Ini satu pasal yang panjang dan ada banyak struktur narasi yang bisa kita lihat, tapi kita akan fokus pada satu hal, yaitu mengenai keberanian, satu tema yang terlihat jelas di bagian ini. Kalau kita melihat bagian ini sebagai kontinuitas dari bagian sebelumnya –Daud diurapi Tuhan– kita tahu bahwa setelah Roh Allah membanjiri seseorang maka yang terjadi berikutnya kesulitan, penderitaan, penganiayaan; tapi tentu saja bukan cuma itu. Kalau Saudara melakukan survey atas orang-orang yang dikatakan Alkitab ‘dipenuhi Roh Allah’, yang terjadi bukan cuma mereka mendapatkan kesulitan, tantangan, dsb., tapi juga mereka mendapatkan keberanian untuk bertindak. Misalnya dari aspek militer, di Perjanjian Lama setelah Otniel, Gideon, Simson mengalami Roh Allah turun atas dirinya, maka Otniel kemudian mengalahkan raja Aram, Gideon meniup terompet membawa tentaranya maju berperang, Simson mengoyak singa seperti seekor anak keledai. Di bagian lain pada zaman nabi-nabi, waktu Roh Allah turun atas seseorang maka orang ini kemudian dengan berani bernubuat menyampaikan kepada raja, pesan-pesan yang mungkin tidak disenangi raja tersebut; contohnya anak Benaya, Zakharia, Yesaya, dan lain-lain. Di Perjanjian Baru, waktu para rasul diancam untuk tidak lagi mengabarkan Injil Tuhan, mereka berdoa dan dikatakan ‘mereka penuh dengan Roh Kudus’, kemudian yang terjadi adalah mereka bertindak, mengabarkan Injil dengan berani. Jadi, kita melihat satu hal yang menarik di bagian ini, waktu Roh Tuhan turun membanjiri Daud, memang berikutnya dia mengalami penderitaan dan kesulitan –dia menghadapi Goliat—tapi ada suatu keberanian juga yang dia dapatkan. Kita akan membicarakan mengenai hal ini.
Pembahasan hari ini bisa kita bagi per tokoh; yang pertama: Saul. Jika dihubungkan dengan tema keberanian di bagian ini, Saul tidak punya keberanian; dikatakan di ayat 11 mereka semua ketakutan. Di ayat 32 ‘Berkatalah Daud kepada Saul: "Janganlah seseorang menjadi tawar hati karena dia… “’ yang tentu maksudnya adalah Saul. Kata ‘tawar hati’ dalam bahasa Ibrani-nya memakai kata yang arti harafiahnya ‘roboh’, hatinya roboh; ketakutan berarti hatinya roboh.
Ini menarik, karena kalau Saudara melihat struktur narasinya sangat jelas dalam cerita ini bahwa yang berkewajiban menghadapi Goliat, tidak lain adalah Saul. Mengapa? Karena dari segi ukuran fisik, memang Goliat luar biasa besarnya tapi Saul juga bukan orang yang badannya kecil, dikatakan di bagian yang lalu bahwa kepala orang-orang Israel itu hanya sepundaknya. Jadi kalau mau berhadapan satu banding satu, sudah seharusnya lawannya adalah Saul. Tapi yang lebih menarik adalah bukti secara teks-nya; Goliat tidak mengatakan: “Bukankah aku seorang Filistin dan kamu orang Israel?”, melainkan: “Bukankah aku seorang Filistin dan kamu adalah hamba Saul?” (ayat 8). Itu jelas sekali ditujukan menusuk Saul. Selanjutnya Goliat mengatakan: “Pilihlah bagimu seorang, …”; perkataan ini juga merupakan referensi yang jelas sekali ditujukan kepada Saul, karena dalam kitab Samuel berkali-kali dikatakan ‘raja yang kamu pilih’. Di 1 Sam 8 waktu Tuhan memperingatkan bangsa Israel yang meminta raja, Samuel mengatakan: “Pada waktu itu kamu akan berteriak karena rajamu yang kamu pilih itu”. Juga di 1 Sam 12, dikatakan: “… lihat itu raja yang telah kamu pilih… “. Dan lebih menarik, perkataan orang Israel sendiri di 1 Sam 8 waktu mereka protes dan tetap minta raja: "Tidak, harus ada raja atas kami; maka kamipun akan sama seperti segala bangsa-bangsa lain; raja kami akan menghakimi kami dan memimpin kami dalam perang"; dalam bahasa Inggris lebih jelas: “Our king will go before us into battle”, jadi memimpin di sini artinya ‘mendahului kami maju ke medan perang’. Bukan itu saja, satu bukti secara teks bahwa ini bukan cuma perkataan manusia tapi juga dari Tuhan sendiri yaitu di 1 Sam 9, bahwa misi-Nya mengangkat Saul menjadi raja memang untuk mengalahkan Filistin. Di 1 Sam 9: 16, Tuhan mengatakan: "Besok kira-kira waktu ini Aku akan menyuruh kepadamu seorang laki-laki dari tanah Benyamin –maksudnya Saul–; engkau akan mengurapi dia menjadi raja atas umat-Ku Israel dan ia akan menyelamatkan umat-Ku dari tangan orang Filistin.“ Ini misi yang spesifik sekali, jelas tujuannya untuk Saul, Saul yang harus maju. Dan nyatanya Saul tidak mau maju, meskipun sudah diancam Goliat kalau kalah maka semua orang Israel akan dijadikan budak. Saul ketakutan, tawar hati, hatinya roboh, dan dia tidak bisa bergerak lagi; dia adalah orang “pengecut”.
Di bagian tentang Saul ini, kita membicarakan sedikit tentang natur dari ‘ketakutan’. Metafor ‘ketakutan’ adalah hati yang roboh/ runtuh, sehingga tentu saja ‘keberanian’ adalah hati yang bisa berdiri tegak. Ini mirip kasus dari Sadrakh, Mesakh, Abednego; tantangan mereka adalah supaya tetap berdiri teguh, tidak berlutut menyembah berhala yang didirikan Nebukadnezar. Dalam cerita itu, mereka mengatakan kepada Nebukadnezar: “kami percaya Tuhan bisa menyelamatkan kami, tapi kalau Dia tidak menyelamatkan kami, juga tidak masalah”; itulah yang disebut berdiri teguh, keberanian. Keberanian tidak selalu menyerang ke depan, tapi keberanian itu adalah berdiri teguh di satu tempat. Oleh sebab itu, keberanian pada dasarnya adalah berani berpegang pada yang benar, berani bertahan dalam posisi yang benar, meskipun itu akan mendatangkan kerugian, serangan terhadap diri, dan segala konsekuensi serta bahaya.
Keberanian ini satu hal yang kurang ditekankan dalam hidup kita hari ini, sedangkan kalau Saudara membaca tulisan Plato dan kawan-kawannya, keberanian/ courage sangat ditekankan dalam classical education, merupakan salah satu dari 4 kebajikan/virtue yang terutama. Mengapa? Karena seringkali kita pikir keberanian adalah soal menyerang keluar. Itu tidak benar. Keberanian adalah soal bertahan dalam hal yang benar meskipun ada hal-hal lain yang menyerang kita. Contoh yang paling praktis, waktu orang-orang Amerika kembali ke negaranya sebagai veteran perang, mereka pulang sebagai pahlawan, orang-orang yang heroik, orang-orang yang berani, karena mereka mungkin pernah berlari menembus desingan peluru musuh demi menyelamatkan teman-temannya. Tetapi, ketika mereka pulang, kembali ke keluarga mereka, kembali ke peradaban, justru mereka meghidupi hidupnya sebagai orang yang pengecut. Ada banyak orang yang berani sekali menghadapi bahaya fisik, berani sekali menyerbu ke depan, tapi di sisi lain mereka tipe orang yang tidak pernah berani mengaku salah, tidak berani menunjukkan kelemahan, dan akhirnya merusak banyak relasi, baik dengan pasangan ataupun dengan orang lain. Ini bukan keberanian yang sejati. Ada orang-orang yang berani membuka bisnis baru, berani ambil resiko, tapi ketakutan kehilangan muka sehingga harus ‘mengarang’ sana-sini, dsb. Atau mungkin yang hari ini lebih kita alami, yaitu sekedar takut ketinggalan kalau tidak menggunakan facebook, instagram, dsb., takut ketinggalan dalam berita ini itu yang ada di media sosial. Mengapa bisa demikian?
Kalau Saudara mau mengetahui hal apa yang mengontrol hati Saudara –yang menjadi berhala Saudara—Saudara tinggal melihat pada hal apa yang Saudara takuti, yang menjadi mimpi buruk paling besar bagi Saudara. Tidak setiap orang ketakutannya sama. Demikian juga keberanian berbeda antara orang yang satu dengan yang lainnya. Dalam beberapa budaya, misalnya di Jepang, kita melihat orang-orang yang berani bunuh diri demi menjaga kehormatan; waktu melakukan kesalahan atau kalah perang, mereka berani bunuh diri daripada menanggung malu. Ketakutan setiap orang berbeda-beda karena yang kita lihat sebagai arti hidup kita juga berbeda-beda. Bagi orang-orang seperti di Jepang tadi, lebih baik mati daripada menanggung malu; itu berarti ketakutan mereka yang utama bukanlah nyawa tapi soal dipermalukan. Oleh karena itu, tindakan bunuh diri mereka jangan-jangan suatu bentuk ke-pengecut-an bukan keberanian. Kalau kita melihat dari sini, sekali lagi keberanian itu bukan semata-mata berani menghadapi kebahayaan fisik, tapi esensi dari keberanian adalah berani menghadapi ketakutan terbesar dirinya, dan bertahan dalam hal yang benar apapun yang akan datang selanjutnya.
Kita ternyata tidak jauh beda dari Saul, kita semua ternyata juga pengecut. Waktu kuliah di Melbourne, saya tinggal di rumah seorang pendeta, dan juga bersama 2 anak lain yang dititipkan dari satu keluarga Kristen. Kedua anak ini masih SMP dan mereka dititipkan untuk sekolah di sana, karena bermasalah sering tidak naik kelas, pindah sekolah, dsb., waktu di Indonesia. Problem keluarga ini dikarenakan kedua orangtua berprofesi sebagai dokter, begitu sibuk bolak-balik ke luar negeri untuk pekerjaannya, sehingga mereka tidak memberi cukup waktu bagi anak-anaknya. Seorang pendeta lain sudah pernah memberikan konseling dan menasihatkan salah satu dari mereka untuk berani melepaskan karir dan memberikan waktu bagi anak-anaknya. Tapi mereka tetap tidak melakukannya, mereka menitipkan anak-anaknya, dan anak-anaknya tetap bermasalah. Melihat hal ini, mungkin kita berespon begini: inilah orangtua pengecut, orang yang takut kehilangan sukses, takut kehilangan karir, atau mungkin takut dicap sebagai ini dan itu, dan mereka tidak memberikan waktu bagi anak-anak mereka. Tapi bisa juga beberapa di antara kita berespon kebalikannya, justru mereka mengatakan bahwa kita inilah orang-orang yang pengecut karena tidak berani mengatakan ‘tidak’ kepada anak-anak, semuanya buat anak-anak, kita jaga anak-anak kita sebisa mungkin. Yang menjadi standar kita untuk ‘say no’ mungkin sebatas tertentu, sedangkan bagi orang lain standar tersebut harusnya lebih tinggi lagi. Dan penyebabnya mungkin juga karena ketakutan; ketakutan salah didik anak, ketakutan tidak mendapatkan penerimaan dari anaknya sendiri, ketakutan kalau terjadi sesuatu pada anak lalu orang lain mencap kita sebagai orangtua yang buruk, dsb. Intinya, keberanian bukanlah berani menghadapi satu jenis kebahayaan, melainkan berani menghadapi kebahayaan yang Saudara paling takuti; dan ternyata semua dari kita itu pengecut, ketakutan. Ini yang kita dapatkan waktu kita melihat Saul.
Tokoh yang kedua, Goliat. Waktu membahas tentang Goliat, kira-kira kita meletakkan dia di mana? Saul kita letakkan sebagai bad guy-nya, lalu Daud good guy-nya, lalu Goliat mungkin kita anggap bad guy-nya juga. Tapi ini tidak tepat. Kalau kita melihat struktur narasinya, kita seringkali salah baca karena perbandingan antara tokoh Daud dan tokoh Goliat memang sangat kontras –Daud kecil, Goliat besar; Daud tidak pakai senjata, Goliat banyak senjatanya. Kecenderungan kita adalah melihatnya hitam-putih, yang satu good guy, yang lain bad guy. Tapi mungkin tidak seperti itu yang dimaksud Alkitab, karena kita lihat Alkitab memberi deskripsi mengenai Goliat sampai 4 ayat (ayat 4-7).
Dikatakan di situ tentang namanya yang adalah Goliat, tentang asalnya, bahwa dia seorang pendekar, tentang tinggi badannya, tentang ketopongnya, tentang baju zirahnya dan berat baju tersebut, tentang penutup kaki tembaganya, tentang macam lembing di bahunya, tetang mata tombaknya, dan bahwa ada seorang yang menjadi pembawa perisainya, dsb. Mengapa perlu deskripsi seperti ini? Bagian ini mungkin terlewatkan begitu saja, karena kita terbiasa dengan story telling modern yang sudah biasa dengan deskripsi-deskripsi semacam ini. Saya pernah diajarkan cara bercerita kepada anak-anak SD ke bawah supaya menarik buat mereka, yaitu: harus ada detail. Kalau mau bercerita kepada anak-anak, jangan seperti ini: suatu hari si Anto pulang dari pasar, tapi diberi bumbu-bumbu supaya menarik. Ceritanya jadi begini: suatu hari yang agak mendung, si Anto pulang dari pasar; Anto memakai baju merah, dan sepasang sandal jepit, sandal jepitnya merek Swallow. Jadi detailnya banyak sehingga yang mendengar langsung tertarik; inilah teknik story telling. Tapi Alkitab tidak biasa memakai teknik seperti itu. Kalau Saudara perhatikan, Alkitab hampir tidak pernah mendeskripsikan seseorang sepanjang ini. Bahkan tentang Daud di pasal sebelumnya dan juga pasal ini, deskripsinya hanyalah bahwa dia muda, kemerah-merahan, dan elok parasnya; tidak sampai 4 ayat. Lalu apa tujuan di balik deskripsi tentang Goliat yang sampai 4 ayat ini, sementara literatur Ibrani biasanya singkat padat? Kita perlu menelaah hal ini.
Ini adalah satu deskripsi yang menarik, dan mungkin kita baru dapat mengerti tujuannya kalau kita bandingkan dengan deskripsi dalam Samkok. Di situ ada deskripsi yang mirip, misalnya: Guan Yu, seorang pendekar ternama, yang mempunyai sebuah senjata golok raksasa seberat 82 kati bernama Golok Naga Biru; Liu Bei seorang yang sangat bijak, jenggotnya sepanjang sekian, lengan bajunya menyentuh lutut tanpa dia harus membungkuk, dan seterusnya semacam itu. Dengan mendeskripsikan seperti itu, kita merasakan nuansa yang lain. Waktu kita membaca tentang Goliat, mungkin kita pikir ‘deskripsi orang jahat ya, seperti ini’, padahal mungkin ini lebih mirip deskripsi dalam Samkok tadi, yaitu deskripsi seorang pahlawan, seorang yang berani, seorang yang begitu kontras dengan Saul, dan bahwa seperti inilah seharusnya the true hero. Fungsi deksripsi ini untuk membuat kita menyadari, bahwa Goliat mungkin bukan seperti yang kita bayangkan, yang mukanya kotor, ototnya ada banyak bekas luka, jenggotnya berkutu, dsb., dan seandainya dia dihadirkan sebagai pahlawan yang hebat, kita tidak senang. Di balik deskripsi ini, Alkitab bukan sedang menghadirkan ‘inilah good guy Daud, dan inilah bad guy Goliat’, tapi mungkin yang dihadirkan adalah ‘inilah keberanian jenis satu’, dan yang satu lagi ‘inilah keberanian jenis dua’.
Kalau Saudara lihat, titel yang diberikan Alkitab atas Goliat adalah ‘pendekar’. Dalam terjemahan bahasa Inggrisnya ‘a champion’, dan istilah bahasa Ibraninya secara literal berarti orang yang ada di antara/ di tengah-tengah. Seperti Saudara ketahui, di tengah-tengah mereka ada lembah; orang Filistin di bukit yang satu dan orang Israel di bukit yang lain, lalu Goliat ini berani berdiri di tengah-tengah. Dia berani menempatkan diri di tengah-tengah, dia berani mewakili, dia orang yang begitu percaya diri, begitu berani. Ini suatu istilah yang bukan sembarangan. Dan kalau kita mau menempatkan bad guy-nya, itu adalah Saul, si pengecut. Di sini Alkitab bukan menghadirkan Goliat sebagai bad guy, tapi Alkitab menghadirkan dua jenis kepahlawanan, dua jenis keberanian, dan dua pahlawan ini mempunyai pendekatan yang berbeda akan arti kepahlawanan dan keberanian. Jadi Alkitab seperti seorang guru yang baik, yang bukan mengatakan “pokoknya begini, begini, begini”, tapi Alkitab seakan mengatakan “ada berani yang seperti ini, ada berani yang seperti itu, coba kamu lihat baik-baik”.
Kita lihat di sini, heroisme Goliat boleh dikatakan ‘heroisme duniawi’, tapi tetap heroisme. Yang pertama, heroisme/ keberanian ini muncul karena ada kemampuan fisik yang mendukung, seperti telah dikatakan tingginya enam hasta sejengkal, dsb.; dan kita tahu ini konsep duniawi karena di bagian sebelumnya kita sudah membahas bahwa Allah melihat yang di dalam, manusia melihat yang di luar. Yang kedua, Goliat dihadirkan sebagai pahlawan bukan cuma yang badannya besar tapi juga hi-tech (high technology) –pahlawan yang ‘kekinian’ pada waktu itu– sedangkan Daud gatek, cuma tongkat dan ketapel. Dan tentu saja Goliat sangat percaya diri. Kalau kita melihat semua kalimat yang dia ucapkan dan semua gerak-geriknya, tidak ada satu bukti pun yang menunjukkan dia masih punya tempat untuk rasa takut. Goliat berani karena tidak ada rasa takut dalam hidupnya, tidak ada tempat untuk keraguan dalam hidupnya. Inilah pendekatan Goliat mengenai keberanian; dan ini banyak kita lihat pada motivator-motivator duniawi mengajarkan cara Saudara untuk deal with fear cara dunia, yaitu dengan visualisasi. Mereka mengatakan: “Gunakan imajinasi secara positif. Misalnya Anda takut menghadapi karyawan toko untuk minta ganti barang, coba gunakan imajinasi secara positif, bayangkan diri Anda sedang meminta dengan sopan dan tenang, dan bayangkan juga karyawan tersebut meresponi dengan baik dan sopan, dan semua hal-hal yang Anda takutkan ternyata tidak terjadi. Bayangkan semua skenario ini, dan ulang-ulang. Setelah Anda melakukan latihan mental ini beberapa kali, maka Anda akan lebih pe-de dan tidak takut. Setelah perasaan Anda lebih ringan, maka Anda sekarang sudah siap menghadapi permasalahan ini” (diambil dari artikel di internet). Ini cara dunia. Dan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan cara yang sering kita lakukan; kalau anak kita ketakutan, kita mengatakan “jangan pikir seperti itu, pikir seperti ini”, atau “lihat pada dirimu, buang rasa takut, bayangkan skenario yang positif”, dsb., yang artinya juga visualisasi. Ini pendekatan standar duniawi untuk membuat kita berani.
Bukan berarti kita tidak boleh memakai cara ini sama sekali, tapi cara seperti ini punya bolong yang besar; mengapa? Pertama, orang yang mendekati ‘keberanian’ dengan cara seperti Goliat ini, dia malah terputus dari kenyataan, tidak waspada akan bahaya, karena semua pikiran mengenai bahaya harus dibuang. Dalam teks-nya dikatakan ketika Daud mendatangi Goliat, Daud memegang tongkat gembala, dan batunya disembunyikan di kantong. Lalu waktu Goliat melihat Daud, dia bereaksi atas tongkat itu, "Anjingkah aku, maka engkau mendatangi aku dengan tongkat?", padahal tongkat itu adalah barang yang sama sekali tidak Daud gunakan dalam pertempuran melawan Goliat. Mengapa Goliat bisa buta terhadap bahaya yang sebentar lagi akan menghajarnya? Karena keberaniannya didasarkan pada cara membuang semua skenario yang jelek, tidak ada tempat untuk rasa takut dalam dirinya.
Tapi kembali pada definisi kita tentang keberanian, problem yang lebih utama dari pendekatan seperti ini yaitu bahwa pendekatan seperti ini tidak berguna sama sekali ketika kasusnya ‘waktu kita berani, bertahan melakukan yang benar, di situ tidak ada kemungkinan hasil yang positif bagi diri kita’. Contohnya dalam sebuah kisah berhubungan dengan tenggelamnya kapal Titanic: ada seorang wanita penumpang kelas satu, bernama Edith Evans. Waktu Titanic tenggelam, sekitar 1500 orang meninggal tenggelam, kebanyakan dari penumpang kelas dua atau tiga, karena sekoci-sekoci diutamakan bagi penumpang kelas satu; dan juga lebih banyak kaum pria yang meninggal karena ada policy bahwa wanita dan anak-anak diutamakan. Maka sebagai seorang wanita, penumpang kelas satu, kemungkinan untuk selamat sangat besar. Kenyataannya dari seluruh penumpang wanita kelas satu, hanya 4 orang yang meninggal, termasuk Edith Evans. Mengapa dia meninggal? Menurut cerita, ketika dia sampai ke sekoci bersama temannya, hanya tinggal satu tempat di sekoci tersebut, lalu Edit Evans mengatakan kepada temannya itu, “Kamu punya anak, saya tidak; jadi engkau yang masuk sekoci”. Dalam kisah seperti itu, bagaimana caranya bisa mendapat keberanian untuk melakukan yang benar, ketika tidak ada kemungkinan hasil yang positif bagi Saudara? Apakah dengan visualisasi, membayangkan skenario positif? Di situ sama sekali tidak ada kemungkinan skenario yang positif, karena air di situ -2º C yang dalam 10 menit orang langsung serangan jantung.
Ketika tindakan yang berani, yang benar itu, adalah dengan Saudara mengorbankan diri atau segala sesuatu lalu kalah dan mati, maka Saudara tidak bisa berani dengan memakai cara Goliat. Bukan dengan menghilangkan ketakutan, tapi harus ada sesuatu yang lain; apakah itu? Di sinilah banyak orang Kristen lalu mengatakan: “Daud inilah contoh keberanian yang sejati; Goliat itu salah, itu contoh keberanian yang sekuler yang tidak ada tempat buat Tuhan. Jadi kita harusnya seperti Daud, yang mengatakan kepada orang Filistin itu, ‘Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, … . Hari ini juga TUHAN akan menyerahkan engkau … dan supaya segenap jemaah ini tahu, bahwa TUHAN menyelamatkan bukan dengan pedang dan bukan dengan lembing. Sebab di tangan Tuhanlah pertempuran dan Ia pun menyerahkan kamu ke dalam tangan kami’, jadi inilah keberanian/ heroisme yang Alkitabiah yaitu kita harus beriman seperti Daud, harus ada tenpat bagi Tuhan di dalam keberanian kita; kalau Saudara beriman seperti Daud, maka Saudara akan berani.“ Tapi tidak demikian, itu keberanian yang sama saja seperti tipe Goliat yang di-rohani-kan, karena di balik kalimat ‘milikilah iman seperti Daud maka Allah akan bekerja dalam hidupmu’ itu, ujungnya kita juga tetap melihat kepada diri kita –karena saya begini, karena saya begitu, karena saya beriman kepada Tuhan. Tidak beda dengan Goliat yang ‘karena saya hi-tech, karena saya ukurannya dua kali dari kamu’, waktu kita juga mengatakan ‘yang penting saya taat pada Tuhan, yang penting saya beriman kepada Tuhan’. Kalau Saudara mengalami bencana, kemudian dihibur dengan kalimat seperti itu, apakah Saudara akan terhibur?? Jadi jangan hibur orang seperti itu, karena itu tidak bisa. Itu hanya keberanian versi Goliat yang melihat diri, menjauhkan segala skenario pikiran yang kita takutkan, lalu percaya kalau beriman kepada Tuhan maka Tuhan tidak akan mengizinkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Itu pemikiran yang tidak Alkitabiah. Yohanes Pembaptis orang yang sangat beriman, tapi dia dipenggal. Belum lagi Tuhan Yesus; Dia manusia sempurna lalu apakah tentu saja hidup-Nya sangat enak?? Tidak.
Daud mewakili satu keberanian yang benar, tapi pertanyaannya: keberanian yang seperti apa, dan mengapa bisa terjadi keberanian yang seperti itu? Bagaimana kita melihat keberanian seperti ini kalau kita bukan melihatnya pada diri kita? Apa yang harus kita lakukan kalau itu bukan sesuatu yang harus kita lakukan? Jadi maksudnya bagaimana?
Satu hal, kita harus menyadari kebiasaan kita membaca Alkitab yang seringkali salah; kita selalu menempatkan diri kita di posisi tokoh utama –dalam hal ini, Daud. Bagian Alkitab ini adalah salah satu yang sangat banyak diriset orang dan dikotbahkan; salah satunya saya baca dari Bruce K. Waltke. Bruce Waltke menceritakan satu peristiwa yang berhubungan dengan cerita Daud ini. Ketika itu dia bermain dengan anak perempuannya. Anak perempuan ini setelah mendengar cerita “Daud dan Goliat”, sering memerankan kisah ini; papanya seperti Goliat, dan dirinya Daud, lalu dia melempar sesuatu kepada papanya dan minta supaya papanya jatuh. Di situ papa ini mengajarkan supaya anaknya itu seperti Daud, harus lebih dulu mengatakan “aku datang atas nama Tuhan semesta alam”, baru melempar. Anaknya melakukan seperti itu, lalu papanya jatuh –Goliat kalah—dan seterusnya. Tapi kadang-kadang anak ini tidak mengatakan kalimatnya, cuma melempar. Waktu anak ini cuma melempar, maka Waltke akan mengatakan “kamu salah, harus ngomong dulu, nanti baru papa jatuh”, lalu dia melakukannya. Sebaliknya, adakalanya anak ini cuma mengatakan “aku datang atas nama Tuhan semesta alam”, tapi tidak melempar; maka Waltke kemudian mengatakan “harus lempar –iman itu ada tindakan, ada perbuatan”. Sampai di sini, saya merasa ini contoh yang bagus sekali untuk anak Sekolah Minggu. Tetapi, kadang-kadang itu juga salah satu cara baca Alkitab yang tidak tepat, karena kita mengasumsikan peran kita ada pada tokoh utama, kita mengasumsikan bahwa Daud itu adalah kita. Apakah benar demikian ceritanya?
Saya pernah main satu game adventure “The Longest Journey”. Di awal, ceritanya mirip seperti cerita pada umumnya, yaitu kita jadi seorang anak perempuan yang tidak ada apa-apanya tapi tiba-tiba terlempar ke beberapa dunia, dan di setiap dunia ini ternyata dia memenuhi nubuatan akan seorang figur mesianik dunia tersebut, yang dia sendiri mulanya tidak tahu. Dan dalam permainan ini, kita aktif memainkan puzzle-nya, kita yang berpikir dan menemukan solusinya, kita menempatkan diri dalam posisi anak itu. Lalu terakhir, setelah semua dunia itu sudah beres, anak itu sudah diangkat sebagai figur mesianik yang membereskan, maka dia menghadapi pertempuran final dengan musuh bebuyutannya di tempat paling tinggi, dan jika berhasil dia akan merestorasi seluruh alam semesta, dsb. Kemudian setelah dia bertempur, ternyata mesiasnya bukan dia, melainkan seorang yang lain yang ikut bersama dirinya. Tetapi barulah setelah dia selesai melakukan semuanya, si tokoh mesias sesungguhnya bisa muncul; sedangkan anak perempuan ini bukan di situ tempatnya. Waktu kita memainkan ini, kita kaget luar biasa karena merasa ‘saya lho, yang melakukan semuanya’; dan memang benar-benar kita yang berpikir, kita yang main game-nya. Game itu sangat bagus karena membongkar kita –mengapa harus kamu??
Tentu saja waktu kita membaca Alkitab, ada aspek kita dipanggil untuk jadi orang-orang yang berani. Tapi kalau kita hanya melihat bagian itu, dan mengira itulah perspektif utamanya, bisa jadi kita meleset jauh dari pesan Alkitab sesungguhnya, karena secara ultimat peran Daud bukanlah menggantikan kita. Kalau Saudara bersikeras bahwa ada peran Saudara di kisah itu, siapakah itu? Bukan Daud, tapi Saul sang pengecut, dan mungkin juga tentara Israel yang bukan cuma pengecut tapi waktu juruselamatnya datang pun mereka menghina dia. Itulah kita, tentara-tentara yang jika tidak diselamatkan dari ke-pengecutannya, tidak sanggup menyelamatkan diri sendiri, dan akan hidup jadi budak selama-lamanya.
Yang terjadi dalam cerita ini, Allah mengirimkan seorang juruselamat bagi para pengecut ini. Ini bukan suatu cerita, yang pesan utamanya adalah Allah memberikan seorang teladan; ceritanya bukanlah Daud kemudian mengajak mereka menyerbu Goliat ramai-ramai, kemudian visualisasi diri mereka menang. Allah tidak mengirimkan mereka seorang teladan. Allah tidak menyelamatkan mereka lewat inspirasi atau menyuruh meniru yang dilakukan Daud. Allah menyelamatkan mereka lewat imputasi, memberikan secara anugerah. Cerita heroisme Daud sangat mewakili ini, karena ini satu pemutar-balikan atas semua cerita heroisme dunia. Bandingkan cerita Daud ini dengan cerita Hercules, Theseus, Odysseus, Raja Arthur, dsb., dan bedanya yang pertama adalah bahwa Daud seorang juruselamat yang lemah, rentan, kecil, “pretty boy” kata Goliat, bahkan dia tidak bisa pakai baju zirah. Dan, dia bukan berhasil menang karena bisa pakai baju zirah atau karena dia tidak pakai baju zirah, tapi dia berhasil justru karena dia tidak sanggup pakai baju zirah. Dia berhasil, melalui kelemahannya. Dia menang bukan lewat segala sesuatu yang dunia anggap senjata, dia menang semata-mata karena orang pikir dia tidak punya senjata.
Juruselamat Allah Alkitab adalah juruselamat yang lemah dan dia menyelamatkan lewat kelemahan. Dan yang kedua, juruselamat dari Allah itu adalah seorang perwakilan, bukan teladan; seorang pengganti, dan bukan inspirasi. Waktu Goliat mengatakan “ayo satu lawan satu, kalau kamu menang terhadap aku satu lawan satu, kami semua jadi budakmu; sebaliknya kalau aku menang atas kamu satu lawan satu, kamu semua jadi budak kami”, ini pertempuran perwakilan. Maka Daud bukan cuma berperang bagi Israel, tapi Daud berperang sebagai Israel. Daud berperang mewakili Israel; kalau dia menang Israel juga menang, bukan karena Israel mampu, bukan karena Israel berhak, tapi atas dasar perjuangan satu orang yang di-imputasikan kepada mereka. Kalau Daud kalah, mereka semua juga kalah. Kalau Daud berani, mereka juga menjadi tentara yang dianggap berani; kalau Daud pengecut, maka tentara-tentara ini juga dianggap pengecut.
Di sini kita langsung bisa melihat, kepada siapa heroisme ini menunjuk. Tokoh utamanya bukan kita, dan bukan Daud juga, karena di Ibrani 11 kita diminta mengingat pahlawan-pahlwan iman ini –Abraham, Musa, dan juga Daud. Tapi di Ibrani 12 semua itu ditutup dengan perkataan: “tapi sekarang, tujukan pandanganmu hanya kepada Yesus, Sang Pemimpin kita dalam peperangan”, dan kata ‘pemimpin’ di situ memakai kata ‘archegos’ yang berarti sang pangeran, pendekar, champion. Cerita bagian ini adalah bahwa Allah telah mengirim The True David, The Greater David, yaitu Yesus Kristus. Dan sama seperti Daud, Ia juga lemah, dan Ia menyelamatkan lewat kelemahan. Hanya, Ia menyelamatkan bukan cuma dari kematian fisik, tapi dari kematian kekal. Ia menyelamatkan bukan dengan meresikokan nyawa-Nya, tapi dengan mengorbankan nyawa-Nya.
Jadi apa aplikasinya untuk kita? Tadi kita mengatakan bahwa setiap orang punya ketakutan yang berbeda-beda; ada yang takut dipermalukan, ada yang takut kehilangan nyawa/ dibinasakan, ada yang takut kehilangan kasih dan pengakuan orang lain. Tapi kalau Saudara membuat generalisasi, di balik itu semua ada ketakutan yang ultimat, yaitu Saudara takut dipermalukan oleh Allah, takut dibinasakan oleh Allah, takut dilupakan dan terhilang dari kasih Allah atau dari apapun yang Saudara anggap sebagai Allah. Dengan melihat seperti ini, bukankah berarti dari semua agama atau keyakinan yang bicara mengenai pribadi Allah, satu-satunya Allah yang sungguh berani, sungguh heroik, sungguh bertahan melakukan yang benar meskipun Dia akan menerima semua mimpi-mimpi buruk manusia itu, hanya satu, Yesus Kristus. Karena inilah Allah satu-satunya yang berani membuat diri-Nya rentan, berani dihina dan diejek orang, berani mengambil kebinasaan yang adalah milik kita, dan berani terhilang dari hadirat Allah Bapa. Inilah caranya Saudara mendapatkan keberanian yang sejati; bukan dengan melihat kepada dirimu tapi melihat kepada Dia. Inilah caranya Saudara mendapatkan keberanian sejati yang bisa mengalahkan semua situasi dan skenario. Kita adalah orang-orang Kristen yang dipanggil untuk jadi berani, tapi bukan dengan menjadikan diri kita tokoh utama, melainkan dengan menjadikan Dia sebagai tokoh utama. Ketika Dia tokoh utamanya, barulah segala sesuatu menjadi beres. Kapan kita akan mulai menyadari hal ini?
Saudara tahu, hari kiamat, hari penghakiman itu disebut sebagai Hari Tuhan. Mengapa? Kalau kita membaca dengan perspektif kita, waktu kita mengatakan ‘hari ini harinya dia’, biasanya itu ketika orang tersebut menikah, atau merayakan sesuatu, yang kita semua menjadikan dia sebagai tokoh utama –biasanya uang gua adalah terutama untuk gua, tapi karena ini harinya elu, maka gua pakai uang gua terutama untuk elu, bukan untuk gua. Demikian juga soal waktu, biasanya saya pakai waktu saya buat saya bukan buat orang lain, tapi karena hari ini adalah harimu, hari pernikahanmu, maka kita berkumpul bersama-sama dan sediakan waktu kita untukmu. Itulah arti harinya orang tersebut. Saudara, hari Tuhan adalah satu hari ketika seluruh dunia menyadari, saya ini bukan pemeran utama, Dialah pemeran utamanya. Dan ketika saya menjadikan Dia pemeran utama, segala sesuatu menjadi beres.
Saya menutup dengan satu ilustrasi. Di Broadway pernah terjadi satu show terancam kacau, gladi resik tidak beres-beres, sutradaranya jadi pusing. Lalu tiba-tiba dia terlintas ide untuk mengganti pemeran utamanya dengan aktris pemeran pembantu; yang tadinya pemeran utama, jadi pemeran pembantu, dan yang tadinya pemeran pembantu jadi pemeran utama. Begitu dicoba satu kali, tiba-tiba seluruhnya berjalan lancar, dan yang tadinya pemeran utama juga tidak bisa bilang apa-apa karena semua orang bisa melihat semua hal jadi beres.
Pertanyaannya: selama ini, siapa tuhan dalam hidup kita? Mengapa kita takut? Bagaimana kita menghadapi ketakutan? Mungkin kita takut karena kita selalu menghadirkan diri sebagai pemeran utama dan Tuhan sebagai pemeran pembantu –ayo dong, Tuhan, pimpin saya, ajar saya, tarik saya, Engkau ada supaya aku lebih berkembang—jangan-jangan itu yang menjadi doa-doa kita, Tuhan tolong aku supaya begini, supaya begitu. Atau mungkin kita sedikit naik dari itu, “Tuhan, Engkau adalah sutradara, tolong direct hidup saya”, tapi tetap saja ujungnya Saudara sendiri tokoh utamanya, tidak pernah sampai pada satu titik hari Tuhan terjadi dan semua orang ditukar, Tuhan masuk jadi pemeran utama, kemudian kita menyadari ‘O iya, ya, sekarang semuanya beres; ketika Dia jadi tokoh utama, saya tidak lagi takut’. Ketika Dia menempati tempat yang sesungguhnya, ketika saya melihat bahwa cerita ini bukan mengenai saya, bahwa Daud itu bukan saya melainkan Dia, Dialah tokoh utamanya, dan Dia melakukan segala sesuatu itu untuk saya. Sekarang saya takut apa, takut dihina orang? Dia telah mengalami penghinaan yang jauh lebih parah, bukan karena Dia salah, tapi demi saya. Kalau saya hari ini takut penolakan, Dia telah mengalami semua itu, untuk saya. Dan kalau Dia telah menghadapi semua itu bagi saya, saya akan mau menghadapinya untuk Dia.
Ketika Dia jadi tokoh utama dalam hidup kita, baru segaa sesuatu jadi klik. Itulah yang perlu kita lihat dari cerita ini; Allah, yang adalah tokoh utama, dalam hidup kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading