Peristiwa dalam kitab ini diperkirakan tahun 485-464 SM , di dalam pemerintahan Ahasyweros. Tidak diketahui penulisnya, tapi kita dapat mempelajari hal yang begitu unik dari peristiwa dalam kitab Ester ini.
Dalam sejarah perjalanannya, bangsa Israel tadinya dipimpin raja besar, dari Daud lalu Salomo, kemudian terpecah jadi kerajaan Utara dan kerajaan Selatan. Tapi bangsa ini tetap bebal dan melupakan Tuhan, akhirnya Tuhan hukum, membiarkan Israel masuk pembuangan ke Babel. Singkat cerita, kemudian Babel kalah dari Persia, maka dalam kisah Ester ini yang berkuasa adalah Kerajaan Persia, dan rajanya Ahasyweros. Raja ini begitu kaya dan besar, berkuasa atas 127 daerah jajahan dari India sampai Etiopia (pasal 1:1). Setelah 3 tahun memerintah, dia mengundang semua pemimpin daerah jajahannya dalam pesta yang begitu besar selama setengah tahun. Dia memamerkan seluruh yang dimilikinya (1:3-7). Dan setelah semua raja-raja itu pulang, dia berpesta lagi dengan seluruh rakyatnya yang ada di dalam benteng Susan selama 7 hari.
Maka di sini kita melihat seorang raja yang begitu besar sedang show off semua kekayaannya selama ½ tahun + 7 hari. Dan di balik itu, ini adalah cerita tentang seorang raja kafir dengan seluruh daerah jajahannya, tapi di tengah-tengah 127 daerah jajahan itu ada satu bangsa yang notabene dipilih Tuhan sejak awal. Agendanya Tuhan adalah mengenai bangsa tersebut, yang sekarang ada dalam jajahannya Ahasyweros ini, yaitu bangsa Israel. Di balik cerita yang begitu agung, ada kisah tentang nasib umat Tuhan yang minoritas di tengah-tengah orang kafir yang hidup begitu sekuler. Suatu kehidupan yang kelihatannya enak, tapi dalam tawaran kenikmatan seperti ini ada urusan dengan sesembahan berhala, karena waktu raja Persia mengundang, bukanlah sekedar makan tapi juga harus menyembah dia dan menyembah dewa-dewanya juga. Tantangan yang tidak gampang karena harus hidup sama seperti mereka. Dilemanya, mau benar-benar hidup berbeda dengan mereka tapi tidak bisa karena ada hukum yang diikat di situ yang harus mereka ikuti; dan di pihak lain, kalau protes artinya mati. Ini kehidupan yang sangat sulit dijalani. Kalau kita lihat perbedaannya dengan ketika Babel yang menjajah, di situ Tuhan menunjukkan sebuah show case yang begitu indah dalam Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego yang memilih tidak menjadi sama seperti bangsa kafir itu, lebih baik mati daripada menyembah raja. Daniel memilih dilemparkan ke gua singa; Sadrakh, Mesakh dan Abednego memilih dilemparkan ke perapian yang menyala. Tapi dalam penjajahan Persia, Israel memilih kompromi. Ini yang menjadi problem dalam Kitab Ester.
Dalam sejarah, berkali-kali Gereja menolak Kitab Ester masuk dalam kanon Alkitab, bahkan orang Yahudi menolak kitab ini masuk dalam kanon Perjanjian Lama, bukan karena isinya melainkan karena ‘yang tidak ada’ di dalam isinya, yang selalu ada di kitab-kitab lain. Yaitu, pertama: kitab ini satu-satunya kitab yang tidak ada satu kali pun nama Tuhan dicatat. Kedua: tidak ada satu mujizat pun yang Allah menyatakan diri-Nya di situ sebagaimana biasa dalam Perjanjian Lama. Ketiga: tidak ada satu pun di dalamnya kutipan yang diambil dari kitab sebelumnya. Dalam hal ini, kita melihat ini seperti kisah sekuler dalam sebuah kerajaan kafir, Kerajaan Persia yang dipimpin Ahasyweros, tanpa ada intervensi Tuhan dalam setiap kejadiannya.
Ironis sekali, seringkali kita melihat hidup kita dengan cara yang sama seperti yang terjadi dalam kitab Ester. Bukankah kita seperti umat Israel di tengah-tengah bangsa kafir? Hidup yang kita jalani adalah hidup di tengah-tengah dunia sekuler, bukan? Kita tinggal di Jakarta, kota yang begitu sekuler, dan kita menjalani hari-hari kita sejak kecil, sekolah, kemudian bekerja, bisnis, dst. tanpa ada peristiwa-peristiwa supranatural yang kita alami; persis seperti dalam kitab Ester. Kedua, tidak ada intervensi Tuhan yang nyata di hadapan mata kita. Okelah saya percaya Tuhan, tapi intervensi-Nya yang benar-benar riil dalam hidup saya kayaknya ‘gak ada deh; Yusuf dalam penderitaannya Tuhan kasih mimpi, Musa dalam pergumulannya Tuhan kasih lihat api yang membakar tapi tidak menghanguskan, tapi ‘gak ada saya sedang bergumul lalu Tuhan menuliskan di kaca “Tuhan mengasihimu” kayak begitu. Hidup kita biasa, berjalan seperti biasa sebagaimana orang-orang di dunia ini. Oleh karena kita merasa hidup kita biasa sama seperti dunia hidup, dan hidup yang kita jalani adalah hidup di tengah-tengah dunia sekuler sehingga tidak bisa tidak harus kompromi seperti di Kitab Ester, dan juga tidak ada intervensi Tuhan yang sangat kuat menarik saya dari dosa, dst., maka kesimpulannya cuma satu: kita pilih hidup untuk sama seperti dunia hidup. Kalau kita memilih hidup berbeda dari dunia, maka kita tidak bisa hidup.
Percaya Tuhan itu satu hal, tapi menjalani hari-hari kita, kita hanya digerakkan oleh 2 hal. Pertama, oleh pilihan manusia semata. Waktu melakukan sesuatu, okelah saya berdoa, tapi keputusan tetap di tangan saya. Segala sesuatu saya jalani berdasarkan penentuan pilihan saya saja, dan ketika menjalaninya, itu hanya proses natural tidak ada spektakuler/ mujizat. Inilah dasar pertama ketika orang-orang akhirnya meninggalkan Tuhan dan mengatakan bahwa segala sesuatu ada dasarnya, ada logikanya, tidak ada yang namanya intervensi atau sesuatu yang tidak kelihatan seperti Tuhan, misteri, dsb.; degradasinya sampai ke situ. Mungkin kita tidak sampai begitu, kita masih ada kepercayaan kepada Tuhan, tapi tetap ketika menjalani hari-hari hanya natural saja. Makan, ya makan. Masak, ya masak. Bertemu keluarga, ya bertemu keluarga. Bisnis, ya bisnis. Tidak ada peristiwa yang berhubungan dengan Tuhan. Saya kerjakan, ya saya kerjakan, nanti setelah dapat hasilnya saya persembahkan ke gereja. Kesimpulannya, yang kita lakukan sama seperti orang-orang dalam Kitab Ester. Kita percaya ada Tuhan, tapi Tuhan yang di sana, jauh. Kita memang akan bersentuhan dengan Tuhan, yaitu hanya di tempat ini, datang, beribadah, selesai. Lalu hari-hari yang lain, Tuhan nonton saja di sana. Ini totally tidak Kristen. Ini sama sekali tidak sesuai dengan Firman Tuhan.
Maka kalau kita mau jujur, kitab ini benar-benar relevan dengan yang kita hidupi sekarang. Sebuah kehidupan yang ambigu. Di satu pihak sepertinya kita jalani hidup sehari-hari tanpa intervensi Tuhan, tanpa peduli Tuhan ada atau tidak ada. Saya putuskan yang saya suka berdasarkan yang saya mau, toh juga kalau saya doa Tuhan tidak langsung jawab koq, waktu saya bergumul itu tetap tergantung pada saya koq. Okelah, embel-embelnya saya tetap datang kepada Tuhan karena saya tahu ada Tuhan, tapi saya tetap menjalani segala sesuatu berdasarkan yang saya mau. Ini hidup yang tersiksa. Mengapa? Di satu pihak kita percaya ada Tuhan, tapi di pihak lain kecenderungan kita melangkah tanpa peduli Dia ada. Semua yang di ruang kebaktian ini pasti percaya Tuhan –kalau tidak percaya tidak mungkin ada di sini– tapi dalam setiap keputusan kita benarkah ada Tuhan di situ? Dalam setiap langkah kita, benarkah ada kesadaran akan Tuhan yang hadir dan menyertai kita? Tidak ada.
Akhirnya, sadar atau tidak sadar, terima atau tidak terima, mau jujur atau tidak mau jujur, kita sampai pada satu kesimpulan yang sama yang mau kita teriakkan dalam hati kita: “Allah terlalu tersembunyi. Allah terlalu jauh”. Dan impact-nya adalah saya yang cari Tuhan, bukan Tuhan yang cari saya. Itu bukan Kekristenan, karena semua agama membicarakan konsep yang sama, kita yang cari Tuhan, kita yang sok sibuk melakukan ini dan itu sehingga memperkenankan hati Tuhan. Dan excuse-nya adalah: ya wajar dong saya punya perasaan seperti itu, karena dunia terlalu sekuler, keputusan harus cepat, tidak mungkin saya berdiam dulu berdoa, berpuasa, keburu mati dan hancur bisnis saya. Oke-lah Tuhan ada di sana, saya kerjakan di sini, nanti saya yang datang ke gereja. Itu dasar pertamanya, lalu degradasi dan degradasi, sampai akhirnya tidak ada posisi Tuhan dalam kehidupan kita selain di hari Minggu yang beberapa jam saja. Ini problem pertamanya.
Ini bukan sekedar urusan perasaan semata kalau kita merasa Tuhan itu jauh, tapi di balik itu ada sebuah isu teologis yang besar yang harus kita pikirkan, yaitu: Bagaimana kita menjalani hari-hari kita? Dan pertanyaan yang paling dalam lagi: Di mana Allah di dalam kehidupan kita? Ini pertanyaan yang harus kita tanyakan untuk menyatakan apa artinya kalau kita mengatakan bahwa kita percaya kepada Kristus dan kepada Allah yang menyelamatkan kita. Jika kita memang percaya Allah yang demikian, di mana posisi Tuhan dalam hari-hari kita? Jika kita memikirkan hal ini, kita tidak bisa sembarangan hidup. Tapi seringkali pertanyaan ini hanya berhenti di sini lalu setelah itu take it for granted, kita tidak peduli di mana Tuhan, yang kita peduli adalah di mana kita dan apa posisi Tuhan untuk kehidupan dan eksistensi kita. Urusannya kita, kita, dan kita; saya, saya, dan saya.
Kita bersyukur dengan adanya Kitab Ester ini, karena melalui cara kitab ini dituliskan maka no excuse dengan sekularitas, no excuse dengan segala ragam tantangan hidup, sebab Alkitab sudah catat bahwa itu sudah pernah terjadi dalam sejarah. Melalui kitab ini masuk ke dalam kanon Kitab Suci, kita melihat Allah benar-benar bekerja dengan cara yang unik, Allah benar-benar menyatakan diri-Nya melalui cara yang seringkali kita tidak mengerti –the silent sovereignty of God– Tuhan yang berdaulat, Tuhan yang berkuasa, tapi sepertinya diam. Kalau kita mau beriman dan beranjak dari cara pikir seperti ini, kita akan melihat berapa penting dan berapa berharganya hidup kita sehingga kita tidak bisa hidup sembarangan. Di satu pihak dalam perjalanan sejarah Allah menyatakan diri-Nya melalui cara-cara spektakuler. Ada tempatnya untuk hal-hal seperti itu, boleh mengharapkan hal-hal seperti itu, tapi kita tidak berhenti dengan iman yang seperti karena hal-hal spektakuler adalah momentum yang seringkali Tuhan tidak pakai. Justru yang paling sering Tuhan pakai adalah hal-hal yang tidak spektakuler, yang ordinary. Kita seringkali tidak melihat dan tidak mengerti bahwa yang kita kerjakan atau sedang kita alami, di belakangnya Allah sedang bekerja.
Contoh waktu menonton film. Mengapa film itu begitu bagus? Mengapa kita jadi teriak terkejut dengan horornya, jadi ‘wow’ dengan action-nya, tertawa-tawa dengan banyolannya, dsb. ? Kuncinya cuma satu: orang di belakangnya, yaitu sutradara. Ada sequences yang diatur oleh sang sutradara. Kalau kita nonton cuma having fun, maka biasanya kita datang, duduk, nonton sampai selesai, setelah itu ketika ada tulisan-tulisan muncul di layar tentang sutradara-nya, dsb. kita tidak peduli, kita tidak merasa itu penting. Tapi orang yang mengagumi sebuah film, dia tidak berhenti pada kenikmatan itu, yang lebih dalam yang dinikmatinya adalah behind dari film itu, melihat siapa sutradaranya. Film itu begitu bagus; pengaturannya, cara pemotongan gambarnya, sudut pengambilan gambarnya, dsb. semua bagus sekali, dan itu diatur oleh sutradara. Tapi pertanyaanya, di mana sang sutradara dalam film itu? Tidak ada, karena dia di belakang. Coba bayangkan kalau sutradara sedikit-sedikit mengatakan “Cut!” karena ingin menampakkan diri muncul dalam filmnya, bakal tidak ada yang nonton film seperti itu, tidak ada kenikmatan. Dan yang menarik, setiap kali premiere film, artisnya ikut berlomba-lomba datang, mereka masih ingin menonton juga. Sekedar untuk mempromosikan filmnya? Tidak. Tapi karena dia juga punya kuriositas yang sama dengan kita, sebab waktu dia memerankan adegan itu, dia sendiri tidak melihat, yang melihat cuma sutradara. Artis itu cuma melakukan perannya, lalu “cut”, keluar, kemudian peran lain yang main. Bahkan waktu film-film action dibuat, itu cuma green screen. Artisnya tidak benar-benar memikirkan yang terjadi di belakang, lalu setelah proses editing dst. ternyata di belakangnya ada dinosaurus-lah, gunung meletus-lah, dsb. yang cuma green screen saja. Ketika si artis selesai memerankan film tersebut, tunggu tanggal mainnya baru akhirnya waktu premiere dia jadi penonton, menikmati dirinya yang sedang berlakon. Kalau ditanya, “Lu ‘kan sudah main, koq lu bisa menikmati?” dia jawab, “Gua juga ‘gak tahu hasilnya jadi begini, yang mana yang harus dipotong, dsb.” Mengapa begitu? Karena ada sutradara di belakangnya.
Dengan cara yang sama, hidup kita sebenarnya seperti itu. Alkitab mau memberitahu, Tuhan tidak pernah show off. Coba bayangkan kalau kita sedang kebaktian lalu Tuhan tiba-tiba muncul bilang, “Saya lho yang kasih Firman”, “Saya tahu lho siapa yang ngantuk”, dst., tidak bisa kita hidup yang seperti itu. Tapi Allah yang penuh kasih, dengan cara yang begitu indah, Dia sengaja sembunyi di balik layar untuk kehidupan kita menjadi hidup yang nikmat. Ini satu hal yang sulit kita mengerti. Kalau Allah yang penuh kasih itu selalu intervensi dan selalu menyatakan diri kepada kita, maka tidak ada kehidupan lagi, yang ada adalah ketakutan demi ketakutan dan hidup kita hancur.
Dalam hal ini, kita melihat Kitab Ester mengajarkan sebuah konsep, dan kita sedang dididik untuk percaya kepada Allah bukan berdasarkan tanda atau mujizat melainkan berdasarkan iman. Konsep ini yang disimpulkan dalam Perjanjian Baru “bukan berdasarkan tanda atau mujizat, bukan apa yang kau lihat, tapi imanmu yang memimpin untuk engkau bisa melihat”. Iman percaya tidak berdasarkan tanda, tapi berdasarkan kepercayaan itu maka saya melihat tanda. Jangan dibalik. Kesimpulan itu sudah ada ratusan tahun sebelumnya di dalam Kitab Ester, sebuah iman yang sejati yang sebenarnya kita sudah tahu, tapi ironisnya kita selalu take it for granted. Ya, saya tahu Tuhan menyertai, tapi kita tidak benar-benar menghidupi pengetahuan itu karena Tuhan ada atau tidak, peduli amat. Ada banyak peristiwa dalam hidup kita yang sulit kita mengerti atau terima, entah itu duka, penderitaan, sakit, ketidak-adilan, penghinaan, dan beragam lainnya. Tapi Firman Tuhan membuka mata kita untuk melihat, bahwa di balik semua peristiwa yang kita alami, ada tangan Tuhan yang tidak kelihatan, yang sedang bekerja menggenapi rencana-Nya. Inilah jaminan bagi kita.
Nama “Ester”, dalam bahasa Persia adalah simbol dewi cinta dan dewi perang. Nama itu diberikan kepada Ester, menjadi simbol yang dipakai Tuhan untuk fungsi Ester di situ, yang nantinya berperang untuk umat Tuhan melawan ide Haman, dan juga menjadi representatif cinta Tuhan atas umat Tuhan untuk menyelamatkan umat Tuhan. Bukan sekedar nama, tapi nama itu merepresentasikan yang Tuhan sedang nyatakan melalui kehidupan Ester. Dalam bahasa Ibrani, nama ini artinya “Aku bersembunyi”, simbol bahwa ketika Ester melakukan itu semua sebenarnya ada Sutradara yang bersembunyi di belakang untuk menyatakan maksud dan kehendak-Nya. Di balik nama itu tergantung seluruh peristiwa ini. Ester yang mewakili cinta dan perang yang akan menyatakan cintanya Allah dan perangnya Allah; dan juga menyatakan Allah yang bersembunyi di balik layar.
Mengapa dikatakan ini sebuah peristiwa perang? Ketika Tuhan janji kepada Abraham bahwa dari keturunannya akan lahir raja-raja dan akan datang Mesias, maka waktu Tuhan menjizinkan pembuangan terjadi, itu tidak ada masalah dengan janji Tuhan tadi karena Tuhan bisa kembalikan. Tapi peristiwa dalam Kitab Ester ini, umat pilihan Tuhan yang dipilih-Nya sendiri untuk menggenapkan janji-Nya, sekarang terancam dimusnahkan oleh karena Haman, orang Agag itu, yang dendam kepada orang Israel. Haman mereka-rekakan untuk membunuh bukan hanya Mordekhai tapi semua orang yang berdarah Yahudi –laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak– bukan hanya yang di Puri Susan tapi di seluruh jajahan Ahasyweros, 127 negara bagiannya. Ini bukan hanya urusan dendam seorang Haman terhadap orang Israel, tapi sebuah peristiwa yang begitu besar yaitu usaha untuk menggagalkan rencana Allah akan kedatangan Kristus dari keturunan Abraham. Maka ini bukan peperangan biasa tapi peperangannya Allah. Di dalam intervensi Tuhan yang tidak kelihatan, ada juga intervensi Iblis yang tidak kelihatan yang sedang berusaha menggagalkan rencana Allah.
Itu sama dengan kehidupan kita. Hari-hari ketika kita memilih kompromi dengan segala macam dosa dalam bisnis, keluarga, atau apapun, itu bukan sekedar sebuah pilihan yang netral, yang bebas, berdasarkan suatu natural event di belakangnya. Itu sebuah perkara besar, peperangan antara kemuliaan Allah yang sedang bekerja di dalam diri kita, atau kita memilih perkara yang dari setan untuk menghancurkan rencana Allah dalam hidup kita. Ini bukan sekedar menggagalkan rencana Allah dalam kehidupan seorang Mordekhai atau Ester, tapi ini rencana Iblis untuk menggagalkan rencana Allah yang begitu besar untuk mendatangkan Mesias, Kristus yang akan datang. Maka ini peristiwa besar yang harus diingat bangsa Israel, dan kita, karena janji tentang Kristus sangat genting di dalam kitab ini.
Meskipun Kitab Ester tidak ada nama Tuhan di dalamnya, tapi ini paralel dengan kejadian-kejadian sebelumnya, khususnya kehidupan Yusuf. Ada sebuah kejadian umat Tuhan di tengah-tengah bangsa kafir; Yusuf ada di Mesir, Ester di Persia. Kemudian dibangkitkan seorang pemimpin dengan cara yang unik; Tuhan bangkitkan Yusuf dari seorang budak, yang dilemparkan ke penjara, lalu harus mengartikan mimpi, kemudian tiba-tiba diangkat jadi Perdana Menteri seluruh Mesir. Ester, seorang yang tidak signifikan, anak yatim piatu yang diangkat Mordekhai, tiba-tiba melalui sebuah “kontes ratu sejagat” terpilih jadi ratu. Selanjutnya ada sebuah turning point kehidupan umat Tuhan melalui cara yang sama yang berurusan dengan ‘tidur’; Raja Firaun diberi mimpi sehingga gelisah setengah mati, Raja Ahasyweros yang tidak bisa tidur lalu digerakkan untuk membaca kitab sejarah. Bukan hanya itu, Yusuf mengalami godaan ketika setiap hari istri Potifar menggodanya, Mordekhai setiap hari memilih untuk tidak sujud menyembah kepada Haman. Apa yang mau dinyatakan dalam paralel ini? Tuhan tidak pernah bisa dan tidak pernah mau meninggalkan kita. Dia selalu memimpin kita. Kisah keselamatan umat Tuhan dahulu dalam kisah Yusuf seperti terulang kembali, seperti sebuah déjà vu, dengan pola yang sama Tuhan menyatakan kembali dalam Kitab Ester, dan ini menjadi jaminan buat kita. Tuhan juga pakai cara-cara yang sama dalam memimpin kita, bahkan jauh melampaui itu, karena bukan cuma tangan Tuhan yang tidak kelihatan tapi Tuhan yang tak kelihatan itu nyata intervensi melalui Kristus yang datang bagi kita. Dan kita melihat, kesimpulan dalam kisah Yusuf juga menjadi kesimpulan yang sama dalam Kitab Ester, hanya saja hidden. Kej 50:20 Yusuf mengatakan: “Semua orang boleh mereka-rekakan yang jahat, tapi Allah mendatangkan kebaikan melalui semua kejadian itu”. Dalam kisah Ester, Haman mereka-rekakan yang jahat bagi kebinasaan umat Tuhan, tapi justru itu jadi momen yang Tuhan pakai untuk mendatangkan kebaikan bagi umat Tuhan, menggenapi janji Tuhan. Ada banyak peristiwa yang kita tidak mengerti, hal-hal jahat yang dunia lakukan kepada kita, tapi kalau kita bersandar pada kesadaran the hidden sovereignty of God, maka kita akan melihat rencana Tuhan yang begitu besar.
Jadi tiga hal yang menjadi poin penting yang Tuhan ajarkan melalui Kitab Ester. PERTAMA, bahwa Allah selalu bekerja meskipun tidak kelihatan. Ini sebuah jaminan kepastian bagi kita, bahwa kedaulatan Tuhan dan tangan Tuhan yang tidak kelihatan tidak pernah meninggalkan kita. Kita tidak melihat Tuhan intervensi dengan peristiwa-peristiwa mujizat, tapi kita melihat Tuhan menyatakan diri melalui jaminan yang tidak kelihatan. Ini sukacita bagi kita.
Seorang raja, Ahasyweros, pesta dan menginginkan ratunya datang, tapi Ratu Wasti menolak. Mengapa tiba-tiba seorang ratu berani menolak undangan raja untuk datang? Para penasehat mengusulkan untuk membuang sang ratu dan menggantinya; raja setuju. Lalu dicarilah wanita-wanita cantik dari 127 negara bagian untuk dikhususkan, dibentuk jadi orang-orang yang akan diseleksi menjadi pengganti Ratu Wasti. Yang dicari pastinya gadis-gadis masih perawan berusia 15-19 tahun, dan mereka diproses selama setahun untuk dibentuk –mendapatkan perawatan dengan wangi-wangian, dsb.– sebelum menghadap raja. Kejadian ini mulai di tahun ke-3 Raja Ahasyweros, lalu dikumpulkan selama 1 tahun berarti tahun ke-4, jadi mulai menghadap raja kira-kira tahun ke-5, dan Ester mendapat kesempatan menghadap raja di tahun ke-7, mungkin dia yang terakhir dari 127 gadis itu. Gadis-gadis itu pastinya tidak boleh kembali ke kampungnya, bahkan berjumpa dengan orangtuanya, karena sudah diperuntukkan bagi raja. Ini penderitaan pertama. Kedua, setelah menghadap raja lalu raja tidak mau lihat dia lagi, mereka akan diasingkan dalam sebuah rumah, menjadi janda seumur hidup, tidak seorang pun boleh menyentuh dia –sejak umur 19 tahun– karena sudah menjadi selirnya raja. Berikutnya, katakanlah gadis itu disukai raja, maka dia jadi gundiknya yang sekali-sekali boleh datang kepada raja, tapi tetap tidak diperhitungkan. Maka ada berapa puluh bahkan berapa ratus wanita yang jadi seperti ini. Berikutnya yang mengalami sedikit lebih nikmat, kalau raja mencintai sehingga dia dijadikan istri kedua, ketiga, atau keempat (jadi kemungkinan cuma 2, 3, atau 4 orang), yang keturunannya diperhitungkan menjadi anak raja. Yang terakhir, 1 orang saja, akan mendapatkan mahkota menggantikan Wasti. Dan herannya, Ester yang menanti selama 2 tahun lebih akhirnya menjadi ratu yang dipilih raja. Maka kita boleh tanya, siapa yang bekerja di dalam peristiwa ini? Ester menjadi ratu setelah 4 tahun di “salon” tapi Tuhan panggil dia. Tidak mungkin ini hanya peristiwa biasa tanpa campur tangan Tuhan. Ditambah lagi ketika bencana muncul, ketika Haman orang Agag itu berencana membunuh orang Israel, yang terjadi adalah tiang yang dipakainya menjadi tiang yang dipakai Tuhan untuk menggantung dirinya sendiri. Satu permainan yang Tuhan izinkan terjadi yang tidak bisa kita mengerti.
Di mana Tuhan? Dalam sejarah Dia selalu muncul dalam hal-hal spektakuler seperti ketika Tuhan menyatakan diri kepada Musa, kepada Yosua, dalam zaman hakim-hakim kepada Simson, Elia, Samuel. Tapi di mana peristiwa spektakuler dalam kejadian ini? Tidak ada mujizat. Tidak ada penglihatan ataupun mimpi. Bahkan tidak ada nama Tuhan dalam kitab ini. Lalu di mana posisi Tuhan dalam cerita ini?
Dalam hal ini, kita tidak bisa melihat hanya dari peristiwanya saja tetapi harus melihat big picture-nya, cerita utuhnya, dalam kehidupan bangsa Israel. Allah yang dulu berjanji kepada Abraham adalah Allah yang sekarang juga berjanji kepada umat-Nya meski mereka dalam pembuangan. Maka tidak ada satu peristiwa pun yang terjadi ‘kebetulan’. Juga dalam kehidupan kita, tidak ada yang kebetulan, karena di belakangnya ada tangan Tuhan yang tidak kelihatan yang sedang bekerja melalui peristiwa-peristiwa yang biasa. Dari awal, siapa yang membuat Ahasyweros jadi mabuk? Siapa yang membuat Ester menanti selama 4 tahun? Mengapa waktu Haman merencanakan pembantaian, itu harus delay selama setahun, bukan langsung bunuh hari itu juga, dan justru selama satu tahun Tuhan izinkan Mordekhai dan bangsa Israel bergumul? Mengapa raja Ahasyweros malam itu gelisah, tidak bisa tidur, sehingga harus membaca kitab sejarah dan melihat ada sebuah peristiwa yang dilakukan seorang Mordekhai yang tidak pernah mendapat penghargaan dari raja? Siapa yang melakukan itu semua? Sutradara di belakang cerita, yang tidak kelihatan tapi sedang menyatakan maksud dan kehendak-Nya untuk menggenapi rencana-Nya.
Kalau Allah bekerja dengan cara spektakuler, kita bisa sadar dan percaya. Tapi Tuhan memilih memakai hal yang biasa untuk menyatakan kedaulatan-Nya, dengan cara yang tidak kelihatan, dan sangat-sangat biasa. Justru ini menjadi penghiburan bagi kita, jaminan yang kuat bagi kita, karena dengan demikian kita sadar bahwa sekarang dalam kehidupan kita yang biasa ini, Allah pasti bekerja. Kalau kita terus mengharapkan hal yang spektakuler, iman kita goyang. Kalau kita mengatakan “saya percaya kepada Tuhan karena setiap kali terjadi peristiwa-peristiwa yang luar biasa”, itu artinya tidak percaya, karena iman kita menanti pada hal yang tidak pasti. Tapi Tuhan mengajarkan sebuah konsep iman yang lain, bahwa Tuhan bekerja dalam seluruh regularitas kita, dalam seluruh peristiwa yang biasa dalam hidup kita, sehingga apalagi yang perlu kita kuatirkan karena dalam setiap langkahku, pikiranku, perbuatanku, ada tangan Tuhan yang tidak pernah melepaskanku. Ini jaminan yang diberikan Tuhan dalam Firman-Nya, yang tidak bisa diberikan orang atau agama apapun. Bersukacitalah kita diberikan anugerah yang sedemikian besarnya.
Tangan Tuhan yang tidak kelihatan selalu menopang kita dengan cara yang tidak kelihatan. Tapi apa yang dunia lakukan? Yaitu poin KEDUA: dunia sebaliknya dengan sangat-sangat terobsesi dengan penampilan yang kelihatan. Inilah yang dunia tawarkan kepada kita, dan inilah yang kita pilih. Ahasyweros sejak hari pertama jadi raja, yang diinginkan adalah pamer/ show off segala yang dimilikinya.
Bagaimana saya mendapatkan penerimaan dunia? Dengan menunjukkan yang saya miliki, maka dunia akan melihat saya sebagai orang yang berharga. Seorang pria terus mengejar kuasa dan materi, bukan untuk hal itu sendiri, tapi supaya dengan itu mendapat pujian dan hormat orang lain. Seorang wanita terus merias diri, fokusnya kemolekan diri, supaya dirinya jadi pusat perhatian. Eksistensi kita –seluruh langkah, perbuatan, dan perkataan kita– di-drive oleh sebuah keinginan pencarian penerimaan; karena dunia dan hidup kita yang di tengah-tengah kehidupan sekuler yang ditawarkannya, adalah sebuah kehidupan yang di-drive oleh keberadaan penampilan semata. Sebuah kehidupan yang kelihatan secara daging. Ini yang kita kejar, cara hidup yang bias, yang didorong oleh obsesi dunia.
Kita mengaku Kristen, tapi kita memandang hidup dengan kacamata dunia –pencarian penerimaan diri berdasarkan yang dunia berikan– bukan kacamata Firman Tuhan. Poin of view kita yang bermasalah. Kalau mau jujur, kita tak jauh beda dengan dunia. Kita mengaku melayani Tuhan, tapi seluruh performa diri kita mencari penerimaan orang. Bukannya kita tidak boleh main media sosial, tapi seringkali kita main instagram, facebook, untuk sekedar show off, untuk eksistensi kita dipertunjukkan kepada dunia, supaya dunia melihat saya dengan segala topeng-topengnya, bukan karena ada satu kebenaran yang bisa jadi berkat bagi orang lain. Ini adalah sebuah kehidupan yang sangat menyedihkan karena sebenarnya kita sedang menjual diri kepada dunia. Menjual kemuliaan Allah yang diberikan kepada kita, bagi sebuah kehinaan. Apakah kita benar-benar memikirkan yang Tuhan nilai atas hidup kita, atau kita lebih memilih hidup berdasarkan penilaian orang? Ironis, kita lebih memilih yang kata orang.
Sebagai kesimpulan dari kitab ini, bukan hanya Tuhan bekerja dengan tangan yang tidak kelihatan dan dunia sedang menawarkan pertentangan dengan hal itu yaitu penerimaan diri atau tolok ukur dunia yang kelihatan, maka poin KETIGA, yang menjadi penghiburan bagi kita: sekalipun kita sudah gagal seperti itu, sekalipun berulang-ulang kita melihat pada tolok ukur dunia tanpa melihat tangan Tuhan yang bekerja, sekalipun kita terus rela menjual diri dan menjual kemuliaan Allah yang sudah Tuhan berikan kepada kita, tapi Tuhan menyatakan dalam Alkitab hal yang akan menarik kita keluar dari kehidupan seperti itu, yaitu melalui kerja tangan-Nya kita dibebaskan dari segala perbudakan dunia yang mengikat kita kepada fenomena. Persis sebagaimana Ester yang menjadi tipologi dari Kristus di dalam terang Perjanjian Baru, maka bagi kita –orang-orang yang seringkali gagal– ada tangan Tuhan yang tidak kelihatan itu, dengan cara yang paling remeh, datang ke dunia untuk membebaskan kita, untuk memberikan kita penerimaan bukan lagi berdasarkan penerimaan dunia yang terbatas, tapi dengan kedatangan Kristus, Allah menerima kita.
Bersukacitalah bukan karena dunia menilai kita, tapi bersukacitalah karena Allah yang menilai kita sempurna di dalam penebusan yang diberikan Kristus kepada kita. Dengan cara bagaimana? Kristus memilih datang menyelamatkan kita dengan cara yang paling biasa. Dia tidak melakukan hal-hal yang spektakuler. Dia rela menanggalkan segala kemuliaan-Nya untuk menjadi yang paling hina. Dia rela datang menjadi bayi , bukan seperti bala tentara Allah yang memimpin Yosua berperang melawan orang-orang Kanaan. Dia memilih menjadi anak yang lahir ditengah-tengah kesederhanaan, keluarga yang begitu miskin. Dia lebih memilih menjadi Tuhan yang mengajarkan Firman ketimbang peristiwa-peristiwa spektakuler yang diagung-agungkan. Bahkan Dia memilih cara mati yang paling hina, untuk memberikan kita kemuliaan. Ordinary way, cara yang begitu sederhana, untuk meneguhkan janji Allah kepada kita. Tuhan menarik kita keluar dari kehidupan penerimaan dunia bukan dengan peristiwa-peristiwa spektakuler, tapi dengan cara yang ajaib yang Tuhan lakukan di dalam Kristus. Kedatangan Kristus adalah cara Tuhan yang kelihatan paling tidak spektakuler, yang justru melakukan mujizat terbesar dalam kehidupan kita. Dia datang dengan cara yang paling ordinary supaya hidup kita dengan cara yang paling, paling sederhana, ditebus dengan cara yang paling sederhana pula, untuk menjadi anak-anak Tuhan.
Apa yang dikatakan Tuhan? Karena Kristus telah menebus kita, kita mendapatkan penerimaan dari Bapa, maka tidak ada lagi alasan untuk kita terus mencari penerimaan dunia dan mengejar kehidupan yang ditentukan dari sebuah penampilan luar yang diukur oleh dunia. Justru di dalam Kristus kita dibebaskan untuk hidup dalam kekudusan. Justru di dalam Kristus kita dibebaskan untuk mengarahkan seluruh kehidupan kita bagi kemuliaan Allah. Justru di dalam Kristus kita mendapatkan keindahan hidup yang sejati karena kita sudah diterima oleh Bapa bukan karena yang kita mampu lakukan, tapi karena yang Kristus lakukan bagi kita. Dan di dalam Kristus kita menjalani hidup yang ordinary ini, namun tidak semata-mata ordinar , karena di dalamnya ada sebuah kesadaran peperangan rohani, ada sebuah kesadaran bahwa kita di dalam Kristus menjalankan purpose-nya Tuhan yang sedang digenapi dalam kehidupan kita dan dalam Kerajaan Allah yang begitu besar. Maka kita tidak bisa melihat hidup kita sembarangan, karena ada kemuliaan Allah yang penuh di dalam kita melalui penebusan Kristus. Pertanyaannya: kehidupan seperti apa yang kita pilih untuk jalani? Tetap untuk mencari penerimaan dunia dengan fenomena yang kita miliki? Tetap menjalani kehidupan kenikmatan dunia menjadi dasar kebahagiaan kita? Atau memilih cara Tuhan yang sedang membentuk kita melalui segala pergumulan yang memurnikan, melalui sukacita yang benar dalam terang Firman Tuhan, untuk menjadikan kita saksi dan alat-Nya, menjadi anak-anak-Nya?
Ahasyweros mengatakan kepada Ester, aku menjadikanmu ratu, maka kamu harus cantik, harus ini, harus ini, harus ini, … dst. Tapi Kristus mengatakan kepada kita: “Aku menebusmu, Aku Rajamu, dan engkau umat-Ku”. Tidak berhenti di situ; “Aku menjadikanmu doulos-Ku”. Tidak berhenti di situ; “Aku menjadikanmu anak-anak-Ku”. Tidak berhenti di situ; “Aku menjadi mempelaimu”, ikatan yang begitu indah, seperti rajutan suami istri, ada keterbukaan dan penyerahan diri secara total antara kita dengan Kristus. Dan lagi: “Aku menjadikanmu rekan sekerja-Ku”, bukan karena yang engkau lakukan, bukan karena kemampuanmu, tapi karena yang Kristus lakukan buat kita. Maka bersukacitalah. Jaminan ini yang kita jalani, yang menjadi kekuatan kita untuk menjalani seluruh kehidupan di tengah-tengah profesi dan keluarga, untuk melihat tangan Tuhan yang tidak kelihatan terus menopang kita, bukan hanya sekedar demi kebutuhan hidup kita tapi demi Kerajaan Allah dinyatakan di tengah-tengah dunia melalui kita, yang sama sekali tidak signifikan, dan melalui cara yang ordinary, karena di dalamnya ada kemuliaan Allah di dalam diri kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading