Bagian-bagian terakhir dari kitab Ester ini adalah bagian di mana sang penulis tadinya menceritakan apa yang terjadi di zaman Ester, lalu sekarang beralih kepada pembaca-pembacanya di zaman mereka, bertahun-tahun setelah semua peristiwa tersebut berlalu. Mungkin pada zaman penulis kitab Ester itu, raja Ahasyweros sudah mati karena dibunuh di kamar tidurnya sendiri, Ester dan Mordekhai juga mungkin sudah lewat hari-harinya, dan Hari Raya Purim sudah menjadi perayaan tahunan yang tetap dalam Kalender Yahudi. Bisa kita bayangkan, sekarang sang penulis menatap mata pendengarnya, menjelaskan inilah alasannya kita merayakan Hari Raya Purim. Sang penulis menjelaskan bahwa Mordekhai merekam dan menuliskan semua peristiwa ini, mengirimkan surat kepada semua orang Yahudi supaya mereka merayakannya setiap tahun, sehingga seluruh generasi-generasi berikutnya mengingat dan merayakan keselamatan besar leluhur mereka, yang membuat mereka di zamannya masing-masing tetap ada.
Hari ini kita akan merenungkan mengenai Purim. Ada 3 hal besar yang akan dibicarakan; pertama, apa artinya Purim bagi Ester di zaman Ester; kedua, apa artinya Purim bagi orang Yahudi dan bagaimana mereka mengingatnya; terakhir, apa artinya Purim bagi kita hari ini.
BAGIAN PERTAMA
Kita akan kembali ke teksnya, melihat bagaimana asal-muasal Purim, dan apa persisnya yang mau dikatakan di sini. Dalam penetapan Purim, peristiwa ini dikatakan ditulis/dicatat oleh Mordekhai, dan tujuannya supaya diingat. Ini sangat tepat bagi peristiwa besar tersebut; ini bukan sesuatu yang sekedar Mordekhai mengeluarkan HP, merekamnya, lalu forward ke semua orang. Bagi para pembaca Yahudi, di sini mereka akan menangkap sesuatu yang Saudara dan saya tidak tangkap; kalau Saudara seorang Yahudi yang sangat mengenal Firman Tuhan, Saudara akan ingat di dalam Keluaran 17:14 dikatakan: ‘Kemudian berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Tuliskanlah semuanya ini dalam sebuah kitab sebagai tanda peringatan, dan ingatkanlah ke telinga Yosua, bahwa Aku akan menghapuskan sama sekali ingatan kepada Amalek dari kolong langit.”’
Di sini, waktu Tuhan berjanji akan menghapus bukan saja bangsa Amalek tapi juga ingatan akan bangsa Amalek, Ia menyuruh Musa untuk menuliskannya; dan di Alkitab LAI ditulis ‘sebagai tanda peringatan’, tapi makna yang lebih sesuai adalah ‘sebagai catatan untuk diingat’ (commemoration, bukan warning). Intinya, penulisan tersebut signifikan, karena penulisan tersebut membuat janji itu jadiberwarna kekal. Ketika janji tersebut –ucapan Tuhan tadi– dituliskan, maka itu menjadi satu hal yang bisa diandalkan untuk masa-masa yang akan datang. Dan, dalam kitab Ester kita melihat penggenapan janji tersebut terjadi; orang Amalek benar-benar ditumpas pada akhirnya dengan cara keturunan Haman dibunuh, meskipun sudah lewat berabad-abad sejak zaman Musa diberikan janji tersebut, sudah lewat beratus-ratus kilometer dari tempat Musa menerima janji tersebut. Ini menggambarkan bagi orang Yahudi, betapa janji Tuhan begitu kuat.
Kontrasnya, dalam kitab Ester kita melihat ada penekanan berkali-kali, bahwa ketika Raja Ahasyweros mengeluarkan undang-undang (UU), maka UU tersebut tidak bisa dicabut, menyatakan bahwa titah raja, begitu ditulis maka juga “kekal” adanya, bertahan sepanjang masa dan tidak bisa dicabut lagi. Dengan demikian, di sini seperti ada suatu ancaman, ada titah raja saingan yang mengancam nyawa orang Yahudi, yang tidak bisa dicabut lagi; tetapi pada akhirnya titah raja ini –yang katanya tidak bisa digagalkan– diputar balik oleh Ester dan Mordekhai. Sementara itu kita juga melihat dalam kitab Ester, ada titah Seorang Raja yang lain, yaitu janji Tuhan, Raja alam semesta, yang mungkin dilupakan karena sudah terlalu lama, atau diragukan karena sudah terlalu jauh, malah tergenapi. Titah raja manusia, katanya tidak bisa dicabut, malah tercabut; sedangkah titah Allah yang sudah begitu lama, yang sudah tertulis, akan bertahan sampai selama-lamanya.
Itu sebabnya, waktu dikatakan Mordekhai mencatat semua hal tersebut, ini punya satu signifikansi yang jauh lebih dalam dari sekedar merekam video, ini adalah satu perayaan akan Allah yang setia pada janji-Nya, suatu perayaan akan Firman yang keluar dari mulut Allah, yang meski sudah lewat ratusan tahun, masih tetap berkuasa, masih tetap terjadi. Ini sebabnya Hari Raya Purim kemudian ikut masuk dalam perayaan tahunan orang Yahudi.
Awalnya ada 5 hari raya yang pernah di-institusikan oleh Musa bagi bangsa Israel. Lima hari raya tersebut merayakan hal-hal berkenaan dengan dibentuknya Israel sebagai umat Allah; Hari Raya Purim menjadi hari raya keenam, merayakan bukan dibentuknya umat Allah, melainkan diselamatkannya/ dilepaskannya umat Allah pada zaman Ester dari tangan Haman. Belakangan, pada zaman Tuhan Yesus sudah masuk satu hari raya lagi, hari raya ketujuh yaitu Hanukkah, yang merayakan diselamatkannya umat Allah dari tangan Antiokhus Epifanes melalui tangan keluarga Makabe.
Ada beberapa hal yang unik dalam Hari Raya Purim yang akan kita lihat. Yang pertama, otoritas yang membuat hari raya ini di-institusikan. Yang menarik, bermulanya perayaan Purim pada zaman Ester ini berdasarkan otoritas siapa? Ini jelas bukan otoritas Musa, tapi yang lain; sementara Mordekhai bukanlah nabi, bukan imam, bukan pembuat mujizat, bukan raja. Kalau pun Mordekhai mempunyai lambang otoritas yang melekat di jarinya, itu adalah cincin raja Persia, bukan baju efod seorang imam Israel. Kalau kita melihat bahasa yang dituliskan penulis secara detail di ayat 20-21, memang dikatakan bahwa Mordekhai, lewat suratnya, mewajibkan orang-orang Yahudi merayakan hari raya tersebut, tapi di ayat 26-27 dikatakan bahwa orang-orang Yahudi itu mewajibkan diri mereka sendiri untuk jangan sampai kelewatan merayakan Purim ini; dalam bahasa aslinya lebih jelas, dikatakan: ‘they took it upon themselves to establish the custom’. Ini menarik, berbeda dengan 5 hari raya yang diberikan oleh Musa, Purim adalah satu elemen yang bukan cuma dari atas ke bawah, tapi juga dari bawah ke atas; ada elemen grass root-nya, ada elemen spontanitasnya orang Yahudi di berbagai tempat, mereka merayakan dan meresponi kesetiaan Tuhan dalam menggenapkan janji-Nya.
Yang kedua, di dalam hal nama hari rayanya, yaitu Purim. Istilah ‘pur’ bukan berasal dari bahasa Ibrani melainkan istilah Persia untuk ‘dadu’ atau ‘undi’, yang dipakai Haman menentukan hari pembantaian orang Yahudi. Dan, di seluruh Alkitab istilah ‘pur’ hanya muncul di kitab Ester; itu pun hanya 2 kali, yaitu di pasal 3:7 dan 9:24 tadi, yang penulis Ester langsung terjemahkan menjadi istilah Ibrani untuk ‘dadu/undi’, yaitu goral (bahasa Ibrani). Hal ini menarik, karena sementara istilah ‘pur’ hanya muncul 2 kali di seluruh Alkitab, istilah ‘goral’ muncul di banyak sekali tempat di seluruh Perjanjian Lama; dan ada suatu makna yang sepertinya ingin disisipkan oleh sang penulis di bagian ini.
Satu contoh Amsal 16:33, “Undi [goral] dibuang di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari pada TUHAN.” Perhatikan, yang namanya goral (undi), dalam bahasa Perjanjian Lama memang seringkali dipakai oleh orang-orang Perjanjian Lama untuk menentukan apa yang jadi kehendak seorang “dewa”. Jadi, sebenarnya ketika Haman membuang undi, implikasinya bukanlah dia sedang untung-untungan cari tanggal, tapi Haman –sebagaimana orang-orang dalam budaya zaman itu– sebenarnya sedang mencari kehendak dewa-dewanya. Namun apa yang terjadi lewat dibuangnya goral ini? Yang terjadi adalah: dari dadu yang dibuang tersebut, keputusannya justru datang dari Tuhan.
Tradisi ini juga ada pada orang Israel, misalnya ketika Yosua membagi-bagikan tanah perjanjian kepada orang Israel waktu mereka menaklukkan Kanaan. Dikatakan dalam Yosua 18:1, “Kamu catat keadaan negeri itu dalam tujuh bagian dan kamu bawa kemari kepadaku; lalu aku akan membuang undi [goral] di sini bagi kamu di hadapan TUHAN, Allah kita.” Inilah sebabnya undi (goral) mempunyai makna yang kedua yang berhubungan dengan makna pertama tadi; goral bisa menunjuk kepada undi itu sendiri, tapi juga bisa menunjuk kepada porsi atau bagian yang merupakan hasil pembuangan undi. Ini mirip seperti istilah lottery dalam bahasa Inggris, lot adalah undi-nya, lottery adalah undian; tapi istilah lot juga bisa berarti porsi, yaitu porsi yang didapatkan dari hasil undian tersebut. Misalnya di ayat 11 pasal yang sama, dicatat: ‘Maka keluarlah undian suku bani Benyamin menurut kaum-kaum mereka, dan daerah yang diundikan [diberikan atau menjadi bagian/porsi] kepada mereka terdapat antara daerah bani Yehuda dan daerah bani Yusuf’. Jadi, goral bisa berarti ‘undi’-nya, tapi juga bisa berarti ‘bagian yang saya dapatkan dari Tuhan’.
Dalam Mazmur 16:5-6 Daud kembali menggunakan istilah goral untuk merujuk pada situasi hidup yang secara peka dia menerima itu dari Tuhan, yang diberikan Tuhan menjadi bagiannya; “Ya TUHAN, Engkaulah bagian warisanku dan pialaku, Engkau sendirilah yang meneguhkan bagian yang diundikan kepadaku” (ayat 5). Daud menyadari dan mendeklarasikan bahwa saya bisa punya porsi hari ini, nasib saya hari ini, bagian saya hari ini, yang menjadi teguh, hanya karena Tuhanlah yang meneguhkannya untuk saya. Di sinilah kita melihat kekayaan bahasa Ibrani, karena di dalam Mazmur 16:5 ini ada paralelisme Ibrani/Hebrew parallelism [paralelisme adalah 2 kalimat berbeda, yang maknanya mirip, dan disandingkan bersama-sama untuk jadi paralel]; Daud mengatakan “Engkau sendirilah yang meneguhkan bagian (goral) yang diundikan kepadaku”, dan kalimat pertamanya, “Engkaulah bagian warisanku dan pialaku” –ada paralel antara bagian warisan dan bagian yang diundikan. Dan di sini, sementara bagian kalimat yang pertama memakai istilah ‘goral’, bagian yang kedua pakai istilah ‘manah’. Manah juga memiliki 2 makna; manah bisa berarti porsi/bagian warisanku, bisa juga berarti porsi makanan. Itu sebabnya di ayat 22 kitab Ester tadi dikatakan: ‘karena pada hari-hari itulah orang Yahudi mendapat keamanan terhadap musuhnya dan dalam bulan itulah dukacita mereka berubah menjadi sukacita dan hari perkabungan menjadi hari gembira, dan supaya menjadikan hari-hari itu hari perjamuan dan sukacita dan hari untuk antar-mengantar makanan [manah] dan untuk bersedekah kepada orang-orang miskin.’
Kembali ke istilah ‘purim’, penamaan perayaan Hari Raya Purim mempunyai double meaning, bahkan triple meaning; di satu sisi, ini mengacu pada undi/dadu/pur yang dilempar oleh Haman; di sisi lain, kita melihat tangan Tuhan, bahwa di balik setiap undi yang dibuang oleh Haman, ada goral yang Tuhan tetapkan menjadi bagian kita; dan itu dirayakan dengan saling mengantar porsi makanan (manah). Inilah Purim pada zaman Ester.
BAGIAN KEDUA
Jika di bagian pertama kita membicarakan asal-muasal Purim, sekarang kita membicarakan bagaimana Purim tersebut diingat sepanjang masa. Hari Raya Purim masih dirayakan orang Yahudi sampai hari ini, dengan cara mereka antar-mengantar makanan. Pada hari raya ini, keseluruhan kitab Ester dibacakan dalam kebaktian mereka di sinagoga; dan tradisinya, sementara kitab Ester ini dibacakan, jemaat akan berpartisipasi dengan cara bersorak-sorai setiap kali nama Mordekhai dibacakan, lalu mendesis (“Huuu…”) setiap kali nama Haman muncul. Di dalam Talmud orang Yahudi (tulisan rabi-rabi orang Yahudi) bahkan diinstruksikan supaya pada Hari Raya Purim, orang Yahudi harus berpesta dan minum anggur, yang sampai saking mabuknya mereka sampai tidak bisa lagi membedakan antara kalimat “diberkatilah Mordekhai” dan “terkutuklah Haman”. Ini benar-benar satu perayaan yang luar biasa; kalau Saudara pernah menonton film Fiddler on the Roof, Saudara akan menangkap gambaran seperti apa kira-kira ketika orang Yahudi berpesta.
Inilah satu hari raya yang terus-menerus dirayakan orang Yahudi sepanjang masa, ini suatu hal yang tidak main-main buat mereka, ini suatu hal yang menjadi tanda bagi mereka (commemoration) akan kekuatan dari Firman Tuhan, bahwa mereka sebagai umat tidak akan pernah dipunahkan dari dunia ini. Yang menarik, di masa Holocaust, Perang Dunia II, ketika orang Yahudi berada di kamp konsentrasi, orang-orang Nazi pun menyadari signifikansi cerita Ester bagi orang-orang Yahudi ini. Itu sebabnya tentara Nazi akan langsung membunuh di tempat, orang Yahudi yang kedapatan punya salinan kitab Ester, dan akan membakar semua salinan kitab Ester yang bisa ditemukan. Yang menakjubkan, orang-orang Yahudi di kamp tersebut, ketika bukunya diambil/dibakar, mereka akan memproduksi terus salinannya berdasarkan ingatan mereka, karena setiap tahun mereka membacakan dan dibacakan kitab tersebut terus-menerus. Ini adalah satu kisah yang sangat berharga bagi mereka, khususnya dalam masa-masa Holocaust, masa-masa mereka menghadapi bayang-bayang maut, karena dalam kitab tersebut mereka menemukan pengharapan di tengah-tengah situasi yang tanpa pengharapan, mereka menemukan janji bahwa merekalah yang pada akhirnya akan survive, yang akan menang, dan bukan musuh-musuh mereka, meskipun situasinya seperti tidak ada kemungkinan –persis seperti yang kita temukan di dalam kitab Ester itu sendiri.
Kalau Saudara merenungkan bagaimana orang Yahudi menggunakan kitab ini, kita jadi menyadari bahwa mereka bukan cuma menggunakan kitab Ester untuk melihat ke belakang, tapi juga memakainya untuk melihat ke depan; mereka bukan hanya memakai kitab ini untuk merayakan apa yang sudah lewat/berlalu, tapi juga untuk mengharapkan sesuatu yang akan datang di masa depan. Dengan kata lain, kitab Ester ini punya suatu warna eskatologis bagi orang-orang Yahudi. Ini satu kitab yang menjadi bayang-bayang akan keselamatan besar yang suatu hari akan datang bagi seluruh umat Tuhan di akhir zaman, bagi orang-orang Yahudi; ini bukan satu kisah yang berhenti di zaman Ester tok. Apa yang terjadi di zaman Ester –Hari Raya Purim itu– menjadi tanda/ simbol yang setiap tahun diingat, bukan cuma untuk mengingat ke belakang, tapi untuk mengharapkan bahwa suatu hari keselamatan besar yang final bagi seluruh umat Allah akan datang. Kitab Ester sudah menarik garis dari zaman Musa, dari Gunung Sinai, dari janji Tuhan terhadap orang Amalek di Gunung Sinai yang sudah begitu lama, lalu seperti menyambungkan antara peristiwa Gunung Sinai itu, bermulanya umat Allah itu, dengan akhir zaman. Ini seperti suatu link, ada sambungannya, sehingga tidak heran orang-orang Yahudi memakai kitab ini untuk memandang ke depan.
Nuansa eskatologis itu bahkan bisa dilihat ketika kita memperhatikan penanggalan Hari Raya Purim ini. Hari-hari raya yang merayakan kemenangan besar, pada umumnya diadakan pada hari pertempurannya. Misalnya mengingat pada tanggal 14 Juli orang-orang Perancis menyerbu Penjara Bastille, maka tanggal tersebut ditetapkan menjadi Bastille Day. Demikian juga Boston Massacre Day tanggal 5 Maret di Amerika, Cinco de Mayo tanggal 5 Mei yang merupakan hari kemenangan Meksiko atas Perancis, dst.; semua hari-hari raya itu diadakan, diingat, dan ditetapkan pada hari pertempurannya. Tetapi Hari Raya Purim tidak demikian. Pertempuran orang-orang Yahudi mempertahankan nyawa mereka, jatuhnya pada tanggal 13 bulan Adar, tapi perhatikan, Hari Raya Purim sendiri dirayakan bukan pada tanggal 13 melainkan tanggal 14 dan 15. Bukankah ini lucu, karena momennya sudah lewat, seperti misalnya kita merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia bukan pada tanggal 17 tapi tanggal 18-nya, jadi aneh sekali, ada makna yang bergeser di sini. Lalu apa maksudnya/signifikansinya merayakan Purim bukan di tanggal 13 tapi malah satu-dua hari setelahnya?
Seorang komentator mengatakan, di sini ada satu makna yang dalam. Ini berarti Hari Raya Purim bukan merayakan kemenangan dalam sebuah pertempuran, Hari Raya Purim bukan merayakan kekalahan atau kematian musuh-musuh orang Yahudi; Purim sesungguhnya justru untuk mengingat hari ketika orang-orang Yahudi memperoleh kelepasan, kelegaan dari musuh-musuh tersebut. Itu sebabnya, Purim dirayakan pada hari setelah musuh-musuh tidak ada. Hari itulah yang dirayakan; hari ketika mereka sudah lega, bukan hari ketika mereka menang. Yang mereka rayakan adalah momen transisinya, ketika hari pertempuran berubah menjadi hari kelegaan –bukan hari pertempurannya. Yang dirayakan bukan momen sukacita atau dukacitanya, melainkan momen transisinya, momen ketika dukacita berubah jadi sukacita, momen ketika kehidupan berbalik dari kecemasan menjadi kelegaan. Itulah yang mereka rayakan.
Purim adalah perayaan spontan ketika orang Yahudi menemukan bahwa mereka masih berdiri, satu hari setelah hukuman mati yang katanya tidak bisa dicabut itu telah dijalankan. Mereka tidak merayakan penghapusan hukuman mati tersebut; mereka merayakan bahwa satu hari setelah hukuman itu dijalankan, mereka masih tetap berdiri. Ini makna yang signifikan. Purim, merayakan bukan terluputnya umat Tuhan dari hari kematian, tetapi merayakan bahwa hari kematian telah datang, telah lewat, dan ternyata umat Tuhan masih bertahan hidup. Ada satu makna yang lebih dalam di sini.
Itu sebabnya Kekristenan bukan agama yang mengawang-awang, bukan agama yang unreal, bukan agama yang idealistis di atas saja; Kekristenan adalah agama yang realistis, bahkan seringkali “terlalu” realistis menurut selera banyak orang. Saudara mungkin pernah dengar cerita-cerita moralistis orang Kristen seperti ini: Suatu hari ada orang Kristen datang kepada bos-nya, dan saat itu orang Kristen ini masih muda. Lalu si bos menceritakan sebuah lelucon kotor sambil tertawa terbahak-bahak, dan si pemuda Kristen ini hanya duduk, menolak untuk tertawa, bahkan tersenyum pun tidak mau. Si bos tersinggung, “Kamu ‘gak punya sense of humor, ya, atau menurut kamu saya ‘gak lucu, ya, saya jayus, ya”. Si pemuda Kristen lalu dengan lantang mengatakan, “Ya, menurut saya lelucon kotor seperti itu tidak pantas, dan tidak lucu sama sekali.” Si bos terduduk, terdiam sebentar, lalu mengatakan dengan sedikit tidak rela, “Kamu ada tulang punggung, saya butuh orang seperti kamu”; dan sebelum bulan itu berlalu, pemuda Kristen ini mendapat promosi. Jadi, petuah dari kisah ini adalah: kamu jadi orang Kristen harus do the right thing, dan pokoknya Tuhan akan menjagamu.
Cerita-cerita seperti ini banyak beredar di antara orang Kristen, dan seringkali kita tidak tahu bahwa ada banyak orang Kristen yang melakukan jurus-jurus seperti ini dalam pekerjaan mereka, lalu yang mereka dapatkan bukan kenaikan jabatan tapi surat PHK. Saudara, cerita-cerita seperti itu tidak realistis, cerita-cerita seperti itu terlalu idealistis; dan itulah yang seringkali laku di tengah-tengah orang Kristen. Tetapi Kekristenan tidak seperti itu sebenarnya. Ini salah satu sebabnya kita tidak terlalu suka ada kesaksian di gereja; bukan karena tidak ada kesaksian yang sejati, tapi karena seringkali yang laku jadi kesaksian di gereja adalah cerita-cerita seperti ini, cerita-cerita yang sebenarnya tidak realistis, yang memang kadang Tuhan bisa bekerja lewat cara-cara seperti itu tapi itu bukan sesuatu yang bisa jadi panutan bagi banyak orang. Kekristenan sebenarnya justru highly realistic, karena di dalam Kekristenan, yang Saudara lihat adalah Kekristenan senantiasa dekat dengan pengalaman padang belantara.
Dalam Kisah Para Rasul 12, Petrus ditangkap oleh Herodes, lalu para murid berdoa agar dilepaskan, dan kita tahu, Petrus dilepaskan secara mujizat oleh malaikat Tuhan, lalu para murid bersyukur, dst. Tapi, kita sebagai orang Kristen seringkali lupa, bahwa satu ayat sebelum cerita Petrus ditangkap, Yakobus dibunuh oleh Herodes; kita entah bagaimana selalu ingatnya cuma kelepasan Petrus. Saudara bayangkan kalau Saudara adalah mamanya Yakobus, Saudara ikut mendoakan Petrus, tapi Petrus diselamatkan sementara anak Saudara tidak. Inilah kehidupan Kristen. Meski demikian, kita tidak pernah membaca cerita jemaat mula-mula yang ngomel ‘kenapa Petrus diselamatkan sedangkan anakku tidak’; mengapa? Karena mereka tidak merasa penderitaan adalah sesuatu yang di luar kisah hidup umat Tuhan.
Seperti yang kita lihat, Hari Raya Purim tidak merayakan terluputnya orang Yahudi dari kematian, –bukan itu yang mereka rayakan– yang mereka rayakan pada Hari Raya Purim adalah: hari kematian itu tiba dengan segala kerusakan dan kejahatannya, dan berlalu, setelah itu, entah bagaimana, atas anugerah Allah nyawa mereka tetap masih ada. Inilah yang dirayakan; oleh karena itu Purim dalam arti tertentu ada pengertian sabbatical-nya.
Saudara ingat dalam pembahasan kisah penciptaan, konsep istirahatnya orang Yahudi berbeda dengan konsep kita, karena konsep istirahat dalam penciptaan di hari ketujuh bukan bernuansa ‘berhenti’ tok, bukan bernuansa ‘ngaso’ tok, bukan berarti ketika Allah berhenti dari menciptakan lalu Allah mengaso, tidur, ongkang-ongkang kaki, dsb. Kata ‘istirahat’ seringkai kita temukan juga dalam bagian-bagian yang lain dari Perjanjian Lama, dan itu dipakai dalam kalimat seperti: ‘Israel mendapatkan perhentian (sabat) dari musuh-musuh mereka’, atau ‘tanah mendapatkan istirahat (sabat) dari perang, dst. Momen ketika kita mendapatkan perhentian dari musuh-musuh, bukanlah momen untuk mengaso doang, tapi justru momen untuk mulai bergerak, mulai hidup seperti sediakala, memulai sesuatu –mulai kembali bercocok tanam, kembali berjual beli, kembali berkeluarga, dst. Contohnya, kalau suatu saat kita mendapatkan perhentian dari pandemi, apa implikasinya, apa yang akan Saudara lakukan? Saudara tentu bukan akan mengaso di rumah, karena itulah yang kita kerjakan selama pandemi ini, bukan? Kalau kita mendapatkan perhentian dari pandemi, implikasinya justru kita bisa mulai hidup normal, mulai bekerja lagi seperti biasa, sekolah lagi seperti biasa, beraktifitas lagi seperti biasa. Itulah maknanya ‘istirahat/sabat’ dalam Alkitab; berhenti dari sesuatu untuk bisa mengerjakan yang lain, bukan berhenti tok.
Inilah yang dirayakan pada Hari Raya Purim, karena kita lihat perayaannya bukan jatuh pada hari pertempurannya melainkan hari setelah pertempuran. Hal yang dirayakan adalah transisi ke kehidupan yang normal, transisi kembali ke kehidupan yang bisa berbuah. Ini sebabnya kitab ini dirayakan orang Yahudi bukan cuma untuk melihat ke belakang, tapi untuk melihat ke depan juga. Dalam momen-momen kamp konsentrasi Nazi, mereka menganggap betapa berharganya kitab ini karena kitab ini jadi satu janji dari Tuhan bagi kaum mereka, bahwa meskipun Hitler dan tentara-tentaranya berusaha memunahkan mereka, dan mungkin mereka tidak akan terluput, itu tidak masalah, karena yang mereka rayakan bukanlah terluputnya diri mereka dari semua kejahatan, tetapi pemeliharaan Tuhan yang entah bagaimana tetap bisa mendatangkan hari yang berikutnya. Dan kita melihatnya memang demikian; orang Yahudi pada akhirnya tetap survive melewati Holocaust.
Ironisnya, ada juga orang-orang Yahudi yang terlalu terpukul oleh Holocaust. Ini bisa dimengerti karena dalam Holocaust, kira-kira sepertiga populasi orang Yahudi seluruh dunia mati terbunuh (pandemi yang kita alami belum sampai level sedemikian, dan itu pun sangat memukul kita hari ini). Jadi, ada orang-orang Yahudi yang setelah Holocaust melihat ada sisa dua pertiga ini, dan ironis sekali mereka malah terpukul imannya. Bisa dibilang, mereka lupa akan kitab Ester, mereka malah merasa sulit percaya bahwa Tuhan sungguh hadir dan berkuasa di atas sejarah.
Elie Wiesel, seorang survivor dari Holocaust, pernah masuk di dalam kamp konsentrasi Auschwitz waktu masih remaja, dan dia menyaksikan satu peristiwa yang sangat unik. Wiesel melaporkan, orang-orang Yahudi di Auschwitz adakalanya curi-curi waktu mengadakan suatu pengadilan di kamp konsentrasi, dan yang diadili bukan orang Yahudi, juga bukan orang Jerman; yang diadili dalam pengadilan tersebut adalah Allah Yahweh, oleh orang-orang Yahudi. Mereka menuntut Allah Yahweh telah melanggar perjanjian-Nya, meninggalkan umat-Nya. Pengadilan ini sangat panjang lebar, tidak cuma dilaksanakan dalam satu hari tapi sampai beberapa malam. Mereka memanggil berbagai saksi, orang-orang dari kamp tersebut, untuk menyatakan bukti-bukti yang menuding Allah Alkitab, bahwa Allah Alkitab telah meninggalkan umat-Nya. Pada malam yang terakhir, Wiesel mengatakan, “Keputusan diambil dan palu diketok, Allah dinyatakan bersalah atas semua tuduhan”. Selanjutnya setelah palu diketok, Wiesel menceritakan, ada keheningan yang panjang sekali, tidak ada yang tahu harus berbuat apa. Sampai kemudian salah satu dari orang Yahudi di situ, yang adalah seorang pemimpin, menatap ke langit malam lalu mengatakan, “Sudah waktunya jam doa malam” –dan mereka kemudian melakukan doa malam. Saudara, ini satu hal yang sangat menarik; mereka mengadili Tuhan, mereka begitu bergumul dengan semua itu, namun pada akhirnya habit rutinitas yang positif ini terus berlanjut, mereka tetap berdoa malam. Perayaan Purim tidak berhenti setelah Holocaust, sama seperti jam doa malam tidak berhenti setelah mereka mengadili TUHAN.
KETIGA
Saudara mungkin kaget mendengar orang-orang Yahudi pernah mengadili Tuhan; tapi kalau kita kembali ke Perjanjian Lama, di situ ada satu bagian firman Tuhan yang jadi semacam background dari tindakan ini. Di sinilah sekarang kita membicarakan poin besar yang ketiga, apa makna Purim bagi kita.
Kita membaca dari Keluaran 17: 1-7. Ini bagian yang mungkin sudah sering kita baca; tetapi kalau kita perhatikan, bagian ini strukturnya adalah sebuah struktur pengadilan. Ayat 1-3 adalah tuduhan-tuduhan yang diberikan; ayat 4-5 adalah penjatuhan hukumannya; ayat 6-7 adalah eksekusinya. Kisah ini bercerita mengenai bangsa Israel yang berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya di padang gurun; dan mereka tidak menemukan air untuk diminum. Mereka mulai bertengkar dengan Musa (ayat 2). Perlu diperhatikan, istilah ‘bertengkar’ di situ bukan cuma berarti ‘mengomel’; istilah yang lebih tepat di sini adalah mereka membawa tuntutan. Ini istilahnya ruang pengadilan. Dan ini tuntutan yang begitu serius; Musa mengatakan “orang Israel akan melempari aku dengan batu” (ayat 4), berarti ini sebuah tuntutan dengan hukuman mati.
Dalam zaman Musa ada beberapa kejahatan yang bisa mendatangkan hukuman mati; misalnya, hujatan (blasphemy) —tapi sepertinya Musa bukan sedang dituntut hal ini. Lalu tuntutan apa yang lain, yang membuat Musa akan dijatuhi hukuman mati oleh orang Israel? Pada dasarnya, mereka menuduh Musa berkhianat. Mereka menuduh dia seorang pemimpin yang berkhianat terhadap umat Allah. “Kamu membawa kami ke tempat yang tidak ada air, kamu mau membunuh kami, tulang-tulang kami akan berserakan di padang gurun ini, anak-anak kami akan mati di padang gurun karena kamun; oleh karena itu kami akan menyerakkan tulang-tulangmu terlebih dahulu”, inilah pada dasarnya tuduhan mereka. Tapi Musa tahu, sesungguhnya bukan dirinya yang sedang mereka tuntut, karena kita melihat di ayat 2 Musa meresponi tuntutan ini dengan mengatakan “Mengapa kamu mencobai TUHAN?”
Ini satu hal yang menarik. Di bagian sebelumnya kita melihat beberapa orang Yahudi –sebagian kecil orang Yahudi– meresponi Holocaust dengan cara membuat pengadilan yang mengadili Tuhan; dan di sini sebenarnya ada sesuatu yang mirip dalam perspektif orang Jerman. Ketika di akhir Perang Dunia II orang-orang Jerman mulai menyadari dan dikonfrontasi dengan fakta terjadinya Holocaust di bawah hidung mereka, di tengah-tengah mereka, dan juga oleh mereka, maka di antara mereka mulai ada inkuisisi; dan inkuisisi ini diungkapkan lewat drama yang ditulis oleh seorang Jerman bernama Guenter Ruterborn. Dalam drama tersebut mulai ada pencarian akan siapa yang bertanggung jawab terjadinya Holocaust di tengah-tengah orang Jerman. Mulailah ada tokoh-tokoh yang ditampilkan; ada seorang ibu rumah tangga, dia mengatakan, “O, bukan saya, saya tidak tahu apa-apa, salahkan suamiku”. Lalu si suami mengatakan, “Lho, saya hanya menjalankan perintah tentara, salahkan mereka.” Selanjutnya tentara mengatakan, “Aku hanya menjalankan perintah Sersan.” Berikutnya Sersan menyalahkan Perwira, Perwira menyalahkan Jendral, Jendral menyalahkan orang yang di atasnya lagi, begitu seterusnya sampai akhirnya ada satu momen dalam drama tersebut ketika semua tokoh drama itu menyadari, siapa sebenarnya yang menanggung kesalahan atas semua ini, kalau semuanya terus menunjuk naik ke atas dan ke atas —ini salah Tuhan; ini salah Tuhan karena Dialah yang membiarkan semua itu terjadi.
Saudara, hal ini menarik, bukan soal orang menyalahkan Tuhan atau tidak, tapi karena hal ini menyatakan kepada kita bahwa di balik setiap kemarahan kita hari ini terhadap bos kita, atasan kita, situasi hidup kita, mungkin sebenarnya ada bibit kemarahan terhadap Tuhan. Itu sebabnya Musa dengan peka bertanya kepada orang Israel, ‘mengapa kamu menuntut aku, mengapa kamu mencobai Tuhanmu’.
Kembali ke cerita bangsa Israel; tuntutan sudah diberikan, maka harus ada pengadilan. Di ayat 4-5 Allah kemudian memerintahkan Musa untuk melakukan pengadilan ini. Dia menyuruh membahwa 2 hal dalam pengadilan tersebut:1) tua-tua Israel, 2) tongkat Musa yang pernah dipakai untuk memukul Sungai Nil. Tua-tua Israel ini beberapa kali muncul ketika ada keputusan yang harus diambil, mereka berfungsi sebagai semacam dewan hakim; jadi ini jelas pengadilan. Tongkat melambangkan otoritas, kuasa penghakiman Tuhan, karena tongkat itulah yang dipakai untuk memukul Mesir dengan tulah. Ini berarti akan ada pengaddilan, pengambilan keputusan, dan akan ada yang kena ganjaran/eksekusi. Pada dasarnya Tuhan mengadakan pengadilan, Tuhan menunjuk dewan hakim, Tuhan menyiapkan alat eksekusi, lalu ada yang akan diadili dan dinyatakan bersalah; tapi siapa?
Kita tahu, orang Israellah yang sesungguhnya berkhianat dan seharusnya dihukum mati, tapi mereka menuduh Musa sebagai pengkhianatnya, dan di balik itu sesungguhnya mereka sedang menuding Allah. Jadi harus ada yang diadili di sini, tapi siapa? Saudara akan menemukan di ayat 5 jawabannya, satu kalimat yang sangat mencengangkan di Alkitab. Sekali lagi, kita seringkali membaca cerita ini cuma sebagai suatu mujizat yaitu batu dipukul lalu keluar air; tapi batu yang dipukul lalu keluar air itu bukan poin utamanya, poin utamanya adalah kalimat Tuhan kepada Musa. Kalau kita membaca ayat 6, dikatakan: ‘Maka Aku akan berdiri di sana di depanmu di atas gunung batu di Horeb; haruslah kaupukul gunung batu itu dan dari dalamnya akan keluar air, sehingga bangsa itu dapat minum.” Demikianlah diperbuat Musa di depan mata tua-tua Israel’ (ayat 6). Saudara lihat,kejadian batu keluar air itu sendiri cuma diceritakan begitu saja, bahwa hal itu kemudian diperbuat Musa di depan mata tua-tua Israel, lalu langsung dilanjutkan soal nama tempat tersebut jadi Masa Meriba, tidak ada sama sekali dikatakan bagaimana batu itu dipukul, lalu mulai retak, suaranya yang keluar dari retakan itu begini begitu, lalu keluar air dsb.; semua itu sama sekali tidak soroti. Yang di-highlight adalah kalimat Allah kepada Musa, kalimat yang begitu mencengangkan karena dikatakan “Maka Aku akan berdiri di hadapanmu …. ” (ayat 6).
“Aku akan berdiri di hadapanmu”; Saudara tidak pernah membaca kalimat seperti ini di Alkitab. Di Alkitab tidak pernah dikatakan Allah berdiri di hadapan seseorang; yang ada adalah orang berdiri di hadapan Allah, karena orang yang berdiri di hadapan seseorang, berarti dia dalam posisi inferior. Ini adalah posisi pertanggungjawaban, posisi seorang pembantu yang menunggu perintah tuannya, posisi seorang tersangka di hadapan hakim.
Hal kedua yang juga mencengangkan, yaitu lanjutan kalimatnya: “Maka Aku akan berdiri di sana di depanmu di atas gunung batu di Horeb ….” Di sini Alkitab LAI, sebagaimana banyak alkitab terjemahan Bahasa Inggris, menerjemahkan bahwa Tuhan berdiri di atas batu karang atau di sebelah batu karang; tapi sebenarnya terjemahan yang lebih bertanggung jawab (misalnya dalam ESV), adalah Tuhan berdiri pada batu karang tersebut, “on the rock”, dan Musa disuruh memukul batu karang tersebut. Saudara bayangkan perasaan Musa! Di Gunung Sinai tidak ada yang boleh menyentuh Tuhan; jangankan menyentuh, mereka bahkan harus jaga jarak jauh-jauh dari Gunung Sinai. Gunung Sinai itu “siaga satu”, semua yang di radius tertentu akan mati, tapi kali ini tongkat Musa yang melambangkan keadilan dan kuasa Tuhan turun ke atas batu karang tempat Tuhan. Makna dari episode ini baru jelas berabad-abad kemudian, ketika Paulus menyatakan di 1 Korintus 10:1-4, “Aku mau, supaya kamu mengetahui, saudara-saudara, bahwa nenek moyang kita semua berada di bawah perlindungan awan dan bahwa mereka semua telah melintasi laut. Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut. Mereka semua makan makanan rohani yang sama dan mereka semua minum minuman rohani yang sama, sebab mereka minum dari batu karang rohani yang mengikuti mereka, dan batu karang itu ialah Kristus.”
Saudara, kitalah yang harusnya diadili oleh karena pengkhianatan kita, tapi Allah telah mengambil tempat kita di kursi terdakwa, dan mengambil pukulan yang seharusnya dikenakan kepada kita. Dalam drama tulisan Ruterborn tadi, di akhir dramanya, ketika semua orang telah menuding Tuhan sebagai sumber dari segala kejahatan Holocaust, secara ironis Ruterborn sengaja menulis: mereka menjatuhkan hukuman kepada Tuhan, dan hukumannya adalah Tuhan dijadikan manusia, lahir di palungan, mengembara di dunia, menjadi orang yang tidak punya tempat untuk meletakkan kepalanya, yang merasakan kelaparan, kehausan, pengkhianatan, dan akhirnya mati di salib; dan bukan cuma mati tapi juga mengalami penderitaan seorang ayah yang kehilangan anaknya; dan ketika Ia sendiri mati, Ia mati dengan cara paling terhina, sembari dihina oleh banyak orang. Saudara, yang sungguh amazing adalah Tuhan menjalani “hukuman” tersebut; dan terlebih lagi, hukuman itu bukanlah hukuman untuk kejahatan-kejahatannya Tuhan, melainkan kejahatannya kita. Ia mengambil pukulan itu, dan dari pada-Nya mengalir air hidup.
Hari ini kita sebagai orang Kristen tidak merayakan Hari Raya Purim; tetapi alasannya kita tidak merayakan Hari Raya Purim, yaitu karena kita mempunyai satu perayaan yang mengingat serta merayakan kemenangan yang jauh lebih besar, realita dari apa yang sebelumnya diantisipasi oleh Hari Raya Purim.
Saudara mungkin bertanya-tanya, kenapa dalam situasi pandemi seperti ini, ketika kita baru buka kembali kebaktian fisik, itu langsung disertai Perjamuan Kudus; bukankah harusnya kita meminimalisasi resiko tapi ini malah menambah resiko?? Sepertinya tidak logis. Tapi melalui persiapan khotbah hari ini, saya mengerti mengapa kita perlu segera merayakan Perjamuan Kudus dalam kebaktian fisik kita. Ini bukan karena kita tidak tahu dan tidak peduli akan resiko-resikonya. Dalam hal Perjamuan Kudus atau kebaktian fisik di masa pandemi ini, sebagian orang berpendapat “jangan diadakan dulu, resiko”; jadi kebaktian atau tidak kebaktian ditentukan oleh rasa takut sebagai penentu utamanya. Di sisi lain, ada yang mengatakan, “ayo kebaktian, jadi orang jangan terlalu takut”, dan ujungnya bonek, orang-orang yang bukan memperhitungkan rasio tapi mengabaikan rasio. Yang mana yang benar? Tentu bukan dua-duanya.
Hari ini kita merayakan Perjamuan Kudus karena kita melihat sesuatu yang melampaui resikonya; bukan kita tidak melihat resiko, melainkan kita melihat sesuatu yang mungkin orang dunia memang susah melihatnya, karena inilah perayaan kita. Inilah momen ketika kita diingatkan dan merayakan bagaimana Tuhan telah memberikan perhentian bagi kita, perhentian dari musuh-musuh kita, dari perbudakan berhala-berhala kita. Kita merayakan keselamatan besar yang Tuhan telah lakukan bagi kita. Kita merayakan fakta bahwa Allah telah mengalahkan maut, sengat maut telah dipatahkan. Lewat perayaan ini, kita mengingat bahwa Allah kita adalah Allah yang senantiasa memegang janji-Nya kepada umat-Nya meskipun sudah lewat ratusan tahun. Kita menghayati bahwa Allah tidak pernah meninggalkan kita, buktinya toh Dia memberikan diri-Nya bagi kita, sebagai makanan dan minuman bagi kita. Dalam Hari Raya Purim, orang Yahudi mengingat undi yang dibuang Haman telah diubah menjadi porsi warisan yang berharga dari Tuhan untuk mereka; dalam Perjamuan Kudus kita mengingat Jumat tergelap sepanjang sejarah, hari ini telah menjadi Jumat teragung sepanjang sejarah. Jadi, alasannya kita perlu segera mengadakan Perjamuan Kudus adalah karena Saudara dan saya perlu diingatkan akan Tuhan kita yang demikian –kita perlu diingatkan.
Mengapa kita langsung melaksanakan Perjamuan Kudus begitu buka kebaktian fisik? Saya ajak kita sama-sama merenungkan, adakah cara lain yang lebih tepat untuk merayakan kembalinya kita beribadah di tempat ini, selain dengan mengadakan Perjamuan Kudus? Sama seperti Purim tidak merayakan terluputnya orang Yahudi dari kematian, melainkan bahwa hari kematian itu telah datang, lalu entah bagaimana, satu hari setelahnya mereka tetap hidup, demikian juga Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus bukan merayakan kita terluput dari situasi jelek dalam hidup kita, bukan merayakan bagaimana kita bisa bebas total tidak pernah kena virus dsb., tapi merayakan bahwa sampai pada hari ini, di tengah-tengah pandemi, Tuhan ternyata masih tetap menjaga Gereja-Nya, Tuhan masih tetap menyertai Gereja-Nya. Itulah yang kita rayakan; oleh karena itu, dalam situasi seperti ini pun kita mengadakan Perjamuan Kudus.
Inilah sebabnya saya mengatakan Kekristenan itu realistis –dan seringkali terlalu realistis bagi banyak orang. Sekali lagi, ini bukan perayaan yang melupakan situasi pandemi di luar sana, ini perayaan yang sungguh sangat diperlukan oleh karena situasi di luar sana, karena kita perlu diingatkan bahwa penderitaan, bahkan kematian, bukanlah sesuatu yang ada di pinggiran iman kita, melainkan justru di tengah-tengah iman kita, sentral bagi iman kita. Dunia di luar bergumul dengan pertanyaan ‘mengapa hal-hal yang jahat terjadi pada orang-orang yang baik’; bagi mereka, penderitaan tidak ada tempatnya. Tapi di tengah-tengah iman, waktu Saudara menghampiri meja Perjamuan, yang Saudara lihat adalah Seseorang yang baik, yang terbaik, yang paling sempurna, Dia menderita; menderita bukan karena dosa-Nya, tapi karena mengambil dosa-dosa Saudara dan saya. Dan, justru melalui-Nya, Allah mendatangkan Kerajaan-Nya, karena yang kita rayakan dalam Perjamuan Kudus bukan cuma hari kematian Tuhan Yesus, tapi juga bahwa setelah hari kematian itu tiba, dan kemudian berlalu, Tuhan kita bangkit, maut telah dikalahkan.
Hari ini, waktu kita menghampiri meja Tuhan, mari kita mengingat dan merayakan kembali hal ini. Sama seperti Kristus tidak terluputkan dari kematian, kita juga bukan merayakan terluputnya diri kita dari kematian. Ada di antara kita yang sudah mengalami kematian, sementara Saudara dan saya yang terluput dari Covid pun toh suatu saat juga akan mengalami kematian. Tetapi inilah yang kita sedang rayakan, inilah yang sedang kita ingat: kita sedang merayakan bagaimana dari kematian bisa timbul kehidupan; kita diingatkan bahwa dalam hidup dan dalam kematian, itu adalah jalan untuk Kerajaan Allah dinyatakan di atas dunia ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading