Bagian ini mencatat respon murid-murid setelah Yesus memperkenalkan diri-Nya kepada mereka sebagai Roti Hidup. Yang dicatat dalam Alkitab bukan hanya isi pemberitaan Firman Tuhan, tapi juga respon manusia, supaya kita bisa belajar daripadanya. LAI membagi dua: bagian pertama diberi judul “Murid-murid yang mengundurkan diri di Galilea”, yang konklusinya di ayat 66; kemudian ada kontras yaitu “Pengakuan Petrus” ayat 67-71, meski ayat 71 ditutup dengan gambaran yang agak negatif –tentang Yudas, anak Simon Iskariot. Dua macam kelompok ini mewakili dua macam cara orang meresponi Firman Tuhan.
Yohanes penulis Injil terkenal dengan gambaran dualisme –Johannine Dualism– baik antara terang dan gelap (light and darkness), dusta dan kebenaran (truth and lie), dari atas dan dari bawah (from above and from below), hidup dan mati, dan juga dualisme antara percaya dan tidak percaya. Perhatikan, hanya ada 2 macam kemungkinan yaitu kita percaya – kehidupan, atau tidak percaya – kematian, tidak ada kemungkinan yang di tengah-tengah –lumayan percaya, agak percaya, sedikit percaya, dsb. Demikian juga hanya ada 2 kemungkinan: kita jadi murid-murid yang mengundurkan diri, atau seperti Petrus.
Yang menarik, orang-orang yang menyatakan kesulitan setelah Yesus memperkenalkan diri-Nya ternyata adalah orang-orang yang oleh Yohanes dipakai istilah “murid-murid” (disciples). Mereka bukan simpatisan, bukan pengunjung tidak tetap, tapi murid-murid. Memang kalau dibandingkan dengan pemakaian istilah ‘murid-murid’ dalam Injil sinoptik yang lain, ada perbedaan konotasi. Yohanes pakai istilah ‘murid-murid’ dalam pengertian yang agak rendah, bahwa murid-murid pun bisa mengundurkan diri; mereka yang tadinya mengikut Yesus dan mau menjadi pengikut Kristus, akhirnya toh bisa mengundurkan diri juga. Alkitab mengatakan “barangsiapa yang setia sampai pada akhirnya, akan diselamatkan” –ini bagian kita– tapi di bagian ini kita juga mendengar ada porsi kedaulatan Tuhan.
Ayat 60 murid-murid itu berkata kepada Yesus: "Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?" –dalam bahasa Inggris pakai istilah “hard” (perkataan yang keras/ hard saying). Istilah “hard” bisa diterjemahkan “sulit”, “susah” atau juga bisa “keras”, dsb.; dan terjemahan bahasa Indonesia memakai “keras” yang memang tepat, karena kalau diterjemahkan “sulit/ susah” akan bisa misleading. Hard saying di sini bukan dalam pengertian terlalu rumit, teologinya terlalu dalam sampai tidak bisa dimengerti orang yang IQ-nya pas-pasan, sehingga hanya orang-orang pintar yang bisa mengerti, orang tidak bisa mengikuti logikanya karena logikanya terlalu ketat, terlalu rumit, terlalu dalam, terlalu canggih, dsb. Perkataan ini keras dalam pengertian perkataan yang offensive. Seperti kita baca dalam ayat 61 waktu Yesus tahu dalam hati-Nya, Dia berkata kepada mereka "Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu?”, dalam bahasa Inggris terjemahannya adalah ‘apakah perkataan ini offensive untuk kamu’. Ini respon orang yang tersinggung mendengar Firman Tuhan, bukan karena mereka tidak sanggup mengerti, tapi justru karena mereka mengerti.
Dan inilah kekuatiran dalam kehidupan Gereja, waktu kita jadi kekanak-kanakan (childish), tidak mau dikoreksi oleh Tuhan, tersinggung, marah, ngambek, seperti anak kecil yang kalau ditegur langsung throwing tantrum. Perkataan ini keras, menyinggung, offensive, bukan dalam pengertian mereka tidak bisa menyelami betapa dalamnya, tapi justru mereka mengerti namun tidak mau dikoreksi. Mereka lebih suka mendapatkan pembenaran, bahkan pembenaran dari Tuhan, dari kotbah, dari Firman Tuhan. Ada orang yang suka tanya dalam seminar tapi bukan tanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk skak mat teman di sebelahnya –“tuh, kan, gua bilang apa”. Orang-orang seperti ini sulit sekali kemajuannya, sulit bertumbuh di dalam Tuhan. Oleh sebab itu, jauh lebih mengkuatirkan keadaan jemaat yang tersinggung daripada jemaat yang tidak mengerti. Kalau jemaat tidak mengerti karena terlalu sulit, terlalu dalam, terlalu rumit pembahasannya, itu soal yang agak kecil; mungkin sebagian adalah salah hamba Tuhannya karena tidak bisa menyederhanakan, mungkin jemaatnya juga salah karena tidak mau belajar sehingga tidak bisa mengerti, atau mungkin juga dua-duanya salah.
Tapi di bagian ini bukan tentang itu, bukan kerumitan eksegese atau penafsiran Alkitab, melainkan perkataan yang menyinggung. Maka Yesus yang di dalam hati-Nya tahu, bahwa murid-murid-Nya bersungut-sungut (grumbling) –seperti orang Israel di padang gurun– kemudian berkata kepada mereka: "Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu (offensive)?” Kita bisa langsung menghubungkan perkataan Yesus ini dengan yang ada dalam hati, karena Yesus selalu mahatahu (meskipun ke-mahatahu-an tersebut tidak selalu di-akses oleh Yesus). Dia tahu yang ada di dalam hati mereka bahwa mereka bersungut-sungut tentang hal itu, maka Dia mengatakan “adakah perkataan itu offensive engkau, adakah engkau tersinggung dengan yang dibicarakan tadi”, atau dalam terjemahan bahasa Indonesia “adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu”. Bagaimana bisa Firman Tuhan menggoncangkan iman? Bukankah harusnya Firman Tuhan itu meneguhkan iman?
Salah satu bagian dari learning adalah unlearning; di dalam ‘learn’ termasuk adalah ‘unlearn’, yaitu unlearn yang salah. Misalnya seseorang bisa main piano dengan belajar sendiri karena memang berbakat, tapi karena tidak ada yang membimbing, cara dia main piano jarinya salah, posturnya juga salah, dan banyak hal lain yang salah, dan itu berlangsung bertahun-tahun. Kalau kemudian ada guru piano yang mengajar dia, itu setengah mati sulitnya, harus memperbaiki satu per satu, membongkar cara dia touch piano dsb., dsb., lebih mudah mengajar dari nol –anak yang belum bisa sama sekali– daripada yang sudah pernah bisa main piano tapi dalam teknik yang salah. Kesulitannya, di dalam dunia rohani tidak ada satupun yang starting from scratch, semua orang sudah rusak. Kita semua sudah punya sinful habit, tidak ada orang yang mulai dari tabula rasa –kertas kosong, putih– lalu Yesus mulai merajut kehidupan kita dari situ. Yang ada adalah kertasnya sudah penuh coretan bahkan sobek di sini-sana, lalu Tuhan masuk ke kehidupan kita yang seperti itu –dengan sinful habit, dengan skill kita yang berantakan, dst. dst. Dalam keadaan seperti ini, kita perlu unlearn. Iman kita –iman yang salah itu– memang harus digoncang oleh Tuhan karena itu bukan iman yang betul.
Membongkar yang salah itu perlu, supaya Tuhan bisa menanamkan sesuatu yang benar. Kalau kita tidak mau digoncang, pengertian kita yang salah tidak mau dibuang, dan kita terus mau membangun barang-barang berharga itu, emas dan perak, di atas pondasi yang ternyata sampah, maka akan bahaya, suatu saat bisa ambruk karena pondasinya salah. Atau bisa terjadi percampuran antara emas dan kotoran dalam kehidupan kita. Maka waktu terjemahan bahasa Indonesia mengatakan ‘menggoncangkan imanmu’, ya, memang harus digoncang. Iman apa maksudnya? Yaitu iman yang seperti perikop sebelumnya katakan, orang-orang yang cuma beriman pada Yesus Kristus supaya perut mereka kenyang; urusan fisik belaka.
Memang tidak salah kita punya kebutuhan fisik dan kita bergumul dalam kehidupan kita urusan makanan, finansial, tidak ada pekerjaan, anak sakit atau kita sendiri yang sakit, dan macam-macam persoalan material / persoalan dunia yang kelihatan. Tuhan juga tertarik akan bagian itu dan Dia memelihara kita dalam hal kebutuhan itu. Itu bukan sesuatu yang berdosa. Tapi yang menjadi persoalan waktu manusia hanya peka kebutuhan fisik tapi tidak pernah peka kebutuhan rohani. Kalau bangkrut secara finansial langsung panik, tapi kalau bangkrut rohani tidak ada kepanikan. Kalau lapar perutnya langsung gelisah ingin cepat makan, tapi kalau lapar dalam hal rohani dia tidak punya kepekaan. Spiritual realm seakan non exist di dalam kehidupan orang-orang seperti ini.
“Dan bagaimanakah, jikalau kamu melihat Anak Manusia naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada? (ayat 62). Argumentasi ini mau ke mana, mengapa tiba-tiba bicara tentang kenaikan ke surga (ascension)? Yesus bukanlah seperti superhero atau kaisar China yang pura-pura jadi pelayan dan waktu dia menyajikan teh, orang yang tahu harus ketuk-ketuk, “tok, tok, tok” artinya ‘saya tahu kamu Kaisar, jadi tolong ampuni kalau saya tidak bangkit berdiri, karena engkau sendiri yang mau berpura-pura’. Itu adalah gambaran yang sementara merendahkan diri, supaya suatu saat membuktikan diri sebagai yang mulia –lu belum tahu ya, siapa Gua, nanti kalau Gua naik ke surga, lu semua baru gemeteran. Ini gambaran superhero, cerita kaisar China, bukan Yesus Kristus. Jangan bawa-bawa pembacaan seperti itu kepada Firman Tuhan, karena jika kita menghidupi filosofi itu, tanpa sadar kita jadi munafik, pura-pura bodoh, pura-pura sederhana, pura-pura miskin, supaya suatu saat saya akan kagetkan kamu karena ternyata saya milyuner lalu di situ baru kamu sembah sujud saya. Ini kemunafikan. Waktu merendahkan diri, motivasinya sombong sebenarnya karena untuk membuktikan bahwa dirinya sebenarnya adalah orang yang harus dihargai, yang tidak boleh dihina. Ini tidak ada urusannya dengan Alkitab. Ini filosofi dari tempat lain.
Waktu Yesus mengatakan “jikalau kamu melihat Anak Manusia naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada”, Saudara jangan tafsir bahwa Yesus sedang menunggu waktu untuk menyatakan Dia sebetulnya akan bangkit dari kematian dan akan menujukkan keperkasaan-Nya; Luther mengatakan itu adalah theology of glory, bukan theology of the cross. Bahkan setelah Yesus bangkit pun tetap theology of the cross, hiddenness of divine glory, Dia tidak pergi ke Yerusalem memamerkan diri-Nya sebagai yang sudah bangkit lalu tunjuk-tunjuk orang Farisi, Imam Besar, kaisar Roma, dan suruh mereka sembah sujud. Tidak ada cerita itu. Yesus tetap rendah hati setelah Dia bangkit, tetap memelihara the hiddenness of His divine glory. Jadi, kalau bukan dimengerti seperti itu, apa artinya ayat ini? Yaitu bahwa istilah ascend tidak bisa dipisahkan dari istilah descend. Yesus bicara tentang ascension (kenaikan). Dia yang naik adalah Dia yang terlebih dahulu turun. Ini sangat berkaitan dengan diskursus “Roti Hidup”, Yesus menyatakan diri sebagai roti yang turun dari surga. Yang turun dari surga, akan naik ke tempat Ia sebelumnya berada, yaitu sebelum Ia turun. Tidak ada pengertian akan “naik” kalau kita tidak menerima gerakan turun dari Kristus (inkarnasi).
Waktu Yesus menjelaskan tentang diri-Nya, Dia mengacu pada Keluaran, Dia mengatakan, “Bukan Musa yang memberikan kamu roti, tapi Bapa-Ku yang di surga”, maksudnya roti itu turun dari surga, bukan dari tangannya Musa. Kalau dari tangan Musa, orang cuma melihat itu sebagai kebaikan yang diterima dari Musa. Ada orang Kristen yang selalu berpikir horisontal, tidak pernah berpikir vertikal; waktu dia menerima kebaikan orang lain, dia merasa berutang kepada orang itu. Ini memang baik, dan penting sekali di dalam filosofi kultur Timur –lu harus tahu pernah ditolong siapa, harap-harap lu bisa balas jasa– kebudayaan yang sangat kaya dengan tanam jasa – balas jasa – tanam jasa -balas jasa – dst., Paling tidak, ini lebih positif daripada orang yang tidak tahu berterima-kasih yang melupakan kebaikan orang lain, tapi dari standar Kristen tetap tidak cukup baik. Mengapa? Karena waktu saya melakukan kebaikan kepada sesama saya, saya bisa mengharapkan dia menghormati saya sebagai bagian dari balas jasa. Inilah keberdosaan dari kebudayaan Timur kita. Tapi kita sebagai orang Kristen, belajar untuk menerima seperti dari tangan Tuhan.
Berpikir secara vertikal, itu mempertumbuhkan iman kita. Bukan cuma di dalam kebaikan, tapi di dalam kesulitan dan kekecewaan Saudara boleh menaikkan ratapan serta keluhan di hadapan Tuhan, sebagai ganti dari di hadapan manusia. Ayub waktu menderita, dia bukan mencari orang-orang Kasdim yang sudah merampok ternaknya, tapi kekecewaannya dia ungkapkan di hadapan Tuhan, karena dia percaya kedaulatan Tuhan. Orang yang tidak percaya kedaulatan Tuhan, dia tidak melibatkan Tuhan, baik di dalam sukacitanya maupun di dalam dukacitanya. Saya kuatir dengan teologi yang mengajarkan ‘segala sesuatu yang buruk bukan dari tangan Tuhan, kita cuma menerima yang baik dari tangan Tuhan’. Ini versi perkataan istri Ayub yang dikutip oleh Ayub sebagai orang yang mengenal istrinya dengan baik, “Masakan kamu cuma mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak yang buruk?”; maksudnya: yang betul adalah menerima yang baik dan yang buruk seperti dari tangan Tuhan. Ini penting, karena kalau waktu di dalam kesulitan kita tidak berpikir vertikal, tidak meratap secara vertikal di hadapan Tuhan, –mungkin karena sungkan menyalahkan Tuhan lalu kita menyalahkan sesama saja– saya kuatir waktu dalam keadaan sukacita, dia juga tenggelam dalam sukacitanya dan tidak mengekspresikan sukacita serta ucapan syukurnya di hadapan Tuhan. Tuhan juga tidak ada di dalam gambarannya pada waktu sukacita. Orang yang tidak berani konfrontasi dengan Tuhan di dalam saat susah, dia juga akan sulit bersyukur kepada Tuhan di dalam keadaan bahagia.
Waktu kita susah, kekecewaan kita terutama kepada siapa? Kepada manusia, atau kepada Tuhan? Ada orang yang kecewa terus kepada manusia, tidak pernah naik kelas, terus berputar di situ karena dia pikirnya selalu horisontal, seperti orang ateis. Sedangkan orang seperti Ayub, dia tahu yang melakukan kejahatan adalah orang Kasdim, –memang bukan Tuhan, Tuhan tidak melakukan kejahatan– tapi orang Kasdim ini melakukan di dalam kedaulatan Tuhan. Oleh sebab itu dia urusannya dengan Tuhan, bukan dengan orang Kasdim; dan imannya dibangun. Orang seperti ini, waktu di atas dia juga merelasikannya tetap vertikal, bukan horisontal. Ada orang yang dalam keadaan bahagia/ mujur, melupakan Tuhan. Dalam cerita 10 orang kusta, setelah disembuhkan hanya 1 orang yang kembali; di mana yang 9 orang? Tenggelam di dalam sukacitanya, mungkin sibuk mengabarkan ke sini-sana bahwa sudah sembuh, atau bertemu imam –seperti Tuhan Yesus suruh– minta “sertifikat” tahir. Hanya 1 orang yang dalam sukacitanya dia hanya ingat kepada Tuhan, sama seperti waktu dalam dukacita juga hanya ingat kepada Tuhan.
Waktu Yesus mengatakan “bagaimanakah, jikalau kamu melihat Anak Manusia naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada”, menyatakan bahwa penerimaan terhadap Yesus yang adalah roti yang turun surga, akan menentukan apakah kita bisa berbagian di dalam kepercayaan bahwa Dia akan naik ke tempat di mana Dia sebelumnya berada. Tidak ada ascend tanpa descend, karena kenaikan ke surga itu didahului dengan turun dari surga. Yesus mengingatkan pendengarnya, bahwa mereka sudah menolak inkarnasi Kristus, yaitu Yesus yang turun ke dalam dunia. Konsep ini sulit mereka terima, mereka lebih gampang menerima bahwa roti itu dari tangan Musa, Yesus itu anak tukang kayu yang namanya Yusuf; semuanya horisontal. Mereka sulit mengaitkan dengan kekekalan, perspektif itu tidak ada; yang ada adalah mereka lapar lalu menjadi kenyang dari Yesus yang suka membuat mujizat.
Ayat 63 mengatakan: “Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna”. Ayat ini sangat debatable intepretasinya, paling polemik; dan ayat ini juga mempengaruhi konsep tentang Perjamuan Kudus (dalam hal ini Agustinus bicara sesuatu, Calvin bicara sesuatu, Zwingli bicara sesuatu). Apa yang dimaksud ayat ini?
Tafsiran pertama secara spiritual, dan juga konsisten secara big picture, yaitu kecuali seseorang memahami sesuatu dari perspektif spiritual/ perspektif rohani –roh yang memberi hidup– orang itu akan terus berada di dalam wilayah yang kelihatan. ‘Daging’ dimengerti dalam pengertian orang yang hanya mengerti hal-hal material/ fisik. Orang seperti itu mati; meskipun secara fisik perutnya kenyang tapi tetap dalam level daging, sama sekali tidak berguna, karena Roh-lah yang memberi hidup. Ini hanya bisa dimengerti secara rohani.
Waktu Perjamuan Kudus, orang yang berbagian di dalamnya harus memiliki iman pribadi (di sini kita mengutip Zwingli secara afirmatif, bukan secara kritis). Jika tidak ada iman pribadi, kita tetap tinggal dalam wilayah daging yang cuma makan roti dan anggur, padahal menurut pasal 6 waktu Perjamuan Kudus kita makan tubuh Kristus dan minum darah Kristus, in a spiritual manner. Saudara musti berhati-hati terhadap gambaran yang diwariskan secara salah seolah itu diajarkan oleh Teologi Reformed padahal tidak, yaitu ajaran yang karena kuatir sekali orang confused roti dianggap sebagai tubuh Kristus dan cawan yang isinya anggur dianggap sebagai darah Kristus, lalu mengatakan bahwa sebetulnya kita tidak sedang makan tubuh dan minum darah Kristus melainkan cuma makan roti dan minum anggur saja; yang seperti inilah orang yang cuma di dalam daging. Hati-hati dengan konsep seperti itu;, ini ajaran naturalisme, jika tidak mau dikatakan sesat. Kalau waktu Perjamuan Kudus Saudara menganggap cuma makan roti dan minum anggur saja, itu berarti tidak mengakui tubuh Kristus; dan Paulus mengatakan, “yang tidak mengakui tubuh Kristus, mendatangkan hukuman atas diri mereka sendiri”. Teologi Reformed mengajarkan high view akan Perjamuan Kudus, bukan low view. Yesus mengatakan “barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” (Yoh 6:54). Ayat 53: “sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu”. Kalimat ini jelas; kalau kita tidak makan tubuh Kristus (daging Anak Manusia), dan minum darah-Nya, menurut Yohanes kita tidak mempunyai hidup di dalam diri-Nya. Perjamuan Kudus sangat serius karena kita makan daging Anak Manusia dan minum darah Kristus; bukan cuma makan roti dan minum anggur. Calvin dengan tegas mengatakan bahwa ini bukan lambang yang kosong, tapi kita benar-benar mengambil bagian dalam substansi tubuh dan darah Kristus.
Hal ini mau saya bawa dalam pemahaman ayat 63, setiap orang musti mempunyai iman pribadi waktu dia berbagian dalam Perjamuan Kudus; tapi waktu seseorang hanya minum dan makan secara lahiriah saja, tanpa iman, maka tidak ada gunanya, dia tetap di dalam dunia yang kelihatan. Daging sama sekali tidak berguna, cuma Roh yang memberi hidup, roh yang bisa membawa kita kepada pemahaman spiritual. Tanpa Roh Kudus, kita akan terus di dalam kegelapan, yaitu cuma melihat dunia yang kelihatan saja, tidak ada dunia yang tidak kelihatan dalam pikiran kita. Semua persoalan jadi cuma persoalan dunia yang kelihatan, tidak ada persoalan dunia yang tidak kelihatan. Orang-orang seperti ini mati rohani, tidak memiliki hidup.
Tafsiran kedua, kosa kata “daging” dibaca dalam konteks Johannine; waktu Yesus pakai istilah ‘daging’, itu menunjuk kepada tubuh-Nya yang akan dikorbankan di atas kayu salib (bukan ‘daging’ dalam pengertian material seperti pembahasan sebelumnya). Maksudnya: tanpa Roh Kudus yang memberikan pencerahan, yang membawa kita ke dalam pemahaman rohani, maka bahkan daging Kristus pun tidak berguna. Korban Kristus di atas kayu salib tidak berguna bagi orang yang tidak beriman, yang tidak percaya pada Firman Kristus, yang tidak dihidupkan oleh Roh Kudus. Penebusan itu secara teoritis cukup untuk seluruh dunia, tapi efektif hanya bagi orang pilihan, mereka yang dihidupkan oleh Roh Kudus. Bagi orang-orang yang tidak beriman, tidak mendapatkan pencerahan Tuhan, itu tidak berguna. Roh memberikan kepada kita pengertian rohani, supaya kita jangan terus berpikir dunia yang kelihatan saja, karena orang percaya bisa melihat dunia yang tidak kelihatan. Waktu berdoa kita menutup mata, karena kita mengakui selain dunia yang kelihatan, ada dunia yang saya tidak lihat dengan mata jasmani tapi dengan mata batiniah, dan eksistansi dunia yang tidak kelihatan itu sama nyatanya dengan eksistansi dunia yang kelihatan. Tapi kalau selera rohani kita mati, kita merasa dunia yang tidak kelihatan itu abstrak, yang lebih kelihatanlah yang betul-betul nyata.
Maka Yesus melanjutkan: “Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.” Perhatikan di sini, antara perkataan Kristus dan Roh seakan sinonim tapi bukan sama; yang pasti, ada kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Roh memberi hidup, perkataan Kristus juga adalah roh dan hidup. Murid-murid ini, sebelum mengundurkan diri mereka tidak percaya kepada perkataan Kristus; di dalam ketidak-percayaan itu mereka tetap dalam kegelapan, dan Roh tidak memberikan hidup di dalam mereka. Mereka tetap berada dalam kematian; inilah yang dikatakan ayat 64: “Tetapi di antaramu ada yang tidak percaya", yang akhirnya “daging sama sekali tidak berguna”, karena orang itu tidak percaya. Cuma ada “tidak percaya – mati” atau “percaya – hidup”. Tidak ada yang di tengah-tengahnya, seperti lumayan hidup atau lumayan mati atau sekarat; hanya ada mati atau hidup. Mereka yang percaya perkataan Kristus adalah mereka yang diberi hidup oleh Roh; mereka yang tidak percaya, berada dalam kegelapan, mati.
Ayat 64, Yesus tahu dari semula siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyerahkan Dia. Yesus tidak selalu akses ke-mahatahu-an ini, tapi dalam bagian ini dicatat Yesus tahu dari semula siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyerahkan Dia. Maksudnya apa? Waktu Yesus menaati kehendak Allah, menyerahkan diri-Nya, menderita, Dia tenang sekali dengan mengetahui semua ancaman dan semua resiko yang akan Dia tanggung. Kita memang tidak seperti Yesus yang mahatahu, tapi Roh yang sama, bisa memberikan kita ketenangan menghadapi kehidupan ini. Meskipun kita tidak bisa melihat masa depan seperti Yesus, kita tahu Tuhan bisa melihat, dan di dalam iman ini kita berjalan dengan tenang waktu kita harus melalui jalan salib yang sama seperti Yesus Kristus.
Yesus tahu dari semula siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyerahkan Dia, tidak ada keterkejutan. Ini memang sudah di dalam kedaulatan Allah; ditambah lagi ayat 65: "Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorangpun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya." Bagian ini berbicara tentang kedaulatan Allah. Di sini kita melihat kedaulatan Allah ada dalam 2 sisi. Mereka yang bisa datang, adalah karena Roh yang memberi hidup kepada mereka, orang-orang pilihan itu. Mereka yang tidak percaya, adalah karena Bapa tidak mengaruniakan kepadanya, tidak memberikan kehidupan kepadanya. Perspektif kedaulatan Allah di sini artinya bukan mereka yang menolak Kristus; Tuhan bukan dalam posisi yang boleh ditentukan oleh kedaulatannya manusia, bukan Saudara dan saya yang menentukan mau terima Yesus atau menolak Yesus, melainkan Roh itu yang memutuskan memberi hidup kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Bapa yang berdaulat memutuskan kepada siapa Dia berkenan dan mengaruniakan kehidupan, yaitu orang-orang yang ditarik untuk percaya kepada Yesus Kristus.
Setelah selesai pembicaraan ini, komplitlah kekecewaan murid-murid itu; Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia. Perkataan Yesus sudah menyinggung dan sekarang lebih offensive lagi. Apakah ini karena Yesus tidak sabar lalu orang yang sudah tersinggung dibuat lebih tersinggung lagi, seperti kita sudah tahu orang tidak senang lalu kita bicara lebih kasar lagi supaya lebih jengkel lagi? Yesus pastinya bukan begitu. Yesus cuma mengatakan realita sebagaimana adanya, as it is, inilah kehidupan manusia. Yesus bahkan menyatakan perspektif ilahi di sini; sebagian orang dikaruniakan kehidupan, yang lain tidak dikaruniakan; Roh yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Lalu waktu banyak murid mengundurkan diri, ya, tidak ada persoalan karena memang Tuhan sudah tahu.
Tuhan bukan cuma tahu Yudas yang akan mengkhianati Dia, Tuhan juga tahu siapa yang tidak akan mengundurkan diri, yang akan bertahan sampai akhir. Dia tahu dari semula. Dalam bagian ini jelas sekali foreknowledge tidak bisa dipisahkan dari foreordained. Yesus tahu dari semula (foreknowledge) dan Dia berdaulat menentukan (foreordained). Armenianisme mengajarkan Allah itu foreknowledge, tapi Dia tidak foreordained; jadi tidak ketemu. Di sini dikatakan “Yesus tahu dari semula”, berarti foreknew; lalu dikatakan “tidak ada seorangpun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya", ini bicara foreordination. Penetapan dan kemahatahuan tidak bisa dipisahkan, karena kalau tidak ada penetapan cuma ada kemahatahuan, maka penetapan itu dasarnya apa?? Kalau ternyata meleset bagaimana? Kalau ternyata manusia yang punya free will menghendaki yang tidak seperti diketahui Tuhan bagaimana? Apa yang memastikan bahwa yang Tuhan tahu itu betul-betul terjadi, kalau bukan penetapan Tuhan? Kalau Tuhan tidak menetapkan, bukankah apa yang Dia ketahui bisa bergeser? Misalnya orang ini rencananya mau keluar ruangan, lalu dia berubah pikiran tetap tinggal di dalam, berarti pengetahuan Tuhan sebelumnya bisa salah dong? Ini memang agak rumit. Tapi intinya adalah: Yesus tahu dari semula, dan Tritunggal itu menetapkan; “tidak ada seorangpun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya". Ini penghiburannya untuk kita, Tuhan juga tahu siapa yang akan tetap setia.
Waktu kita baca ayat 67, Maka kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: "Apakah kamu tidak mau pergi juga?" kita bisa salah mengerti dalam tafsirannya karena terjemahan bahasa Indonesia ini sangat misleading. Kita biasa membaca perkataan Yesus ini seakan intonasinya tantangan, ‘lu ‘gak mau pergi juga?! pergi aja sana sekalian bareng mereka!’ seakan menyatakan kedaulatan-Nya dan Dia pemimpin yang tidak takut kehilangan murid, dsb. Tapi bahasa aslinya ternyata tidak begitu, ini bukan pengusiran. Kalimat ini harusnya diterjemahkan begini: “kamu tidak akan pergi juga,’kan?” (“You don’t want to go away, do you?”), yang mengasumsikan jawaban positif. Ini bukan pertanyaan netral “lu mau pergi atau ‘gak pergi?”; apalagi ditafsir mau mengusir, itu lebih salah lagi. Di sini Yesus sudah memastikan bahwa mereka tidak akan pergi, karena Yesus tahu dari semula. Kalau Yesus tahu dari semula siapa yang tidak percaya, pasti Yesus juga tahu dari semula siapa yang percaya, maka Dia menanyakan kalimat ini, ‘kamu akan tetap setia, ‘kan; kamu akan tetap tinggal, ‘kan?’ Ini kalimat yang sangat membesarkan hati. Mereka bukan digoncang imannya karena iman mereka sudah betul; yang digoncang adalah yang imannya salah.
Lalu Petrus meng-afirmasi pertanyaan ini; ayat 68 "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; an kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah." Tiga hal di sini: YANG PERTAMA, iman yang sejati itu nowhere else to go, tidak ada tempat lain untuk pergi kecuali kepada Tuhan. Saudara bandingkan dengan kehidupan kita, waktu kita dalam kesulitan, bisakah kita mengatakan ‘saya nowhere else to go, kecuali Engkau, Tuhan’? Biasanya kita akan telpon-telpon orang dulu, kita punya 17 alternatif lalu setelah alternatif ke-17 gagal, baru kita memanggil “Tuhan! Engkau yang ke-18, tolong saya karena semuanya sudah mentok, Tuhan!” Betapa kasihan, Tuhan jadi yang ke-18. Tapi Petrus tidak mengatakan seperti itu; “kepada siapa kami akan pergi?” inilah iman yang sederhana, nowhere else to go but Jesus.
Nowhere else to go bukan cuma dalam dukacita dan kesulitan, tapi di dalam sukacita juga nowhere else to go but to thank God. Sepuluh orang kusta yang disembuhkan, cuma 1 orang yang nowhere else to go but Jesus. Sembilan yang lain mungkin pergi ke imam, atau ke keluarganya, atau ke Yerusalem, ke Bait Allah karena sudah tahir –many places to go. Tapi Petrus mengatakan, “Kepada siapa kami akan pergi (kalau bukan kepada-Mu, siapa lagi)?” Kepada siapa kami akan mengekspresikan sukacita kami kalau bukan kepada Engkau, Tuhan? Kepada siapa lagi kami bersyukur, kalau bukan kepada Engkau? Kepada siapa lagi kami akan meratap, mengeluh, menaikkan persoalan kami, kalau bukan kepada Engkau, Tuhan? Tidak ada alternatif. Cuma satu, yaitu Yesus. This is true faith.
YANG KEDUA, “perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal”. Roti memang memberi hidup, tanpa roti orang tidak bisa hidup, roti itu substansial untuk bisa menyambung hidup. Sama seperti dalam dunia yang kelihatan, roti begitu penting, demikian juga dalam dunia yang tidak kelihatan (spiritual realm), perkataan-Mu adalah hidup yang kekal, bukan hidup yang sementara. Tidak sebanding sebenarnya, karena makanan yang sementara itu cuma memberi hidup yang sementara, yang pendek ini; sedangkan perkataan Kristus adalah hidup yang selama-lamanya, yang kekal.
Vikaris Ivan Raharjo mengatakan satu kalimat menarik: kita seringkali waktu membicarakan pekerjaan Tuhan, kita mau itu langsung terjadi di zaman kita; betapa arogan, seperti Tuhan harus selesaikan semuanya selagi kita hidup. Yang kita baca di dalam Alkitab, orang-orang Perjanjian Lama banyak yang cuma melihat dari jauh, tidak mendapatkan yang mereka imani itu; sampai mereka mati Yesus masih belum datang. Sementara kita ini minta pekerjaan Tuhan beres sekarang, memang kita ini siapa?? Kerjanya Tuhan itu panjang, kesabaran Tuhan juga panjang; demikian juga persoalan Indonesia/ Jakarta. Kita berdoa “datanglah Kerajaan-Mu”, pemenuhan hal ini panjang, jangan kita tidak sabar, kita tidak tahu berapa lama, tapi kalau kita baca dalam Alkitab itu bisa lama sekali. Berapa lama penantian Yesus datang? Berapa lama cerita pembuangan sampai mereka kembali membangun Bait Suci? Bisakah kita bertahan selama itu? Kalau kita minta Tuhan selesaikan semua selagi kita masih hidup, memangnya ini agenda Tuhan atau kita sendiri? Gereja milik siapa sebetulnya; milik Tuhan atau milik kita sendiri? Kalau milik Tuhan, biarkan Dia bekerja di dalam agenda-Nya. Bukan berarti kita bekerja jadi mengulur-ulur waktu, tapi seringkali kita mau mendahului Tuhan di dalam banyak hal. Demikian juga dalam keluarga kita, dalam pekerjaan kita baik sebagai pemilik atau karyawan. Intinya: investasi Tuhan itu untuk kekal, sedangkan kita maunya instan. Instan-nya kita bisa jadi lumayan lama –misalnya 2 tahun– tapi itu mungkin tetap instan menurut Tuhan. Musa dipanggil Tuhan perlu 40 tahun untuk membentuk dia, tapi kita membentuk orang-orang yang kita kasihi maunya cepat selesai dalam beberapa tahun saja. Diri kita juga sama; Tuhan juga perlu waktu untuk membentuk kita, perlu waktu untuk mengembangkan pekerjaan-Nya, perlu waktu untuk memberkati Indonesia. Tapi, waktu perkataan Firman Tuhan diberitakan, itu adalah investasi untuk hidup kekal, bukan cuma 5 tahun ke depan atau waktu yang singkat ini.
YANG TERAKHIR, “dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah" (ayat 69). Perhatikan di sini ada 2 macam orang. Waktu orang mengalami perjumpaan dengan Firman, ada orang yang mengundurkan diri, ngambek, tersinggung; ini orang-orang yang mundur ke belakang. Yang satunya lagi adalah orang yang masuk ke dalam deeper knowledge — “kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah”. Pengakuan ini adalah yang pertama kali, sebelumnya tidak muncul. Petrus tidak cuma mengatakan “kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Roti Hidup” –itu sudah– tapi dia masuk ke pengenalan yang lebih dalam tentang siapa itu Kristus, “Yang Kudus dari Allah”.
Dua macam murid, yang satu declined ke bawah, satunya lagi masuk ke dalam deeper knowledge.Kalau kehidupan kita tidak masuk ke pengenalan yang lebih dalam, cuma ada satu kemungkinan: kita pasti mundur. Orang kalau tidak bertumbuh, berarti mundur; yang jalan di tempat itu tidak ada. Waktu Saudara berada di eskalator yang turun ke bawah, bisakah Saudara tetap berada di tempat yang sama?? Mungkin Saudara bilang ‘saya bisa, ini pelan koq jalannya’, tapi berapa lama? Paling lama juga 1 jam sudah bosan, atau 2 jam, 3 jam, 7 jam. Tapi apakah hidupmu cuma 7 jam?? Kalau hidupmu 70 tahun, apa bisa 70 tahun di situ terus?? Tidak akan bisa. Entah Saudara naik ke atas karena melampaui kecepatan eskalator turun, atau Saudara tertarik ke bawah.
Dunia ini menarik kita ke bawah, seperti eskalator itu. Dunia ini bukan diam, dunia menarik kita ke neraka. Orang yang tidak berjalan melampaui kecepatannya dunia, dengan kekuatan Tuhan, dia pasti masuk ke neraka. Dia akan mengalami kematian, dan mungkin juga sudah mati sebetulnya karena tidak pernah punya iman. Orang-orang yang hanya melihat dunia yang kelihatan, yang tidak peduli waktu Tuhan mau mengoreksi kehidupan jiwanya, yang sakit jiwanya/ kerohaniannya tapi lebih tertarik disembuhkan Tuhan waktu sakit jasmani, yang selalu kuatir urusan finansial tapi tidak pernah sadar dirinya bangkrut secara rohani di hadapan Tuhan, inilah persis seperti orang-orang di bagian ini. Mereka kenyang makan roti, tapi waktu Yesus mau mengenyangkan secara rohani, mereka menganggap perkataan ini keras, menyinggung, sudahlah tidak usah bawa-bawa rohani, tidak kelihatan juga, kita maunya yang jelas, yang nyata, saya sakit – perlu kesembuhan, saya tidak ada pekerjaan – perlu pekerjaan, anak saya bodoh – saya ingin dia jadi pintar.
Waktu Tuhan mau membawa kita ke dalam dunia rohani –dalam Perjamuan Kudus Saudara bukan cuma makan roti dan minum anggur, kita makan tubuh Kristus dan minum darah Kristus– bisakah kita beriman sampai ke situ? Bukan karena kita sanggup beriman, tapi Rohlah yang memberi hidup. ”Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup. Tetapi di antaramu ada yang tidak percaya."
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading