Pembahasan Kitab Mazmur kita seperti lompat-lompat karena beberapa bagian saya sudah pernah kotbahkan dan bukunya juga sudah dicetak, jadi saya tidak akan mengkotbahkan lagi pasal-pasal tersebut. Hari ini kita melanjutkan pembahasan dari Mazmur 12, “Doa minta tolong terhadap orang yang curang”.
Di dalam terjemahan bahasa Inggris, Mazmur 12 ini diberi judul “The faithful have vanished”. Ini kalimat yang terdengar sangat pesimis, bahkan sangat paranoia, tapi ini dicatat sebagai bagian Firman Tuhan, suatu pengalaman riil yang dialami orang percaya. Dalam hal ini memang bahasa yang dipakai termasuk bahasa hiperbola, namun sebagaimana kita tahu, kitab-kitab puisi ini bicara tentang perasaan manusia, sehingga bahasa-bahasa hiperbola dianggap bisa mengekspresikan kesulitan jiwa yang begitu dalam. Waktu kita membahas mazmur, memang tidak salah untuk mendekatinya secara rasional, tetapi mazmur terutama adalah suatu nyanyian, sehingga kita perlu mengerti mazmur dengan menyanyikan –dengan perasaan. Mazmur adalah kitab yang sangat emosional, sangat afektif, sehingga tidak cukup kita hanya menganalisanya secara rasional, kita harusbelajar untuk mengerti kesulitan jiwa si pemazmur –dalam hal ini, Daud.
Kita membaca di ayat 2, satu permintaan tolong, bahkan satu kalimat imperatif: “Tolonglah kiranya, TUHAN”. Mengapa? Karena pemazmur merasa “orang saleh telah habis, telah lenyap orang-orang yang setia dari antara anak-anak manusia”. Dalam kehidupan kita, ada saat-saat kita merasa seperti tidak ada komunitas yang mendukung; adakalanya kita mau share kepada mereka tapi tidak bisa karena tampaknya worldview mereka berbeda, mereka bukan orang yang takut akan Tuhan. Inilah yang pemazmur rasakan, dia merasa tersendiri. Saudara jangan mengerti bagian ini secara negatif, ‘lu ini memang ge-er, merasa benar sendiri, memangnya benar ‘gak ada orang yang takut akan Tuhan?? lu kira lu doang yang takut akan Tuhan??’ –jangan ditafsir ke arah ini. Di sini bukan tentang salah menilai, atau semacam paranoia merasa tersendiri padahal tidak, melainkan satu pengalaman yang riil dalam kehidupan pemazmur. Dan pertanyaannya, bagaimana dalam keadaan seperti ini, pemazmur merespons di hadapan Tuhan.
Jadi, kita melihat di sini yang tidak ada adalah komunitas yang suportif. Komunitas apa? Kalau kita membaca dalam bahasa Perjanjian Lama, ada 2 kata yang penting:hesed (kasih setia Tuhan/steadfast love) dan amunah (kesetiaan/faithfulness); dan pemazmur tidak mendapati komunitas yang seperti itu. Sebaliknya, yang ada di sekelilingnya adalah orang-orang yang berdusta seorang kepada yang lain, yang mengatakan kebohongan, yang berkata-kata dengan bibir yang manis dan hati yang bercabang –jadi di sini bicara tentang bibir, lidah, hati.
Kita membaca di bagian ini, mereka adalah komunitas yang sudah biasa berbohong. Bibir yang manis, menunjukkan perkataan mereka menyenangkan orang lain tapi tidak sungguh-sungguh menyatakan yang di dalam hati. Hidup di tengah komunitas penjilat seperti ini, mungkin kita juga bisa senang, tapi yang dikatakan mereka tidak jujur. Setidaknya, pemazmur tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan orang yang bibirnya manis; pemazmur tidak tertipu atau naif. Di dunia ini ada orang yang suka sekali mendengar perkataan-perkataan manis, senang dijilat-jilat, tapi pemazmur tidak seperti itu. Pemazmur mempunyai spiritual discernment, dia bisa membedakan yang ini bibir manis, yang ini tidak jujur, dusta.
Selanjutnya bagian ini bicara tentang hati yang bercabang; dalam bahasa Inggris istilahnya ‘double heart’. Bahasa Ibrani aslinya kalau diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi ‘heart and heart’ –hati dan hati (dobel hati) atau hati bercabang. Maksudnya, di sini kita jadi tidak bisa mengenal dia ini sebenarnya sedang memerankan side A atau side B, sedang jadi Dr. Jekyll atau Mr. Hyde, sedang jadi Hulk atau normal –tidak jelas yang ditampilkan ini bagian yang mana. Ini orang yang bermuka dua. Dan, kita jadi bingung menghadapi orang yang seperti ini. Pemazmur tahu, dirinya hidup di tengah-tengah angkatan/generasi yang seperti itu. Dia tidak bisa tahan, dia merasa tersendiri. Dia menggambarkan dirinya dikelilingi orang-orang yang tidak setia, yang merasa seakan-akan itu hal biasa, yang suka sekali berdusta dan bagi mereka kebenaran tidak penting. Dalam keadaan seperti ini, pemazmur berseru kepada Tuhan.
Kalau menurut Alkitab, dan termasuk menurut mazmur ini, lidah atau bahasa kita mengekspresikan karakter yang ada di dalam diri kita. Saudara tentu pernah dengar kalimat seperti ini: ‘engga sih, dia memang orangnya kasar tapi lembut di dalam’, atau ‘dia itu memang suka ngomong kebohongan, dusta, hoax, tapi sebenarnya dia jujur di dalam’. Kalimat-kalimat seperti ini sama sekali tidak masuk akal; yang kita baca di sini, apa yang dikatakan orang, itu keluar dari perbendaharaan hatinya. Hati yang baik akan mengeluarkan buah yang baik, hati yang jahat akan mengeluarkan perkatan yang jahat.
Pemazmur dikelilingi orang-orang seperti itu, dan dia merasa dalam kehidupannya seperti tidak ada dukungan, tidak ada advokat yang membela dia, maka dia berseru kepada Tuhan, mengatakan kalimat-kalimat prophetic (kenabian) yang juga adalah pengharapannya, “Biarlah TUHAN mengerat segala bibir yang manis dan setiap lidah yang bercakap besar” (ayat 4). Sekarang kita coba mendaftarkannya; pemazmur ini dikelilingi orang-orang yang berdusta, yang suka memutarbalikkan fakta, yang bibirnya manis suka menyenangkan orang tapi sebenarnya dusta, yang hatinya dobel. Dan di ayat 4 ada satu tambahan lagi, yaitu lidah yang bercakap besar; ini adalah orang-orang yang suka membual dengan lidahnya. Dalam terjemahan bahasa Inggris, setelah “May the Lord cut off all flattering lips (lidah yang menjilat)” lanjutannya adalah “the tongue that makes great boasts”, artinya suka bicara yang besar-besar, yang muluk-muluk. Ini bicara tentang kesombongan.
Hidup di dalam dunia ini, kita capek mendengar orang yang terus-menerus membesar-besarkan dirinya sendiri; lalu kita juga seperti dipaksa membesar-besarkan diri kita, ikut dalam kompetisi itu. Itu adalah injil palsu, itu injil yang membesar-besarkan diri. Dalam hal ini, kalau kita tidak kuat, kita bisa tergencet dan akhirnya jadi minder, merasa rendah diri, dsb.; atau kalau kita lumayan kolerik, kita jadi ikut saingan sekalian, ‘memangnya cuma dia yang bisa seperti itu?’, lalu kita jadi iri hati dan tergoda untuk membesar-besarkan diri juga. Kehidupan yang seperti ini, sangat menggelisahkan, tidak ada berhentinya. Tidak ada sabat di dalam kehidupan orang-orang yang seperti itu. Tetapi kita membaca dalam mazmur ini, Daud tidak mau masuk dalam saingan ‘great boasts’ ini, untuk apa ikut pertandingan-pertandingan seperti ini, sebaliknya dia berdoa kepada Tuhan, biar Tuhan yang menyelesaikan, biar Tuhan yang cut off bibir yang suka menjilat itu, biar Tuhan yang cut off lidah yang suka membanggakan diri itu.
Namun demikian, kesombongan mereka itu betul-betul nyata/riil; dalam ayat 5 mereka berkata, "Dengan lidah kami, kami menang!” (“With our tongue we will prevail”). Perhatikan, ini seperti pembalikan Injil. Kalau kita baca dalam Perjanjian Lama, kita sering dengar kalimat “bersama Tuhan, kami menang”; tapi di sini mereka bilang “dengan lidah kami, kami menang”. Sementara Injil yang sejati mengatakan “the Lord is with us”, orang-orang fasik ini bicara “our lips are with us”, mereka ini begitu percaya akan kuasa lidah dan bibir mereka (the power of their lips and their tongue). Ada orang yang suka berkata-kata dusta, dia pikir dengan kata-katanya itu dia bisa menyakinkan orang lain, akhirnya orang lain tersesat mengikuti hoax yang dia katakan. Orang seperti ini berpikir dirinya sangat punya kekuatan dengan berkata-kata; dengan kata-katanya dia mempengaruhi orang lain, lalu dia pikir, dirinya akan menciptakan realita berdasarkan kata-katanya itu. Orang-orang ini begitu sombong, mereka merasa tidak ada tuan di atas dirinya, mereka bilang “siapa yang di atas kita? tidak ada!” Ini adalah orang yang menjalani kehidupan yang penuh dengan otonomi pribadi, dirinya sendiri adalah hukum, tidak ada yang boleh mengatur dirinya, perkataannya sudah seperti firman yang kalau dia bicara maka semua orang harus dengar, dsb. Ini adalah gambaran orang-orang fasik.
Lalu, bagaimana menghadapi orang-orang yang memegahkan perkataannya, yang memegahkan bibir dan lidahnya? Kalau kita membaca di bagian ini, pemazmur menyerahkannya kepada Tuhan, “Biarlah TUHAN mengerat segala bibir yang manis, dan setiap lidah yang bercakap besar” –biarlah itu diselesaikan olehTuhan. Lamentasi pemazmur ini masih belum selesai; di pasal 12 ini kita membaca bahwa yang menjadi korban adalah orang-orang tertindas, orang-orang lemah yang tidak punya kekuatan (powerless), orang-orang miskin (the poor and the needy). Mereka ini rentan sekali menjadi korban penindasan. Orang-orang ini cuma bisa mengeluh di hadapan Tuhan, tetapi itu juga sudah merupakan iman. Dalam kehidupan ini kita bisa tergoda untuk balas bicara terhadap orang yang berkata-kata memegahkan diri; atau sebaliknya, kita belajar berdiam diri lalu menaikkan keluhan kita di hadapan Tuhan.
Selanjutnya kita melihat ada kontras; dunia ini dipenuhi orang-orang yang dengan bibir dan lidahnya memegahkan diri mengatakan perkataan-perkataan dusta, dan ada Tuhan yang perkataan-Nya adalah perkataan yang murni. Ayat 7, “Perkataan TUHAN adalah perkataan yang murni, bagaikan perak yang teruji, tujuh kali dimurnikan dalam dapur peleburan di tanah” –alangkah murninya perkataan Tuhan (di bagian ini terjemahan bahasa Indonesia memakai istilah ‘janji Tuhan’, tapi bahasa Inggrisnya ‘the words of the Lord’ sehingga lebih tepat diterjemahkan ‘perkataan Tuhan’). Pemazmur meletakkan pengharapannya kepada Tuhan, pada Firman/perkataan Tuhan. Perhatikan, pemazmur bukan bicara “kamu pendusta, pembohong, suka memegahkan diri, sedangkan saya perkataannya lebih murni lebih jujur”, pemazmur tidak bicara soal perkataan dirinya tapi perkataan Tuhan. Inilah iman. Dia bukan terpancing untuk menyatakan ‘perkataan saya lebih baik daripada perkataan kamu yang banyak kebohongan’; sebaliknya, di tengah-tengah generasi yang suka berkata bohong dan berkata dusta, dia melihat kepada Firman Tuhan.
Kita ini tidak kebal atas perkataan orang lain terhadap kita; apalagi kalau itu perkataan dusta, kita akan terganggu. Perkataan orang kadang-kadang bisa sangat menghancurkan kita, sampai-sampai kita depresi, terkuras emosinya, dst. Memang kita tidak kebal dari perkataan-perkataan manusia, tapi yang membuat kita lebih kuat adalah waktu kita belajar dari pemazmur, belajar untuk lebih membiarkan Firman/perkataan Tuhan mendefinisikan kehidupan kita daripada perkataan-perkataan manusia. Orang yang sangat tergantung perkataan manusia, sebetulnya kasihan, karena manusia yang hari ini memuji Saudara, mungkin besok dia mengutuki dan mencaci-maki Saudara –alangkah tidak stabilnya. Kalau kita berharap perkataan manusia, mereka bilang begini begitu Saudara senang, nanti giliran mereka kritik dan salah mengerti Saudara, Saudara akan langsung kolaps di bagian itu.
Salah satu pertumbuhan dalam kedewasaan rohani yang dikehendaki Tuhan, adalah kita belajar lebih mendengarkan Firman Tuhan ganti perkataan-perkataan dusta yang ada di sekeliling kita. Kita tidak perlu terganggu dengan perkataan-perkataan yang memegahkan diri, kita mendengarkan Firman Tuhan saja. Firman itu keluar dari mulut Tuhan, dan itu mencerminkan karakter Tuhan sendiri. Sama seperti perkataan orang fasik mencerminkan karakter yang ada dalam dirinya, demikian juga Firman Tuhan mencerminkan karakter yang ada dalam diri Tuhan. Oleh sebab itu, berbahagialah kita yang bisa menempatkan diri di bawah terang Firman Tuhan, bukan di dalam kegelapan perkataan-perkataannya manusia.
Kalau kita melihat alur mazmur ini, di situ ada transformasi –sebagaimana biasa terjadi dalam kitab Mazmur. Mazmur ini dimulai dengan satu doa yang kelihatan begitu putus asa, betapa tidak ada satu pun orang saleh, betapa telah habis lenyap orang-orang yang setia di antara anak-anak manusia. Permulaan yang tersendiri ini kemudian diubahkan oleh Tuhan, sampai akhirnya pemazmur bisa mendapatkan keteguhan hati di dalam Firman Tuhan. Waktu orang fasik mengatakan kalimat yang sangat menantang dan kurang ajar itu, “siapakah tuan atas kami?”, secara tidak langsung pemazmur menjawab di ayat 6, “ada, yaitu Tuhan yang akan bangkit itu”, Tuhan yang akan menjadi Tuan atas musuh-musuh pemazmur, Tuhan yang juga akan override perkataan dusta musuh-musuh ini.
Saya percaya, bukan hanya di Mazmur 12 tapi juga mazmur-mazmur yang lain, ada 3 suara di sini: suara dari pemazmur, suara dari musuh-musuh atau orang fasik, dan suara dari Yahweh. Apakah ini riil? Saya percaya bisa saja riil; tapi kalaupun tidak, di sini terjadi semacam konflik batin, semacam internal drama. Orang bergumul tidak tentu harus benar-benar ada yang bicara, kadang-kadang pikiran kita sendiri yang negatif itu membuat kita pikir ada orang menjelekkan kita, dsb.; ini semacam internal drama atau internal voices di dalam hati. Kalau kita lemah, kadang kita memberi ruang kepada perkataan-perkataan negatif ini –mungkin itu suara-suara internal, mungkin juga benar-benar ada kata-kata riil dari orang yang memusuhi kita– dan akhirnya menghancurkan diri kita sendiri. Belakangan ini ada berita-berita tentang anak remaja yang bunuh diri karena cyber bullying; orang-orang yang membenci dia menulis “koq lu masih hidup, kenapa lu ‘gak mati saja?; katanya sudah mau berangkat, kenapa lu hari ini masih ada?”, dan akhirnya betul, dia selesaikan hidupnya hari itu juga.
Perkataan manusia betul-betul bisa sangat menghancurkan orang lain. Kalaukita tidak bisa menempatkan diri secara benar, kita termakan perkataan-perkataan musuh, maka yang rugi kita sendiri. Ada meme yang mengatakan, ‘sebetulnya pikiran-pikiran negatif tidak ada kuasanya, tapi kita seringkali memberikan kuasa kepada pikiran-pikiran negatif itu’. Luther mengingatkan kita, kita tidak bisa menghindari burung lewat di atas kepala kita, maksudnya pikiran-pikiran negatif yang destruktif kadang lewat di kepala kita dan kita tidak bisa mencegah itu; tapi kita bisa mencegah burung itu berhenti di kepala kita lalu bersarang dan buang kotoran, dsb., maka kita jangan memberikan kuasa kepada suara-suara yang destruktif itu.
Spiritualitas apa yang kita bisa pelajari dari spiritualitas orang Israel dalam hal ini? Yaitu bagaimana kita berurusan dengan yang disebut ‘triangular interaction’ (interaksi segitiga) ini, antara pemazmur yang berbicara ini, lalu ada Allah/Yahweh, dan ada musuh. Israel, melalui Daud, belajar menempatkan iman mereka, sehingga mereka ada kepastian/confidence waktu melihat diri mereka bersama dengan Yahweh (solidaritas bersama dengan Yahweh. Ini respons yang cukup. Ancaman dari musuh akan tetap ada, tapi pemazmur merespons di hadapan Tuhan, menaruh kepercayaan kepada Tuhan yang membela dan akan membenarkan dia.
Kalau kita melihat sejarah Perjanjian Lama, kita akan mendapati bahwa Israel sebetulnya tidak bisa melarikan diri dari segitiga ini, antara saya, Tuhan, musuh. Kalau Saudara harus memilih mazmur yang paling indah bagi diri Saudara, mungkin banyak orang memilih Mazmur 23. Memang Mazmur 23 benar-benar indah, satu gambaran yang memang memberikan ketenangan jiwa, waktu kita baca rasanya adem; “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku, Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau”. Lalu di situ kita mengharapkan hubungan saya dan Tuhan, Tuhan dan saya –I and Thou relationship. Tetapi perhatikan ayat 5 dari Mazmur 23 itu: “Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku” –sekali lagi, ada interaksi segitiga ini. Bahkan dalam mazmur yang paling-paling adem, tetap ada kata ‘lawan’ di sana. Kita tidak bisa mengharapkan kehidupan Kristen yang terus-menerus nyaman, cuma saya dan Tuhan, tidak ada musuh sama sekali, tidak ada orang yang ngomongin kita, dsb.; kita tidak bisa mengharapkan model Kekristenan seperti ini. Sama seperti Israel, kita juga tidak akan pernah bisa lari dari segitiga ini –dan itu juga dikehendaki oleh Tuhan. Yesus sendiri harus berhadapan dengan orang-orang Farisi, bukan cuma berhadapan dengan murid-murid-Nya yang taat, dan di sekeliling Yesus juga ada Yudas –dalam hal ini, itu juga semacam segitiga tadi. Demikian pula kehidupan Saudara dan saya, Tuhan menghadirkan triangle interaction ini untuk membantu kita jadi lebih dewasa di dalam Tuhan.
Poinnya bukan bagaimana musuh-musuh itu jadi tidak ada lagi, melainkan bagaimana kita bisa tersenyum menghadapi musuh, persis seperti yang dikatakan Mazmur 23 tadi, “Engkau (maksudnya Tuhan) menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku”. Ini gambaran yang sangat indah. Saudara tentu pernah nonton National Geographic, ada gambaran rusa atau domba yang powerless, sementara di situ juga ada jaguar atau serigala, maka sudah pasti rusa atau domba itu jadi makanannya yang powerful. Namun gambaran di Mazmur 23, alih-alih domba ini jadi mangsanya binatang-binatang buas itu, di sini justru tuannya (si gembala) menyediakan hidangan di hadapan binatang-binatang buas yang sudah mau menerkam itu, tapi tidak bisa menerkam karena si gembala membawa gada. Tuhan menghendaki lawannya ini tetap ada. Tuhan bukan memberikan makanan kepada kita, sementara semua lawan sudah entah di mana; lawannya tetap ada di sana. Orang-orang yang membenci kita, memfitnah kita, ataupun yang suka kepada kita, semua itu Tuhan hadirkan di sekeliling kita. Kita tidak bisa bilang, “Tuhan, semua orang itu mati saja, cuma tinggal saya dan orang-orang yang suka dengan saya”; ini bukan Kekristenan.
Interaksi segitiga ini dikehendaki oleh Tuhan. Di sini yang penting adalah bagaimana pemazmur belajar percaya bahwa Tuhan mendengar teriakan orang-orang yang ditindas. Meski dalam kenyataannya kita seperti merasa Tuhan tidak segera datang, kita tetap perlu percaya bahwa Tuhan pada akhirnya akan menyatakan keadilan-Nya. Ini karena Tuhan yang kita percaya bukan Tuhan yang mencintai dusta melainkan mencintai kebenaran. Tetapi, waktunya bisa begitu lama, sepertinya tidak sesuai ekspektasi kita. Kalau kita membaca sejarah, kadang-kadang kita juga tidak mengerti. Ada satu cerita ketika rasisme masih sangat kental di Amerika; suatu kali ada 2 remaja kulit putih yang mati, di situ langsung ada prejudice bahwa orang kulit hitamlah yang pasti membunuh mereka, dan seorang remaja kulit hitam yang dituduh sebagai pembunuhnya langsung dihukum mati kursi listrik. Setelah berpuluh-puluh tahun, baru sekarang ditemukan bahwa ternyata bukan dia pembunuhnya –tapi dia toh sudah mati. Kalau kita membaca cerita-cerita seperti ini, kita sedih, sepertinya koq, Tuhan lambat sekali. Banyak hal yang kita tidak mengerti; kita musti rendah hati menjawab seperti ini. Tapi kita tetap percaya bahwa Tuhan adalah Tuhan yang baik. Dia akan memulihkan pada waktunya, meskipun yah, orang itu mati juga.
Pemazmur bersama dengan orang Israel bergumul dalam penindasan oleh orang-orang yang lebih berkuasa yang suka mengatakan dusta. Dunia pun sepertinya lebih suka mendengarkan orang-orang berkuasa seperti ini daripada mendengarkan orang lemah dan miskin. Lalu apa penghiburannya? Kalau kita membaca dalam kitab nabi-nabi, misalnya kitab Mikha, Yesaya, Hosea, kita melihat nabi-nabi yang saleh, yang kudus, yang diberkati Tuhan, juga meratapi kejahatan masyarakat mereka. Waktu kita bisa meratapi masyarakat kita yang rusak, itu berarti kita sudah berbagian di dalam ceritanya, kita seperti menghidupi kehidupan para nabi. Tapi ada orang yang tidak peduli; masyarakat rusak atau apa, saya punya gettho saya sendiri, saya punya home theater saya sendiri, saya punya sauna saya sendiri, saya punya menara gading saya sendiri. Atau, kita berkumpul dengan orang-orang kudus, orang-orang saleh, mereka mau hancur, ya, hancur sendiri saja, saya toh masuk ke perkumpulan orang kudus. Sebaliknya, nabi-nabi itu meratap, dan ini memang menyakitkan. Kalau tidak mau sakit, ya, tutup mata, saya tidak mau tahulah urusan itu, saya ada kebahagiaan sendiri.
Mazmur ini mengajar supaya kita belajar menangisi kerusakan yang ada di sekeliling kita; dan bukan tidak peduli, mau rusak atau apa terserah, saya sendiri juga minoritas. Nabi-nabi itu meratap. Yesus juga berduka atas generasi yang fasik dan tidak setia; dalam Markus 9: 19 Dia berkata, "Hai kamu angkatan yang tidak percaya, berapa lama lagi Aku harus tinggal di antara kamu? Berapa lama lagi Aku harus sabar terhadap kamu?” Yesus meratap dan berduka atas generasi yang tidak percaya ini. Dia masuk, Dia memahami, dan Dia juga dilukai dengan keadaan dunia yang penuh dengan tidak adanya iman serta kesetiaan ini. Yesus, seperti yang ditulis dalam Mazmur 12 ini, juga menyerukan “telah habis orang-orang yang saleh, telah lenyap orang-orang yang setia dari antara anak-anak manusia”. Yesus bicara tentang angkatan yang tidak percaya ini (faithless generation); dan di Mazmur 12: 8 juga dikatakan, “Engkau, TUHAN, yang akan menepatinya, Engkau akan menjaga kami senantiasa terhadap angkatan (generation) ini.”
Percaya kepada Yesus Kristus berarti juga diundang untuk terlibat dengan persoalan yang ada di masyarakat –meski kita minoritas. Sebagai minoritas, ada pencobaan untuk ‘sudahlah, tidak usah ikut campur urusan masyarakat, kita sendiri saja sudah setengah mati, ‘gak usah sok mau jadi juruselamat nanti malah masuk penjara karena terlalu banyak berkoar-koar urusan masyarakat; sudahlah, hidup tenang saja’ –pencobaan untuk tidak peduli. Dan kita membenarkan diri sebagai minoritas yang toh tidak bisa berbuat apa-apa, ‘sudahlah dagang saja, urusan politik, masyarakat, dsb. itu bukan urusan kita’. Tapi kita tidak mendapatkan prinsip itu dalam Mazmur 12. Nabi-nabi tidak seperti itu. Yesus juga tidak seperti itu. Dalam Mazmur 12 ini, pemazmur terlibat –bukan dalam arti melakukan, tapi menangisi dan meratapi– di dalam kerusakan yang ada di dalam masyarakat. Dia merespons dengan berdoa, dengan lamentasi, dengan mengatakan kalimat profetik, kalimat iman, bahwa Tuhan akan menyelesaikan itu.
Kalau boleh kita simpulkan, ini semua bicara tentang kata-kata. Ada kata-katanya pendusta, kata-katanya orang fasik, kata-kata yang memegahkan diri, menjilat, dsb., inilah kata-kata yang jahat. Dan kita tidak kebal terhadap kata-kata seperti itu, apalagi kalau kita yang kena fitnah. Tapi kemudian pemazmur belajar meletakkan dirinya dan imannya pada perkataan Tuhan; bukan perkataan dusta dan perkataan yang jahat, tapi perkataan Tuhan. Lalu bagaimana dengan kata-kata dia sendiri?
Dia sendiri berkata-kata di dalam doa, di dalam keluhan, di dalam lamentasi. Dia mengatakan kalimat profetik ini, kalimat iman bahwa Tuhan yang akan menyelesaikannya. Dia menyerahkannya kepada Tuhan. Ini menjadi cara (mode) bicaranya. Jadi dia bukan diam saja, dia juga berkata-kata. Tapi bukan berkata-kata respons yang terbawa oleh kata-kata dustanya orang fasik, melainkan kata-kata yang merupakan respons dari pengenalan serta keteguhan iman akan perkataan yang disampaikan oleh Tuhan.
Kiranya Tuhan menolong kita bertumbuh di dalam kita menghadapi kata-kata, di dalam kita semakin yakin akan kata-kata Tuhan, di dalam kita sendiri juga berkata-kata yang seharusnya mencerminkan karakter kita sebagai orang percaya. Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading