Ini satu bagian yang dalam LAI tidak ada ada paralelnya dengan Injil-injil sinoptik, cuma ada dalam Injil Yohanes, sehingga merupakan Johannine special material. Biasanya dalam pandangan para scholar liberal, mereka mencurigai bagian-bagian yang seperti ini sebagai tambahan belakangan, tidak historis, dst. Tapi dari perspketif Injili, kita tidak menerima pandangan seperti itu –dan juga didukung oleh pandangan para scholar yang justru lebih belakangan– karena kita membaca adanya kemungkinan bahwa bisa saja Yohanes mengetahui tradisi tertentu yang tidak diketahui penulis 3 Injil sinoptik lainnya, yaitu tentang Yesus yang membaptis. Semua Injil sinoptik mencatat Yohanes Pembaptis membaptis, tapi dalam Injil Yohanes ini kita membaca bahwa Yesus pun membaptis. Ini bukan hal yang mengada-ada seperti suatu gambaran persaingan antara Yohanes Pembaptis dan Yesus atau murid-murid Yohanes Pembaptis dan Yesus, meski mungkin saja ada certain tension di kemudian hari antara pengikut Yohanes Pembaptis dengan pengikut Yesus sehingga ada perlunya catatan tentang bagian ini. Tapi itu bukan berarti bagian ini adalah karangan Yohanes belaka. Lagipula, kita sudah membahas pentingnya ‘air’ dalam kaitan dengan purification yang berkaitan dengan Perjanjian Lama, dan sampai sekarang pun kita masih memakai air waktu melakukan Baptisan Kristen. Yohanes Pembaptis membaptis dengan air –menyatakan ritual pembasuhan/ pentahiran dengan air– lalu Yesus menggunakan hal yang sama, yaitu air, sebagai inisiasi Kerajaan Allah, maksudnya tidak menggeser tradisi Perjanjian Lama.
Kita sudah membahas tentang sakramen. Kita juga sudah membicarakan tentang tanda dan yang ditunjuk oleh tanda. Waktu itu kita membicarakan tentang roti dan anggur dalam konteks Perjamuan Kudus, dan di sini kita juga bisa membahasnya dalam konteks “Baptisan” –sakramen yang satu lagi– yaitu air sebagai tanda-nya, yang ditunjuk adalah Roh Kudus yang membasuh dan turun atas kita. Waktu Yesus melakukan baptisan, ini juga bisa dipahami dalam pengertian satu tanda yang menunjuk kepada pembasuhan rohani, bukan pembasuhan fisik oleh air. Dan kita juga boleh menekankan poin yang sama dengan penekanan dalam Perjamuan Kudus, bahwa ini bukan cuma sekedar tanda belaka, bukan cuma ritual simbolis belaka, tapi lebih menyatakan realita rohani yang terjadi pada orang percaya yang dibasuh oleh Tuhan sendiri.
Memang kita mengatakan bahwa Baptisan itu tidak menyelamatkan, terutama dari perspektif Protestan. Salah satu contoh dari Alkitab yang seringkali dikutip mengenai hal ini yaitu penjahat yang disalib di sebelah Yesus yang diselamatkan, dia tidak pernah dibaptis. Tapi ini bukan berarti “kalau begitu tidak perlu dibaptis”; itu low view of Baptism seperti juga low view of Lord Supper. Dalam perspektif Teologi Protestan, kita menekankan pentingnya Baptisan sebagaimana kita juga menekankan pentingnya Perjamuan Kudus. Gambaran sakramen dalam pengertian Reformed adalah verbum visibile / visible word / Firman yang kelihatan. Orang-orang yang sudah percaya ditantang untuk dibaptis supaya mereka boleh menyatakan imannya bukan hanya di hadapan Tuhan –di dalam hati– tapi juga di hadapan jemaat Tuhan / orang-orang percaya lainnya maupun orang-orang yang tidak percaya. Ini penting karena Kekristenan bukan cuma agama di dalam hati, yang cuma saya dan Tuhan yang tahu. Itu bukan Kekristenan yang kita tahu dari Alkitab. Memang keyakinan di dalam hati–kepercayaan pribadi– itu sangat penting, tapi bukan berarti hal itu tidak perlu dinyatakan dalam kesaksian yang bisa dilihat orang lain. Kalau kita sudah percaya, mengapa kita tidak mau dibaptis? Ini pertanyaan yang perlu kita jawab, khususnya bagi Saudara yang menggumulkan bagian ini. Atau jangan-jangan memang sebetulnya belum percaya? Kalau ditanya “sudah percaya?”, jawabnya “ya, sudah percaya”; tapi ditanya “mau dibaptis?”, jawabannya “tidak”. Itu jadi pertanyaan, mengapa tidak mau dibaptis. Memang bicara tentang hal ini bisa ada banyak sekali cerita.
Saya sendiri pernah counsel seorang pemuda yang bergumul karena orang tuanya belum setuju dia dibaptis. Dalam hal ini memang kita bisa mengatakan bahwa ada baiknya juga dia menunggu sampai orang tuanya setuju. Tapi kalau sampai waktu yang lama sekali persetujuan itu belum diberikan, kita musti clear bahwa “dibaptis” adalah hak yang diberikan oleh Tuhan bukan oleh orang tua. Namun ada juga kasus lain yang tidak ada urusan dengan persetujuan orang tua, hanya dia sendiri yang memang ragu-ragu dan tidak mau dibaptis. Dalam hal ini jadi ada pertanyaan tadi, “mengapa?” Mungkin karena malu? Alkitab mengatakan kalau kita malu mengakui Tuhan di hadapan manusia, Tuhan juga akan malu mengakui kita di hadapan Bapa-Nya. Orang yang malu mengakui Tuhan di hadapan banyak orang, sebenarnya tidak percaya kepada Tuhan; orang yang percaya, dia tidak malu.
Itu tadi kaitan dengan Sakramen Baptisan, tapi ada poin-poin lainnya yang bisa kita belajar dari bagian ini. Di sini ada kekuatiran dari murid-murid Yohanes Pembaptis akan suksesnya Yesus yang juga membaptis, lalu banyak orang datang kepada-Nya melebihi yang datang kepada Yohanes Pembaptis padahal dia terkenal sebagai pembaptis. “Kekuatiran” seperti ini sangat masuk akal karena Yohanes Pembaptis maupun Yesus adalah tokoh besar. Wajar saja jika murid-murid Yohanes Pembaptis berpikir, lho, pemimpin saya ini koq jadi kurang kharisma dibanding Dia, apa kita juga musti pindah ke sana atau bagaimana. Kita lihat kalimat yang ditunjukan kepada Yohanes Pembaptis di ayat 26: "Rabi, orang yang bersama dengan engkau di seberang sungai Yordan dan yang tentang Dia engkau telah memberi kesaksian, Dia membaptis juga dan semua orang pergi kepada-Nya"; maksudnya Yesus itu –yang bahkan mereka tidak sebut namanya– membaptis juga, tiru-tiru dan lebih sukses.
Apakah Yesus membaptis sekedar tiru-tiru Yohanes? Tidak. Karena dasar ritual pembasuhan dengan air itu sudah ada sejak Perjanjian Lama. Baptisan di dalam konteks Yohanes Pembaptis adalah baptisan pertobatan. Di dalam konteks Yesus ada sedikit penekanan yang berbeda, yaitu suatu tanda respon yang positif dari orang-orang yang mengikut Yesus, suatu kerendahan hati dan ketaatan mau dibaptis sebagai pengikut Yesus. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat juga mendengarkan kotbah Yesus, tapi mendengarkan kotbah Yesus saja tidak tentu menyatakan kerendahan hati yang sesungguhnya. Bersedia dibaptis itu lebih dari sekedar ritual, ada satu ekspresi dan komitmen dari kerendahan hati.
Yang menarik, setelah murid-murid Yohanes mengatakan kalimat tadi, jawaban Yohanes Pembaptis di ayat 27 adalah: "Tidak ada seorangpun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak dikaruniakan kepadanya dari surga”. Ini salah satu statement yang sangat penting melawan dosa kesempitan hati (sin of envy). Ini bukan sekedar statement yang dikeluarkan oleh Yohanes Pembaptis tapi juga prinsip Firman Tuhan, yaitu pengertian tentang “teologi anugerah”. Yohanes Pembaptis seorang yang punya hati begitu luas dan karena itu juga pelayanannya sangat diberkati, dan di sini kita melihat dasar teologi atau pengakuan yang menjadikan dia punya keluasan hati seperti itu, yaitu selalu melihat dari perspektif anugerah Tuhan bukan melihat dengan kacamata persaingan manusia. Kalau Yohanes Pembaptis membandingkan dirinya sendiri dengan Yesus, ya kacau. Kita suka membandingkan diri dengan orang lain, lalu kalau orang lain lebih sukses kita jadi insecure, gelisah. Sebaliknya kalau kita lihat orang lain sepertinya masih kalah, kita merasa terhibur, penghiburan yang palsu. Tapi dari jawaban Yohanes Pembaptis tadi, kita melihat dia tidak ada perasaan insecure sama sekali. Dia bahkan mendidik murid-muridnya dengan mengatakan bahwa kesuksesan Yesus –yaitu orang banyak datang kepada Dia– bukanlah sesuatu yang diambil dari diri sendiri tapi dikaruniakan kepada-Nya dari surga, artinya dari Bapa. Yohanes mengajak murid-muridnya untuk melihat dari perspektif atas, dari surga, bukan dari bawah. Perspektif yang dari bawah itu banyak konflik, banyak insecurity, iri hati, kesempitan hati, dst.
Dalam hal ini, salah satu ujian kedewasaan rohani kita adalah bisa bersukacita atas keberhasilan orang lain. Waktu kita tidak bisa berpartisipasi dalam bahagianya orang lain, mungkin hati kita sebetulnya tidak cukup luas. Alkitab mengatakan supaya kita berdukacita dengan yang berdukacita dan bersukacita dengan yang bersukacita. Yohanes Pembaptis di sini menjadi teladan untuk kita semua, yaitu waktu dia bersukacita bersama dengan Yesus yang juga bersukacita. Dia mengatakan sekali lagi yang pernah dikatakannya, yaitu bahwa dia bukan Mesias (ayat 28). Banyak orang siap untuk menghargai Yohanes Pembaptis seperti Mesias karena dia begitu berkharisma dan berkuasa dalam memberitakan Firman Tuhan, dalam hal ini dia bukannya tanpa temptation. Ini juga menjadi temptation untuk setiap Christian minister, termasuk Saudara dan saya. Salah satu temptation yang paling serius adalah menggantikan posisi Kristus dan kita tidak sadar bahwa kita bukan Kristus. Kita ini cuma pengikut-Nya dan yang bekerja adalah Kristus bukan kita, tapi ada pencobaan waktu kita diberkati Tuhan dalam pelayanan –seperti Yohanes Pembaptis sangat diberkati Tuhan– untuk kemudian mulai lupa bahwa panggilannya adalah membawa orang kepada Kristus bukan kepada dirinya sendiri. Bukan menjadikan orang-orang sebagai pengikut kita melainkan pengikut Kristus. Yohanes Pembaptis sangat beres di dalam hal ini. Dia punya banyak sekali pengikut tapi dia tidak pernah menganggap mereka adalah pengikutnya, dia membawa orang-orang itu kepada Kristus untuk menjadi pengikutnya Kristus.
Kalimat yang terkenal, ayat 30: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil”. Dalam lukisan yang sangat terkenal dari Grünewald, “Crucifixion” , di situ ada tangan Yohanes Pembaptis menunjuk kepada salib “Ia harus makin besar, aku harus makin kecil”. Kedengarannya seperti wow, so sentimental, dan kita bisa langsung tergerak mendengar kalimat ini, tapi tahukah Saudara, Yohanes mengatakan kalimat ini dan dia kemudian betul-betul makin lama makin kecil sampai berakhir di penjara. Ini bukan satu kalimat bulan madu. Ini bukan kalimat janji gombal yang asal ngomong lalu setelah itu tidak jelas bagaimana menaatinya dalam kehidupan. Yohanes betul-betul membayar harga dari kalimat yang diucapkannya. Yesus makin besar, makin besar, dan Yohanes makin kecil, makin kecil, sampai tidak ada lagi orang yang mengikut dia. Inilah kebahagiaan Yohanes Pembaptis, seperti dikatakan di sini.
Kembali ke ayat 29, dia pakai metafor tentang pernikahan. Tadi kita sudah mengatakan bahwa Yohanes tidak pernah melihat Yesus sebagai saingan, juga tidak pernah melihat dirinya sebagai saingan Yesus; dia menempatkan dirinya sebagai “sahabat”. Dunia ini jauh lebih damai kalau orang melihat orang lain sebagai sahabat bukan saingan. Kalau melihat sebagai saingan, setelahnya akan lihat sebagai musuh, lalu berkembang lagi jadi musuh bebuyutan, turun temurun dipelihara permusuhannya. Betapa rumit. Yohanes tidak melihat Yesus sebagai musuh melainkan sahabat; dia menempatkan dirinya sebagai sahabat Mempelai Laki-laki, yang adalah Yesus.
Saya membaca satu commentary menarik tentang tradisi pada zaman itu, yaitu tentang mempelai laki-laki yang punya sahabat-sahabat. Biasanya pada malam itu, ada dua orang sahabat mempelai laki-laki yang berjaga di luar waktu kedua mempelai melangsungkan malam pertamanya. Mungkin sekarang kita tidak bisa membayangkan gambaran seperti itu, kita perlu privasi. Kamar di zaman sekarang ini bisa dikunci, tapi zaman itu memang tidak ada kunci maka perlu dua orang berjaga di depan. Kalau Saudara nonton film silat, kadang masih ada model seperti ini; pintunya tidak bisa dikunci sehingga harus ada yang tunggu di luar ketika dua mempelai sedang melakukan intimacy. Selanjutnya, Yohanes Pembaptis di sini membicarakan tentang sukacitanya mendengar suara mempelai laki-laki. Apa maksudnya “suara mempelai laki-laki” di sini? Commentary tadi mengatakan, suara dari mempelai laki-laki itu adalah satu teriakan kemenangan yang sang mempelai laki-laki deklarasikan kepada teman-temannya di luar bahwa dia telah dipersatukan dengan mempelai wanita yang adalah seorang perawan. Itu memang tidak bisa dibayangkan untuk zaman kita sekarang. Tapi kalau kita mengerti konteks ini, yang diterapkan dalam hubungan Yesus dengan orang-orang yang datang kepada Dia, betapa indahnya gambaran sukacita dari Yohanes Pembaptis. Ini gambaran yang paling intim, tidak bisa lebih intim lagi. Sukacita Yohanes waktu melihat banyak orang datang kepada Yesus, itu seperti sukacita sahabat mempelai laki-laki yang mendengar pekik kemenangan dari sang mempelai laki-laki waktu berhubungan intim dengan mempelai wanita. Tidak ada sama sekali perasaan iri, yang ada adalah sukacita; tidak ada self-pity, yang ada adalah selfless joy. Mungkin Saudara yang pernah menjadi bridesmaid atau best man dalam pernikahan seorang teman bisa mengerti sedikit sukacitanya Yohanes Pembaptis.
Gambaran tentang pernikahan, pesta, perayaan, sukacita, itulah gambaran sukacitanya Yohanes, sukacita yang selfless, waktu dia mendapati banyak orang datang kepada Yesus Kristus. Memang yang dimaksudkan di sini adalah spiritual realm, bukan pernikahan itu sendiri tapi pernikahan Kristus dengan jemaat-Nya. Alkitab penuh dengan gambaran-gambaran ini. Di sini Yohanes Pembaptis sebagai gambaran Gereja yang menempatkan diri sebagai sahabat mempelai laki-laki. Dalam tulisan Paulus, Saudara akan mendapati gambaran yang lain lagi tentang orang yang memberitakan Injil, membawa orang datang kepada Kristus. Di situ Paulus menggambarkan dirinya seperti ibu yang sakit bersalin melahirkan dan tidak rela kalau anak-anaknya diambil orang lain. Alkitab banyak menggunakan gambaran-gambaran yang sangat intimate ini. Ketika gambaran-gambaran yang sangat intim ini dipakai dalam keterbatasan –kita tahu dunia ini banyak keterbatasan– maksudnya Alkitab mau mengajak kita masuk ke dalam pemahaman rohani. Kalau kita cuma mengerti physical intimacy saja, tidak mengerti spiritual intimacy, maka kita adalah orang yang kurang berbahagia. Kalau kita cuma mengerti pernikahan yang ada di dalam dunia dan segala kebahagiaannya, tapi tidak mengerti kebahagiaan pernikahan Kristus dengan jemaat-Nya, kita kurang bahagia. Kalau kita juga tidak mengerti artinya air hidup dan cuma tahu puas disegarkan oleh air dingin yang ada di dunia, kita adalah orang-orang yang kurang diberkati.
Yohanes penulis Injil, berkali-kali mau membawa kita dari physical realm masuk kepada spiritual realm, tanpa meniadakan physical realm itu, maka dia mengatakan di ayat 31: “Siapa yang datang dari atas adalah di atas semuanya –artinya perspektif dari atas, spiritual realm– siapa yang berasal dari bumi, termasuk pada bumi dan berkata-kata dalam bahasa bumi.” Ini bukan mau mengatakan bahwa Yesus berasal dari surga sementara Yohanes Pembaptis bicara pakai bahasa bumi, bukan mau mengontraskan antara Yesus dan Yohanes Pembaptis. Tafsiran yang seperti itu salah, karena kita tahu dalam pemberitaannyaYohanes Pembaptis juga memberitakan yang dari atas, bukan cuma physical realm tapi dia bicara pertobatan yang artinya berita dari atas. Yang mau dikatakan di sini adalah : jangan cuma melihat yang dari bumi –physical realm / visible realm / earthly realm– tapi lihat yang dari atas. Teologi “tanda” sangat akrab dalam Injil Yohanes; kita mendapati berkali-kali Yesus mengadakan mujizat –yaitu tanda– untuk membawa orang kepada spiritual realm. Misalnya, setelah 5000 orang kenyang waktu Dia memecah-mecahkan roti, Dia kemudian menunjuk “Akulah Roti Hidup”; setelah membangkitkan Lazarus, Dia mengumumkan “Akulah kebangkitan dan hidup”. Ada kaitan antara karya Kristus dengan Pribadi Kristus yang tidak bisa dipisahkan. Karya yang membawa kepada pengenalan akan Pribadi Kristus, itulah Kekeristenan. Bukan hanya terus mau menikmati karya Kristus saja tapi tidak mau menikmati Pribadi Kristus. Yohanes mengajak kita untuk melihat dari atas, karena “siapa yang datang dari atas, adalah di atas semuanya”. Tentu saja yang dimaksud di sini terutama adalah Yesus Kristus karena Dia datang dari surga dan Dia di atas semuanya, Dia bukan memberitakan dari diri-Nya sendiri melainkan Dia bersaksi.
Saudara perhatikan, Yesus sendiri bersaksi, maka apalagi Saudara dan saya, sudah pasti. Ayat 32: “Ia –Yesus– memberi kesaksian tentang apa yang dilihat-Nya dan yang didengar-Nya, tetapi tak seorangpun yang menerima kesaksian-Nya itu”. Sementara Yohanes Pembaptis bersaksi tentang Kristus, Kristus sendiri bersaksi tentang yang dilihat dan didengar-Nya dari Bapa-Nya. Dalam pembahasan Injil Yohanes, kita sudah membahas tentang motif “saksi” (setting in life) di ruang di pengadilan. Saksi itu terutama adanya di ruang pengadilan. Dan kita melihat, Yohanes sendiri adalah saksi, dia ada di ruang pengadilan, yang mengadili adalah orang-orang yang membenci Yesus, yang sedang diadili adalah Yesus. Lalu waktu kita mengatakan bahwa kita adalah saksi Kristus, kita harus tahu Yesus sedang diadili di dalam dunia ini. Tapi selain itu, kita juga melihat Yesus sendiri adalah saksi. Apa maksudnya? Yaitu bahwa Bapa sendiri juga ditarik ke ruang pengadilan, diadili oleh dunia. Bapa sendiri sedang diadili. Yesus sendiri, Sang Anak, juga diadili, maka kita sendiri yang mengikut Kristus, suatu saat kita bukan cuma di kursi saksi, suatu saat kita sendiri ada di posisi yang diadili. Ini discipleship, pemuridan. Bapa, lalu Kristus, lalu Yohanes; dan kita dalam posisi bersama dengan Yohanes. Yohanes Pembaptis betul-betul mengalami pengadilan itu, dia dipenjarakan akhirnya; dia bukan cuma berhenti dalam posisi ‘saksi’ terus dan yang terdakwa Yesus saja, kita tidak baca itu dalam Alkitab. Yohanes Pembaptis akhirnya dalam posisi yang diadili, maka kita sendiri mungkin juga akan masuk ke sana, seperti murid-murid dalam Kisah Para Rasul satu per satu masuk ke posisi itu. Ini another metaphor, gambaran yang juga luar biasa intim dalam pengertian yang berbeda, bukan tentang pernikahan tapi tentang mengalami yang Yesus alami, bahkan Bapa sendiri alami.
Kekristenan bukan cuma teori, itu sudah pasti. Waktu kita mengatakan “mengenal Yesus”, itu bukan cuma mengenal Dia dari pengetahuan kata orang atau yang kelas katekisasi ajarkan, karena itu bukan Kekeristenan. Itu cuma transfer informasi.Kekeristenan adalah mengalami/ mencicipi yang Yesus sendiri alami dalam kehidupan selama Dia berada di dunia. Itulah true Christianity. Saudara tidak bisa jadi orang Kristen dengan mentalitas ‘penonton’; itu bukan Kekristenan. Kekristenan mengundang kita untuk masuk ke dalam kehidupan Sang Anak. Sebagaimana hubungan Bapa dan Anak begitu intim, demikian juga hubungan itu akan di-share kepada jemaat-Nya. Sebagaimana Anak menjadi Saksi terhadap Bapa yang didakwa/ diadili, sekarang kita sendiri diundang untuk menjadi saksi terhadap Yesus yang sedang diadili. Apa yang ada dalam kehidupan Bapa dan Anak, itu di-share kepada Saudara dan saya. Tidak ada jalan yang lain selain jalan salib ini. Jalan yang menuju kepada keselamatan adalah cuma jalan salib ini. Yang disebut jalan salib adalah kita sendiri berjalan di dalam jalan salib, bukan di pinggiran jalan lalu nonton orang yang sedang disalib. Dalam Kisah Para Rasul, Saudara menyaksikan jemaat mula-mula adalah orang yang berjalan di dalam jalan salib, maka mereka sangat diberkati, Tuhan melipat-gandakan jumlah mereka. Ada kehadiran Tuhan di tengah-tengah jemaat. Ada mujizat –baik yang positif maupun negatif (penghukuman yang berakhir dengan kematian)– dan orang tahu bahwa Tuhan sungguh-sungguh hadir di antara mereka. Ini bukan orang-orang yang sedikit lebih beradab, hari Minggu daripada tidur-tiduran di rumah lebih baik datang ke gereja dengar certain insight atau informasi yang bisa memberi arahan hidup. Itu bukan Kekeristenan. Kekristenan adalah berjalan di dalam jalan salib seperti yang sudah dijalani Yesus Kristus.
Ayat 35: “Bapa mengasihi Anak dan telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya.” Sekarang kita boleh melanjutkan: Anak menyerahkan kepada kita, kita boleh berpartisipasi di dalamnya. Inilah yang dimaksud dengan “Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal” (ayat 36). Apa itu hidup yang kekal? Bukan cuma sekedar masuk surga; itu pandangan yang sangat-sangat reduktif. Hidup yang kekal adalah hidup seperti Kristus. Kita berpartisipasi di dalam kehidupan Kristus, itulah kehidupan yang kekal. Yohanes mengatakan “yaitu orang-orang yang mengenal Kristus”; bagaimana mengenal Kristus? yaitu dengan berbagian dalam kehidupan-Nya. Itulah orang-orang yang memperoleh hidup yang kekal.
Poin yang terakhir, kita tahu dalam Injil yang lain waktu membicarakan tentang eskatologi, di situ ada 2 aspek: present (yang di sini, yang sekarang, yang bisa kita cicipi / alami) dan future (yang kelak kepenuhannya akan kita tuai di surga nanti bersama dan di dalam Kristus). Sama dengan itu, waktu kita membicarakan ayat 36, memang ada aspek eskatologis –kebahagiaan yang penuh di surga– tapi hal ini sudah berlangsung di sini, bisa kita cicipi di sini dan sekarang. The full participation in Divine life itu memang kelak, tapi partisipasinya bisa dicicipi di sini dan sekarang. Sisi sebaliknya juga sama. Kita tadi bicarakan bahwa kepenuhan di surga bisa dicicipi di sini dan sekarang, ada kontinuitas; maka demikian juga murka Allah yang sepenuh-penuhnya –neraka– juga bisa dicicipi di sini dan sekarang, ada kontinuitas, yaitu orang-orang yang tidak taat kepada Anak. Orang yang percaya, yang taat, mengalami the fullness participation of Divine life kelak di surga. Orang yang tidak taat, kelak juga akan mengalami murka Allah selama-lamanya. Saudara perhatikan, di sini tidak ada ‘tidak taat, tapi ternyata masuk surga’. Jalan silang seperti ini tidak ada. Saudara jangan ditipu dengan pelintiran evangelical theology –bukan evangelical theology yang asli– yang mengatakan “gak apa hidup di sini berdosa, pokoknya percaya Yesus, nanti masuk surga”. Itu kalimat sangat menyesatkan.Sekali lagi, ada kontinuitas; orang yang percaya lalu the full participation in Divine life later in eschatological realm, dan yang tidak taat akan menuai murka Allah selama-lamanya. Tidak ada jalan silang. Yohanes tidak pernah memakai istilah ‘percaya’ dalam pengertian yang low (rendah); ini adalah konsep yang sangat tinggi.
Kita bersyukur bahwa partisipasi itu bisa kita alami di sini dan sekarang. Kiranya Tuhan memberkati kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading