Di sini LAI memberi judul “Rumah Bapa”, judul yang baik, karena salah satu kebutuhan manusia yang paling pokok yaitu tempat tinggal; Yohanes membawa kita kepada pemahaman tempat tinggal dalam arti rohani, karena kita bukan cuma hidup dalam dunia fisik. Berbeda dengan LAI, terjemahan ESV memberi judul “I am the Way, the Truth, and the Life”. Kita tidak harus memilih, karena masing-masing punya perspektif berbeda; baik mau menekankan tentang rumah/tempat tinggal, ataupun mau menekankan Kristologi ‘I am the Way, the Truth, and the Life’, dua-duanya berkaitan, antara motif ‘jalan’ dan motif ‘rumah Bapa’.
Ayat 1, “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku”. Meski ini permulaan pasal yang baru, kita musti melihat ayat 1 ini dalam kaitan dengan sebelumnya. Di perikop sebelumnya, Yesus mengatakan kalimat terakhir, yang memang bukan ketidakpercayaan atau semacam skeptisisme Yesus terhadap Petrus, melainkan satu pembicaraan realisme teologis, bahwa dalam konteks manusia mengatakan dirinya mencintai Tuhan, maka gambarannya seperti yang dikatakan Yesus di ayat 38, “Nyawamu akan kuberikan bagi-Ku?” –atau dalam parafrasa yang agak bebas: “engkau akan mengasihi Aku?”—“Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali”. Tidak ada ceritanya manusia itu mencintai Tuhan –satu pembukaan untuk kita senantiasa ingat kebenaran ini. Kita akan jadi sombong rohani kalau menganggap diri mencintai Tuhan. Ayat ini bukan cuma cocok di awal pengikutan kita kepada Tuhan, tapi akan selalu cocok dalam kehidupan kita kalau kita bergantung pada kekuatan sendiri. Dari sisi manusia terhadap Tuhan, tidak ada orang yang mencintai Tuhan. Jadi ketika Yesus memberikan perintah baru, maka bersama-sama dengan Luther dan Paulus, kita mengatakan, tidak ada orang yang bisa mencintai Tuhan; dan ini dinyatakan Yesus sendiri, “Nyawamu akan kuberikan bagi-Ku?” Kamu pikir kamu bisa menyerahkan nyawamu bagi-Ku, kamu pikir kamu akan mengorbankan dirimu bagi-Ku, tapi kenyataannya Yesus-lah yang menyerahkan diri-Nya, nyawa-Nya, bagi Petrus, bagi Gereja-Nya, bagi Saudara dan saya.
Sedikit merekonstruksi ceritanya, murid-murid tentu sangat discourage mendengar ini, karena kalau Petrus saja –yang paling spontan, pemimpin, senior— tentangnya Yesus mengatakan ‘kamu tidak bisa mengasihi Saya, kamu tidak bisa memberikan nyawamu bagi-Ku; setidaknya seperti yang kamu pikir pada saat ini dengan bijaksana yang menurut kamu, itu tidak akan terjadi, tapi nanti setelah kamu dipulihkan’ (dan memang Petrus nantinya menyerahkan nyawa bagi Kristus, tapi setelah dia mengalami kejatuhan), lalu bagaimana kita semua yang lain? Pengalaman kejatuhan seperti ini penting dalam kehidupan manusia, maksudnya ini satu kesadaran bahwa manusia tidak bisa mencintai Tuhan. Kalau kita tidak mau masuk ke dalam pengenalan seperti ini tentang diri kita –bahwa kita sebetulnya tidak tertarik untuk berkorban bagi Tuhan– maka kita sulit jadi orang Kristen yang terus maju. Salah satu dosa yang paling menghambat manusia mengenal Tuhan adalah self righteousness; dan salah satu bentuk self righteousness adalah ‘saya merasa saya mencintai Tuhan, saya beribadah kepada Tuhan, saya berkorban bagi Tuhan’. Petrus, dan kita semua juga, mendapat peringatan ini dari Yesus.
Yesus bisa membaca hati murid-murid yang lain, ketika Dia mengatakan “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku”. Kalau kita kaitkan dengan perikop sebelumnya, maksudnya: ‘kalau kamu bergantung pada cintamu sendiri, kalau kamu merasa diri sanggup berkorban bagi Tuhan, kamu akan gelisah, kamu akan mendapati hidup itu naik-turun, lalu mana mungkin menyerahkan nyawa bagi Tuhan?? itu tidak akan terjadi dari kekuatanmu sendiri.’ Maka di sini Yesus mengatakan “jangan gelisah”; Yesus tahu murid-murid-Nya begitu gelisah. Kalau secara struktur, mulai pasal 14 ini masuk kepada yang disebut “farewell discourse” (diskursus perpisahan) yang cuma ada di Injil Yohanes.
Yesus memulai diskursus perpisahan dengan kalimat “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku”. Berhenti percaya kepada diri sendiri akan kesanggupan kita berkorban bagi Tuhan, mencintai Tuhan, percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada Anak-Nya, Yesus Kristus. Dialah yang akan mengorbankan nyawa-Nya bagi kita, bukan kita yang mengorbankan nyawa bagi Dia. Ajakan ini mengantisipasi penderitaan yang akan dialami Kristus, yang tentu akan menggoncangkan iman murid-murid. Siapa yang masih bisa percaya waktu melihat Yesus ditarik ke ruang pengadilan, dikutuk pemimpin-pemimpin agama, dipakukan di kayu salib, dan ditertawakan musuh-musuh-Nya? Siapa yang masih bisa percaya kepada pemimpin yang seperti ini? Hal itu begitu menggoncang. Dalam bagian ini belum terjadi tapi akan terjadi, maka Yesus mengatakan untuk tetap percaya kepada Dia. “Keep on believing in Me”, ini satu ajakan terus-menerus meskipun berada dalam gambaran yang seperti tidak mungkin untuk percaya, sebagaimana yang dikatakan Paulus dalam Surat kepada Jemaat di Roma, “kami berharap, meskipun tidak ada dasar untuk berharap”.
Dalam hal ini, kalau kita membaca tentang orang-orang Yahudi yang berada di kamp konsentrasi, pengharapan mereka kepada Yahweh, Tuhan yang mereka kenal itu, sangat bisa menjadi teladan bagi kita (di sini kita bicara dalam pengertian iman secara anugerah umum, toh mereka bangsa yang juga menerima wahyu Tuhan). Dalam kehidupan seperti itu, waktu banyak orang yang tetap tidak kecewa kepada Tuhan, itu betul-betul iman yang luar biasa, sekalipun kalau ternyata itu bukan iman yang menyelamatkan. Kita bilang, orang-orang Yahudi ini, dari perspektif Kristen sepertinya tidak mengenal Allah Tritunggal, mereka cuma mengenal Allah dari Perjanjian Lama dan wahyu tersebut belum komplit, tapi mengapa di kamp konsentrasi mereka bisa bertahan? Tapi banyak orang Kristen yang sedikit mengalami kesulitan, sedikit mengalami penderitaan, sedikit tidak dikabulkan permintaannya, lalu kecewa. Ada sesuatu yang salah pada diri kita di sini. Kita katanya mengenal Allah dengan lebih benar, tapi kita terlalu gampang kecewa, terlalu gampang menyerah, lebih tidak punya pengharapan dibanding mereka? Mereka merenungkan ayat-ayat seperti dalam Mazmur yang Yesus katakan di kayu salib, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Mereka merenungkan ayat-ayat dalam Yesaya tentang hamba yang menderita, mereka menempatkan diri mereka juga di situ –meski mungkin semacam kesombongan rohani juga. Bagaimanapun, secara fenomena, orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tidak berhenti berharap kepada Tuhan yang mereka percaya, dalam penderitaan yang luar biasa ekstrim.
Yesus memperingatkan murid-murid-Nya untuk tetap percaya kepada Allah, percaya kepada Dia, terlepas dari keadaan yang nanti akan menggoncang. Diskursus perpisahan ini dimulai dengan kalimat untuk jangan gelisah dan tetap percaya kepada Allah, kepada Yesus, kemudian disusul dengan motif rumah. “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu” (ayat 2). Ada pengkotbah yang menafsirkan ayat ini, dengan mengatakan bahwa kita masih di dunia, belum ke surga, karena tempat yang di sana itu belum beres, sedang direnovasi oleh Tuhan Yesus; nanti setelah renovasi selesai, detik itu juga Saudara langsung dipanggil Tuhan. Apa masuk akal tafsiran seperti ini? Menafsir ke arah sana, tidak ada poinnya sama sekali. Itu berpikir secara manusia, lalu berharap Tuhan juga bekerja seperti kita, bahkan secara congkak seakan mengatakan kita kerja lebih cepat dari Tuhan, dan Tuhan kerjanya tidak selesai-selesai.
Terjemahan bahasa Indonesia, ayat ini memakai kalimat “banyak tempat tinggal”, ini terjemahan yang sangat bagus. Terjemahan bahasa Inggris, ESV menulis: “In my Father’s house are many rooms” –‘in my Father’s house’ singular, ‘many rooms’ plural, jadi agaknya kita akan tinggal serumah. Tapi ada terjemahan bahasa Inggris yang menulis: “In My Father’s house are many mansions” –wow! ini yang saya mau! kita membayangkan Beverly Hills! Ada bahaya waktu membaca ayat ini dengan memasukkan worldview individualistik kita, sehingga kita membacanya dalam pengertian tadi. Luther menerjemahkan ayat ini dengan kata ‘wohnungen’, artinya tempat tinggal semacam apartemen di Jerman. Memang tidak salah menerjemahkan secara kontekstual supaya orang bisa mengerti sesuai budayanya, tetapi kita musti tahu, waktu diterjemahkan seperti ini ada nuansa yang hilang. Mungkin saja orang Barat mengerti apartemen (wohnungen) secara nuansa yang berbeda dengan orang Indonesia mengertinya, juga berbeda dengan orang Jepang, dsb. Tapi yang pasti, bagian ini bukan untuk dimengerti sebagai satu konsep yang kita bisa masukkan pengharapan individualistik, bahwa nanti setiap orang punya rumah sendiri-sendiri; dan karena ada banyak, mungkin 1 orang bisa punya 2-3 mansions, dengan lapangan golf, lapangan tennis, kolam renang, dsb. Gambaran seperti ini tidak cocok dengan gambaran Alkitab. Jadi, mungkin salah satu terjemahan yang baik adalah seperti yang dipakai dalam terjemahan bahasa Indonesia, atau juga ESV. Lagipula, di surga sepertinya tidak cocok kita bicara tentang privacy; jangankan di surga, di Indonesia bicara privacy saja sudah tidak cocok, itu kultur Barat. Orang Barat sulit mengerti bagian ini, tapi kita juga cenderung kebarat-baratan, merasa perlu sekali privacy, padahal kebudayaan kita lebih banyak bicara tentang fellowship, kebersamaan.
Lalu bagaimana mengerti ayat ini? Ada tafsiran yang mengatakan, kita musti mengerti ayat ini dalam pengertian corporate sense; bahasa aslinya oikia, itu dalam pengertian corporate sense. Memang ada kalimat ‘many rooms’ (‘banyak tempat tinggal’), plural, bukan singular, tapi kita tidak perlu mengertinya dalam pengertian individual yang tiap orang dapat satu dsb. Itu juga bukan konsep Trinitarian. Dalam Trinitarian, juga ada banyak Pribadi (3 Pribadi), maka kita bisa mengerti ‘banyak tempat tinggal’ dalam konsep Trinitarian ini juga. Kalau dilihat bahasa Yunaninya, dipakai istilah monai (bentuk plural dari kata dasar mone, yang terjemahannya dwelling place), dan istilah tersebut juga muncul di Yoh. 14:23, “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.” Dalam bahasa Inggris lebih jelas, istilah ‘tempat tinggal’ sebagai kata benda muncul dalam ayat tersebut: Jesus answered him, “If anyone loves me, he will keep my word, and my Father will love him, and we will come to him and make our home –mone, home, dwelling place– with him” (“Bapa dan Anak akan datang kepadanya dan membuat tempat tinggal Kami bersama dengan dia”). Ayat 23 ini merupakan gerakan sebaliknya, bahwa Bapa dan Anak akan membuat tempat tinggal bersama dengan kita, kita jadi tempat tinggalnya Bapa dan Anak; sementara di ayat 2 Yesus mengatakan “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal”. Jadi, kita ini dijadikan tempat tinggalnya Bapa dan Anak, sementara di rumah Bapa sendiri banyak tempat tinggal; ini pengertian yang sifatnya resiprokal, bukan searah melainkan 2 arah, mirip seperti kalimat “Bapa di dalam Anak, Anak di dalam Bapa” atau “Yesus tinggal di dalam kita, kita tinggal di dalam Yesus”.
Jadi, sama seperti Bapa dan Anak akan tinggal bersama dengan kita, tinggal di dalam kita, dan itu tidak mungkin dimengerti secara individualis, maka demikian juga yang sebaliknya tidak mungkin kita mengerti secara individualis. Eskatologi bukan cuma bicara sesuatu yang awang-awang di atas, yang cuma urusan nanti; pengertian eskatologi kita akan sangat mempengaruhi kehidupan kita di sini dan sekarang, bagaimana kita mempersiapkan diri ke sana. Kita percaya presentis eskatologis, yang memang ada aspek ‘not yet’/belum sepenuhnya, tapi di sini dan sekarang kita mencicipi. Nanti, our eschatological home itu adalah yang disebut “our Father’s house”, dan itu satu; Tuhan memberikan kepada kita banyak tempat tinggal, tapi tidak boleh dimengerti dalam pengertian privacy, privacy, privacy. Itu bukan eskatologi Kristen, tidak ada dasarnya. Dengan demikian, kalau kehidupan Saudara dan saya di sini dan sekarang tidak bisa menikmati komunitas, tidak bisa menikmati tempat tinggalnya Tuhan di gereja, berarti sebetulnya kita tidak siap dengan konsep eskatologi Kristen. Kita nanti kecewa di sana, ‘kenapa saya tidak punya properti sendiri, kenapa saya tidak bisa hidup tenang tanpa harus bicara dengan orang lain’, dsb., karena konsep surganya ternyata bukan itu, melainkan saling meninggali. Dalam bahasa Bapa-bapa Gereja Timur memakai istilah perichoresis /saling meninggali, mutual indwelling; Bapa meninggali Anak, Anak meninggali Bapa, Bapa seperti tempat tinggal bagi Anak, dan Anak seperti tempat tinggal bagi Bapa. Dan konsep saling meninggali ini dibuka kepada Gereja; Yesus di dalam kita dan kita di dalam Yesus, berarti kita punya tempat tinggal di dalam Yesus, dan Yesus di dalam kita. Ini bicara tentang divine hospitality, yang bukan sekedar keramahtamahan tapi juga membuka rumah, dan rumah itu adalah diri sendiri. Konsep ini yang mau dituju.
“Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal”. Kita tidak bisa sebanding dengan orang-orang refugee/pengungsi untuk mengerti ayat ini. Saya percaya, orang-orang pengungsi itu akan sangat mengerti ayat ini artinya apa; sementara kita, yang rumahnya sudah mapan, bahkan mungkin mewah, bisa sulit memahami ayat ini. Orang-orang yang sering harus pergi misalnya diutus perusahaan untuk ke kota ini dan itu, mungkin sedikit lebih mengerti ayat ini. Murid-murid Yesus sangat mengerti ayat ini, karena mereka tidak ada tempat tinggal, mereka betul-betul mengembara, tidak pernah menetap. Itu sebabnya ketika Yesus mengatakan janji ini, “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal”, jadi ada resting point dalam kehidupan manusia. Pertama, dalam pengertian eskatologis, yang akan datang, bahwa selama kita di dunia kita masih mengembara, kita tidak pernah masuk ke dalam settled-ness/establishment yang sempurna. Di sisi lain, kita juga sudah bisa mencicipi resting point ini, yaitu ketika kita ada hospitality seperti hospitality Tuhan, ketika kita membuka hati membuat orang lain bisa tinggal di dalam kita, dan kita juga tinggal di dalam hatinya orang lain.
Kita tidak tertarik dengan konsep eskatologi yang tidak ada aplikasinya di sini dan sekarang; dan itu juga bukan eskatologi Kristen, mungkin eskatologi Platonik. Ada orang yang menghidupi waktu sekarang ini secara sama sekali berbeda dari eskatologi yang dia percaya. Saya ragu, apakah kehidupan seperti itu masih bisa dikatakan integritas? Tidak ada integritas; yang ada adalah dis-integritas total antara doktrin/pemahaman eskatologi dengan kehidupan yang di sini dan sekarang. Kalau Tritunggal yang kita percaya itu menyediakan diri-Nya untuk jadi tempat tinggal, mengundang kita masuk ke dalam Diri-Nya, maka kita yang percaya kepada Tritunggal itu, harusnya menghidupi kehidupan yang sama, being hospitable dalam kehidupan kita. Dan bukan cuma membuka diri, kita juga berani masuk ke dalam kehidupannya orang lain, mutual indwelling. Itulah komunitas yang Trinitarian, yang perichoretic, yang bisa saling meninggali, yang tidak terganggu kalau orang lain masuk dalam kehidupannya. Sedangkan dunia kita, yang benci terhadap Trinitas, benci terhadap Injil, terus mengembangkan cerita individualistik. Kita didikte untuk terus memelihara privacy, makin lama makin tidak Trinitarian. Lalu bagaimana membaca ayat ini, bagaimana visi eskatologi kita? Ataukah itu sama sekali discontinued, di sini privacy lalu nanti di sana langsung disulap Tuhan jadi orang yang hospitable? Kalau kita menghayati gambaran seperti itu, kita menjadi orang Kristen yang tidak bertanggung jawab. Dalam Teologi Reformed kita menekankan kehidupan yang ada kontinuitas antara yang di sini dengan yang di dunia akan datang.
“Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal”. Di dunia mungkin ada banyak rumah (house), bahkan rumah yang besar mewah (mansion), tapi tidak tentu ada perasaan at home, yang di situ kita bisa istirahat, bisa menikmati tempat perhentian. Gereja harusnya menjadi cicipan tempat tinggal Ilahi ini, tempat orang bisa merasakan istirahat, khususnya pada hari Minggu seperti ini.
Ayat 2b-3, “Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada.” Apakah artinya spiritual rest? Bukan bahwa kita mendapatkan atau memiliki ruangan sebesar-besarnya; itu cerita hidup manusia sejak dulu, keserakahan untuk menaklukkan tanah sebesar-besarnya, cerita feodalisme, cerita kolonialisme. Dalam bagian ini, kita membaca, spiritual rest yang sejati –tempat tinggal—adalah bahwa di mana Yesus berada, di situ kita berada. Kalau Yesus ada di situ, dan kita bersama dengan Dia, maka kita restful di sana. Yesus mengundang kita untuk jadi seperti Dia; “Datanglah kepada-Ku, Aku akan memberikan kepadamu kelegaan, istirahat (rest)”.
Dikatakan di ayat 3: “di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada”. Ayat ini pertama-tama kita mengertinya sebagai sesuatu yang akan datang (in the future). Pernah ada satu periode yang menafsir ayat ini bukan dalam pengertian kedatangan Kristus kembali (second coming); tapi secara pemahaman yang paling sederhana adalah ketika Yesus datang kembali. Dan ini dikonfirmasi oleh pandangan para pakar yang belakangan, bahwa memang masudnya dalam kedatangan Yesus yang kedua. Memang ayat ini terutama dimengerti dalam pengertian pengharapan eskatologis waktu Yesus akan datang kembali, kita akan dibawa ke sana, di mana Yesus berada di situ kita berada; tapi selama kita di dunia pun kita mencicipi ini, misalnya waktu Perjamuan Kudus. Dalam Perjamuan Kudus, kita berada di mana Yesus berada. Sebagaimana diajarkan Calvin, waktu Perjamuan Kudus, bukan Yesus yang turun ke sini –Dia ada di surga, tubuh-Nya di surga– melainkan oleh anugerah Tuhan, melalui iman, kita diangkat ke surga, kita berada di mana Yesus berada dalam pengertian cicipan (maka dalam hal ini kita tidak memikirkan variasi, baik transubstansiasi maupun konsubstansiasi).
Di dalam dunia ada cicipan-cicpan yang diberikan, termasuk juga pada hari Minggu. Dalam konsep Reformed, waktu Saudara beribadah, Saudara bukan beribadah sekedar di Kelapa Gading, melainkan ada persekutuan dengan para malaikat dan orang-orang kudus yang di surga –kita beribadah di surga; heavenly worship, bukan cuma earthly worship. Tapi selama di dunia, kita tidak sempurna dalam cicipan-cicipan itu, kelak nanti akan sempurna. Kita berbahagia, waktu di dalam dunia kita bisa mengikut Kristus, waktu Kristus bergerak ke mana, kita mengikut Dia; di situlah kita mengalami ‘tempat tinggal’. Waktu kita berada bersama dengan Tuhan, itulah yang namanya ‘tempat tinggal’. Sedangkan tempat tinggal yang kita dirikan sendiri, bukanlah tempat tinggal. Orang Israel sangat mengerti bagian ini; waktu mereka berada di pembuangan Babel, Persia, dsb., itu negara-negara yang luar biasa kaya, tapi jiwa mereka tetap restless. Daniel berdoa selalu menghadap ke arah Yerusalem, dia menantikan kapan Tembok Yerusalem bisa dibangun kembali. Dia sendiri posisinya sangat di atas, gajinya pasti sangat tinggi, makanannya mewah, tempat tinggalnya bagus, tapi dia merasa tidak ada tempat tinggal; mengapa? Karena dia mengerti prinsip ini: tidak ada kehadiran Tuhan secara khusus, berarti tidak ada tempat tinggal. Kita rindu menjadi komunitas seperti ini, yang mengejar kehadiran Tuhan; di mana Tuhan berada, di situ kita berada –tempat tinggal. Kalau kita sekedar mengejar gedung yang besar, desain yang bagus, itu tidak tentu tempat tinggal; sebaliknya kalau Tuhan ada di sana, meski gubuk reot pun, itu tetap tempat tinggal. Kuncinya adalah kehadiran Tuhan. Di mana Yesus berada, di situ kita berada, maka kita mengalami yang disebut ‘tempat tinggal’.
Kita masuk ke bagian kedua, ayat 4-7. Setelah Yesus mengatakan “di mana Aku berada, kamu pun berada”, Dia mengatakan: “Dan ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke situ.” Kita tahu, jalannya adalah Yesus sendiri; waktu Dia mengatakan “ke mana Aku pergi”” –yaitu kepada Bapa, yang di rumah-Nya banyak tempat tinggal—Dia bilang “kamu tahu jalan ke situ”, maksudnya ‘kamu tahu Aku adalah jalannya’ (karena kita sudah baca sampai ayat 7). Tapi Tomas menanggapi, “Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?” Perhatikan kalimat Tomas, inilah paradigma pemikiran dunia yang mewakili kita semua. Pertama, kita tidak tahu tujuannya ke mana; lalu dalam pikiran Tomas, kalau tidak tahu tujuannya ke mana, maka kita juga tidak bisa tahu jalannya.
Inilah paradigma dunia: kalau saya tahu tujuannya ke mana, saya bisa cari jalannya. Yesus bilang, “ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke situ”; yang diketahui adalah ‘jalan’. Kalimat ini seakan tidak komplit; bukankah Dia bicara soal ‘ke mana Aku pergi’, tapi koq yang diketahui malah ‘jalan’, bukankah seharusnya seperti ini: ‘ke mana Aku pergi, kamu tahu tujuan itu’? Dalam pemikiran Yesus, kalau kita mengetahui jalan yang benar, kita akan sampai pada tujuan yang tepat. Jalannya adalah Yesus, dan kita akan sampai kepada Bapa, Allah yang sejati itu. Tetapi dalam pikiran Tomas, ‘kita tidak tahu ke mana Engkau pergi’ –maksudnya: Bapa dan rumah-Nya itu kita tidak tahu, itu abstrak—maka ‘bagaimana kami tahu jalan ke situ?’
Dunia ini bermimpi, kalau tahu tujuannya, maka dia bisa cari sendiri jalannya, menentukan sendiri jalannya. Lalu dunia mengatakan, “Yang penting ‘kan sampai pada tujuan” –tapi tidak akan sampai pada tujuan. Orang mengatakan “ada banyak jalan menuju ke Roma” lalu coba menerapkan hal ini dalam pengertian agama juga: tujuannya toh satu, yaitu Allah, Yang Mahatinggi, Yahweh, Tuhan –apapun istilahnya—jalannya bisa bermacam-macam. Tapi Yesus bilang, kalau orang tidak mengenal jalannya, dia tidak akan tiba pada tujuan yang tepat. Tomas bilang “kami tidak tahu ke mana Engkau pergi”, artinya tidak tahu tujuannya, dan karena itu juga tidak tahu jalan ke situ, seolah-olah mengatakan, ‘kasih tahu dong tujuannya –yaitu Bapa– nanti kita akan temukan jalannya’. Inilah gambaran dunia yang bersikeras supaya ditunjukkan tujuannya apa –yaitu surga, Allah—lalu soal jalannya tidak usah bicara lagi, Yesus tidak usah bicara tentang jalannya, kita bisa cari jalan sendiri asal dikasih tahu saja tujuannya ke mana.
Spiritualitas kita juga tidak kebal terhadap model seperti ini. Kita seringkali sangat berorientasi pada tujuan, lalu kita pikir, dengan goal tersebut, kita bisa cari berbagai macam jalan. Tapi menurut Alkitab, jalannya cuma satu dan tujuannya cuma satu. Kalau kita tidak memilih berjalan bersama dengan Yesus, kita tidak sampai pada tujuan yang dikehendaki Tuhan. Omong kosong, mengatakan “asal kita tahu tujuannya, nanti jalannya ketemu sendiri”. Itu kalimat absurd menurut Alkitab; kalau demikian, kita tidak perlu Yesus.
Tomas bilang, “Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi” –kami tidak tahu tujuannya, kami tidak tahu Bapa dan tempat tinggal-Nya yang banyak yang Kamu bilang itu, bagaimana kita bisa tahu jalan ke situ. Lalu Yesus bukan bicara tentang Bapa, Yesus bicara tentang diri-Nya, “Akulah jalan, dan kebenaran, dan hidup”. Ini berarti ‘Trinitarian from below’, bukan dari Bapa lalu Anak lalu Roh Kudus, melainkan Roh Kudus yang membawa kepada Kristus, yang adalah jalan, untuk kemudian sampai kepada Bapa. Yesus bicara: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”. Yesus bukan sedang mengafirmasi diri-Nya bahwa Dia lebih penting daripada Bapa, melainkan dalam pengertian bahwa orang tidak bisa datang kepada Bapa, tidak bisa sampai pada tujuan, kalau dia tidak berjalan dalam jalan yang satu-satunya itu, yaitu Yesus. Kita berjalan bersama dengan Yesus, berjalan di dalam Yesus, dan kita akan sampai kepada Bapa. Yang tidak mau berjalan di dalam Yesus, tidak akan sampai kepada Bapa.
Kalau kita pakai metafor jalan, jalan itu ada yang ribuan kilometer, ada yang 2 km. Tapi tidak ada jalan yang cuma 1 cm –itu bukan jalan karena tinggal melangkah saja. Ini berarti ‘jalan’ adalah sesuatu yang dijalani, sesuatu yang panjang. Memang dalam Alkitab ada pengertian Yesus adalah pintu (“Akulah pintu”); berbeda dari jalan, pintu tidak ada yang 3 km. Pintu itu begitu buka, masuk, langsung selesai –dan ada gambaran Yesus seperti ini. Tapi Yesus bukan cuma pintu, Dia juga jalan; masing-masing gambaran ini ada nuansanya sendiri. Banyak orang Kristen hanya mau menjadikan Yesus sebagai pintu, tapi tidak tertarik kalau Yesus sebagai jalan. Maunya hanya “terima Yesus, undang Yesus masuk dalam hati, pasti masuk surga”, setelah itu berjalan dengan jalannya sendiri. Tidak ada dalam Alkitab, yang Yesus cuma pintu dan bukan jalan. Yohanes tidak memberikan pengajaran Kristologi yang Yesus cuma pintu. “Kalau kamu tidak mau menerima Dia sebagai jalan, ‘gak apa-apa, asalkan menerima Dia sebagai pintu, kamu akan tetap diselamatkan” –ajaran seperti itu tidak ada. Yesus bilang “Akulah jalan”, yang tidak mau berjalan di dalam Yesus, tidak akan sampai kepada Bapa, berarti ini perjalanan seumur hidup. Kalau kita sungguh-sungguh diselamatkan, ada tanda orang pilihan, ada tanda orang sungguh-sungguh lahir baru, yaitu sepanjang hidupnya berjalan di dalam Kristus. Tapi jangan percaya orang yang cuma buka pintu tutup pintu dan dia pikir sudah di dalam Tuhan, lalu cari jalan sendiri, bahkan juga bersikeras pasti sampai ke surga dan Tuhan menyediakan tempat baginya. Hati-hati dengan teologi seperti ini. Teologi seperti itu menggambarkan Yesus yang tidak cocok dengan Yohanes 14.
Injil bukan cuma urusan the beginning of life lalu selesai, melainkan bagaimana seumur hidup menghidupi Injil. Kalau kita menghidupi Kekristenan yang seperti ini, sebetulnya setiap hari kita sudah memberitakan Injil; termasuk juga kalau Tuhan memberikan kesempatan kita memberitakan Injil secara verbal. Fransiskus Asisi mengatakan: “Kita musti memberitakan Injil, dan kalau perlu, juga secara verbal” –kalimat yang menarik. Kita orang modern mungkin bicaranya lain, kita bilang: “Kita musti memberitakan Injil, dan kalau perlu, juga dengan tingkah laku kita, teladan hidup kita” –jadi terbalik; maksudnya kita cerewet bicara Injil tapi kehidupan kita tidak mencerminkan Injil, sedangkan Fransiskus Asisisi setiap hari meberitakan Injil dari teladan hidupnya. Kita musti sangat kritis dengan gambaran-gambaran teologi Injili yang reduktif, yang mengaku Injili padahal bukan Injili, karena tidak tertarik menghidupi Injil dalam hidup sehari-hari, tidak ada kesaksian Injil, tidak berjalan di dalam Kristus, cerita yang dibangun dalam tempat kerja atau dalam kehidupan keluarga tidak cocok dengan Injil. Bukan paradigma Injil yang ada di sana, melainkan paradigma dunia; lalu bagaimana bisa bicara Injil??
Itu sebabnya Yesus menjawab secara kontras apa yang ditanyakan Tomas, “Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?” Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Jadi, kalau kita berjalan di dalam Yesus, pasti kita sampai kepada Bapa yang satu-satunya, Allah yang sejati itu, karena Kristus tidak pernah membawa orang salah jalan. Dia tidak pernah nyasar. Dia tidak pernah kena gang buntu. Tidak ada istilah Dia kena detour. Yesus berjalan dan Dia sanggup membawa kita sampai pada persekutuan dengan Bapa. Dalam hal ini, meskipun pengertian pertamanya eskatologis, kita juga bisa mengertinya dalam pengertian eskatologis di sini dan sekarang; waktu kita berjalan bersama dengan Yesus dalam keseharian, kita juga akan mendapati Bapa. Bukan cuma nanti kelak, kita juga mencicipi persekutuan dengan Bapa di sini dan sekarang, karena Yesus bilang, “Barangsiapa melihat Aku, dia melihat Bapa”. Kalau kita berjalan dengan Kristus, kita juga akan menikmati persekutuan dengan Bapa, karena Yesus selalu di dalam persekutuan dengan Bapa, meski bukan berarti Yesus sama dengan Bapa, Yesus bukan Bapa, Bapa bukan Yesus, keduanya Pribadi yang berbeda.
Selain ‘jalan’, di bagian ini mengulang kembali istilah ‘kebenaran’ dan ‘hidup’. Dalam hal ini, kalau melihat kontrasnya maka lawan kata ‘kebenaran/truth’ adalah ‘dusta/lies’. Dalam pengertian Yohanes, dusta adalah penolakan terhadap pengenalan diri yang benar di bawah terang Firman Tuhan. Dusta jangan langsung diartikan semau kita soal sebar gosip, fitnah, dsb.; waktu Yohanes mengontraskan kebenaran versus dusta, maksudnya dusta itu seperti orang-orang Farisi yang terus-menerus menolak waktu Yesus membawa mereka kepada pengenalan akan Allah dan akan diri. Yesus bilang, “kamu sebenarnya terpenjara, tidak bebas; kalau mengenal kebenaran, kebenaran akan memerdekakan kamu”. Tapi mereka tidak suka, mereka bilang, “siapa yang tidak merdeka, siapa yang diperbudak? kita keturunan Abraham, sudah dari dulu kita merdeka”. Mereka menolak dikatakan diperbudak oleh dosa, mereka lebih suka mengenal diri sebagai yang tidak diperbudak siapa-siapa. Mereka menipu diri. Dan Yesus bilang, “The truth is: bapamu Iblis”. Inilah perlawanan terhadap kebenaran, masuk ke dalam dusta.
Kita musti hati-hati kalau dalam hidup kita setiap kali ada penjelasan, setiap kali ada defense, setiap kali ada excuse; itu bukan saja menjengkekan orang lain –ini tidak terlalu penting—tapi yang paling celaka, bahwa itu berarti kita hidup dalam dusta. Selalu membela diri, itu orang yang tidak cinta pada kebenaran, tidak suka kebenaran. Setiap kali ada kegagalan, selalu ada penjelasannya, dan orang lain dipaksa menerima alasan itu. Kalau Saudara dan saya jadi orang seperti itu, bukannya orang yang introspektif di hadapan Tuhan, kita bukan seperti orang yang mengenal kebenaran tapi lebih mirip orang Farisi yang mencintai dusta.
Selanjutnya, Yesus pakai istilah ‘hidup’. Kontras dari ‘hidup’ adalah ‘kematian’. Yesus bilang “Akulah hidup”; yang berajalan di dalam Kristus, ada kehidupan, yang tidak berjalan di dalam Kristus, berada dalam kuasa kematian. Istilah ‘sarx’ (daging), dalam bahasa Yohanes maksudnya orang yang hidup secara natural, alamiah, secara fisik saja, tidak ada spirutual realm, tidak ada pengertian rohani, tidak ada mata dan penglihatan rohani, semua adanya dunia yang kelihatan. Inilah orang yang hidup di dalam daging. Sedangkan orang yang dibangkitkan dalam roh, dia mengenal perkara-perkara rohani, dia mencintai hal-hal yang tidak kelihatan, yang tidak bisa dimengerti dunia. Inilah orang yang lahir baru.
Istilah ‘daging’ dalam Yohanes ini nuansanya berbeda dengan yang dipakai Paulus –meski keduanya tetap sinkron. Paulus memakai istilah ‘sarx’ dalam pengertian dekat sekali dengan kuasa dosa, kedagingan –pengertian negatif. Sementara Yohanes memakai istilah ‘sarx’ secara lebih halus, semata-mata artinya orang yang hidup secara alamiah –lahir, makan, minum, dibesarkan—seperti normal saja, dan kelihatan baik juga, tapi tidak pernah bisa melihat perkara rohani. Baginya hidup adalah hidup natural yang kelihatan ini; yang penting jadi orang punya cinta kasih, peduli sesama, murah hati, membantu orang miskin –dan orang ini tetap dalam dunia alami saja, tidak ada pandangan tentang perkara-perkara yang tidak kelihatan. Di sini Yesus bilang, “Akulah hidup”, maksudnya: kalau orang tidak percaya Kristus, tidak berjalan di dalam Kristus, dia cuma akan menghidupi kehidupan natural. Nikodemus bilang, “bagaimana mungkin orang masuk lagi ke rahim ibunya” –inilah orang natural. Kalau tidak dicelikkan oleh Roh Kudus, dia akan tetap natural seperti itu. Juga perempuan Samaria itu ketika Yesus bilang “air yang Kuberikan kepadamu akan mengalir dalam hidupmu”, dia mengatakan, “Tuhan, berikan saya air itu supaya tidak usah timba-timba lagi seperti ini”, yang dilihat cuma air dari sumur –masih dalam dunia natural.
Ada orang melihat Gereja juga dalam pandangan seperti ini. Dan ateisme sebenarnya menggerakkan kita untuk masuk ke dalam visi naturalisme ini; mereka punya penjelasan apapun tentang agama, tapi semuanya diselesaikan dalam penjelasan natural. Pembacaan Alkitab pun diselesaikan dalam pembacaan natural. Yesus bilang, inilah dunia kematian. Waktu kita berjalan di dalam Kristus, bersamaan dengan itu, tandanya ada penglihatan rohani. Dia bukan cuma melihat dunia yang kelihatan, dia sangat peka akan dunia yang tidak kelihatan. Itulah tandanya hidup. Orang yang hidup punya kepekaan akan hal-hal yang tidak kelihatan, bukan hanya yang kelihatan. Waktu membahas Injil Lukas, saya pernah kotbah, kalau kita lapar secara fisik, kita peka; tapi apakah kita punya kepekaan itu waktu kita lapar dan haus secara rohani, waktu kita kering secara rohani? Ada orang yang peka sekali kalau lapar dan haus, tapi tidak sadar sama sekali kalau dirinya kering kerontang, kehidupan sebenarnya tidak ada, dan dia sedang berada dalam kematian, tidak ada kehidupan yang mengalir dari atas. Dia tidak sadar kalau hidupnya tidak ada buah roh. Dia pikir hidup dalam dunia memang penuh pertikaian, perseteruan, iri hati. Itu keadaan mati sebetulnya, tapi masih tidak sadar. Yesus bilang, “Akulah jalan, dan kebenaran, dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”
Ayat 7, “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” Yesus mengatakan dengan tegas, barangsiapa berjalan di dalam Dia, menerima Yesus sebagai jalan, maka dia melihat Bapa, di sini dan sekarang. Ini satu cicipan yang Tuhan mau berikan dalam hidup kita, waktu kita menjadikan Yesus jalan kita. Dia Juruselamat, Dia pintu, Dia Tuhan. Dia adalah jalan, Dia kebenaran, dan Dia kehidupan itu. Kiranya ini menjadi kabar baik untuk kita semua, kabar undangan sukacita untuk kita boleh terus hidup di dalam Kristus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading