang mayat, Yesus yang menurut maunya saya. Itu bukan Yesus yang hidup, itu mayat.
Kalau Yesus yang hidup, maka biarkan Dia yang bekerja, biarkan Dia yang berdaulat, biarkan Dia yang mendikte Saudara, biarkan dia yang memimpin kehidupanmu dan kehidupanku; bukan Saudara dan saya yang memimpin dan mendikte Dia. Kalau Yesus bangkit, inilah “resiko”-nya, resiko yang membebaskan, yaitu Saudara dan saya yang mengikut Dia, bukan Dia yang mengikut kita. “Resiko”-nya adalah Gereja yang dipimpin oleh Kristus yang bangkit, bukan Gereja yang membawa Kristus ke tempat yang Gereja kehendaki. Yang seperti itu, bukan ‘Gereja’ namanya; mau jadi kepalanya Kepala, bagaimana bisa?? Kalau Yesus bangkit, Dia yang memimpin keluargamu, kehidupanmu, pekerjaanmu — Dia yang memimpin, bukan Saudara dan saya. Kalau Saudara dan saya yang memimpin, berarti kuburnya belum kosong, masih ada mayatnya; dan sekali lagi, mayatnya adalah pikiran-pikiran kita yang berusaha untuk enshrine Jesus in a safe place. Tapi bukan itu ceritanya. Di dalam cerita ini kita melihat kubur kosong; ini mau menyatakan bahwa peristiwa kebangkitan adalah peristiwa yang mengubahkan kita dengan cara tidak terduga. Inilah prinsipnya. Sesuatu yang kita tidak bisa kekang, yang kita tidak bisa petakan semau kita; biarlah Tuhan yang menyatakannya. Itu sebabnya tidak heran di sini kemudian dicatat ‘mereka keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut.’ Dan inilah ironinya.
Seperti Saudara tahu, di dalam Injil Markus ada saat-saat Yesus melarang murid-muridnya untuk bicara. Di pasal-pasal awal, waktu Yesus melakukan mujizat, murid-muridnya kepingin menceritakan pada semua orang, tapi Yesus melarang (ini Markan secrecy theory/Mesianic secrecy). Mengapa? Karena nanti pengenalan orang salah, mereka pikir Yesus hanya sekadar pembuat mujizat. Yang benar adalah orang mengenal Yesus melalui peristiwa salib dan kebangkitan-Nya. Jadi sebelum salib, semua berita tentang Yesus yang membangkitkan, menyembuhkan, dsb., Yesus tahan untuk tidak disebarluaskan karena bisa menyebabkan orang salah mengerti. Tetapi yang terjadi sekarang terbalik, dalam bagian ini malaikat bilang: “Tetapi sekarang pergilah, katakanlah kepada murid-murid-Nya dan kepada Petrus: Ia mendahului kamu ke Galilea …”, tapi kemudian dikatakan: ‘mereka keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut.’
Tidak enak ya, cerita kebangkitan ditutup dengan gambaran seperti ini (setidaknya ayat ini merupakan salah satu alternatif bahwa Injil Markus berhenti di ayat ini). Tapi apa yang mau disampaikan oleh Markus di sini? Sederhana saja, bahwa di dalam peristiwa kebangkitan, lagi-lagi itu menyatakan kemuliaan Allah dan kegagalan manusia, kegagalan Saudara dan saya –maka ditutup dengan cerita ini. Lalu mengapa kita rasa tidak enak, kenapa kita terganggu? Mungkin kita terganggu karena manusia digambarkan dengan ending ‘ketakutan’, dan kita tidak senang dengan gambaran itu, kita maunya ditutup dengan gambaran yang glorious, yang victorious, tentang manusia, tentang kita, tentang Saudara dan saya, tentang gereja kita, tentang keluarga kita, dsb. Kita tidak suka gambaran bahwa ternyata murid-murid ini malah tidak bicara, tidak mengatakan apa-apa, dan mereka di dalam ketakutan.
Saudara, sekali lagi, pekerjaan Tuhan adalah pekerjaannya Tuhan; karya Allah itu adalah karyanya Allah, bukan karya Saudara dan saya. Saudara dan saya boleh saja gagal mengatakan, Saudara dan saya boleh saja ketakutan, Saudara dan saya boleh saja dipenuhi perasaan dahsyat seperti ini sampai tidak bisa ngomong (speechless), tetapi Tuhan tidak berhenti di sini. Orang yang kesulitan menerima bahwa bagian ini berakhir dengan kata ‘takut’, mereka lupa bahwa pekerjaan Tuhan itu bukan tergantung kepada manusia. Yang takut di sini ‘kan manusia, Tuhan tidak takut; yang gagal di sini ‘kan manusia, Tuhan tidak gagal, Tuhan gerak terus. Inilah yang mau disampaikan Markus.
Saya bukan memutlakkan pandangan bahwa varian naskah yang berakhir di ayat 8 inilah yang benar; saya tetap terbuka dalam hal ini, dan saya pikir kita tidak perlu dogmatis dalam hal ini. Namun yang mau saya jelaskan adalah: katakanlah Injil Markus benar-benar berakhir di sini, maka ada pesan yang indah, meski mungkin pesan yang agak menyakitkan, yaitu tentang keperkasaan Tuhan, kehebatan Tuhan, kemuliaan Tuhan, kemenangan Tuhan, dan kegagalan manusia, ketidaksanggupan manusia untuk memberitakan dan bersaksi akan cerita kebangkitan ini. Namun Injil Markus tidak harus berhenti di sini; ini sebetulnya mengundang Saudara dan saya untuk melanjutkan ceritanya. Jangan berhenti pada ‘diam’ dan ‘takut’, karena yang diperintahkan bukan itu. Yang dikatakan oleh malaikat adalah: “Tetapi sekarang pergilah, katakanlah kepada murid-murid-Nya dan kepada Petrus: Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang sudah dikatakan-Nya kepada kamu.” Saudara dan saya masih diundang untuk melihat Yesus yang bangkit, melihat bagaimana Yesus yang bangkit bekerja untuk Gereja-Nya. Ceritanya belum selesai, Saudara dan saya ikut menuliskannya. Mari kita menuliskannya bersama dengan Tuhan.
Kiranya Tuhan memberkati kehidupan kita sekalian.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading