Hari ini kita akan membahas satu tema, yang bisa dimasukkan dalam kategori “The Hard Sayings of Jesus” (perkataan-perkataan yang sulit dari Yesus). Bukan cuma di Lukas 13:1-5, tapi di Yohanes 9 juga ada bagian yang mirip, ketika orang bertanya kepada Yesus, mengapa orang itu dilahirkan buta, apakah karena dosanya atau dosa orangtuanya atau dosa nenek-moyangnya; dan Tuhan Yesus memberi jawaban yang persis sama dengan bagian ini: “Tidak”.
Dari bagian-bagian seperti ini kita dapat membahas satu tema, tentang bagaimana meresponi kejadian-kejadian di dunia ini, apakah bencana-bencana yang terjadi merupakan hukuman atas dosa dari Tuhan atau bukan; kalau iya, lalu bagaimana, demikian juga kalau bukan, lalu bagaimana. Dalam bagian ini ada 2 kejadian yang dikutip Tuhan Yesus, keduanya mewakili tragedi di dunia hari ini: tragedi hasil kebiadaban manusia dan tragedi akibat bencana alam.
Dalam kasus pertama, Pilatus membantai lawan-lawan politiknya –hal yang cukup lumrah di zaman itu. Namun yang membuat berita ini heboh karena dikatakan bahwa darah mereka dicampur dengan darah korban persembahan; jadi kemungkinan besar mereka diserang ketika sedang beribadah. Kasus yang kedua lebih bersifat bencana alam, yaitu 18 orang mati tertimpa menara yang rubuh di Siloam. Kolam Siloam letaknya dekat tembok Yerusalem, tepatnya dekat pertemuan dari dua tembok yang membentuk sudut dan di pertemuan tersebut biasanya didirikan menara. Kemungkinan menara ini yang rubuh menimpa 18 orang di sekitar situ.
Pertanyaannya, mengapa ada orang-orang yang terkena tragedi-tragedi seperti ini, bagaimana kita meresponinya, dan dengan kacamata apa kita harus melihatnya. Jawaban Tuhan Yesus sangat unik, radikal, bahkan mungkin mendobrak kebiasaan orang-orang berpikir tentang hal-hal itu. Struktur pembahasan hari ini, kita akan membahas lebih dulu “yang bukan jawaban Tuhan Yesus”, baru dari situ kita bisa melihat lebih jelas “yang adalah jawaban Tuhan Yesus”.
Apa respon kita pada umumnya atas tragedi seperti ini? Secara umum dapat kita kategorikan jadi dua: jawaban yang pertama yaitu bukan menyalahkan orang-orang yang jadi korban, problemnya ada pada alam semesta, pada kehidupan natural, atau bahkan pada Allah. Mereka ini akan mengatakan: “Tidak ada penyebab yang jelas mengapa ini terjadi pada orang-orang tertentu dan tidak terjadi pada yang lainnya. Banyak orang yang rajin dan hidup baik, namun tidak mendapatkan kehidupan yang sukses malah mendapatkan hidup yang jelek. Memang hidup itu absurd, tidak masuk akal. Memang alam semesta itu kacau”. Dan kalau mereka percaya Tuhan, mungkin mereka mengatakan: “Itu karena Allah tidak adil, atau tidak peduli. Sederhana saja, memang seperti itu. Allah terlalu tinggi di atas sana, Dia tidak ‘main-main’ dalam level kita seperti ini. Jadi tidak usah cari tujuan di baliknya dan yang semacam itu”.
Itu jawaban yang pertama, yang mungkin bukan jawaban kita di sini. Tapi saya ingin membahas jawaban yang kedua, yang lebih sering kita hadapi, baik kita sendiri yang mengatakannya ataupun kita mendengar orang di sekitar kita mengatakannya. Sementara jawaban yang pertama tadi merupakan jawaban dari orang-orang non religius yang lebih sekuler, jawaban yang kedua lebih sering datang dari orang-orang religius atau moralistik. Ini jawaban yang cenderung muncul di kalangan orang-orang beragama, dan Tuhan Yesus secara spesifik sedang meresponi jawaban yang kedua ini. Ayat 2: Yesus menjawab mereka: "Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Ayat 4: “Atau sangkamu kedelapan belas orang, yang mati ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya dari pada kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem?”
Satu pandangan yang sangat umum dan lumrah, orang melihat bencana sebagai penghukuman; termasuk juga Saudara dan saya. Waktu masih kecil saya pernah mendengar berita seorang menteri yang tersambar geledek lalu meninggal; dan saya waktu itu langsung terpikir ‘itu menteri dosanya segede apa??’ Waktu pernah terjadi satu acara KKR digerebek golongan tertentu, kemudian persis sehari setelahnya terjadi gempa di tempat lain, ketika itu banyak orang langsung menghubungkan dua kejadian itu sebagai ‘Tuhan yang sedang membalas’. Jadi memang sangat umum berpikir seperti ini. Ini salah satu arah hati kita, baik kita akui atau tidak. Sementara jawaban yang pertama tadi menyalahkan yang di atas menara yaituTuhan, alam semesta, dsb., maka jawaban yang kedua menyalahkan yang di bawah menara, yaitu orang-orang yang tertimpa menara.
Pandangan yang kedua ini, dasar asumsinya sederhana yaitu semacam hukum tabur tuai –kalau kamu baik-baik dalam hidup, kamu akan hidup baik-baik; kalau kamu taat kepada Allah, kamu akan diberkati dan doamu akan dijawab, sebaliknya kalau kamu melawan Dia, berdosa banyak, maka kamu akan kena batunya– hukum karma. Ini salah satu asumsi dasar manusia yang sudah dipegang ribuan tahun, dan dalam hal ini kita semua berbagian.
Saya ingin memaparkan satu contoh. Pernah satu hari saya bersiap pergi ke rumah orangtua yang cukup jauh jaraknya. Perlu Saudara ketahui, pintu depan rumah saya handle-nya model auto-lock, bisa dibuka dari dalam tapi tidak bisa dibuka dari luar tanpa memutar anak kunci, meski dalam posisi tidak dikunci; di samping itu masih ada lagi pintu pagar yang memakai gembok. Hari itu saya sudah menaruh mobil di luar pagar sejak pagi, lalu pagarnya kembali digembok sebagaimana biasa. Jadi setelah siap pergi, saya ambil serenceng kunci rumah, masukkan ke kantong, keluar dari pintu depan, dan langsung menutupnya. Waktu mau membuka gembok pagar, saya baru sadar ternyata salah bawa rencengan kunci, tidak ada kunci gembok di situ. Wah, mati saya… saya tidak bisa keluar ke jalan karena digembok dan juga tidak bisa masuk kembali ke rumah karena pintu depan yang auto-lock tadi; saya seperti kucing tak bertuan di halaman. Untungnya, saya sudah membawa kunci mobil, jadi saya bisa memanjat pagar, naik mobil ke rumah orangtua saya, dan mengambil kunci serep yang memang juga ada di sana. Tapi, kalau saya memanjat pagar, sementara di depan rumah ada pangkalan ojek, yang saya lakukan bisa jadi menginspirasi para tukang ojek itu dengan cara yang sama masuk ke rumah saya. Saya lalu ingat pembantu yang biasa datang ke rumah, punya juga kunci serep. Saya coba telpon dia, tapi sampai 3 kali tidak diangkat. Akhirnya saya nekad memanjat pagar –dan tidak ada satu tukang ojek pun yang bertanya atau mempedulikan saya—lalu singkat cerita, saya sampai di rumah orangtua mau ambil kunci serep. Sambil memberikan kunci itu, orangtua saya bilang, “Tapi Jet, dulu kamu pernah ganti kunci, dan kita ‘gak tahu apa ini kunci yang baru atau yang lama”. Saya jadi takut, bagaimana kalau sudah jauh-jauh kembali ke rumah ternyata tetap tidak bisa buka pintu. Saya coba lagi telpon pembantu, dan kali ini diangkat; akhirnya janjian dia akan bukakan saya pakai kunci serep yang dipegangnya. Orangtua saya menertawakan lagi, lalu menyuruh saya makan sebelum pulang. Seperti biasa, waktu mau duduk makan, saya keluarkan semua barang-barang dari kantong celana, taruh di meja –dompet, lalu rencengan kunci yang salah itu– dan saya baru sadar di kantong saya masih ada satu rencengan kunci lain, rencengan kunci yang benar. Jadi dari tadi sebetulnya saya bawa rencengan kunci itu dua-duanya di kantong. Saya sampai histeris hingga anjing-anjing di rumah ikut menggonggong, dan orangtua saya menertawakan habis-habisan. Akhirnya saya masuk mobil, lalu cek kunci-kunci tadi jangan sampai ketinggalan, tapi ternyata HP yang ketinggalan. Saya kembali masuk ke rumah, cari-cari HP, tidak ketemu, dan ternyata ada di kantong yang satunya lagi. Begitulah kejadian sepanjang hari itu.
Kalau Saudara mengalami kejadian seperti ini, apa yang langsung muncul dalam benak Saudara? Reaksi pertama saya “gua ini kenapa sih??” –hari ini kacau banget, apa yang terjadi dengan saya—kira-kira seperti itu. Ini adalah salah satu arah hati manusia yang sangat mendasar, yang seringkali kita baru menyadarinya ketika mengalami kejadian seperti tadi. Dan yang menjadi reaksi kita ketika setiap kali mengalami bencana, hal-hal yang tidak baik, yang tidak enak, ada kecenderungan hati untuk langsung menuding diri sebagai penyebabnya. Ini normal, bahkan mungkin kita anggap cukup positif, karena menurut kita masih mending menuding diri sendiri daripada menuding orang lain mencari kambing hitam. Tapi tidak begitu harusnya.
Ada kecenderungan dalam hati kita untuk setiap kali mengalami sesuatu yang jelek, kita menuding diri, ‘ada apa dengan saya sehingga semuanya ini terjadi’; dan ini bukan saja dalam kejadian-kejadian yang jelek, tapi juga ketika kita mengalami yang baik. Ketika Saudara dan saya sukses, hidup kita sedang berlimpah, kita mencapai sesuatu target, sadar atau tidak sadar kita menggunakan arah hati dan logika yang sama. Kita mengatakan –meski tidak segamblang yang tadi– “ini oleh karena saya”. Seandainya Saudara dikasih sesuatu dan Saudara peka bahwa itu bukan ‘karena saya’, Saudara tahu tidak patut menerimanya, maka Saudara akan langsung ingin membalas kebaikan tersebut. Tapi ketika kita sedang mendapatkan hal-hal yang indah dalam hidup kita –kesuksesan, kelimpahan—seberapa cepat kita lari kepada Tuhan?
Saya biasanya sebelum berkotbah ada dorongan yang sangat kuat untuk minta pimpinan Tuhan. Tapi setelah selesai berkotbah, apalagi kalau kotbahnya dipuji orang dan saya sendiri merasa bagus, ada kecenderungan tidak cepat-cepat balik kepada Tuhan. Malamnya baru saya sadar belum berdoa ucap syukur, dan seperti ada rasa terpaksa untuk datang kepada Tuhan mengucap syukur. Mengapa seperti ini? Mengapa waktu dalam kesulitan kita gampang sekali berdoa, tapi waktu sukses tidak seperti itu? Karena kita tidak merasa itu pemberian; kita merasa itu sesuatu yang dari diri kita, “ini adalah oleh karena diriku”.
Hati manusia yang berdosa, secara natural tidak mau menerima hal-hal yang baik sebagai anugerah, maunya melihat itu sebagai “hasil karya saya”. Itu juga sebabnya ketika hal-hal yang jelek terjadi, ada kebiasaan untuk bertanya “mengapa bisa seperti ini, apa yang salah pada saya”. Dan ini tidak lebih baik –juga tidak lebih buruk—daripada mencari kambing hitam, karena ini sebenarnya defense mechanism. Orang yang cari kambing hitam biasanya karena dia menghindari tanggung jawab; dalam hati sebenarnya dia sudah tahu dirinya bersalah, oleh sebab itu dia cari kambing hitam. Dengan demikian, dalam hal orang-orang yang mati tertimpa menara tadi, jawaban bahwa itu memang gara-gara mereka sendiri yang pasti hidupnya tidak beres, adalah jawaban yang sangat natural. Kita semua punya problem ini; oleh sebab itu kita perlu tahu, bagaimana Tuhan Yesus meresponinya.
Di ayat 5 Dia mengatakan: “Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian." Respon Tuhan Yesus adalah mengatakan “tidak”, begitu juga di Yohanes 9 Dia mengatakan, “Tidak. Bukan karena dia, bukan karena orangtuanya, bukan karena nenek-moyangnya, tapi supaya kemuliaan Allah dinyatakan”. Ini jadinya kabar baik dong, karena berarti Tuhan Yesus menolak jawaban yang moralistik tadi; bukankah ini memang jawabannya Alkitab?? Di kitab Ayub, Elifas, Bildad, dan Zofar mengatakan: “Ayub, kami tahu kamu orang saleh; tapi kalau semua ini terjadi berarti kamu pasti ada sesuatu dosa karena Tuhan itu adil. Tuhan tidak mungkin melakukan hal yang seperti ini kepada orang yang baik, pasti kamu ada dosa”; kemudian Tuhan Yesus mengatakan “tidak”. Jawaban seperti ini, kabar baik atau kabar buruk buat Saudara?
Jawabannya tidak berhenti sampai di situ, ada bagian kedua yang sangat penting, Tuhan Yesus melanjutkan dengan mengatakan sesuatu yang sepertinya malah bertabrakan dengan jawaban yang pertama. Dia mengatakan: “tidak”, tapi kemudian melanjutkan, “Tetapi kamu harus bertobat, kalau tidak, kamu juga akan binasa”. Mengapa jadi seperti ini, apa maksudnya? Ini yang membingungkan, maka bagian ini disebut ‘the hard sayings of Jesus’. Tuhan Yesus baru saja mengatakan “tidak”, yang berarti bukan karena dosa mereka, bukan karena hukum tabur tuai; tapi mengapa kalimat berikutnya “kalau kamu tidak bertobat, kamu akan mengalami nasib yang sama”? Bukankah ini artinya jadi hukum tabur tuai? Yang benar yang mana?
Kalau Tuhan hanya mengatakan “tidak”, mungkin itu kabar baik buat kita, tapi juga bisa jadi kabar buruk. Kabar baik karena berarti kalau kita tertimpa bencana, kita jadi punya pengharapan bahwa ini bukan karena hidup kita tidak beres. Tapi coba Saudara telusuri lebih lanjut; kalau jawabannya hanya “tidak, ini bukan karena hidupmu tidak beres”, berarti jawaban orang-orang sekuler di bagian pertama tadi benar, bahwa alam semesta absurd, Tuhan tidak adil, atau Tuhan tidak peduli, karena memang tidak ada hukum tabur tuai. Dan itu berarti tidak ada pengaruhnya kalau kamu hidup baik, karena orang yang hidup baik pun tetap bernasib jelek; sebaliknya orang yang hidup jelek pun bisa bernasib baik. Kalau begitu, ini hidup macam apa?? Ini kabar buruk! Kalau Tuhan Yesus hanya mengatakan “tidak, ini bukan karena dosa”, maka kita tidak akan berani bangun tidur esok hari, kita tidak akan ada keinginan untuk hidup baik, karena untuk apa, bukankah alam semesta ini absurd, tidak ada hukum karma sama sekali?? Oleh sebab itu jawaban Tuhan Yesus bukan cuma sampai di sini, ada bagian kedua yang sangat penting: “Kalau kamu tidak bertobat, kamu akan binasa dengan cara yang sama”. Tapi di sini kita jadi bingung, maksudnya bagaimana sebenarnya?
Melalui 2 kalimat jawaban ini, khususnya dari bagian yang kedua, Tuhan Yesus pada dasarnya mengatakan: jangan kamu merasa orang-orang itu lebih jahat karena mereka kena penderitaan sedangkan kamu tidak; Saya mau kamu tahu, seandainya Allah mau memberi kepadamu yang sepatutnya kamu dapatkan, maka sesungguhnya setiap orang di muka bumi ini, juga kamu, selayaknyalah ditimpa menara. Ini jawaban Tuhan Yesus, yang Dia mau konfrontasikan kepada mereka. Orang-orang itu bertanya cuma pada level ingin tahu ini hukum tabur tuai atau bukan. Tapi Tuhan Yesus masuk menerobos sampai ke dalam hati; itu bukan karena dosa mereka, bukan karena hukum tabur tuai, bukan karena mereka lebih berdosa dibandingkan kamu; yang kamu harus tahu, bukan berarti kamu ini netral/ murni karena kalau kamu yang berdosa ini –semua orang memang berdosa– diberikan yang patut kamu dapatkan, kamu juga akan binasa dengan cara yang sama; oleh sebab itu, bertobatlah! Begitu logikanya.
Tuhan Yesus sedang menunjukkan kepada kita sesuatu yang kita tahu tapi tidak mau terima, bahwa kita semua memakai make up, bahwa dalam hidup ini kita tidak bisa jujur-jujur banget. Make up bukan cuma kosmetik yang wanita pakai, tapi termasuk juga yang pria pakai. Pria misalnya memakai dompet sebagai make up; memakai kesuksesan, mobil baru, baju, topik-topik pembicaraan tertentu yang dia kuasai sehingga bukan cuma jadi pendengar saja, sebagai make up. Mengapa kita punya hal-hal seperti ini dalam hidup kita? Karena kita tahu, diri kita tidak bisa jujur sejujur-jujurnya kepada orang lain.
Contoh paling gampang, Saudara tidak masalah dengan memakai baju renang di kolam renang, tapi kalau pakai baju renang di gereja tentu ‘gak oke. Mengapa? Sederhana saja, karena di kolam renang semua orang pakai baju renang. Tapi kalau di gereja Saudara pakai baju renang, maka cuma Saudara sendirian yang pakai baju renang, dan itu berarti cuma Saudara yang bisa dilihat dan dikenal habis-habisan semua borok-boroknya, lemak-lemaknya, lipatan-lipatan badannya, sementara Saudara tidak bisa melihat hal-hal jelek itu pada orang lain karena mereka tertutup pakaiannya. Dan itu menjadikan suatu status sosial yang sangat tidak enak rasanya. Demikian juga soal hati kita.
Kita tidak bisa jujur sejujur-jujurnya kepada orang lain, karena kita tahu satu hal, seandainya diri kita dikenal sampai habis-habisan, tidak mungkin orang bisa senang dengan yang dia lihat pada diri kita; jadi, kalau ada orang yang senang sama saya, itu karena dia melihat yang bagus pada diri saya –logika yang gampang. Tapi celakanya, ada hal-hal dalam diri kita yang bukan saja kita sembunyikan terhadap orang lain, terhadap diri sendiri pun kita sembunyikan. Apakah itu? Itulah masalah hati manusia yang dibongkar lewat cerita ini, yaitu sadar atau tidak sadar, kita ingin mempercayai bahwa waktu Allah beranugerah, itu karena ada sesuatu yang baik pada diri saya, yang tidak ada pada orang lain. Itu sebabnya, jika kita percaya diri kita ternyata sejelek itu, kita juga tidak akan yakin Dia mau mengasihi kita.
Ketika orang-orang mengatakan bahwa tragedi itu karena dosa-dosa mereka yang tertimpa, di balik itu ada kecenderungan orang-orang ini yang mau mengatakan: “karena saya orang baik-baik, orang yang tidak sejahat itu, saya mau cari satu alasan supaya bisa membuktikan diri saya lumayan oke”. Dan inilah yang sedang oleh dibongkar Tuhan Yesus; “Tidak, kamu tidak bisa berpikir hukum tabur tuai seperti itu. Di sisi lain, jangan kamu pikir kalau kamu menerima yang sepatutnya kamu dapatkan, maka kamu akan menerima yang lebih baik; tidak. Kalau kamu menerima yang sepatutnya kamu dapatkan, maka kamu akan binasa juga dengan cara yang sama”.
Adakah di antara kita mau mengakui bahwa kita merasa sulit menerima anugerah Tuhan sebagai anugerah? Mungkin kita lebih ingin melihat bahwa kita mendapat anugerah karena ada sesuatu yang baik pada diri kita? Ada ilustrasi yang sangat gampang untuk membongkarnya. Misalnya ketika Saudara jatuh dalam dosa, Saudara lalu minta ampun, tapi kemudian jatuh dalam dosa yang sama lagi, minta ampun lagi., kemudian jatuh lagi dalam dosa yang sama, dan Saudara minta ampun lagi. Sampai berapa banyak siklus seperti ini berulang dan berulang lagi? Tentu tiap orang berbeda-beda, tapi semua orang Kristen ada pengalaman seperti ini; dan in the end semua orang ada breaking point, dan mengatakan: “Sudahlah Tuhan, sepertinya anugerah-Mu itu tidak sampai ke saya; saya terlalu hancur, mau minta ampun berapa kali pun, mau disembuhkan berapa kali pun, saya tidak ada harapan”. Saudara bisa lihat di sini, bukankah kalau kita percaya anugerah, kesimpulan kita justru adalah: “Tuhan itu luar biasa, saya sudah minta ampun berapa kali pun tetap tidak bisa, namun Engkau tetap mengampuni aku”. Itulah yang namanya anugerah. Tapi mengapa kecenderungan hati kita bukan seperti itu malah sebaliknya mengatakan: “Tuhan, Engkau pergi saja, saya sudah tidak ada harapan”? Yaitu karena kita ingin percaya satu hal: bahwa kalau saya mendapat anugerah, itu adalah karena saya ada andilnya. Ini bukan masalah orang Reformed ataupun denominasi yang lain, tapi ini masalah arah hati natural manusia berdosa, yaitu selalu ingin diri menjadi juruselamat bagi dirinya sendiri, selalu mau menempatkan diri di tempat Tuhan.
Coba kita ingat semua kebohongan yang pernah kita lakukan dan kita tidak kena batunya, coba kita ingat saat-saat ketika kita cerita kepada si A begini lalu kepada si B kita ubah sedikit supaya kita bisa diterima oleh orang-orang itu, coba ingat saat-saat kita ja-im dengan sengaja; lalu apakah setiap kali melakukan itu, kita kena hukuman? Tidak. Setiap kali kita memalingkan muka dari Tuhan, apakah Dia selalu memalingkan muka-Nya dari kita? Tidak. Waktu kita disuruh mengembalikan 10% kepada Tuhan, apakah Tuhan mengembalikan 1% saja dari dosa kita? Tidak.
Dari sini saja, kita harusnya tahu satu hal; aspek yang pertama yaitu bahwa Allah senantiasa, hari demi hari, tidak pernah memberikan kepada kita apa yang patut kita terima. Kalau kita benar-benar melihat diri kita begitu busuknya, kita akan sadar bahwa Tuhan tidak ada kewajiban apapun memberikan kepada kita hidup yang nyaman, bahkan boro-boro hidup yang nyaman, hidup pun tidak. Jadi prinsipnya jelas, di satu sisi itu bukan karena dosa-dosa mereka; ada anugerah yang menahan itu. Tidak ada orang yang diberikan setimpal dengan dosanya, atau paling tidak belum di saat ini. Di sisi lain, jangan ini menjadi alasan untuk berpikir “saya lebih baik dari orang lain”, karena inilah kecenderungan hati manusia berdosa. Inilah dua aspek yang Tuhan Yesus pegang bersama-sama dalam jawaban-Nya; bijaksana-Nya menghindari dua ekses yang kebablasan itu.
Jadi setelah mengerti itu semua, bagaimana kita harus berespon? Ini ada juga dalam jawaban Tuhan Yesus. Tapi sebelum kita melihat jawabannya, Saudara perlu melihat lebih dulu kepada siapa Tuhan Yesus memberikan jawaban ini. Di sini Tuhan Yesus sedang berbicara bukan kepada mereka yang tertimpa menara, Tuhan Yesus sedang berbicara justru kepada mereka yang tidak tertimpa menara. Dengan kata lain, kalau setelah mendengar kotbah ini Saudara teringat teman yang sedang menderita, lalu mau pakai kotbah ini untuk menghibur dia, saya akan mengatakan: jangan. Karena ini bukan bagian untuk orang yang sedang menderita. Tuhan Yesus bukan berbicara kepada mereka yang sedang tertimpa bencana, Tuhan Yesus sedang berbicara kepada mereka yang tidak tertimpa bencana; jadi Saudara tidak bisa pakai berita untuk mereka yang tidak tertimpa bencana ini dan memberikannya kepada mereka yang tertimpa bencana. Itu terbalik sama sekali. Kalau Saudara mengutip orang, Saudara perlu tahu konteksnya, kepada siapa orang itu berbicara, pada saat apa dia berbicara, dalam situasi apa dia berbicara. Mengutip tanpa memberitahukan konteksnya, meskipun kalimatnya dikutip lengkap, itu bahaya.
Kembali ke bagian ini. Ini merupakan bagian yang unik. Di bagian-bagian lain waktu bicara mengenai tragedi/ bencana, itu untuk menghibur orang-orang yang sedang terkena bencana; tapi bagian ini Tuhan Yesus memberitahu bagaimana kita meresponi tragedi, justru ketika kita bukanlah korban tragedi tersebut. Ini penting dan perlu kita lihat dari awal; peka konteks. Pada dasarnya Tuhan Yesus sedang: “Kalau kamu sedang berada pada masa hidup yang aman, sukses, lancar, ketika kamu melihat orang lain tertimpa menara rubuh, inilah yang harus kamu lakukan: bertobatlah, kalau tidak, kamu juga akan binasa seperti mereka”.
Dari kalimat ini kita belajar, bagi Tuhan Yesus, masa ketika segala sesuatu lancar, ketika Saudara berada dalam kenyamanan jasmani tingkat yang tinggi, Saudara juga sedang berada dalam kebahayaan rohani yang sangat tinggi. Krisis kerohanian yang paling gawat adalah ketika hidup Saudara tidak ada krisis; ujian rohani yang paling sulit adalah ketika hidup kita seperti tidak ada ujian; tempat yang paling bahaya secara rohani adalah ketika Saudara melihat menara jatuh menimpa orang lain tapi tidak jatuh menimpa Saudara.
Mungkin Saudara berpikir, “bukannya terbalik??” Kita selama ini berpikir, bukankah iman kita diuji paling sulit ketika menara jatuh kepada saya? Tapi Tuhan Yesus punya bijaksana yang jauh lebih tinggi. Tentu saja ada bagian-bagian yang seperti itu di Alkitab, ketika penderitaan memang adalah ujian, dan menuntut kita berespon dengan benar, dan ada kebahayaan kita bisa goyah karenanya. Tapi jangan lupa, ada bagian yang seperti ini juga, yang justru mengatakan “jangan kira kalau hidupmu lancar, kalau imanmu sedang tidak diuji, itu berarti Saudara tidak sedang diuji, karena justru itu ujian yang lebih berbahaya”.
Lalu apa yang harus kita lakukan dalam masa-masa tersebut? Bertobat, demikian kata Tuhan Yesus. Mengapa bertobat?? Bukankah aneh sekali?? Bertobat dari apa?? Kalau kita lagi kena bencana, kita gampang bertobat; kita cari ‘ada apa yang salah dengan saya’, lalu bertobat, selesai; tapi kalau hidup saya semua lagi oke, apa masalahnya?? Dari sini Saudara bisa mulai melihat alasannya orang-orang yang dalam situasi lancar hidupnya sangat bahaya. Tuhan Yesus sedang mengatakan bahwa tidak ada waktu yang lebih tepat untuk bertobat selain justru ketika segala sesuatu sedang lancar, ketika Saudara sedang mencapai target, sedang menerima berkat. Mengapa bisa seperti ini?
Cerita di bagian ini adalah satu ilustrasi bahwa Alkitab sudah sering memberitahukan tapi kita ‘gak nangkep-nengkep, yaitu bahwa dosa bagi Alkitab bukanlah terutama soal pelanggaran hukum. Di bagian ini yang sedang diajak bicara adalah orang-orang Yahudi, murid-murid Tuhan Yesus, yang adalah orang-orang yang taat hukum Tuhan, yang beribadah, yang mencari kehendak Tuhan. Dan panggilan untuk bertobat kepada orang-orang yang seperti ini, akan memberitahukan kepada kita arti sesungguhnya dari pertobatan. Kalau Saudara berbohong atau merampok bank, lalu dikatakan “bertobatlah”, itu sudah jelas. Tapi esensi dosa bukanlah melanggar peraturan, melainkan memberhalakan sesuatu yang bukan Allah. Esensi dosa bukan menghindari Tuhan sebagai juruselamat, melainkan menempatkan sesuatu yang lain –diri kita atau hal yang baik dalam hidup kita—sebagai juruselamat. Dan pencobaan untuk menaruh diri kita di tempatnya Allah, itu paling kuat datangnya pada masa-masa yang lancar.
Kalau hidup Saudara sedang rusak, sedang ada menara rubuh, memang Saudara bisa ada kecenderungan untuk berdosa –misalnya mencari pelarian dengan mabuk-mabukan, narkoba, dsb.– tapi Saudara sepertinya tidak akan tergoda untuk menaruh diri di tempatnya Allah dalam situasi-situasi seperti itu. Justru di masa hidup lancar, di situlah Saudara mulai digoda untuk menempatkan sukacita Saudara yang terutama bukan pada Tuhan melainkan pada hal-hal yang baik dalam hidup Saudara itu –pada kehebatan, kesuksesan Saudara—dan dengan demikian malah menjauhkan Saudara dari Tuhan. Dan bahayanya, pada saat-saat seperti itu, kita tidak sadar akan hal ini.
Contohnya, kita berdoa bagi mereka yang sedang tidak ada tempat ibadah, yang berada dalam situasi penderitaan, hidup dikejar-kejar sehingga tidak bisa beribadah secara bebas. Apakah doa seperti itu salah? Sama sekali tidak salah; kita perlu mendoakan mereka. Lalu apa yang tidak kita doakan dalam doa-doa kita? Jarang sekali kita berdoa bagi mereka yang justru sedang dalam situasi lancar, punya tempat kebaktian yang baik, tidak sedang dianiaya; mengapa? Karena itulah yang kita percaya, bahwa yang lebih kasihan adalah mereka yang menderita. Tapi Tuhan Yesus mengatakan: “Tidak, justru yang lebih bahaya adalah kamu yang tidak tertimpa bencana ini, karena kamu amat sangat gampang tergelincir untuk menjadikan dirimu sebagai berhala –karena saya; karena saya ada hal-hal yang baik, maka saya tidak tertimpa bencana.” Itulah tempat yang paling mengerikan, dan kita tidak sadar hal ini.
Contoh yang lain, misalnya dalam konseling. Setiap kali kita –hamba Tuhan—konseling bertemu orang dengan problem mereka, para hamba Tuhan langsung ditempatkan dalam posisi yang bahaya sekali karena kecenderungannya para hamba Tuhan ini secara sadar atau tidak sadar langsung merasa dirinya lebih baik daripada yang dikonseling. Ada kesaksian seorang pendeta; dia mengkonseling satu orangtua yang anaknya tidak beres (narkoba, seks bebas, dsb.). Pendeta itu mengatakan, waktu konseling dirinya bicara dengan sopan, dengan respek, menempatkan diri equal dengan yang dikonseling, tidak ada kesan lebih di atas dsb. Setelah selesai dan pulang, dalam saat teduh pribadi pendeta ini menemukan Lukas 13: 1-5, dan tiba-tiba kalimat Tuhan Yesus itu menusuk ke dalam hatinya: “Apakah kamu pikir karena orangtua yang tidak becus itu anak-anaknya hidup hancur, maka berarti mereka itu orangtua yang lebih jelek dibandingkan kamu, yang anaknya hidup baik-baik? Aku mengatakan kepadamu: Tidak. Dan bertobatlah, karena kalau tidak, anak-anakmu juga akan binasa dengan nasib yang sama”. Pendeta ini baru sadar, memang dia bicara dengan sopan, dengan nada bicara yang equal, tidak menempatkan diri di atas, tapi bagaimanapun juga dia telah menempatkan diri di atas waktu berpikir ‘wah, ini anaknya hancur banget’. Saudara, ini dosa yang amat sangat subtle.
Pada masa hidup yang lancar seperti inilah, dosa pembenaran diri –dosa yang paling dasar itu—muncul. Dosa pembenaran diri adalah dosa mau menjadi juruselamat bagi diri kita sendiri. Jangan tertipu, dosa ini sangat halus gerakannya, sangat terselubung. Hanya karena kita tidak melihatnya, tidak berarti tidak ada. Coba Saudara tanya istri atau suami, mereka biasanya lebih mengenal diri kita daripada kita sendiri. Mereka lebih melihat hal-hal yang kita sendiri tidak mau lihat. Waktu si pendeta tadi konseling, jangan pikir dia berlagak sombong, tidak sama sekali; dia memperlakukan mereka dengan hormat. Tapi hati manusia yang berdosa, ketika pekerjaan kita berjalan baik, secara otomatis mulai berpikir ‘pekerjaan saya mulai bagus, mengapa ya, mengapa ya?’; dengan sangat terselubung. Dalam momen-momen seperti inilah Tuhan Yesus menyambar seperti geledek: “Bertobatlah”.
Pertobatan bukan terutama mengenai pelanggaran, kalau begitu, bagaimana saya bisa bertobat kalau saya tidak melanggar apa-apa? Pertobatan itu bukan terutama masalah melakukan hal yang jahat, tapi lebih pada masalah terlalu mencintai hal yang baik. Berhala tidak pernah benda yang najis, berhala selalu indah di mata Saudara –kalau tidak indah, tidak mungkin Saudara menjadikannya berhala. Semakin indah, semakin baik, semakin lancar, semakin sukses suatu hal, akan semakin mudah kita menjadikannya sebagai berhala. Oleh sebab itu hal ini paling gampang menjangkit mereka yang tidak tertimpa menara dibandingkan mereka yang tertimpa menara.
Melanggar peraturan Tuhan itu cuma gejala; penyakit utama dosa adalah menjadikan diri kita, atau sesuatu yang lain, sebagai juruselamat kita. Itu sebabnya pertobatan orang beragama dan pertobatan Kristen adalah 2 hal yang berbeda. Orang beragama bertobat dari kejahatan-kejahatan mereka. Orang Kristen bukan cuma bertobat dari kejahatan-kejahatan, tapi juga bertobat dari hal-hal yang baik dalam hidup kita, yang kita kebablasan menaruhnya di tempat yang tidak sepantasnya, yaitu sebagai “yang paling baik”.
Itu sebabnya bagi orang-orang beragama, pertobatan adalah sesuatu yang abnormal, hanya untuk saat-saat tertentu saja. Tapi bagi orang Kristen, pertobatan itu sesuatu yang ‘senantiasa’. Tesis Martin Luther yang pertama: “All life is repentance” –pertobatan itu seluruh hidup. Orang Kristen meresponi semua hal dalam kehidupan dengan pertobatan, baik itu kejahatan ataupun kebaikan. Pertobatan bagi orang Kristen itu suatu hal yang natural dan rutin. Pertobatan agamawi/ moralistik adalah dengan melihat hal-hal jahat yang pernah dilakukan. Pertobatan Kristen adalah mengubah cara Saudara melihat hal-hal yang baik dalam hidup Saudara. Kedua macam pertobatan ini sangat berbeda, maka efeknya pun berbeda. Pertobatan bagi orang beragama itu sakit rasanya, menyedihkan, tidak enak. Pertobatan bagi orang Kristen menghadirkan sukacita.
Mengapa pertobatan bisa jadi hal yang manis dalam hidup kita? Karena kita sadar, kita sama sekali tidak ada hak untuk menerima yang baik dari Tuhan; semua hal-hal baik yang kita terima hari ini, semata-mata karena Tuhan mencintai kita. Ini kacamata anugerah. Sukacita yang sejati cuma bisa datang dari humility seperti ini. Kalau Saudara merasa ada andil untuk sesuatu yang Saudara dapatkan, Saudara tidak akan bisa sukacita. Waktu Saudara terima gaji, pertama kali tentu sukacita, tapi sesudah 20 tahun bekerja, apa Saudara masih sukacita waktu menerima gaji? Tidak akan. Saudara merasa memang itulah seharusnya yang diterima, bahkan kalau kurang sedikit langsung marah karena itu hak.
Tidak ada sukacita dalam hak. Tapi ketika Saudara menjadi humble, menyadari bahwa diri kita tidak berbeda dengan orang-orang yang tertimpa menara, bahwa kita tidak patut mendapatkan yang lebih baik, dan meski begitu, menara tidak jatuh menimpa kita, maka barulah itu menghasilkan sukacita. Maukah sukacita seperti itu? Atau kita lebih mau sukacita yang lain, sukacita manusia berdosa yang mengatakan “saya bangga karena hidup saya hari ini adalah hasil tangan saya sendiri”? Ironisnya, ini sukacita yang palsu, yang malah membuat Saudara makin sengsara, setiap kali menemukan sesuatu tidak sesuai dengan harapan maka Saudara akan ngomel karena merasa ‘harusnya tidak begini’.
Hidup yang bersukacita sejati datang kalau kita melihat segala sesuatu dalam kacamata anugerah. Masalahnya, kita tidak mau; dan bukan cuma tidak mau tapi kita tidak bisa. Mengapa? Karena kita demen ngomel. Kalau kita betu-betul mau hidup sebagai orang yang melihat dengan kacamata anugerah, kita harus stop complain. Stop complain negara kurang ini kurang itu, karena seandainya bukan karena anugerah Tuhan, Saudara mendapatkan negara yang lebih hancur. Stop complain Gereja kurang ini kurang itu, karena kalau bukan anugerah Tuhan, Saudara juga tidak bakal dapat Gereja seperti ini. Stop complain Hamba Tuhan begini begitu, karena kalau bukan anugerah Tuhan, Saudara juga tidak bakal dapat Hamba Tuhan yang seperti itu. Termasuk saya juga harus stop complain jemaat begini begitu, karena kalau bukan anugerah Tuhan, saya tidak bakal dapat jemaat yang seperti ini melainkan jemaat yang lebih hancur. Semua yang ada pada kita hari ini bukanlah yang patut kita terima, tapi kita sulit sekali melepaskan hak untuk komplain.
Itu sebabnya Tuhan bukan cuma menyuruh, tapi Dia juga memberi kita kekuatan untuk bisa melakukan panggilan ini. Caranya, lihat kepada Kristus. Dia sudah menghidupi pola yang sama, namun sedikit terbalik. Kita ini orang-orang yang patutnya mati namun diberikan hidup –dan kita masih komplain kepada Tuhan. Kita tidak rela hidup dengan kacamata anugerah meski kita tahu hidup seperti itu lebih sukacita. Tapi Kristus yang adalah Allah, dan ketika menjadi manusia Dia satu-satunya manusia yang sempurna sehingga sepantasnya hanya mendapatkan segala yang baik dari Allah, namun Dia diberikan hidup yang begitu sengsara, menyedihkan, penuh dengan pemberontakan dan pengkhiatan dari orang-orang, dan berakhir dengan kematian yang begitu tragis di kayu salib pada puncak usia yang produktif. Demi Saudara dan saya yang tidak rela untuk humble, Dia telah lebih dahulu humble Himself.
Kita yang harusnya mendapat kebinasaan, malah diberikan hidup. Dia yang patutnya mendapat kehidupan yang luar biasa limpah, malah diberikan kematian. Allah kita sudah terlebih dahulu menjalani ini buat kita. Itu sebabnya kita tidak diminta untuk hidup sampai seperti Dia dalam level seperti itu, tidak semua orang diminta untuk hidup baik tapi bernasib tragis. Saudara juga bukan diminta untuk mengingat sebuah prinsip doktrin yang dingin yang menuntut kita tidak boleh ngomel; yang Tuhan minta adalah kita senantiasa mengingat Seorang Pribadi, yang sebelum meminta hidup kita yang jauh tidak sempurna ini, telah lebih dahulu meberikan hidup-Nya yang sempurna itu. Kalau Saudara melakukan ini, Saudara mulai memperoleh kerendahan hati yang sejati; yang bukan datang ketika otak kita dipenuhi doktrin-doktrin atau prinsip-prinsip yang dingin, tapi ketika seluruh keberadaan kita dibanjiri figur Pribadi itu.
Terakhir, bagian untuk Saudara-saudara yang sedang tertimpa menara. Kalau hari ini Saudara merasa diri paling sial, paling celaka, paling tersendiri, maka Saudara juga harus melihat kepada Kristus. Meskipun manusia tidak senang kepada Saudara atau merugikan begitu banyak, Manusia yang paling kudus itu mati di atas kayu salib demi dosa-dosa Saudara. Satu-satunya Orang yang patut mendapatkan hidup penuh berkah, Dia malah menerima menara jatuh, demi Saudara.
Maka, ketika dalam hidup Saudara tertimpa menara, Saudara akan bisa mengatakan: itu menara yang kecil, karena menara yang sesungguhnya, yang ultimat, yang paling maut itu, telah menimpa Tuhan Yesus; menara yang jatuh menimpa pada hari ini bukanlah Tuhan sedang menghukum aku karena dosaku, kalau Dia menghukum aku karena dosaku, aku sudah mati sejak kapan-kapan. Dan aku bisa menghadapi menara ini, karena menara yang paling mematikan sudah jatuh terlebih dahulu ke atas-Nya. Menara yang hari ini jatuh kepadaku, bukanlah suatu menara melainkan perapian yang Tuhan janjikan akan memurnikan diriku. Itu harapan bagi Saudara yang sedang tertimpa menara.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading