Dalam tulisan Yohanes, baik surat-surat ataupun Injil, salah satu yang ditekankan adalah kasih/cinta. Ini adalah satu virtue yang hampir disetujui semua orang dalam dunia. Apalagi kalau istilah ‘kasih’ kita ganti dengan ‘cinta’, maka sinetron-sinetron, film-film Korea dan Hollywood akan termasuk juga.Tapi, tepat sekali karena inclusion ini, kita jadi mulai mempertanyakan “cinta yang bagaimana maksudnya?” karena dunia juga bicara tentang cinta. Dunia juga setuju tentang kasih, tidak seperti kalau kita bicara tentang kekudusan/holiness, yang mungkin dunia tidak tentu setuju.
Waktu kita melihat dalam Alkitab, memang ada pengertian yang particular tentang kasih; dalam Teologi Reformed ada dua kesaksian. Dari aspek common grace (maksudnya kasih yang diberitakan secara umum), tidak peduli orang itu percaya atau tidak percaya toh dunia seharusnya bisa dapat berkat bahwa mengasihi lebih baik daripada membenci, mengasihi lebih baik daripada keegoisan. Dalam hal ini kita bisa berbagi kepada dunia dalam batasan anugerah umum. Tapi dalam pengertian yang lebih spesifik, kita tahu bahwa berbicara tentang kasih tidaklah bisa lepas dari Kristus yang disalib, dari karya keselamatan yang dianugerahkan Allah kepada kita, karya penebusan, karya pengudusan, dan bahkan tidak bisa lepas dari pengertian akan Allah itu sendiri. Di ayat 16b dikatakan “Allah adalah kasih”, dalam bagian ini sebetulnya Yohanes memulai pembicaraan bukan dengan soteriologi (doktrin keselamatan), bukan dengan Kristologi (doktrin Kristus), tapi mulai dengan pengertian doktrin Allah. Dalam sistematika teologi Reformed ini adalah tentang sifat/natur/atribut Allah, yaitu sifat yang hanya ada pada Allah pada mulanya (istilah yang dimaksud dengan ‘atribut’ dalam bahasa Belanda: eigenschap; Jerman: eigenschaft).
Waktu dikatakan “Allah adalah kasih”, Yohanes sedang membicarakan bahwa Allah yang kita percaya adalah “Allah yang adalah kasih”; kasih sebagai salah satu atribut Allah. Saudara perhatikan, di sini kita tidak bisa membalik “Allah adalah kasih” menjadi “kasih adalah Allah” (termasuk juga dalam tatabahasa Yunaninya jelas sekali). Allah adalah kasih, maksudnya Allah itu memiliki atribut kasih, kasih adalah atribut yang dimiliki oleh Allah. Tapi di sini kita tidak bisa memper-ilah kasih, seolah-olah kalau kita sudah mengasihi berarti kita sudah menyembah Allah dengan benar. Tentu saja betul bahwa orang yang mengasihi dengan benar tidak mungkin mengasihinya tanpa Allah, tapi cinta itu sendiri bukanlah Allah. Ini pembedaan yang penting, karena jika tidak, kita bisa masuk ke semacam pemberhalaan tentang cinta. Banyak orang memberhalakan cinta dalam kehidupannya, dan dia sendiri tidak betul-betul tahu apa maksudnya cinta itu. Allah adalah kasih, Allah adalah cinta, bukan cinta adalah Allah.
Lalu Yohanes menyambung: “Barangsiapa tetap berada di dalam kasih –maksudnya di dalam atribut Allah– dia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” Ada gambaran yang sangat konkrit waktu Alkitab mengatakan apa artinya berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia. Kalimat ‘saya di dalam Allah, Allah di dalam saya’ bisa sangat abstrak, tapi Yohanes menjelaskan bahwa itu maksudnya adalah ‘berada di dalam kasih’. Bukan berarti kasih adalah Allah, tapi karena Allah adalah kasih maka barangsiapa berada di dalam kasih, dia berada di dalam Allah, Allah di dalam dia, mutual indwelling/saling meninggali/perichoretic, kontras dengan dunia yang rebutan tempat tinggal.
Ada orang menulis bahwa dunia sekarang ini sudah over populasi bisa ada bahaya kelaparan. Dan ada film-film yang mempropagandakan keadaan ini lalu mencoba mengajukan solusi yang kontroversial –mungkin sebagai sindiran/kritik sosial juga– bahwa kita musti mengumpulkan sebagian kelompok orang yang memang bisa bertahan hidup sedangkan sisanya biar mati saja demi memperbaiki keadaan dunia. Jelas ini bukan pandangan Kristen, tapi kita tahu dunia sedang bergumul urusan tempat tinggal –kalau saya di sini kamu di mana nanti kamu terdesak, atau saya tidak bisa tinggal di sini karena sudah direbut kamu, dsb.– persoalan habitat (meminjam istilah binatang). Kita seperti tidak bisa tinggal bareng, lalu musti berkompetisi, entah saya yang menduduki dan kamu tidak bisa menduduki, atau kamu menduduki dan saya tidak bisa menduduki. Tapi waktu kita belajar Tritunggal, Bapa dan Anak itu saling meninggali, dan tidak ada yang tertindas. Bapa meninggali Anak, Anak meninggali Bapa; Yesus mengatakan, “Aku di dalam Bapa, Bapa di dalam Aku”. Dan di bagian ini Yohanes mengatakan bahwa kita juga bisa berada di dalam Allah dan Allah di dalam kita. Bagaimana caranya? Alkitab mengatakan sederhana, yaitu melalui kasih.
Cinta menyelesaikan persoalan tempat tinggal. Yesus mengatakan, “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal”. Yesus menyediakan tempat tinggal. Bahkan juga kalau kita mau bicara isu ‘mengambil tempat/merebut tempat’ pun, itu tidak akan jadi masalah kalau kita baca dalam perspektif cinta/kasih. Yesus bukan hanya menyediakan tempat bagi kita, Yesus pernah mengambil atau –saya pakai istilah yang profokatif– merebut tempat kita, tempat di kayu salib. Seharusnya kita yang ada di sana, tapi Yesus yang menempati tempat itu, Yesus mengambil tempat kita, menggantikan kita, dan kalau dilihat dari perspektif kasih ini sesuatu yang indah. Mengambil tempat pun indah, apalagi menyediakan tempat. Sebaliknya kalau kita melihat dari perspektif dunia, mengambil tempat itu artinya rebutan, tidak indah; bahkan tinggal bareng pun bisa jadi masalah kalau tanpa kasih. Eropa bergumul dengan hospitality dalam hal memasukkan banyak sekali pengungsi. Ada pergumulan waktu orang-orang tinggal bareng, bahkan dalam kehidupan keluarga yang harusnya perichoretic/mutual indwelling ada pergumulan ketika dalam hubungan suami-istri atau orangtua-anak saling tidak mengerti, dsb. Tanpa kasih, atribut yang penting itu, kehidupan manusia jadi meaningless. Isunya bukan apakah saya sudah membagi tempat atau tinggal bareng, tapi yang lebih penting adalah dengan atau tanpa kasih? Karena dengan kasih, mengambil tempat orang lain pun bisa jadi indah, seperti Kristus yang mengambil tempat kita di atas kayu salib. Yesus menyediakan tempat bagi kita, itu sudah pasti indah. Yesus mengundang kita untuk tinggal di dalam diri-Nya dan Dia sendiri tinggal di dalam kita, dalam perspektif kasih itu juga indah.
Waktu membicarakan kasih, kita juga bisa membicarakan dari lawan kata ‘kasih’, dan salah satunya yang spontan muncul dalam pikiran kita adalah kebencian; orang yang mengasihi tidak benci, yang benci kurang kasih. Yang lain bisa mengatakan bahwa mengasihi sebagai lawan kata dari keegoisan atau hidup yang berpusat hanya pada diri sendiri. Tapi waktu kita membaca bagian ini, Yohanes bukan hanya mengontraskan kasih dengan kebencian atau keegoisan, melainkan juga dengan “ketakutan”. Kadang kita kurang aware dengan persoalan ketakutan ini, kita pikir ‘siapa sih di dunia yang tidak ada persoalan ketakutan??’ Kalau berhadapan dengan orang yang penuh kebencian, kita langsung tegur dia untuk bertobat. Kebencian itu langsung nyata sebagai borok, sedangkan ketakutan tidak. Kita lebih gampang toleransi dengan ketakutan.
Ketakutan itu menimbulkan apa? Jawabannya: orang yang takut, menimbulkan ketakutan. Orang yang mengasihi, adalah karena dia sendiri punya pengertian bahwa dirinya dikasihi. Perasaan beloved menjadikan seseorang a loving person. Dengan prinsip yang sama, orang yang dalam kehidupannya penuh ketakutan, dia menjadi “teroris”. Saya tidak pakai istilah teroris dalam pengertian yang umumnya kita pakai, tapi kita semua ini bisa jadi teroris dalam pengertian orang yang memprovokasi/menimbulkan ketakutan di sekelilingnya. Orang yang hidupnya penuh dengan cinta kasih, dicintai, dia akan mencintai orang lain, karena dia sendiri menerima cinta. Orang yang di dalam kehidupannya penuh dengan ketakutan, dia sendiri menakut-nakuti orang lain. Ada orang yang kalau hadir selalu menakut-nakuti orang lain, akhirnya semua ikut panik padahal tidak terlalu jelas atau bahkan tidak ada masalahnya. Mengapa dia bisa seperti itu? Karena dia sendiri memang penakut. Seorang penakut, yang di dalam dirinya tidak ada kasih, akan menabur ketakutan di sekelilingnya. Hari ini kita –seluruh dunia, bukan cuma Indonesia– sedang memerangi terorisme; kalau kita sendiri jadi orang Krisnten yang dikuasai oleh ketakutan dan bukan cinta kasih, maka kita ikut menyuburkan terorisme. Ini konsekuensi logis. Di dalam kasih tidak ada ketakutan; kasih bukan cuma melawan kebencian tapi kasih juga melawan ketakutan, tepat seperti the absence of light is darkness. Waktu orang Kristen tidak bercahaya, kegelapan menguasai dunia ini. Waktu orang Kristen dipenuhi dengan ketakutan maka terorisme dan ketakutan akan menguasai dunia ini, karena orang Kristen takut mencintai, kurang mengasihi. Ini minority complex yang kita musti bereskan. Kita tidak bisa menghindari fakta bahwa kita minoritas, tapi menjadi minoritas itu bukan problem, yang menjadi problem adalah mental minoritas. Salah satu mental minoritas adalah ketakutan. Saudara perhatikan, waktu ada anjing saling ketemu, yang menggonggong pasti yang kecil, yang kecil menggonggong kepada yang besar. Tapi kita manusia bukan binatang, dan tidak seharusnya menghidupi mental minoritas, dan salah satu yang harus kita perangi adalah ketakutan ini.
Yohanes bicara tentang keberanian; ini satu dari four cardinal virtues dalam tulisan orang-orang Gerika Romawi kuno yang salah satunya adalah Aristoteles. Tapi bagaimana mendefinisikan keberanian? Dunia punya definisi sendiri tentang ‘berani’, bahkan orang Kristen terpengaruh juga dengan definisinya orang dunia. Aristoteles mendefinisikan keberanian terutama sebagai berani perang, maskulin. Ada satu film, “The Four Feathers”, tentang 4 orang yang bersahabat dan mereka ditugaskan pergi berperang, tapi satu orang ketakutan karena dia punya pacar, dsb. dan akhirnya orang ini tidak pergi sementara tiga orang lainnya pergi dengan kecewa. Tapi setelah bergumul dan bergumul, orang ini akhirnya tanpa sepengetahuan tiga temannya hadir juga di medan perang. Film ini salah satunya mengetengahkan tentang virtue ‘courage’ (keberanian), dan bagian ini mirip dengan yang diajarkan Aristoteles. Gambaran lain yang lebih sederhana misalnya berani sama tikus, kecoa, dsb., dan kita sangat dipengaruhi dengan gambaran keberanian seperti ini yang tidak terlalu ada hubungannya dengan Alkitab. Waktu Alkitab menggambarkan tentang keberanian, itu bukan berani terhadap tikus, kecoa, ular, dsb.; kalau Saudara seorang laki-laki dan takut sama kecoa, menurut Alkitab itu tidak terlalu penting namun kalau menurut konsep maskulinitas dunia, Saudara itu masalah banget. Konsep keberanian yang lebih umum dalam gambaran dunia adalah maskulin, badan gede, berotot, dsb. Tapi kalau kita kembali kepada Alkitab, bukan itu yang dimaksud keberanian, melainkan keberanian mencintai; lawan kata ketakutan-ketakutan seperti takut didiskriminasi, takut tidak dapat pekerjaan, dan ini, dan itu. Gambaran ketakutan seperti ini jauh lebih berbahaya dari ketakutan kecoa, tikus, dsb. Keberanian sebagai lawan kata ketakutan, keberanian untuk menderita, keberanian untuk berkorban, keberanian untuk mencintai, perlu kita perjuangkan di dalam iman Kristen.
Ada seorang penulis klasik, Lawrence Kohlberg, bicara tentang tata moral. Dia membagi tahap-tahap kedewasaan moral sampai 6 tahap. Yang paling bawah adalah orang yang etika moralnya dikendalikan oleh ketakutan, khususnya terhadap hukuman; mengapa saya berbuat baik? karena kalau saya tidak berbuat baik nanti malapetakan menimpa saya. Lalu sedikit mirip adalah etika/ moral yang dikendalikan karena adanya reward/ karena diiming-imingi sesuatu; kamu belajar, nanti selesai belajar boleh nonton film, dikasih es krim, permen, dsb. Etikanya dikendalikan oleh hal itu; berbuat baik karena ada berkat, dan Kohlberg mengatakan itu one of the lowest stage. Ini memang bukan teori Kristen, hanya pengamatan dunia yang masih ada anugerah umum, tapi kalau kita orang Kristen sendiri tidak mengerti kritik dunia dan kita lebih rendah dari itu, alangkah hopeless-nya kekristenan. Ada orang-orang beragama datang kepada Tuhan juga sama seperti itu, bukan karena betul-betul mencintai tapi karena ketakutan. Ketakutan kalau nanti keluarga saya tidak diberkati Tuhan bagaimana, kalau anak saya sekolah tidak dipimpin Tuhan bagaimana, kalau pernikahan saya tidak bahagia bagaimana, dst. Jadi saya harus beribadah kepada Tuhan , percaya kepada Yesus Kristus, supaya hidup diberkati Tuhan, tidak kena kutukan, dst.; intinya supaya tidak dihukum. Kita tidak murni, tidak betul-betul cinta; dan jangankan Alkitab, menurut Kohlberg pun itu sudah tidak lulus. Bukan berarti kita sama sekali tidak pernah ada fase seperti itu, pasti ada. Kita semua ada saatnya dalam fase kanak-kanak, tapi kalau kita bertumbuh, kita dituntut untuk ke arah lebih dewasa meninggalkan cara pikir kanak-kanak. Apa itu yang kanak-kanak? Menurut Paulus yaitu kurang kasih (1 Kor 13); orang dewasa berpikir di dalam kasih, kanak-kanak berpikir tanpa kasih, pikirannya tentang diri sendiri, banyak ketakutan, very self-centered dan very self-concious, semuanya tentang dirinya. Itu adalah ketidak-mampuan untuk mengasihi.; dan Alkitab mengatakan itulah ketakutan (fear) yang sesungguhnya, lawan kata keberanian (courage). Memang kalau Saudara baca di bagian ini, juga ada kaitannya dengan penghukuman/penghakiman; dikatakan ‘keberanian percaya pada hari penghakiman’, dan yang ada pada hari penghakiman tentu penghukuman. Orang yang berada di dalam kasih mempunyai keberanian percaya pada hari penghakiman, artinya kehidupannya tidak dikontrol oleh ketakutan akan penghukuman, malapetaka, kesulitan.
This world is driven by fear, tapi kekristenan is driven by love. Saudara dan saya diundang untuk hidup yang hidup yang didorong oleh cinta kasih, bukan ketakutan. Kalau hidup kita –orang Kristen– driven by fear, ya sudah, tidak usah bingung kalau teroris di mana-mana karena siapa lagi yang boleh diharapkan kalau bukan orang Kristen yang menabur cinta? Kalau orang Kristen ikut-ikutan takut ini takut itu, ikut menaburkan ketakutan bukan cinta di sekelilingnya, maka kita ini teroris by definition, karena kerjanya teroris memang menabur ketakutan. Ini urusan serius, bukan cuma sekedar ‘ya, siapa sih di dunia yang ‘gak pernah takut’, apalagi filsafat eksistensialisme bahwa adanya fear, trembling, anxiety, dsb. seolah adalah awareness of one’s existence. Ini semua bentur dengan Alkitab. Alkitab justru mau merelativisasi itu dan memberikan kepada kita keberanian sejati yang tidak bisa dipisahkan dengan cinta/kasih. Oleh sebab itu waktu Alkitab mengatakan ‘keberanian’, yang dimaksud bukan nekad, tapi keberanian karena cinta.
Cinta itu sangat aware, bukan terhadap diri sendiri tapi terhadap kesulitan, penderitaan, resiko. Waktu Yesus naik ke atas kayu salib, Dia tahu akan keterpisahan-Nya dengan Bapa, Dia bergumul di Taman Getsemani, Dia bukan nekad. Yesus tidak pernah under estimate kekuatan musuh, Dia jelas apa yang menanti-Nya di sana, dan Dia berani menghadapi itu karena cinta. Di dalam cinta ada courage, ada prudence, ada wisdom/bijaksana, ada temperance, ada penguasaan diri/self-control, ada virtue-virtue yang lain. Agustinus menjelaskan the four cardinal virtues dari perspektif cinta, dan itu bagus sekali, amat sangat Kristen. Karena, four cardinal virtues baik itu courage, temperance, wisdom atau prudence, righteousness, justice, semuanya tidak ada artinya tanpa cinta, hanya menjadi structural virtues saja. Maka waktu kita bicara tentang keberanian, yang dimaksud adalah keberanian yang diwarnai oleh kasih. Keberanian yang tidak ada urusan dengan kasih, itu adalah keberanian yang sama sekali berbeda. Aristoteles bicara tentang keberanian soal orang maju perang, dsb. Thomas Aquinas sangat Aristotelian, tapi waktu dia bahas tentang keberanian, dia mengatakan bahwa keberanian itu terutama tentang patience endurance; bukan keberanian maju perang tapi passive endurance waktu menahan penderitaan karena kehendak Tuhan. Ada kaitan antara courage dan martyr; dan ini sangat Alkitabiah.
Yohanes mengatakan: “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih” (ayat 14). Teologi Injili, termasuk juga teologi Reformed, selalu menekankan “keselamatan yang hanya karena anugerah”, maksudnya mau memberitakan Injil yang membebaskan kita dari semua ketakutan. Kalau kita masih menggantungkan keselamatan kita pada perbuatan baik, pada ketaatan kita, dsb. maka mau tidak mau pasti ada campuran ketakutan. Ini sangat logis karena kita tahu kesalehan kita tidak sempurna, kecuali orang yang luar biasa sombong merasa diri sudah mampu sekali. Mungkin kita, orang-orang Injili sudah tidak takut lagi pada penghukuman, tapi kita takut hal-hal yang lain, takut kalau misalnya di Indonesia terjadi ini dan itu, tipikal persoalan orang minoritas. Alkitab mengatakan waktu kita mengasihi, kita dibebaskan dari ketakutan itu. Kita mengasihi/mencintai, dan di dalam cinta itu tidak ada ketakutan. Waktu kita mengasihi, kita tidak dikuasai oleh ketakutan, sebagaimana ketika orang berada di dalam terang kegelapan tidak mungkin bisa menguasai; karena ketakutan itu bukan sesuatu eksistansi,persis seperti kegelapan bukan suatu keberadaan melainkan ketidak-beradaan sesuatu yang lain. Ketakutan adalah ketidak-beradaan cinta. Oleh karena itu lebih baik kita memikirkan cinta daripada terus menerus menyuburkan ketakutan kita yang tidak membawa ke mana-mana. Ada orang yang pikirannya negatif terus, setiap pembicaraan dia selalu berhasil memberikan perspektif negatif yang bikin semua orang jadi kuatir, tidak punya pengharapan, dan tidak bisa mencintai. Salah satu musuh kekristenan yang sering kita tidak sadari adalah ketakutan. Kalau soal kebencian semua orang tahu kita jangan membenci, itu jahat. Tapi soal ‘jangan takut’ ini agak menakutkan karena jarang dibahas. Kita anggap ini seperti bukan vice (lawan kata virtue), tapi hanya sekedar manusiawi, to be human is to be afraid, to be human is to fear, dsb., akhirnya melumpuhkan kita dari menjalankan perintah mengasihi. Waktu kita dewasa, kita mustinya bertumbuh dalam cinta kasih, dan salah satunya adalah keluar dari ketakutan ini karena “barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih”.
Meskipun demikian, di ayat 19 Yohanes segera menyambung: “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Waktu kita mengasihi, jangan lupa Allah terlebih dahulu mengasihi kita. Teologi Reformed sangat jelas di bagian ini, kita tahu kita bisa mengasihi karena terlebih dahulu dikasihi, bukan kita yang lebih dahulu mengasihi Allah tapi Allah yang lebih dulu mengasihi kita. Tapi di sini saya justru mau menekankan bagian yang sebelahnya yang jarang dibahas di dalam gereja Reformed, yaitu bahwa betul juga arah sebaliknya: cuma orang yang mengasihi yang betul-betul mengerti cinta kasih Allah. Bukan cuma orang menerima cinta kasih Allah baru dia bisa mengasihi –ini sudah pasti betul– tapi yang sebaliknya juga betul, bahwa cuma orang yang mengasihi yang betul-betul bisa appreciate kasih Allah. Saya merujuk pada prinsip yang sama dalam Kotbah di Bukit dalam Matius: “berbahagialah mereka yang bermurah hati sebab mereka akan beroleh kemurahan”. Siapa yang murah hati? Kita; lalu kita mendapat kemurahan. Di sini kita tidak bisa mengatakan ‘kalau begini kemurahan yang saya terima ini tergantung kemurahan hati saya dulu, Tuhan jadi tergantung saya’; tentu bukan itu tafsirannya, tapi dalam pengertian keadilan Tuhan akan dijalankan. Orang yang murah hati, ketika Tuhan bermurah hati kepada dia, maka itu investasi yang tidak mungkin gagal. Orang yang memberkati orang lain, ketika Tuhan memberkati dia, berkat tersebut pasti tersalur keluar karena dia orang yang memberkati orang lain. Cuma orang yang memberkati orang lain yang betul-betul mengerti artinya berkat Allah, karena begitu berkat Allah ada pada dia, dia akan salurkan kepada orang lain. Waktu kita mengasihi, Allah lebih dahulu mengasihi kita. Tapi juga betul bahwa orang yang mengasihi, dia betul-betul mengerti cinta kasih Allah.
Contoh lain dalam Doa Bapa Kami, dikatakan “Ampunilah kesalahan kami sebab kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami” (versi lain menggunakan kata ‘seperti/ sebagaimana’, tapi bahasa aslinya juga pakai ‘sebab’). Mengapa Alkitab pakai kata ‘sebab’ di sini? Tentu salah kalau tafsirannya bahwa pengampunan yang kita terima dari Tuhan itu bergantung kondisi/prasyarat saya harus mengampuni terlebih dahulu, baru Tuhan mengampuni saya. Tapi mengapa tetap pakai kata sambung ‘sebab’? Penjelasannya sederhana: orang yang mengampuni, dia bisa mengampuni karena dia tahu dirinya berdosa; sebaliknya orang sulit mengampuni orang lain karena dia rasa orang lain tidak layak diampuni, dengan kata lain: ‘saya lebih baik daripada dia’, orang yang self-righteous bagaimana bisa berdoa “Tuhan tolong ampuni saya”? Itu sebabnya Alkitab mengatakan “ampunilah dosa kami sebab kami mengampuni yang bersalah”. Cuma orang yang mengampuni orang lain yang bisa minta ampun kepada Tuhan; sebaliknya juga cuma orang yang minta ampun dan menerima pengampunan Tuhan yang bisa mengampuni orang lain. Orang yang tidak bisa mengampuni orang lain, merasa dirinya selalu lebih baik, lebih righteous, lebih Reformed, lebih Kristen, dst. dst. daripada orang lain, mana bisa ada pengakuan dosa? Yesus mengatakan “Aku datang bukan untuk orang benar tapi orang berdosa”, maka orang ‘benar’ ini, yang merasa righteous ini tidak perlu Yesus, dia tidak mungkin minta pengampunan. Mungkin juga dia minta pengampunan, tapi secara ritual saja tidak betul-betul dari dalam hatinya. Orang gampang sekali mengucapkan pakai mulut “Tuhan ampunilah kami”, apalagi Doa Bapa Kami kita gampang sekali ucapkan secara otomatis, tapi apakah betul-betul keluar dari dalam hati yang dikuasai perasaan ketidak-layakan? Orang Farisi menghadap ke Bait Allah, dan si pemungut cukai juga. Yang satu self-righteous, dia tidak minta pengampunan hanya pamer merits dirinya ‘saya sudah melakukan ini, ini, ini’, tidak ada pengampunan. Yang satunya lagi datang minta pengampunan dosa.
Orang yang mengampuni, dia orang yang bisa minta ampun kepada Tuhan. Sama seperti itu, orang yang mengasihi, dia mengerti cinta kasih Tuhan. Waktu kita tidak mengasihi orang lain, kita menjadikan diri kita sendiri gang buntu sampai kita tidak bisa mengerti cinta kasih Allah. Mengapa? Karena by definition, kasih itu secara naturnya harus terus mengalir seperti sungai yang mengalir. Waktu kita dikasihi Tuhan lalu mandek di dalam diri, itu akhirnya bukan jadi kasih tapi jadi kutukan karena suatu saat kita akan dihakimi oleh Tuhan, “Yang Saya kasih ke tangan kamu itu ke mana?” “Ini Tuhan, ada di dalam tangan saya, utuh”, itulah hamba ketiga yang masuk neraka, yang diberi satu talenta tidak ada perkembangan, tidak ada penyaluran, tetap mandek di dalam dirinya. Orang yang diberkati Tuhan secara finansial lalu tetap mandek di dalam dirinya, itu jadi kutkan tidak jadi berkat. Kalau jadi cinta kasih, itu akan mengalir terus, dan mengalirnya dinamis. Kasih membuat kehidupan jadi dinamis. Waktu saya terima dari orang lain, saya tidak perlu kembalikan kepada dia, saya bisa salurkan kepada orang lain, itu artinya dinamis. Tapi kalau saya terima dari orang lalu saya balik kasih ke dia lagi, dan dia balikkan lagi ke saya, saya balikkan lagi ke dia, dst. itu main ping-pong bukan kasih. Kasih itu kompleks dalam arti yang baik, membuat dunia ini mengalir, ada perputaran. Tapi waktu kasih tidak ada, dipenuhi ketakutan, akhirnya semua aliran jadi mandek. Pernah suatu ketika, kalau tidak salah di Jepang, ada krisis ekonomi lalu pemerintahnya memberi uang kepada semua warga negara, disuruh belanja supaya terjadi perputaran dan roda ekonomi sedikit mulai berjalan. Coba bayangkan kalau waktu diberi lalu tiap orang taruh uang itu di bank, akan tetap macet, rodanya tetap diam, berapa banyak pun uang yang dikasih. Sama seperti itu waktu kita membicarakan natur kasih seperti yang dimengerti Alkitab. Memang pertama-tama ketakutan kita hilang karena kita ada pengertian bahwa kita dicintai oleh Tuhan, Tuhan memelihara kehidupan kita. Tapi bukan cuma cinta yang kita terima dari Tuhan (passive love) yang menghilangkan ketakutan, tapi juga waktu kita mengasihi (active love) itu menghilangkan ketakutan.
Ayat 20: Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah, … " Poin terakhir, ayat 19 Yohanes baru saja menekankan bahwa bukan kita yang terlebih dahulu mengasihi Allah tapi Allah yang lebih dahulu mengasihi kita, namun ini dikemas jadi satu paket dengan bahwa pada saat yang sama kita juga mengasihi Allah. Kalau kita kembali kepada Yohanes, waktu kita mengatakan “Allah terlebih dahulu mengasihi kita” maksudnya adalah karena kita mengakui Allah lebih dahulu mengasihi kita maka kita juga seharusnya mengasihi Allah. Ini dua hal yang tidak bisa dipisahkan, Allah mengasihi kita, kita mengasihi Allah. ‘Allah lebih dahulu mengasihi kita’, secara inisiatif betul, tapi kita tidak bisa memahami kasih Allah tanpa kita mengasihi Allah. Dan apa itu mengasihi Allah? Yohanes mengatakan yaitu mengasihi saudara. Kita tidak bisa bicara tentang God’s initiative love tanpa kita mencintai sesama. Kalau kita tidak mencintai sesama kita, maka pembicaraan itu pembicaraan teologi yang teosentris itu jadi useless talk, seperti bicara ‘sybolet-sybolet’ yang tidak ada gunanya hanya untuk mengetes teologi orang tapi sendirinya tidak tertarik.
Kasih itu by definition tidak pernah satu arah, selalu berbagai arah. Bukan cuma Bapa mengasihi Anak, Anak pun mengasihi Bapa, dan juga Roh Kudus. Saling mengasihi satu dengan yang lain, inilah kasih. Kalau cuma satu arah, itu bukan kasih. Kalau kita terus menekankan “Allah mengasihi kita” atau “Allah terlebih dahulu mengasihi kita”, jangan-jangan ini adalah kalimat dalih supaya saya tidak terlalu ada tanggung jawab untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Alkitab pastinya tidak pernah membicarakan seperti itu; itu distorted Reformed theology. Penekanan kedaulatan Allah at the expense of tanggung jawab manusia, penekanan predestinasi at the expense of pemberitaan Injil, itu bukan teologi Reformed. Demikian juga waktu kita menekankan God’s initiative love, kita harus mengerti bahwa ada kaitan mengasihi Allah dengan mengasihi sesama. Argumentasi Yohanes di sini cukup jelas, kita tidak mungkin mengasihi yang tidak kelihatan kalau kita tidak mengasihi yang kelihatan.
Yesus itu inkarnasi, Firman yang menjadi daging. Kasih memang bukan Allah, tapi the idea of love itu bukannya tinggal tetap di dalam dunia ide seperti Plato dkk. melainkan Logos menjadi daging, yang tidak kelihatan menjadi kelihatan. Maka sekarang kalau kita mengatakan “saya mengasihi Allah’ –tidak kelihatan– kemudian tidak ada konkretisasi dalam mengasihi manusia yang kelihatan, itu heretic, penolakan terhadap inkarnasi. Yesus adalah The Love in person, yang tidak tinggal di dalam dunia ide logos tapi Dia menjadi daging. Lalu kalau orang mengatakan ‘saya mengasihi Allah’ tapi tidak mengasihi saudaranya, maka sebenarnya orang itu tidak percaya inkarnasi, karena inkarnasi bukan di dalam dunia ide melainkan masuk ke dalam dunia yang kelihatan. Saudara jangan bicara tentang kasih Allah di dalam hati, di dalam pikiran, dsb. tanpa ada satu perbuatan yang nyata; konsep seperti itu tidak ada tempatnya dalam Alkitab. Kita mengasihi Allah, itu termasuk mengasihi Allah dengan semua yang ada pada kita; keterlibatan material yang ada pada kita –bukan cuma soal uang– keterlibatan fisik, kehadiran secara fisik, dan semuanya. Kita tidak bisa cuma bicara aspek spiritual, itu heretic. Oleh karena Yesus turun ke dalam dunia, menjadi daging, menjadi kelihatan, maka kasih Allah waktu kita kaitkan dengan teologi inkarnasi juga seharusnya kelihatan. Saudara dibaptis dalam tubuh Kristus yang tidak kelihatan, tapi Saudara terlibat dalam Gereja yang kelihatan, dan jangan tidak kelihatan. Orang yang tidak kelihatan di dalam Gereja, ya, berarti tidak kelihatan, fragmented, di satu sisi percaya inkarnasi di sisi lain tidak kelihatan; ini penyangkalan teologi inkarnasi. Waktu Saudara belajar teologi, semuanya harus menyambung, integrated life dan bukan fragmented. Kalau kita di satu sisi percaya inkarnasi –Yesus dari tidak kelihatan, menjadi kelihatan– lalu waktu bicara mengasihi cuma bilang ”saya mengasihi Allah”, itu artinya kita merayakan dunia yang tidak kelihatan tanpa yang kelihatan; dan menurut Yohanes it’s not possible. Oleh karena itu keterlibatan kita adalah keterlibatan yang kelihatan. Yohanes mengatakan perintah ini yang kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya. Sama seperti Yesus yang turun ke dalam dunia menjadi daging –kelihatan– kita bilang kita mengasihi Allah, itu baik, tapi Tuhan juga mau yang terlihat. Terlihat ekspresi kasih bukan ekspresi takut, karena ekspresi takut itu pun terlihat keluar.
Apa yang terlihat keluar dari kita, ketakutan atau kasih?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading