Kitab Ester ini salah satu kitab yang diberi judul sesuai tokoh utamanya, seperti juga kitab Ayub dan Rut. Ester juga merupakan satu kitab yang penting, selain Rut, yang membicarakan tokoh wanita. Di dalam kultur kita –termasuk juga kepercayaan Kristen– jika tidak berhati-hati jadi kurang ada tempat untuk aspek feminitas dalam iman Kristen, padahal justru di Kitab Suci, yang kita tahu Israel sangat kental budaya patriakhal, bisa ada kitab Ester maupun kitab Rut ini. Saya percaya Tuhan mau mengajarkan sesuatu yang penting di dalamnya.
Kitab Ester berada dalam setting pergumulan orang-orang Yahudi di pembuangan dan bagaimana mereka merenungkan/merefleksikan keadaannya itu di hadapan Tuhan. Di pasal 4 ini ada kalimat penting yang keluar dari mulut Ester, yaitu janji bahwa dia akan terlibat dalam pergumulan orang-orang Yahudi. Cerita secara singkat dari pasal 1, Ratu Wasti dibuang oleh Raja Ahasyweros lalu Ester menggantikannya. Ester punya paman, Mordekhai. Suatu hari waktu ada semacam prosesi untuk menghormati Haman, Mordekhai ini tidak mau tunduk. Alasannya kita tidak tahu, mungkin karena pride. Dan kita tidak bisa secara gampang mengasumsikan dia tidak mau tunduk sebab itu artinya menyembah, karena tunduk tidak harus berarti menyembah seperti juga kita hormat bendera bukan berarti menyembah bendera. Akhirnya gara-gara persoalan Mordekhai ini seluruh orang Yahudi musti menderita, termasuk juga Ester jadi mempunyai resiko, karena Haman panas sekali dan sejak itu berusaha memunahkan orang-orang Yahudi. Mordekhai sadar orang Yahudi terancam punah, karena itu dia mendatangi Ester minta supaya Ester berperan dalam hal ini. Begitulah cerita singkatnya. Selanjutnya dari pasal 4 ayat 10 setelah Mordekhai mengatakan kepada Ester yang bisa dilakukan dalam posisinya sebagai ratu, di sini Ester menyampaikan kepada Mordekhai kesulitannya.
Memang betul Ester tahu dirinya orang Yahudi, bagian dari kaum Yahudi, tapi ada resiko kalau dia menghadap Raja Ahasyweros karena undang-undang menyatakan barangsiapa tidak dipanggil Raja lalu menghadap, dia terancam hukuman mati. Ada komentator mengatakan seperti ini: kita sebagai orang Kristen, tahu ada identitas tertentu; waktu kita tinggal di dalam dunia ini, bisa ada tension –ada resikonya– ketika kita mau menyatakan identitas kita. Memang tidak setiap detik beresiko, tapi ada momen-momen ketika kita mau menyatakan dengan jelas identitas kita sebagai orang percaya, dan di situ ada tension antara identitas yang mau kita nyatakan dengan kultur yang ada di dalam dunia ini. Lalu bagaimana, kita tetap memilih menyatakan identitas kita (kita setia kepada Tuhan) atau ya sudahlah, saya tutup saja identitas saya, kayaknya itu lebih aman, saya bisa lebih gampang melebur dalam masyarakat, tidak terlalu menyolok, dsb. Memang betul kita jangan tampil terlalu mencolok dalam pengertian show off pakaian kita yang mahal-mahal, dsb., –itu sangat tidak bijaksana– tapi ceritanya tidak berhenti sampai di sana karena orang lalu juga berpikir kalau bisa jangan sampai diketahui sama sekali identitas agama kita, supaya kita lebih diterima,dsb. Ini jugalah pergumulan Ester; antara menyatakan identitasnya dan meresikokan diri dengan hukuman mati, atau ‘Ya, sudahlah, ini ‘kan persoalannya orang Yahudi, saya sekarang sudah jadi ratu, sudah selamat dong dari persoalan mereka itu’, lagipula Ahasyweros dan orang-orang kerajaan tidak tahu kalau Ester orang Yahudi.
Ayat 11 "Semua pegawai raja serta penduduk daerah-daerah kerajaan mengetahui bahwa bagi setiap laki-laki atau perempuan, yang menghadap raja di pelataran dalam dengan tiada dipanggil, hanya berlaku satu undang-undang, yakni hukuman mati. Hanya orang yang kepadanya raja mengulurkan tongkat emas, yang akan tetap hidup. Dan aku selama tiga puluh hari ini tidak dipanggil menghadap raja." Perhatikan kalimat ini: ‘Hanya orang yang kepadanya raja mengulurkan tongkat emas, yang akan tetap hidup’, berarti tidak pasti mati juga. Menghadap raja tanpa dipanggil, hukumannya adalah hukuman mati, kecuali raja mengulurkan tongkat emasnya; berarti masih ada kemungkinan raja mengulurkan tongkat emasnya. Resiko yang kita pikirkan kadang-kadang terlalu buruk daripada kenyataannya. Kita terlalu takut dengan ini, dengan itu, dsb. Kita pikir resikonya besar sekali, padahal masih ada kemungkinan adanya belas kasihan, termasuk juga zaman kita ini mungkin tidak seburuk yang kita imajinasikan. Ada orang hidupnya penuh kekuatiran, akhirnya dikuasai pikiran-pikiran yang mungkin bahkan tidak pernah terjadi di dalam kehidupannya. Ester sendiri mengatakan bahwa memang resikonya besar, bisa mati, tapi bisa juga raja mengulurkan tongkat emas itu sehingga tidak dihukum mati melainkan dibiarkan hidup. Namun secara realistik dia juga mengatakan, ‘kalau melihat track record, saya sudah 30 hari lho tidak dipanggil menghadap raja’. Keadaannya bukan seperti misalnya 2 hari sekali Ester dipanggil sehingga bisa ditebak kapan dia datang kepada raja, oleh karena itu memang resikonya tinggi. Jadi Ester mengatakan ‘ada resiko, hukuman mati’ tapi ‘bisa juga tongkat emas diulurkan’, tetapi lagi ‘sudah 30 hari tidak dipanggil’. Maka jika dihitung secara statistik, secara probabilitas, sepertinya bakal tidak ada tongkat yang diulurkan tersebut karena sudah 30 hari tidak dipanggil menghadap raja. Ester orang yang sangat rasional, dia juga mengenal undang-undang, dia tahu undang-undang tentang hal ini dan juga soal perkecualian tongkat emas. Dia tahu statistik juga, ‘sudah 30 hari tidak dipanggil’. Ester sangat punya dasar untuk enggan menghadap raja. Dalam kehidupan, mungkin kita juga punya perhitungan alasan-alasan kita kuatir, seperti Ester ini.
Ayat 12-13 Ketika disampaikan orang perkataan Ester itu kepada Mordekhai, maka Mordekhai menyuruh menyampaikan jawab ini kepada Ester: "Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi.” Jawaban yang agak panjang tapi padat sekali isinya. Pertama, Mordekhai mengingatkan kepada Ester tentang posisinya, yang bukan kebetulan itu, tapi juga posisi yang sekaligus memberikan potensi pencobaan bagi orang tersebut –khususnya di sini adalah posisi yang ‘di atas’, posisi yang kuat bukan lemah– yaitu ratu. Pencobaan apa? Yaitu pencobaan untuk berpikir ‘saya ‘kan dalam posisi atas, yang susah ‘kan orang yang dalam posisi bawah, jadi bersyukur saya punya fasilitas ini dan itu, tidak seperti orang-orang yang kurang beruntung itu; bersyukur lho saya ratu, untung saya ratu, itu persoalannya Mordekhai dan orang Yahudi, saya ‘kan sudah keluar dari keadaan terpuruk itu, saya sudah jadi ratu’. Tapi bersyukur model ini bukan bersyukurnya orang Kristen.
Maka di sini Mordekhai mengingatkan, "Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi”, suatu cara berpikir yang bukan Kristen. Kita tidak bisa mengatakan bahwa Ester sendiri memang berpikir seperti itu, mungkin saja tidak. Tapi yang pasti, Mordekhai mengingatkan Ester karena memang ada kemungkinan orang jadi berpikir seperti itu; menikmati fasilitas sendiri, menikmati resources yang ada padanya lalu bersyukur karena dia punya keadaan yang lebih baik daripada orang-orang yang kurang beruntung. Orang seringkali mengatakan: ‘Kamu jangan terus lihat ke atas, lihat ke atas jadi tidak bisa bersyukur, nanti iri, kesal, sedih, dsb. Kamu musti lihat ke bawah, banyak orang susah, jadi bisa bersyukur’. Saudara tentu pernah dengar ajakan yang tidak Kristen seperti ini; tapi kalau Saudara lihat ke bawah lalu bersyukur artinya Saudara bersyukur di atas penderitaan orang lain. Saya bersyukur saya sehat, coba lihat orang itu kena kanker; orang Kristen bersyukur seperti model begitu?? Puji Tuhan emas batangan saya banyak, dia satu pun tidak punya; itukah yang namanya orang Kristen bersyukur?? Sudah pasti bukan. Itu bersyukur yang tidak ada kaitannya dengan iman Kristen. Di dalam bijaksana dunia, Saudara diajarkan ‘lihatlah ke bawah supaya bisa bersyukur’, ajakan yang ngawur sakali. Bagaimana kalau suatu saat Saudara yang paling di bawah? Jadinya Saudara punya justification untuk tidak bersyukur pada saat seperti itu? Saya mau lihat ke bawah tapi ‘gak ada yang lebih bawah dari saya, saya yang paling susah sekarang! Kalau begitu ya, sudah, mengutuki saja ‘gak apa-apa karena memang ‘gak ada lagi yang lebih di bawah; begitu? Itu logika yang menyesatkan. Dan pencobaan ini riil ketika Mordekhai mengatakan kalimat tadi kepada Ester. Ada pencobaan untuk jadi sangat individual, anti komunal, tidak sadar bahwa identitas dirinya adalah bersama dengan kelompoknya. Dalam kasus Ester, dia termasuk komunitas Yahudi meskipun sudah menjadi ratu, orang Yahudi yang kemudian Tuhan angkat menjadi ratu. Di situ ada pencobaan untuk mengatakan : “Saya sudah bukan di sini lagi, sudah diangkat Tuhan menjadi ratu, saya bukan orang Yahudi lagi”. Seperti juga banyak orang waktu kehidupannya berhasil, dia kemudian lupa dari mana berasal.
Mordekhai mengingatkan Ester “jangan kira …”, maksudnya mengajak Ester berpikir sekali lagi bahwa dirinya orang Yahudi. Mordekhai tidak pernah kesal seperti ini: mengapa kamu mau jadi ratu, sih? harusnya ‘kan tetap tinggal bersama kita, menderita bareng dong. Tidak ada isu itu sama sekali. Mordekhai juga bersukacita waktu Ester menjadi ratu, bahkan dia turut berbagian dalam hal itu. Mordekhai tidak menyerang Ester di dalam poin itu. Orang yang diangkat Tuhan, ya, dia berada di tempat yang Tuhan angkat dirinya itu. Itu urusan dia, dan dia bergumul sendiri dengan Tuhan; dalam hal ini tidak harus jadi salah. Tetapi bisa salah waktu kemudian merasa dirinya bukan lagi jadi bagian orang-orang Yahudi itu; atau dalam kasus kita, kita lupa berpikir secara komunal lalu menikmati fasilitas yang dinikmati secara individual.
Ayat 14 “Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain, … .“ Ini menarik; kitab Ester seringkali dikatakan kontras denga kitab Keluaran. Dalam Keluaran kita membaca bahwa Tuhan bergerak demikian dahsyat, dan orang Israel diam saja. Misalnya ada ayat mengatakan: “Aku yang akan berperang, kamu diam saja”. Itu Tuhan yang digambarkan dalam Keluaran, so powerful, membelah Laut Merah, memimpin bangsa Israel berjalan melaluinya. Atau juga dalam kitab Yosua kisah tentang runtuhnya Yerikho; bangsa Israel putar-putar keliling tembok, lalu tembok itu ambruk. Mereka cuma putar-putar doang, Tuhan yang membuat ambruk. Tapi dalam kitab Ester sebaliknya, sepertinya Tuhan yang berdiam diri saja, kalau kamu tidak gerak, ya, sudah, tidak ada pertolongan.
Ada orang membandingkan kitab Rut dengan Ester. Kalau melihat dengan perspektif peran wanita di dalam kitab Rut, ada yang tidak biasa apalagi dalam dunia patriakhal yang sangat mementingkan laki-laki. Memang betul penebusnya adalah Boas, yang menebus Rut, tapi Rut dan Naomi –perempuan– yang berinisiatif sampai akhirnya Boas menebus. Ilustrasi sederhana: dalam kebudayaan Timur, kalau perempuan senang dengan laki-laki, lalu perempuan yang tanya ‘lu mau gak sama gua?’ sepertinya aneh sekali, tidak anggun perempuan ini, dan laki-lakinya juga mungkin takut punya istri perempuan seperti ini. Kita dalam kebudayaan Timur sulit menerima inisiatif perempuan, musti laki-laki yang berinisiatif baru kemudian perempuan yang responsif. Memang ada betulnya, Alkitab juga ada poin sperti itu. Tapi di kitab Rut kita melihat bagaimana Rut digerakkan Tuhan sehingga dia yang berinisiasi; dan kita tahu pastinya yang berinisiasi adalah Tuhan sendiri yang diam-diam merajut semuanya sehingga bukan kebetulan Rut bertemu Boas. Dalam ceritanya, Tuhan seperti tidak kelihatan, Rut yang berinisiatif, dan Boas menyambut. Ini melampaui cara pikir budaya patriakhal. Apa poinnya? Yaitu bahwa dalam saat-saat tertentu, Tuhan mau mendorong kita, kalau kita tidak gerak maka Tuhan tidak gerak karena ini sudah diserahkan ke dalam tangan kita. Bukan berarti Tuhan jadi tidak ada. Di dalam saat-saat tertentu mungkin kita terlalu aktif, kita mendahului Tuhan, lalu The God of Exodus mengatakan, “Kamu diam saja, Saya yang bekerja, jangan ikut campur”. Dan ada saatnya ketika Tuhan menyerahkan di dalam tangan kita, “Kamu maju, Saya sudah kasih kesempatan”, tapi kita diam saja malah mengatakan, “Ayo Tuhan maju dong”. Tuhan suruh kita maju koq malah kita suruh Tuhan maju? Jadi main ping-pong, lempar-lemparan. Ada orang bilang: “Saya serahkan keluarga saya di dalam tangan Tuhan”, Tuhan mungkin mengatakan: “Justru Saya serahkan di dalam tangan kamu”; dan begitu terus bolak-balik seperti main ping-pong.
Ada saat-saat dalam kehidupan kita yang Tuhan betul-betul serahkan di dalam tangan kita, maka kita jangan berdiam diri saja lalu bilang: “Tuhan dong yang kerja, saya berdiam diri saja”. Penghayatan menurut kitab Keluaran itu tidak tentu cocok untuk semua saat dalam kehidupan kita. Ada saatnya kalau kita tidak berperan maka tidak terjadi apa-apa karena Tuhan justru mempercayakan di dalam tangan kita. Kita hari ini kaget dengan maraknya gerakan radikalisme di Indonesia, dan mungkin kita bingung. Harusnya kita tidak perlu bingung juga, kita boleh bertanya kepada diri ‘orang Kristen di mana selama ini?’, tapi kita bertanya ‘Tuhan mengapa?’ Tuhanlah yang justru tanya kepada kita, ‘mengapa bisa seperti ini, kamu di mana, ‘kan Saya serahkan di dalam tangan kamu, apa peranmu di Indonesia selama ini?’ Saya bukan menyerang Saudara untuk menimbulkan guilty feeling dsb., kalau memang kita salah, ya, memang kita salah; kalau tidak salah, ya, tidak salah, setiap orang koreksi dari hati nuraninya saja.
Kembali ke bagian ini, kalau Ester tidak melakukan apa-apa, ya, sudah, tapi di sini Mordekhai tetap ada sedikit bayang-bayang kepercayaan God of Exodus, ia percaya dalam imannya yang sederhana, sekalipun Ester berdiam diri saja –yang tidak seharusnya berdiam diri karena sudah dipercayakan Tuhan ke dalam tangannya– bagi orang Yahudi akan ada kelepasan dari pihak lain. Seluruh kitab Ester –dalam hal ini lebih daripada kitab Rut– tidak ada sama sekali bicara satu kata pun tentang Allah atau Yahweh. Kitab Rut juga mirip, tapi kita masih membaca dan tahu dalam ceritanya bahwa yang merajut semuanya itu Tuhan. Di kitab Ester, ayat yang paling mendekati reference to God adalah kata “pihak lain”, yang kemungkinan besar menujuk kepada Yahweh; selain itu tidak ada. Ayat ini pun juga tidak bicara tentang Tuhan, hanya mengatakan: ‘Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain’ –atau dari tempat lain, maksudnya dari Tuhan tapi tidak disebutkan ‘Tuhan’ di sini– yaitu bahwa Tuhan akan bergerak juga menolong orang Yahudi. Tapi sebetulnya bukan itu yang dikehendaki, bukan Tuhan yang bergerak melainkan kamu yang bergerak karena Tuhan justru menanti kita bergerak.
Kita jangan jadi orang-orang Kristen yang berserah, berserah, kelihatan seperti rendah hati tidak melawan, tapi akhirnya Tuhan melihat kita sebagai orang yang tidak menjalankan peran kita. Memang betul kita musti rendah hati, berserah, jangan membalas; tapi jangan-jangan itu jadi alasan bahwa sebetulnya kita tidak menjalankan peran kita, tidak menggarami dunia, tidak menjadi terang sehingga oleh sebab itu kegelapan di mana-mana. Kalau kita tidak berperan sebagai terang, maka kegelapan ada di mana-mana. Kalau kita tidak menggarami, maka rasa hambar dan kebencian di mana-mana. Tidak perlu kaget. Di mana tidak ada kasih, di situ terjadi kebencian. Kita musti mengoreksi diri, apa yang jadi peran kita di dalam masyarakat menurut takaran kita (karena setiap orang takarannya berbeda). Kalau kita masih berpikir punya cukup resources lalu menikmati sendiri, apakah itu panggilan orang Kristen? Tuhan upgrade hidup kita, diangkat ke atas supaya kita bisa punya fasilitas yang lebih baik lalu kita nikmati sendiri bersama keluarga kita? Apakah itu tujuan orang Kristen? Kita tidak membaca seperti itu di dalam Alkitab, kita baca cerita yang lain. Di dalam bagian ini kita baca: kalau kamu enggan, kamu rasa resiko terlalu besar –dan resikomu itu memang masuk akal, ada data dan perhitungannya– lalu kamu berdiam diri saja, kamu jangan lupa bahwa untuk orang Yahudi akan tetap ada pertolongan dari pihak lain.
Bukan cuma itu, Mordekhai melanjutkan: “… dan engkau dengan kaum keluargamu akan binasa”. Ini ancaman atau apa? Ada tafsiran yang mengatakan bahwa sebetulnya kalau mau dipikir dengan kepala dingin, bagaimana mungkin Ester akan binasa, karena bukankah tidak ada yang tahu bahwa dia orang Yahudi, Haman pun tidak. Seandainya Haman tahu Ester –ratunya Ahasyweros itu– orang Yahudi, pasti dia tidak akan merencanakan untuk memunahkan orang-orang Yahudi karena itu berbahaya sekali bagi dirinya sendiri. Yang tahu Ester itu orang Yahudi hanya Mordekhai, pamannya itu. Maka tafsiran ini melanjutkan –sedikit berspekulasi namun ada dasarnya juga– mungkin kalimat Mordekhai ini semacam ancaman kepada Ester, ‘lu jangan pikir tidak ketahuan identitasmu, kalau lu ‘gak mau ngaku identitasmu, saya akan bongkar bahwa kamu orang Yahudi dan kamu akan binasa juga karena kenyataannya kamu memang orang Yahudi’, kira-kira begitu. Kita bisa berpikir ‘jahat sekali paman seperti ini’, tapi bukan begitu persoalannya; Saudara tidak boleh melihat dari perspektif ‘ini paman yang sirik, dia mau bawa Ester binasa sekalian’. Tidak seperti itu. Mordekhai cuma mau mengingatkan ‘kamu jangan lupa, bagaimanapun kamu orang Yahudi’; that’s your true identity, baik itu ketahuan atau tidak ketahuan, kenyataannya kamu itu orang Yahudi.
Kita ini orang Kristen, pengikut Kristus. Baik ketahuan atau tidak ketahuan, kita ini pengikut Kristus. Kristus mati di atas kayu salib, kita akan mengikuti jalan salib yang sama. Kita juga akan mati bersama dengan Kristus, entah itu mati martir atau bukan. Ini sudah identitas kita, Saudara tidak bisa tarik, kecuali Saudara murtad. Tidak ada poinnya menutup-nutupi kekristenan kita, memangnya kita mau ke mana? Petrus jatuh karena hal itu, menutup-nutupi identitasnya sebagai pengikut Kristus. Itu menyangkal Tuhan, untung masih ada kemungkinan pertobatan bagi Petrus. Kita mungkin tidak menyangkal secara lantang dan eksplisit, tapi dalam keseharian sebetulnya kita semacam ‘menyangkal’ waktu tidak mau terlalu diperhatikan sebagai orang Kristen. Kita takut identitas diri terungkap karena kita minoritas. Kita lebih suka ‘sudahlah, ‘kan kita mementingkan keaneka-ragaman’. Keaneka-ragaman itu perlu perbedaan lebih dahulu; kalau semua sama, tidak perlu keaneka-ragaman. Saudara dan orang lain musti berbeda dulu, baru bisa bicara tentang keaneka-ragaman. Kalau kita sendiri sudah menutupi identitas kita, buat apa lagi bicara keaneka-ragaman, toh sudah tidak ada bedanya. Kalau warnanya tidak berbeda-beda lalu kita mau bicara perbedaan, perbedaan apa? Kalau kita takut warna kita kelihatan, apakah itu panggilan kita sebagai orang Kristen? Ester mendapat peringatan itu.
Tapi kemudian kalimat yang paling indah di ayat 14 ini: “…Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini –saat kesulitan– engkau beroleh kedudukan sebagai ratu." Kalimat yang paling penting, klimaks dari perkataan Mordekhai. Dari perpektif Alkitab, Tuhan memberikan kepada kita posisi yang di atas, itu adalah karena Tuhan sudah antisipasi akan ada kesulitan datang. Saudara diberi kekayaan yang lebih daripada orang lain, karena Tuhan sudah antisipasi ada kesulitan yang perlu ditolong dengan resources yang ada pada kita, ada beban yang akan dipercayakan Tuhan. Tapi orang Kristen tidak selalu berpikir seperti ini; orang Kristen berpikir ‘waduh dulu saya miskin, susah, sekarang ratu lho; dulu bersama-sama orang Yahudi, sekarang lumayan kan, puji Tuhan’; menikmati posisi di atas demi posisi itu sendiri. Kalau menurut Mordekhai: siapa tahu justru kamu ditaruh di situ sebagai ratu –posisi di atas itu– tapi Tuhan sebetulnya mempersiapkan kamu karena Dia sudah melihat bakal ada krisis ini, dan Tuhan mengharapkan peran aktifmu. Jangan terus menyerah/berserah kepada Tuhan, ‘Tuhan, Kamu yang berdaulat’ padahal Tuhan serahkan kepada kita, kita ada resources, ada berkat, yang kita terima dari Tuhan, dan Tuhan akan menuntut itu dari kita. Untuk itulah berkat tersebut diberikan kepada kita, bukan untuk kita nikmati sendiri. Justru Ester dipersiapkan sebagai ratu untuk bisa memerankan peran ini, bukan untuk lepas dari kesulitan; itu bukan cara pikir Kristen. Alkitab mengajarkan “barangsiapa diberi banyak, dia akan dituntut banyak”. Saudara diberi, Saudara dituntut. Dan ini kebahagiaan. Ini undangan Tuhan untuk kehidupan yang boleh berbagian seperti kehidupan Kristus.
Kristus itu Tuhan, kemudian Dia menebus kita di atas kayu salib. Memang Kristus tidak harus menebus kita, tapi justru karena Dia Tuhan maka Dia bisa menebus kita. Tidak ada yang lain yang bisa menebus kita, kecuali Kristus. Kristus, Tuhan, dan Dia turun ke dalam dunia menebus kita. Sama juga, Ester ini ratu, maka dia –dan hanya dia– yang punya kemungkinan untuk menolong orang Yahudi yang mau dibinasakan, karena dia ada di posisi ratu itu. Mordekhai, betapapun dia punya bijaksana dan strategi, tetap tidak dalam posisi bisa menolong orang Yahudi. Kalau diterapkan dalam kehidupan keluarga, kadang-kadang ada keluarga yang katakanlah ayah/suami berperan kurang baik, ada saat-saat yang memang akhirnya itu diserahkan kepada wanita. Sepertinya terlalu berat; Ester bisa saja bilang kepada pamannya: ‘saya ini perempuan, lu yang laki; apa tidak malu suruh saya yang berkorban seperti ini; harusnya lu yang laki-laki yang berkorban, dan ini juga gara-gara lu yang ‘gak mau tunduk sampai akhirnya kita semua susah; persoalannya lu yang bikin, sekarang lu lempar dan gua musti selesaikan’. Kalau Ester mengatakan seperti ini pun, sangat bisa diterima. Tetapi, Mordekhai mau berkorban pun, dia tidak dalam posisi itu, dia tidak mungkin bisa menolong apa-apa. Posisinya tidak pas untuk melakukan itu; yang bisa mencegah pemusnahan orang Yahudi ini cuma satu: Ester. Ada saat-saatnya yang dipercayakan dalam kehidupan kita yang tidak ada seorangpun bisa mengerjakan kalau bukan kita yang mengerjakan.
Ayat 15-16 Maka Ester menyuruh menyampaikan jawab ini kepada Mordekhai: "Pergilah, kumpulkanlah semua orang Yahudi yang terdapat di Susan dan berpuasalah untuk aku; janganlah makan dan janganlah minum tiga hari lamanya, baik waktu malam, baik waktu siang. Aku serta dayang-dayangkupun akan berpuasa demikian, dan kemudian aku akan masuk menghadap raja, sungguhpun berlawanan dengan undang-undang; kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati." Bahasa Indonesia di bagian ini ‘kalau terpaksa aku mati’, kurang bagus terjemahannya, seolah sesuatu yang ‘terpaksa’. Bahasa Inggrisnya sederhana: “And if I perish, I perish”, kalau saya harus mati, biarlah aku mati. Ester tidak ‘terpaksa’ melakukan ini, ada kesediaan untuk berkorban. Ada karakteristik yang indah yang bisa kita pelajari dari jawaban Ester ini. Pertama, ada kerendahan hati. Memang benar dia diharapkan jadi ‘juruselamat’ karena Tuhan memang berdiam diri, tapi itu pun tidak membuat Ester jadi orang yang punya ‘sindrom juruselamat’, Ester berjuang bersama-sama. Ini persoalan komunal. “Betul saya yang akan maju, saya akan tanggung beban yang paling berat ini, tapi ayo kita doa sama-sama, saya perlu dukungan”. Ada orang yang dalam keadaan seperti itu malah mengambil keuntungan sendiri, kalau berhasil supaya nanti dirinya dikenang sebagai orang yang paling penting. Ester bukan orang yang mau mencuri kemuliaan Tuhan seperti itu, hanya saja kali ini tumpuannya ada pada dia. Dia share bukan karena dia tidak kuat, tapi kita boleh membacanya sebagai ekspresi kerendahan hati. Dia tahu dirinya bukan siapa-siapa, kalau bergumul sendiri tidak akan kuat, dia perlu dukungan komunal. Alangkah indahnya juga kalau kita bisa menjadi garam dan terang secara komunal, bukan cuma secara individu. Mungkin juga karena itu kita seringkali gagal; bukan karena kita tidak pernah melakukan untuk jadi garam dan terang, tapi kita menjadi garam dan terang cuma sebatas kekuatan individual, akhirnya tidak kuat juga. Orang sering mengatakan ‘api unggun waktu kayu-kayunya bersatu semuanya, tidak gampang dipadamkan dibandingkan yang cuma satu kayu, gampang sekali dipadamkan’. Alkitab mengingatkan: komunal, bersama-sama. Pikirkanlah program kita sebagai tubuh Kristus bersama-sama untuk menjadi garam dan terang secara komunal. Kesaksian pribadi memang ada tempatnya juga; tapi di dalam Gereja mula-mula, kesaksian yang powerful itu kesaksian komunal. Gereja itu berpengaruh karena ada kesaksian komunal, tubuh Kristus secara bersama-sama.
Selain itu kita juga mendapatkan ekspresi kesalehan pada diri Ester. Dia bukan lalu memeras otak berpikir strategi, tapi dia berpuasa. Dia bergantung kepada Tuhan, bukan bergerak dari kekuatannya sendiri. Memang paradoks. Di satu sisi kitab Ester bukan seperti kitab Keluaran, tidak ada gambaran Tuhan yang membelah Laut Merah seperti itu; gambarannya lebih ke Tuhan yang menunggu, Tuhan yang berdiam diri saja, dan Ester yang harus berperan. Lalu waktu Ester berperan, memang betul dia yang berperan tapi bukan dengan kekuatannya sendiri, tetap bergantung kepada Tuhan. Waktu berpuasa –meski tidak dikatakan– pastinya minta pertolongan kepada Tuhan, seolah Ester mengatakan: “Tuhan, jika bukan Kamu yang bergerak, saya tidak mungkin bisa maju.” Kalimat seperti ini tidak pernah muncul dalam kitab Ester, yang ada cuma Ester maju, namun dalam sikap hatinya Ester tahu bahwa bukan dirinya yang maju tapi Tuhan. Tuhan maju melalui Ester yang maju. Tuhan tidak kelihatan di sini; waktu Ester menghadap raja, sama sekali tidak ada catatan bahwa Tuhan yang menyertai Ester semacam itu. Tapi setidaknya, dari perspektif bawah/ perspektif manusia/ perspektif Ester, dia berpuasa. Ini orang yang bergantung kepada Tuhan, yang tidak mengandalkan kekuatannya sendiri, yang berserah, tapi juga melakukan perannya. Ester berperan sangat aktif, menjadi seperti juruselamat; tapi juga berserah, bukan dengan spirit untuk menjadi juruselamat.
Saudara membaca dalam kitab ini ada kerendahan hati, ada kesalehan, ada spiritualitas di tengah-tengah gambaran dunia yang seperti sudah sangat sekuler. Resepsi di dalam zaman pembuangan, Tuhan seperti tidak ada karena tidak ada Bait Suci di situ. Di dalam keadaan seperti ini masih ada kesalehan yang begitu dalam seperti pada diri Ester, masih ada puasa. Dia tidak jadi orang yang sinis, ‘ya sudahlah, Tuhan juga kayaknya diam saja; mengapa kita mengalami bertubi-tubi kejahatan yang sepertinya menang terus, kalau begini sepertinya Tuhan juga tidak terlalu relevan buat kehidupan’. Ester juga tidak give up kepercayaannya kepada Tuhan, meskipun kata “Tuhan” memang sengaja oleh penulis kitab ini tidak dimunculkan, menyatakan bahwa ini memang zaman yang sangat sekuler, masa pembuangan. Kita tidak bisa mengharapkan di sini The God of Exodus yang membelah Laut Merah lalu bangsa Israel diselamatkan dengan penuh kemenangan; yang kita baca ‘kejahatan terus menang, kebenaran terus dipinggirkan; Tuhan di mana?’, yang tidak cocok kalau diterapkan dalam pembacaan kitab Keluaran. Saya bukan mengatakan kitab Keluaran bukan Firman Tuhan, tapi ada saat-saat tertentu yang kitab Keluaran tidak bisa terlalu menolong kita. Yang bisa menolong kita pada saat seperti ini adalah kitab seperti Ester, yang Tuhan mengharapkan peran kita. Tuhan bukan tidak ada. Tuhan nyaris tidak ada di kitab ini, tapi Ester tetap berpuasa, pastinya kepada Tuhan. Ester tidak jadi orang yang discourage, kehilangan imannya karena orang benar nasibnya sama seperti orang jahat, malah lebih celaka lagi orang jahat yang lebih sukses dan orang benar menderita, lalu ‘kalau begini Tuhan tidak relevan’. Ester tidak begitu. Di tengah-tengah keadaan yang sulit ini, dia berpuasa, bergantung kepada Tuhan. Ada kesalehan yang dalam, tidak kehilangan spiritualitas.
Selanjutnya kalimat yang mengatakan bahwa dia akan bersama-sama orang Yahudi, sebetulnya berarti dia sedang mengafirmasi dirinya orang Yahudi. Dia memilih ‘oke, saya memang orang Yahudi, saya akan berperan seperti orang Yahudi’. Di awal tadi kita mengatakan adanya tension untuk mengungkapkan identitas dan berperan sesuai identitas kita sebagai orang percaya/pengikut Kristus itu, dengan dunia yang aturan mainnya lain. Kita ada pilihan: ikut saja dunia, tidak usah peduli identitasmu; atau tetap setia dengan identitas kita tapi ada resiko, persoalannya dengan undang-undang, urusannya dengan negara. Lalu bagaimana? Tetap musti memilih untuk menyatakan IDENTITAS panggilan kita, bukan menyembunyikannya. Dalam cerita berikutnya, kita baca bahwa waktu Ester menghadap raja, dia memang menyatakan dirinya orang Yahudi. Cerita ini menjadi satu pengajaran bagi kita. Waktu kita dalam dunia, ada tension seperti ini, tetap setia kepada identitas kita, bukan malah menutupi.
Selanjutnya kalimat yang paling klimaks dari Ester: ‘kalau aku harus mati, biarlah aku mati’. Di dalam kesetiaan kita menjalankan peran sesuai identitas kita, ada pengorbanan. Kalau memang akhirnya saya mati, ya sudah, biarlah saya mati, tapi toh saya tidak menyangkali identitas saya. Lebih baik mati tidak menyangkali identitas, daripada selamat tapi tidak setia, menyangkal Tuhan, menyangkali identitas, malu terhadap Tuhan, malu terhadap panggilan kita, malu terhadap keunikan kita, dst. dst. Kalimat Ester ini yang seharusnya ada juga dalam kehidupan kita. Bukan spirit untuk sengaja mati konyol; bukan spirit membuktikan diri bahwa ‘saya orang yang penuh pengorbanan’, itu dosa kesombongan. Ester berpuasa, itu adalah penyangkalan terhadap semua kemungkinan kehebatan diri, lalu bergantung kepada Tuhan. Kalimat yang dia katakan bukan keluar dari kesombongan atau spirit membuktikan diri sebagai orang yang paling cinta Tuhan, melainkan kerelaan untuk berkorban.
Dalam cerita Rut, tipologi Kristus ada pada Boas karena dialah yang menebus, tapi Rut yang berinisiatif. Hal ini kalau diterapkan pada orang-orang di pembuangan yang saat itu seperti tidak ada Tuhan, orang Israel diajak berpikir seperti Rut: bujuklah Tuhanmu untuk menebus engkau, menarik engkau keluar dari pembuangan; berinisiatiflah, Tuhan sedang menanti. Tapi dalam kitab Ester lebih radikal lagi; Ester yang harus jadi penebus di sini. Tuhan mau menebus Israel namun melalui “penebusannya Ester”. Tipologi Kristus di sini adalah Ester, bukan Mordekhai apalagi Ahasyweros. Jadi ada saat ketika dalam kehidupan kita Tuhan mengharapkan kita seperti Kristus, bersedia mati. Kita tahu pada akhirnya Ester tidak mati; Ahasyweros betul-betul mengulurkan tongkat emasnya. Tapi dalam cerita Kristus, Dia betul-betul mati di atas kayu salib bukan cuma ‘kalau aku harus mati, biarlah aku mati’. Yesus mati untuk menebus dosa Saudara dan saya. Dari apa? Menebus kita dari kehidupan yang tidak setia kepada identitas kita. Menebus kita dari kehidupan yang takut untuk menyatakan identitas sebagai orang percaya. Menebus kita dari kegagalan kita menjalankan peran sesuai dengan identitas yang kita terima dari Tuhan, yaitu “Inilah Anakku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan”, kalimat identitas itu, yang bukan cuma dikatakan kepada Kristus tapi juga kepada kita, karena kita di dalam Kristus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading