Inti dari kisah mengenai Daud yaitu bicara mengenai satu keinginan/ kerinduan (longing) untuk mendapatkan seorang raja yang sejati. Kita melihat ini sejak awal, yaitu cerita tentang Hana, ibu Samuel, yang berakhir dengan satu penglihatan/ visi dalam nyanyian tentang akan adanya seorang raja yang sejati, seorang raja yang bukan mengejar kuasa atau kekuatan bagi dirinya melainkan justru menguatkan; dia adalah raja yang “mengangkat orang-orang yang terbuang dari abu, mendudukkan mereka bersama para pangeran”. Dengan kata lain, kriteria raja yang sejati adalah raja yang hidupnya bukan memperalat rakyatnya tapi untuk melayani mereka. Ini berlanjut kepada Samuel, anak Hana, yang mendapatkan visi ini menurun kepadanya. Samuel menjadi orang yang mengurapi raja pertama dalam pengharapan ini, yaitu Saul. Kemudian dalam bagian yang kita baca ini, dikatakan bahwa Samuel berdukacita (kata ‘berdukacita’ di sini memakai present continuous tense, berarti dia berdukacita bukan satu dua malam tapi terus-menerus). Dia berdukacita karena ternyata Saul bukanlah raja yang diharapkan; Saul ternyata sama saja seperti raja-raja bangsa lain yang hidup bukan untuk melayani tapi untuk menguasai, memperalat, merampas. Dan sekarang Samuel meratap atas Saul ini.
Pada pasal sebelumnya, kita melihat ada satu fokus yaitu kata “mendengar” (Saul mengatakan, “Aku telah mendengar perkataan Allah”; Samuel mengatakan, “Tapi mengapa yang aku dengar malah suara domba-domba, … dst.”). Sedangkan pada pasal ini, indra yang menjadi fokus ada pada kata “melihat”; di sini kata “melihat” dan berbagai variasinya muncul paling sedikit 9x, tapi mungkin kita tidak terlalu melihatnya karena LAI menerjemahkannya dengan beberapa istilah yang berbeda. Misalnya di ayat 1: “Aku mengutus engkau kepada Isai, orang Betlehem itu, sebab di antara anak-anaknya telah Kupilih seorang raja bagi-Ku." Terjemahan ini cukup baik, tapi jika dibandingkan bahasa aslinya, ada satu nuansa yang hilang karena bahasa aslinya justru memakai kata ‘melihat’: “Aku telah melihat bagi-Ku seorang raja di antara anak-anak Isai”. Kita tahu, kata ‘melihat’ sering juga dipakai lebih dari sekedar fungsi indrawi, apalagi dalam bahasa Inggris. Misalnya dalam perkataan “I see” artinya bukan cuma ’saya melihat secara optikal’ tapi juga berarti ‘saya mengerti’; kalimat “I have seen to it” berarti ‘aku telah menjalankan/ menyediakan hal tersebut’. Demikian juga dalam bahasa Ibrani, kata ‘melihat’ bisa diterjemahkan sebagai ‘menyediakan/ to provide’. Hal ini muncul dari ayat pertama –Allah yang melihat– dan paling puncak kita lihat di ayat 6 dan 7.
Ayat 6: Ketika mereka itu masuk dan Samuel melihat Eliab, lalu pikirnya: "Sungguh, di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya." Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." Di sini kita melihat semacam kontinuitas dari motif ‘Allah yang melihat’. Dalam Alkitab, bahkan sejak Kejadian 16 dalam kisah tentang Hagar yang kabur dari Sarai, di akhir ceritanya Hagar mengatakan: “Aku menamakan Allah ini El Roi yaitu The God Who Sees (Allah yang melihat), karena aku telah melihat Allah yang melihat aku”, dalam arti ‘Allah yang menyediakan’.
Kita akan melihat motif ‘Allah yang melihat’ dalam pasal ini, dan alasannya pengharapan kita harus kepada Allah yang seperti ini. Kembali kepada konteks pasal ini, pada dasarnya di sini Alkitab sedang menceritakan kepada kita satu problem dalam hidup manusia, yaitu misdirection. Misdirection merupakan jurus yang paling fundamental dalam sulap, dan juga teknik mencopet. Dalam mencopet, biasanya ada 2 orang: orang yang pertama akan misdirect Saudara kepada suatu hal yang tidak esensial, sementara orang kedua yang mencopet. Misalnya ada orang menabrak Saudara, lalu dia sibuk minta maaf, dan sementara itu temannya mencopet dompet Saudara dari belakang. Kira-kira seperti itulah yang mau dikatakan dalam bagian ini, seakan-akan Allah mengatakan ‘Samuel, kamu sedang kecopetan; dan bukan cuma kamu tapi semua manusia terobsesi dengan yang sesungguhnya tidak penting dan tidak esensial’. Apakah itu?
Yang pertama mungkin kita pikir adalah penampilan fisik; itu hal yang tidak esensial. Kita mungkin menganggap Samuel ini payah sekali karena Eliab lewat lalu Samuel langsung melihat penampilannya yang tinggi luar biasa, padahal yang penting bukan tampak luar; buat apa ganteng tapi tidak ada kemampuan, pastinya yang penting bagi Tuhan itu yang di dalam seperti talenta, kemampuan, skill, bukan yang di luar. Tapi jelas Samuel tidak sebodoh itu. Memang benar ada aspek ketertarikan Samuel pada penampilan fisik Eliab, tapi di zaman tersebut penampilan fisik merupakan tanda dari suatu skill/ talenta/ kemampuan yang sangat diperlukan pada zaman itu, apalagi bagi para raja.
Kalau Saudara pernah menonton film “Brave Heart”, di situ dikisahkan tentang William Wallace, seorang pahlawan bangsa Skotlandia yang melawan penindasan Inggris waktu itu. Dan hari ini di museum kita bisa melihat pedang yang konon pedang William Wallace, sebuah pedang jenis claymore yang panjangnya 163 cm. Saudara bisa bayangkan, kalau pedangnya saja 163 cm apalagi orangnya! Kita memang sudah tidak di zaman perang sehingga kita tidak mengerti hal-hal begini, tapi di zaman seperti itu ukuran fisik seseorang sangat penting. Wallace digambarkan dalam catatan-catatan sejarah menjadi raja karena dia orang yang sangat kuat, dia bisa memakai pedang yang sedemikian besarnya tanpa dapat dihentikan di dalam setiap pertempuran. Itulah sebabnya dikatakan bahwa dia akhirnya kalah karena dikhianati, bukan karena kalah dalam pertempuran. Pada zaman itu, kalau Saudara tidak terkalahkan dalam satu kampung, Saudara menjadi raja di kampung itu. Dan kalau kampung Saudara tidak terkalahkan di antara kampung-kampung yang lain, Saudara menjadi raja di daerah itu.
Menjadi seorang raja pada waktu itu, perlu sekali kemampuan fisik yang kuat. Jadi di sini Samuel bukan cuma tertarik dengan penampilan saja –ini bukan cuma masalah ganteng atau otot– tapi ini satu tanda Alkitab mengatakan bahwa Samuel kepincut melihat talenta, kemampuan, keahlian, yang dimiliki anak Isai ini. Samuel bukan cuma melihat permukaan, tapi dia melihat yang di permukaan sebagai tanda dari yang di dalam. Namun tetap saja di mata Tuhan tidak seperti itu; Tuhan mengatakan ‘tidak, Samuel, baik talenta maupun keahlian pun, itu masih tidak esensial; kamu ini masih sedang kecopetan’.
Kita bisa melihat di bagian awal kitab Samuel ini, kehancuran-kehancuran yang terjadi karena orang menginginkan untuk fokus pada hal-hal yang tidak esensial ini. Hana dikucilkan karena masalah yang kelihatan, yang tampak luar, yang tidak esensial, yaitu produktifitas. Waktu dalam peperangan, orang Israel membawa tabut perjanjian karena mereka mengira dengan fokus pada yang kelihatan di depan mata tersebut, mereka bisa menang; mereka melupakan Allah yang tidak kelihatan yang ada di balik tabut perjanjian tersebut dan akhirnya mereka hancur, tabut dirampas, dst. Lalu dalam cerita orang Israel meminta-minta raja, kenaikan Saul digambarkan dengan sangat jelas di situ bahwa dia dipilih karena badannya tinggi besar, bahunya setinggi kepala orang-orang lain. Dan kali ini tetap Samuel mengalami problem yang sama; waktu Eliab lewat, Samuel pikir mungkin inilah orang yang Tuhan pilih, yaitu karena dia melihat badannya tinggi besar.
Tentu saja ini tidak berarti orang-orang yang pendek atau jelek selalu jadi pilihan Tuhan, juga tidak berarti kalau ganteng, tinggi, fisik oke, maka Saudara tidak bisa melayani Tuhan karena di ayat 12 dikatakan juga bahwa Daud ganteng parasnya. Poinnya adalah bahwa Allah melihat kepada hati. Kalau kita lompat ke Perjanjian Baru, kriteria yang diberikan Paulus kepada Timotius dalam hal pengangkatan para penatua sama sekali bukan berdasarkan kemampuan atau skill; cuma ada satu yang berdasarkan skill yaitu ‘bisa mengajar’, dan sisanya semua mengenai karakter, hati, yang di dalam, bukan yang di luar. Ibu Inawaty Teddy pernah mengatakan: penipu itu bisa menipu, karena mereka itu menarik; kalau seorang penipu wajahnya jelek, tidak ganteng, akan sulit menipu orang, jadi justru karena ada hal-hal seperti itu maka malah membahayakan. Di mata Tuhan, talenta ataupun skill ataupun kemampuan, semua sama tidak pentingnya dengan penampilan fisik. Baik kecantikan maupun talenta, bagi Tuhan adalah hal yang periferal, yang pinggiran/ tambahan; hal itu bukanlah yang menunjukkan siapa diri kita sesungguhnya.
Itu pada zaman Samuel; lalu bagaimana dengan kita dalam konteks hari ini? Kita hari ini hidup di satu zaman yang budayanya senantiasa membombardir dengan gambaran-gambaran penampilan luar, sehingga tidak seorang pun dari kita bisa mengatakan tidak terkena dampaknya. Sedikit banyak kita pasti terkena dampaknya; paling sedikit Saudara tanpa sadar membandingkan diri –atau suami, atau istri– dengan yang dihadirkan oleh gambaran-gambaran tersebut. James Smith, seorang penulis buku, mengemukakan tentang mengapa iklan bisa powerful. Misalnya iklan sereal yang menggambarkan seorang mama memanggil anak-anaknya: “Ayo makan sereal, sarapan!” –dan mama tersebut badannya langsing; lalu datanglah ketiga anaknya. Di situ secara tidak sadar orang yang menonton, apalagi kaum wanita, mungkin mengatakan “Wuihh… anaknya tiga tapi badannya masih langsing begitu”. Lalu waktu anak-anaknya datang, mereka berpikir “anak-anaknya semua penurut, dipanggil sarapan langsung datang”. Selanjutnya digambarkan sang suami datang dan mencium istrinya itu, baru muncullah gambar sereal yang diiklankan tadi. Sebenarnya gambaran-gambaran itu tidak ada hubungannya, tapi itulah iklan. Dan itu powerful bukan karena kita sebegitu bodohnya mengasosiasikan sereal dengan segala kecantikan dan kehebatan, tapi karena kita melakukan perbandingan; setiap kali kita melihat iklan seperti itu, kita mengatakan “koq, hidupku tidak seperti itu” dan sebaliknya iklan itu seakan mengatakan “hidupmu tidak kayak begini lho”. Dan yang diperbandingkan selalu dalam level yang seperti gambaran tersebut.
Dalam sepanjang sejarah dunia, mungkin zaman kita hari ini adalah zaman yang orang-orangnya paling terfokus pada penampilan fisik, kemampuan, skill, talenta, dibandingkan semua zaman lainnya. Ini pastinya sangat terlihat dampaknya pada wanita, yang hari ini sulit sekali melepaskan harga diri mereka dari ukuran lingkar pinggang. Ini juga berdampak besar sekali pada para pria yang hari ini dibombardir dengan kehadiran pornografi dalam level yang tidak pernah dicapai oleh zaman-zaman sebelumnya; dan yang menarik, ada orang menghubungkan pornografi dengan rasisme. Dalam pidato Martin Luther King yang terkenal, “I Have a Dream”, dia mengatakan: “Saya punya mimpi suatu bangsa yang rakyatnya tidak dinilai berdasarkan warna kulit, tapi berdasarkan karakter”. Inilah yang pada dasarnya 1 Sam 16 mau katakan kepada kita. Akar pornografi dan rasisme sesungguhnya sama, karena dua-duanya membiasakan manusia melihat dengan perspektif yang sangat terbalik dari perspektifnya Tuhan. Dua hal ini membiasakan manusia berkonsentrasi pada bentuk, kualitas, dan warna kulit seseorang, dan bukan hatinya. Dua hal ini membiasakan manusia menengokkan kepala mereka kepada hal-hal yang Allah katakan sebagai hal yang bukan esensial.
Waktu kita mencari pacar/ pasangan hidup, kita mencarinya seperti halnya Isai. Isai mungkin tidak sungguh-sungguh tahu untuk apa Samuel datang; tidak pernah dikatakan bahwa Samuel mengurapi untuk dijadikan raja, tapi mungkin Isai kira-kira bisa menebak pastinya ada satu tujuan atau pemilihan. Oleh sebab itu yang dilakukannya pertama-tama adalah menyuruh maju anaknya yang paling ganteng, paling atraktif, paling bertalenta, paling skillful; dan seterusnya yang kedua bertalenta, yang ketiga paling ganteng, yang keempat paling tinggi, dst. dan tidak pernah merasa perlu menyuruh maju anaknya yang paling kecil itu. Waktu kita memilih pasangan hidup, kita sama seperti Isai. Ketika berhadapan dengan 10 lawan jenis, kita langsung membuat proses eliminasi; dan sadar atau tidak sadar filter pertama yang kita pakai untuk membuang beberapa dari 10 orang ini adalah mereka yang tidak atraktif, tidak berdompet, tidak pintar, tidak cantik, atau tidak sukses. Lalu sisa 2-3 orang yang cantik atau ganteng, yang ada modal atau pintar, dan barulah berdoa ‘Tuhan tolong kasih tahu saya, di antara 3 orang ini siapa yang hatinya baik’ –hati baru muncul sebagai filter yang belakangan. Cara seperti ini bukan cuma tidak jujur, tapi juga sangat bodoh karena dengan cara seperti ini sangat besar kemungkinan Saudara membuang orang yang sebenarnya tepat bagi Saudara. Mengapa kita bisa seperti ini? Karena kita sedang ‘kecopetan’, kita sedang jadi korban misdirection rohani.
Satu contoh lagi, dalam budaya kita ini kadang kita mendengar atau mengatakan kalimat seperti ini: “Yah, si A itu memang ‘gak ada tampang, otaknya juga biasa-biasa saja, tapi paling tidak orangnya baik”. Apa yang ada di balik kalimat seperti itu? Mungkin kita pikir dengan mengatakan seperti itu, kita jadi orang yang baik, yang mengangkat orang. Tapi, kalimat seperti itu sebenarnya membuktikan kita dalam konteks hari ini di-afirmasi bahwa sifat hati yang baik itu sesuatu yang memang ‘least’ –“ ‘gak ada tampang, ‘gak ada otak, tapi at least …”. Dan lagi, sebenarnya kita sadar bahwa sesungguhnya dunia hari ini rusak bukan karena dunia kurang orang yang ganteng, bukan karena kurang orang yang cantik atau bertalenta, atau kurang banyak orang yang kreatif dan brilian, tapi kurang orang yang mengasihi, kurang orang yang berkarakter, yang berhati agung. Dalam 1 Kor 13 secara singkat Paulus mengatakan kepada orang Kharismatik “kalaupun kamu mengerti semua bahasa malaikat … “, kemudian kepada orang Reformed “kalaupun kamu bisa mengerti semua pengetahuan …”, kemudian kepada orang-orang Injili “kalaupun kamu memberi dirimu dibakar … “, dan kepada orang-orang Liberal “kalaupun kamu menyerahkan semua hartamu kepada orang miskin … “, selanjutnya dia mengatakan: “Kalaupun kamu mempunyai semua itu tapi kamu tidak punya kasih, maka kamu pada dasarnya seperti suara ribut-ribut tukang es krim yang lewat di depan rumah”.
Sadarkah Saudara betapa kita hari ini korban copet spiritual? Waktu kita bertemu orang, apa yang kita tanyakan? Apakah pertanyaan-pertanyaan seperti ‘lingkar pinggangku dibanding 2 tahun lalu turun ‘gak, ya, rekening bank-ku bertambah ‘gak, ya’ ? Atau apakah Saudara pergi kepada orang-orang yang mengenal Saudara secara mendalam dan bertanya kepada mereka ‘apakah saya lebih lembut dibandingkan 2 tahun yang lalu, apakah saya lebih tegas dalam kebenaran dibandingkan 2 tahun yang lalu, apakah saya masih susah menerima kritik seperti 2 tahun yang lalu, apakah saya masih self-pity; apakah saya lebih ada damai, apakah saya lebih bijak’ ? Dan kalau Saudara tahu itu penting tapi tidak melakukannya, maka berarti Saudara tidak melihat seperti Allah melihat. Itu berarti kita adalah orang-orang yang tidak berkarakter, karena tanda karakter yang jelek adalah tidak mementingkan hal-hal seperti ini.
Selanjutnya, melalui bagian berikut ini kita belajar mengapa kita tidak boleh comot-comot bagian Alkitab tanpa memperhatikan keseluruhan narasi Alkitab –waktu membaca kisah Daud, paling tidak kita harus memperhitungkan seluruh narasi mengenai Daud di Alkitab– yaitu karena di bagian berikutnya waktu kita membaca kalimat “Aku melihat ke dalam hati”, akan sangat mudah bagi kita untuk mengira bahwa Daud dipilih karena berhati baik, sedangkan saudara-saudaranya berhati busuk. Ini asumsi yang ngawur, karena ketika Saudara memperhatikan seluruh narasi kehidupan Daud, asumsi seperti ini mau tidak mau langsung gugur. Kalau Daud sungguh berhati emas, dan saking emasnya sampai Allah memilih dirinya, mengapa hidup Daud hancur seperti yang kita lihat dalam Alkitab? Waktu Alkitab menghadirkan kehidupan Daud, sebenarnya di situ ada satu ironi, karena catatan kehidupan Daud sebenarnya tidak lebih baik daripada Saul. Kita tahu cerita tentang Batsyeba, dan itu bukan satu-satunya cerita mengenai kehidupan Daud. Ada satu komentator mengatakan, bahwa dari awal hidupnya Daud dihadirkan sebagai orang yang sangat kalkulatif, karena demi survival Daud rela melanggar berbagai batas. Dia main tipu jadi orang gila di depan Akhis, berkhianat menjadi jendral Filistin, dan bukan cuma itu, dia membantai habis kota-kota demi sepak terjangnya itu tidak ketahuan oleh Akhis (1 Sam 27). Belum lagi kegagalan Daud sebagai seorang ayah. Dan kalau kita maju sampai bagian terakhir kitab 2 Samuel, cerita terakhir mengenai hidup Daud bukan kehidupan yang luar biasa keren melainkan dosa Daud yang menghitung tentara-tentaranya sampai akhirnya seluruh rakyatnya kena tulah gara-gara dia. Intinya, kalau Saudara memperhitungkan seluruh narasi kehidupan Daud, Saudara akan menyadari satu hal yaitu bukan karena Daud berhati emas maka Allah memilih dia.
Memang Allah mengatakan “Aku melihat ke dalam hati”, tapi bukan karena Daud hebat atau punya hati yang lebih hebat dibandingkan orang-orang lain sehingga Allah memilih dia. Jadi, mengapa Allah memilih dia? Kita bisa kembali ke teksnya. Di ayat 13 dikatakan: Samuel mengambil tabung tanduk yang berisi minyak itu dan mengurapi Daud di tengah-tengah saudara-saudaranya. Sejak hari itu dan seterusnya berkuasalah Roh TUHAN atas Daud. Di sini, kata Ibrani tsalach yang diterjemahkan sebagai ‘berkuasalah’, sebenarnya secara literal berarti ‘to rush/ to flood’; ini metafor air yang membanjiri –menguasai dalam arti seperti air yang menghajar dan menyelubungi. Melalui kata yang dipilih Alkitab, Saudara bisa tahu bahwa Daud bukanlah seorang good guy yang kadang-kadang perlu dorongan dari Tuhan, tapi kisah Daud menyatakan kepada kita bahwa hati manusia memang keji, manipulatif, dan jika bukan karena intervensi Allah dalam anugerah-Nya, maka tidak ada harapan.
Bagaimana Roh Allah mengintervensi hati Daud sampai suatu hari Allah bisa mengatakan “inilah orang yang berkenan di hati-Ku” (“David is the man after My Own Heart”)? Apa yang Roh Allah kerjakan hingga Daud bisa punya karakter hati yang agung yang sesuai dengan hati Allah? Ini bagian yang seringkali kita tidak ingin dengar Alkitab mengatakannya, yaitu bahwa mulai dari pasal dan ayat inilah, ketika Roh Allah membanjiri hati Daud, dalam kehidupan Daud mulai datang kesulitan demi kesulitan. Roh Allah datang kepada Daud, dan pasal berikutnya dia harus bertempur melawan seorang raksasa. Pasal berikutnya, Daud ditombak oleh Saul, lalu dia harus kabur jadi buronan, hidup di gua-gua, dsb. Dan hal ini bukan cuma Daud; kalau Saudara membuka Alkitab, setiap kali Roh Allah turun kepada manusia, yang terjadi setelahnya adalah penganiayaan, penjara, penderitaan, padang belantara. Apa yang terjadi pada diri Tuhan Yesus ketika Roh Kudus turun dalam bentuk seperti burung merpati lalu Bapa mengatakan kalimat yang begitu manis itu “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan”? Yang terjadi adalah Roh Kudus segera membawa Dia ke padang belantara untuk dicobai oleh setan. Mengapa Roh Kudus bekerjanya seperti ini? Karena Roh Kudus tahu satu hal: yang terpenting dalam hidupmu dan hidupku adalah karakter kita, hati kita. Dan, berapa banyak orang yang sungguh-sungguh agung yang Saudara kenal, mendapatkan karakternya sedemikian karena hidupnya enak, atau mungkin hidup yang biasa-biasa saja? Kalau Saudara mengumpulkan orang-orang yang berkarakter agung dan tanya kepada mereka bagaimana mereka bisa seperti itu, apa yang akan mereka katakan? Apakah mereka mengatakan: “O, ini karena satu hari saya memutuskan untuk jadi orang yang berkarakter”? Saya berani jamin, mereka tidak akan mengatakan itu; semua dari mereka akan berkata: “Ini bukan karena saya, tapi karena ada sesuatu terjadi kepada saya”. Karakter agung itu tidak pernah karena ‘saya mau melakukan sesuatu’, tapi selalu karena ‘ada sesuatu terjadi kepada saya’; dan ‘sesuatu’ itu adalah semacam padang belantara, gurun, kesulitan, tekanan, yang datang tentu saja bersama dengan penyertaan dan pertolongan Roh Kudus. Fakta bahwa Roh Kudus bekerja lewat semua ini –penderitaan, ketidak-enakan, kesulitan, penjara, penganiayaan—itu membuktikan kepada kita satu hal: bahwa di mata Allah, Dia melihat karaktermu, hatimu, itulah yang terpenting, yang esensial, yang jauh lebih penting dibandingkan yang lain-lain; itu sebabnya Dia rela mengorbankan kesenanganmu, kebahagiaanmu, ketenanganmu, kemakmuranmu, demi supaya engkau dan saya mempunyai hati yang agung. Pertanyaannya, apakah kita melihat seperti Dia melihat?
Di bagian ini Samuel kecewa, meratap; dan dukacitanya itu dikritik oleh Tuhan. Tuhan bukan kritik dukacitanya per se, tapi dukacita yang berkepanjangan. Tuhan mengatakan ‘how long/ mau berapa lama lagi? ada tempatnya untuk berdukacita, tapi mau sampai berapa lama? tidak bisa begini terus-menerus’. Mengapa sampai dikritik seperti ini? Karena Samuel, sama seperti kita, dia seringkali tidak melihat sebagaimana Allah melihat. Ini adalah pasal yang menunjukkan Allah itu melihat; kalau Saudara memperhatikan bahwa Allah melihat seperti ini, maka justru pengharapan itu muncul ketika ada kekecewaan. Kita ini seperti Samuel; waktu kita bertemu dengan kekecewaan, penderitaan, kesulitan, penganiayaan, dsb. kita tidak melihat ada pengharapan lalu kita berdukacita berhari-hari dan bermalam-malam. Di bagian awal kitab Samuel ini, kita melihat Hana diejek-ejek, mengapa? Karena dia menderita, yaitu tidak punya anak. Hana mendapatkan satu hal yang mengecewakan, dan juga, itu adalah awal ketika Tuhan sedang menulis kisah raja yang terbesar sepanjang sejarah Israel. Kitab yang lain, misalnya tentang Naomi; dalam 5 ayat saja dia kehilangan suami dan kedua anaknya, tapi kita tahu itu adalah cerita yang memulai kisah Rut yang suatu hari akan menjadi nenek moyang dinastinya Daud. Ini adalah cara Tuhan melihat. Kalau kita adalah orang-orang yang melihat seperti Tuhan melihat, seperti apa kita akan berespon ketika menghadapi kekecewaan dalam hidup kita?
Saudara mungkin berkata, “Yah, saya mengerti poin itu. Tapi tentunya kalau cuma padang belantara tok, gurun tok, kesulitan dan tekanan tok, tidak tentu ‘kan menjadikan saya orang berhati agung?? Buktinya, dalam Alkitab Saul juga ada kesulitan, penderitaan, tapi itu malah menghancurkan dia dan mengeraskan hatinya”. Memang benar. Jadi memang bukan itu kuncinya. Memang benar melalui semua itulah Roh Kudus membangun karakter kita, tapi bukan murni hanya itu. Di sini juga bedanya kalau kita membagi spektrum orang Barat dengan orang Timur, orang liberal dengan orang tradisional. Orang Barat mengatakan ‘tidak perlu ada penderitaan, senang-senang saja, foya-foya saja’; sedangkan orang Timur –yang mereka pikir lebih dekat dengan Alkitab— mengatakan ‘penderitaan itu perlu, disiplin memang perlu; disiplin dan penderitaan itu bagus pada dirinya sendiri’. Alkitab tidak setuju dengan keduanya ini. Memang Roh Kudus bekerja melalui penderitaan, tapi bukan cuma itu. Lalu apa yang kita perlukan selain itu?
Kita bisa melihat kembali pada kisahnya di bagian ini; Isai memiliki 8 anak, tapi dia hanya menyuruh 7 anaknya maju di hadapan Samuel. Apa signifikansinya? Angka ‘7’ dalam Alkitab berarti ‘lengkap’, angka sempurna dalam budaya Ibrani. Maka setelah 7 anak lewat, mungkin dalam pikiran Samuel ‘sudah habis, sudah 7, sudah lengkap’, maka dia berkata: “Cuma inikah anak-anakmu?”, dan setelah itu barulah Isai mengatakan di ayat 11 bahwa masih ada si bungsu. Saudara perhatikan, seberapa Daud itu terlupakan; pertama, karena nama Daud sendiri baru muncul di ayat 13 setelah dia diurapi, dan bahkan di bagian awal Isai menunjuk kepada Daud tanpa menyebutkan namanya. Dan yang kedua, waktu Isai menunjuk kepada Daud, istilah ‘bungsu’ yang dipakai dalam bahasa Ibraninya adalah qatan yang bukan cuma berarti bungsu tapi ini istilah yang bersifat peyoratif, agak sedikit menghina, menghubungkan kemudaan dengan ke-‘ingusan’-an, atau anak bawang, atau lebih tepatnya se kia (bahasa Hokkian). Seakan-akan Isai mengatakan ‘Ya, masih ada si se kia, tapi si se kia jadi raja?? Jauh sekali. Saya juga tidak tahu dia bisa tumbuh setinggi apa atau bisa sehebat apa, belum kelihatan talentanya, maka saya tidak undang dia, saya suruh dia jaga domba saja; kalau cuma jaga domba, bisalah’. Tapi Samuel mengatakan: “Panggil dia”, dan Allah mengatakan: “Yang ini”.
Seorang komentator, Robert Alter, mengatakan bahwa di bagian ini Daud seperti Cinderella versi laki-laki, yang ditinggal di rumah, disuruh beres-beres rumah, dan tidak diundang ke pesta. Kisah Daud dalam Akitab adalah satu lagi kisah di Alkitab yang hak primogenito (hak kesulungan) dijungkir-balikkan oleh Tuhan. Dan di sini lebih parah; Tuhan bukan saja tidak memilih yang sulung, tapi bahkan tidak memilih ketujuh anak lainnya; yang dipilih adalah anak ke-8 yang dalam budaya Ibrani berarti anak “kecelakaan”, anak tidak masuk hitungan. Dan kita tahu pola ini bukan cuma dalam hidup Daud. Dalam zaman yang anak sulung selalu mendapatkan kekuasaan dan harta, di zaman yang wanita produktif dan cantik selalu mendapatkan hak khusus serta mendapatkan pria-pria yang powerful itu, Tuhan selalu bekerja menjungkir-balikkan norma-norma dunia ini. Habel, bukan Kain; Ishak, bukan Ismail; Yakub, bukan Esau; Musa, bukan Harun; Sara, bukan Hagar; Lea, bukan Rahel; Hana, bukan Penina; dan seterusnya. Allah selalu bekerja dengan wanita-wanita yang terpinggirkan dan dengan pria-pria yang terlupakan. Tapi polanya bukan cuma ini. Polanya bukan cuma Allah bekerja melalui orang-orang yang lemah dan bodoh di mata dunia, bukan cuma Allah bekerja meskipun orang-orang ini lemah dan bodoh di mata dunia, tapi polanya adalah: Allah bekerja melalui kelemahan dan kebodohan dan keterbatasan orang-orang ini. Di bagian ini Saudara lihat, jikalau Daud tidak pernah disuruh menggembalakan domba, jikalau dia tidak pernah direlegasi ke dalam peran yang hina itu, maka dia tidak bisa memiliki apa yang diperlukannya untuk melawan Goliat, dan dia tidak bisa memiliki apa yang diperlukannya untuk menggembalakan umat Allah.
Jika Saudara pergi kepada siapapun yang Saudara lihat sebagai orang yang bijaksana dan hatinya agung, tidak peduli siapa mereka dan dari mana asal mereka, dan Saudara tanya kepada mereka ‘mengapa engkau bisa seperti ini’, tidak akan pernah mereka mengatakan “O, saya di tahun 1995 memutuskan untuk jadi bijak”, dan semacam itu. Sama sekali tidak. Mereka juga tidak mengatakan bahwa mereka telah mengatakan kepada dirinya sendiri “saya harus berubah”, tapi mereka akan mengatakan: “Ada sesuatu yang mengubah saya; ada sesuatu yang terjadi pada saya”. Inilah hal yang Saudara perlu ingat, waktu Saudara bergumul dengan hidup Saudara –bergumul dengan ekspektasi orang, bergumul dengan kritik orang lain, bergumul dengan kegagalan, bergumul dengan status yang jomblo– silakan Saudara coba bicara di depan cermin “saya berjanji mulai hari ini tidak akan jomblo lagi, saya berjanji mulai hari ini jadi orang yang bijak”, katakan itu 10x, 100x, apakah Saudara kemudian jadi orang yang bijak? Tidak. Sesuatu harus terjadi pada Saudara. Dan satu-satunya cara untuk Saudara dapat melakukan hal ini, untuk Saudara bisa dipindahkan dari kerajaan dunia –yang melihat kepada apa yang kelihatan– ke kerajaan Allah –yang melihat apa yang tidak terlihat–, berpindah dari kerajaan dengan atraktifitas fisik kepada kerajaan dengan karakter hati, adalah ketika Sang Raja menemui engkau.
Di ayat 6 ketika Eliab lewat dan Samuel berkata dalam hatinya “Sungguh, di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya”, kata Ibrani dari “yang diurapi-Nya” adalah Māšîah, atau dalam terjemahan Yunaninya Khristós. Bukan Eliab, dan juga bukan Daud yang terutama, tapi Perjanjian Baru memberitahukan kepada kita, pada peristiwa Natal ada lagi seorang Anak yang lahir di Betlehem, kota Daud, yang juga tidak diundang masuk, yang tidak ada tempat bagi-Nya di pesta, dan tempat-Nya hanyalah bersama kambing domba. Anak ini –seperti Daud– juga harus kabur ke padang belantara, bukan dikejar-kejar Saul tapi diserang oleh setan. Dan Anak itu bukan hanya dilupakan oleh ayahnya, tapi Dia ditinggalkan oleh Bapa-Nya di atas kayu salib. Anak ini, yang sesungguhnya adalah sumber dari segala sesuatu yang indah, yang menarik, yang baik, telah rela kehilangan semua penampilan itu karena Yesaya 53 mengatakan: “Ia tidak menarik dan semarak pun tidak ada, sehingga tidak ada dari kita yang mengingini Dia”. Pribadi yang paling indah rela kehilangan keindahan-Nya, supaya kita yang secara rohani sangat buruk rupa ini, bisa dibentuk menjadi indah di mata Allah. Mengapa Dia melakukan semua itu? Dia melakukannya untuk mendapatkan Saudara dan saya. Dan hanya inilah yang bisa menusuk sampai ke dalam hatimu. Hanya inilah yang akan menghancurkan ketakutamu terhadap penolakan, terhadap kritik, terhadap ukuran lingkar pinggang tertentu. Inilah satu-satunya yang bisa mengisi kekosongan hati saudara dan membentuk karaktermu, yaitu bahwa Allah yang paling besar di seluruh alam semesta, telah rela menjadi se kia, supaya engkau dan saya bisa Dia dapatkan. Hanya lewat inilah, penderitaan dan penganiayaan akan memurnikanmu, bukan menghancurkanmu. Hanya inilah yang bisa membuat Saudara dan saya bisa melihat sebagaimana Dia melihat.
Allah melihat raja yang baru, dan Dia mengatakan kepada Samuel: “Samuel, hentikan dukacitamu, hentikan ratap tangismu, Aku telah melihat raja yang baru itu”. Dalam hidup kita hari ini, waktu kita mengalami kekecewaan, penderitaan, penganiayaan, apakah kita juga akan berhenti dan mulai melihat kepada yang dilihat Allah –Raja yang sejati—yaitu Yesus Kristus, yang telah mati bagimu? Saudara, apakah engkau mau mengikuti Dia, sebagaimana Dia telah mengikutmu masuk ke dalam dunia?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading