Kitab Mazmur jilid pertama ini mencakup nomor/pasal 1-41 Pembacaan yang baik untuk Mazmur, secara umum adalah membacanya bergantian antara kalimat-kalimat yang menjorok ke kiri dengan yang menjorok ke kanan. Ini mengikuti paralelisme Ibrani dalam puisi orang Israel; dan salah satu cara untuk mengerti puisi seperti ini adalah dengan mengikuti paralelismenya. Misalnya dalam ayat 1, “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik”; dalam bagian lanjutannya Saudara mendapati paralelisme yang disebut “synonym parallelism”, karena artinya sama, yaitu berbahagialah orang “yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh”; dan seterusnya. Paralelisme ini kadang-kadang paralelisme sinonim, ada increasing/penegasan menuju ke klimaks, kadang-kadang antitetis. LAI memberikan judul pasal ini “Jalan Orang Benar dan Jalan Orang Fasik”.
Struktur Mazmur 1 ini sangat jelas merupakan struktur kontras, yaitu ada jalan orang benar dan ada jalan orang fasik. Ini seperti hanya ada 2 pilihan, tidak ada yang abu-abu, yang lumayan benar, agak fasik, atau cenderung fasik. Memang dalam kenyataannya, kita tahu ada gradasi dalam hal kebenaran seseorang, demikian juga ada gradasi dalam kefasikan/kejahatan seseorang. Tidak semua orang sama jahatnya, yang satu bisa lebih jahat daripada yang lainnya; dan juga tidak semua orang sama benarnya. Dengan demikian, bagian ini,maksudnya bukanlah bicara tentang kebenaran yang absolut atau kefasikan yang absolut –bukan dalam pengertian itu—melainkan bahwa arah dalam perjalanan kehidupan seseorang memang cuma ada dua, tidak ada yang lain lagi, yaitu jalan yang menuju kepada kebenaran atau kepada kefasikan.
Ini tidak boleh kita hayati dalam pengertian kita lalu menempatkan diri sebagai orang yang benar, dan terus merasa benar sendiri. Saya percaya, salah satu yang menghambat pertumbuhan kita adalah merasa benar sendiri. Kalau kita selalu menempatkan diri dalam posisi yang benar, sementara orang lain itulah yang salah, yang perlu dihakimi, yang perlu bertobat, dsb., dalam Perjanjian Baru itu merupakan salah satu dosa yang paling banyak dikritik Yesus Kristus dalam pelayanan-Nya –self-righteousness. Lalu bagaimana kita musti membaca bagian ini, karena kita tentu maunya berada dalam posisi ‘orang benar’? Dalam hal ini, kita bisa pinjam perspektif Paulus waktu membicarakan Taurat, bahwa salah satu fungsi Taurat adalah menunjukkan keberdosaan kita. Melalui Taurat –melalui ajaran ‘jalan orang benar’—kita tahu diri kita ini bukan orang benar, dan satu-satunya yang benar adalah Kristus, karena itu kita perlu datang kepada Kristus.
Waktu kita membaca ayat 1, “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh”, mungkin kita pikir ‘itulah saya, saya tidak berjalan menurut nasihat orang fasik; saya juga tidak berdiri di jalan orang berdosa, saya juga tidak duduk dalam kumpulan pencemooh; jadi itu memang saya’. Tetapi ketika melanjutkan ayat 2, “tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN”, apakah benar kita ini kesukaannya Taurat Tuhan? Apalagi ditambah kalimat berikutnya, “dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam”, apakah Saudara dan saya begitu menyukai Taurat Tuhan sampai merenungkannya siang dan malam? James Boice, seorang pengkotbah Reformed, mengatakan yang kesukaannya Taurat Tuhan dan dan merenungkannya siang dan malam, itu adalah Kristus; tidak ada satu orang pun yang secara sempurna kesukaannya Taurat Tuhan dan merenungkannya siang dan malam seperti Kristus. Inilah yang diajarkan oleh Luther maupun Paulus, bahwa waktu berhadapan dengan Taurat, kita tahu diri kita ini tidak lulus dalam tuntutan standar kesucian Tuhan.
Pendekatan pertama waktu kita membaca Taurat, kita diperhadapkan dengan keberdosaan kita, dan diperhadapkan pada kebenaran dan kemuliaan dan kesucian Kristus. Tidak cukup dengan hanya melihat diri kita kotor, jijik, najis, tapi tidak kemudian melihat kepada Kristus. Itu tidak menolong. Kita musti melihat Kristus yang secara sempurna menaati Taurat, sementara diri kita sendiri gagal menaati Taurat. Tapi teologi Taurat tidak berhenti di sini kalau kita belajar dari Calvin, dan juga Paulus. Di situ Saudara akan mendapati, bahwa kita adalah orang-orang Kristen yang tadinya tidak mampu melakukan Taurat, dan di dalam Kristus dimampukan untuk menyukai Taurat. Di dalam Kristus, Kristus yang di dalam kita memampukan kita untuk menyukai Taurat dan merenungkannya siang dan malam, seperti Kristus, karena Kristus tinggal di dalam kita. Calvin menyebut ini sebagai penggunaan ketiga dari hukum Taurat (third use of the Law), yaitu penggunaan di dalam diri orang-orang percaya.
Kalau kita betul-betul adalah orang-orang yang sudah dilahirbarukan, maka waktu kita mengikut Kristus, kita akan merasakan bahwa kuk yang dipasang itu kuk yang enak dan beban itu beban yang ringan (Matius 11: 28). Kalau kita merasa Kekristenan itu berat, kuknya berat tidak bisa ditaati, dan salib itu begitu berat sampai kita terhuyung-huyung jatuh, saya percaya Saudara bukan sedang mengikut Kristus yang asli. Tentu saja saya bukan mengatakan di dalam Kekristenan tidak ada pergumulan, penderitaan, kesengsaraan –itu memang ada– tapi di dalam Tuhan, waktu kita menjalaninya bersama dengan Tuhan, tetap kuk itu enak dan bebannya ringan. Beban-beban yang berat diciptakan oleh dunia, bukan diberikan oleh Kristus. Jadi kalau kita merasa beban kita berat, berarti Saudara dan saya tidak sedang berjalan bersama dengan Kristus. Hal yang sama juga bisa kita katakan tentang Taurat; kalau kita sudah dilahirbarukan di dalam Kristus, ketika kita melihat Taurat, ada kesukaan.
Mazmur ini mengatakan “kesukaannya –kesenangannya/delight-nya– adalah Taurat Tuhan”. Kalau kita melihat Taurat Tuhan, lalu lebih cenderung merasa ‘aduhhh … saya harus membaca, saya harus merenungkan, berat sekali, saya harus dengar Firman Tuhan lagi’, seakan-akan itu sesuatu yang penuh pergumulan, saya pikir itu tidak cocok dengan gambaran di Mazmur ini. Jangan-jangan orang seperti itu belum lahir baru. Setiap kali berhadapan dengan Taurat, dengan Firman Tuhan, itu seperti beban berat yang harus dia kerjakan. Ini berarti tidak ada kesukaan akan Taurat Tuhan. Memang sebelum dilahirbarukan kita adalah orang-orang yang membenci Firman Tuhan. Kita tidak suka merenungkan Firman Tuhan; jangankan siang dan malam, kita tidak suka sama sekali. Tapi seorang yang dilahirbarukan di dalam Kristus, dia memiliki kesukaan ini. Ada perubahan di dalam hatinya. Kalau Saudara ragu-ragu akan keadaan diri Saudara, mintalah Roh Kudus supaya melahirbarukan kita; tidak ada yang salah dengan doa seperti ini. Kalau Saudara merasa dalam kehidupan ini seakan kuknya tidak enak dan bebannya berat terus-menerus, mintalah kepada Roh Kudus untuk melahirbarukan Sudara. Datanglah kepada Yesus Kristus, minta pengampunan, dan minta Dia memberikan sukacita akan Firman Tuhan, sehingga Firman Tuhan bukan jadi siksaan atau beban berat dalam hidup kita tapi menjadi kesukaan.
Saudara tentu tahu, ketika kita sakit, makanan yang paling enak pun jadi beban waktu memakannya. Kita semua punya makanan kesukaan; saya suka sekali martabak keju. Tapi waktu kita sakit, makanan-makanan itu jadi seperti kewajiban. Kita ingin kalau bisa tidak usah makan, karena memang tidak nafsu. Orang sakit tidak bisa menghargai sesuatu yang bernilai, yang enak; tidak ada nafsu untuk itu, malah jadi seperti beban. Apalagi orang mati, lebih tidak mungkin lagi; bukan saja tidak ada nafsu tapi memang betul-betul mati, tidak mungkin bisa menghargai makanan enak. Di sinilah undangan Injil, undangan untuk percaya kepada Yesus Kristus. Orang yang percaya kepada Yesus Kristus, dia akan suka Taurat Tuhan. Inilah positifnya ayat ke-2, sementara ayat 1 berbicara secara negatif.
Saya memberi judul kotbah ini “Kebahagiaan Orang Benar/ Orang Benar yang Berbahagia”. Siapa orang yang berbahagia –atau lebih tepatnya, orang yang disebut “berbahagia” oleh Tuhan? Yaitu dikatakan di ayat 1 ini: “yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh”. Saudara perhatikan paralelisme Ibrani ini, ada 3 hal, dan klimaktis, yaitu tidak berjalan, tidak berdiri, tidak duduk —ada gerakan yang makin lama makin dalam. Pertama berjalan –masih ada gerakan—yaitu berjalan menurut nasihat orang fasik. Lalu dari berjalan mulai berhenti, mulai berdiri; tadinya berjalan menurut nasihat orang fasik, sekarang berdiri di jalan orang berdosa. Akhirnya, duduk di dalam kumpulan pencemooh.
Waktu berjalan, seperti tidak terasa karena itu bukan sesuatu yang statis; waktu berjalan, Saudara bergerak. Kalau Saudara berada dalam mobil yang berjalan, kita jadi sama-sama berjalan, toh hidup memang harus berjalan. Tapi di sini berjalan menurut apa, menurut Firman Tuhan atau menurut nasihat orang fasik? Orang yang biasa berjalan menuruti nasihatnya orang fasik, lama-lama dia akhirnya berhenti lalu berdiri. Berdiri di mana? Di jalannya orang berdosa. Akhirnya, dia mulai mendapatkan kesukaan di dalam persekutuan –di dalam duduk semeja– dengan kumpulan para pencemooh. Makin lama makin terseret, makin dalam dan makin dalam, sulit sekali keluar. Dia menyukai apa yang disukai para pencemooh. Kita musti hati-hati kalau dalam kehidupan ini kita mulai menyukai jalan dunia. Di situ kesukaan/hasrat kita pada hal-hal rohani akan makin lama makin mati. Manusia hidup pasti harus menyukai sesuatu, tidak bisa tanpa kesukaan. Kita tidak tahan hidup tanpa kesukaan. Manusia adalah satu keberadaan yang perlu ada delight (kesukaan), perlu ada desire (keinginan), tidak bisa hidup tanpa mencintai; tapi apa yang kita sukai? Kalau kita menyukain nasihat orang fasik, jalan orang berdosa, persekutuan para pencemooh, ini antitesis dengan kesukaan akan Taurat Tuhan.
Mazmur 1 ini boleh dikatakan merupakan mazmur yang paling belakangan, merupakan nomor yang terakhir masuk dalam kumpulan mazmur. Kita tidak cukup waktu menjelaskan perkembangan secara historis, tapi dalam koleksi-koleksi ada berbagai macam penekanan teologi. Kalau Saudara membaca pasal 2, penekanannya adalah mazmur Mesianik, mazmur raja; tapi kemudian ditambahkan Mazmur 1. Mazmur 1 ini justru yang terakhir, yang membingkai keseluruhan Mazmur. Ini berarti, redaktur terakhir ini menghendaki –dalam pimpinan Roh Kudus—keseluruhan Mazmur dibaca berdasarkan introduksi Mazmur 1.
Kitab Mazmur bisa dibagi menjadi 5 bagian; bagian pertama (jilid 1) adalah pasal 1-41. Lima bagian Mazmur ini mencerminkan 5 kitab Musa, artinya Mazmur ini menghendaki dibaca seperti Taurat. Itulah sebabnya di sini dimulai dengan “Taurat”. Taurat, atau hukum Taurat, jangan Saudara mengerti dalam perspektif legalis, seakan aturan-aturan yang kaku, dalam pengertian yang membawa kita kepada hidup yang membenarkan diri sendiri. Itu jauh sekali dari pengertian Taurat Perjanjian Lama. Taurat di sini merupakan satu jalan yang Tuhan sendiri tetapkan, yang Tuhan kehendaki; dan orang yang menurut jalan ini, hidupnya akan berbahagia.
Kekristenan itu menjanjikan kebahagiaan yang sejati. Kita jangan pernah tertipu, lalu jadi terbalik, seakan-akan dunia yang lebih menjanjikan hidup bahagia, sementara Kekristenan banyak penderitaan, pikul salib tidak selesai-selesai. Orang yang berpikir seperti itu, mungkin dia belum di dalam Kristus. Saya menantang Saudara, kalau Saudara belum di dalam Kristus, Saudara musti minta pengampunan dan datang kepada Kristus, terima Yesus sebagai Juruselamat di dalam kehidupan Saudara, barulah kita bisa mengerti ayat ini. Alkitab banyak sekali menyebut “berbahagialah” atau “diberkatilah” (“happy are those”). Kita musti menerima kalimat-kalimat seperti ini melalui iman; kita percaya bahwa orang yang benar berjalan di dalam jalan Tuhan, dia disebut Tuhan “berbahagia”.
Ayat 3 mengatakan dia seperti pohon, ditanam di tepi aliran air, dia menghasilkan buahnya pada musimnya. Ini membicarakan tentang relasi, tentang ‘dekat dengan sumber’. Dalam tafsiran ada yang mengatakan, kita bahkan tidak tepat kalau memakai istilah reward/upah di sini. Maksudnya, bukan karena Saudara dan saya berjalan di jalan yang benar, lalu kita mendapatkan kebahagiaan sebagai upahnya. Kebahagiaan bukanlah upah. Kebahagiaan dan kehidupan yang berbuah adalah sesuatu yang sangat natural kalau kita tinggal bersama dengan sumber tersebut. Pohon yang ditanam di tepi aliran air, karena dia dekat dengan sumber air itu, maka “otomatis” akan menghasilkan buah. Ini seperti suatu pengaturan kehidupan yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Kalau saya balik, mengapa kehidupan kita tidak atau kurang berbuah? Jawabannya sederhana kalau menurut ayat ini, yaitu karena kita tidak tinggal di tepi aliran air, kita tidak tinggal bersama dengan Kristus, kita cari jalan kita sendiri. Alkitab mengatakan –termasuk dalam Injil Yohanes—bahwa yang tinggal dalam Kristus, akan berbuah lebat. Tidak ada orang yang tinggal dalam Kristus lalu tidak berbuah. Sama seperti pohon yang di tepi aliran air, pada musimnya ia akan menghasilkan buahnya, karena dia tinggal di sumber kehidupan, yaitu air tersebut. Daunnya juga tidak akan layu, karena dia berada di tepi aliran air, apa saja yang diperbuatnya berhasil.
“Apa saja yang diperbuatnya berhasil” –dalam bahasa Inggris: “In all that he does, he prospers.” Saya sengaja pakai kalimat bahasa Inggris ini, karena teologi Reformed tidak mengajarkan Prosperity Gospel. Mengapa? Karena istilah prosperity dalam Prosperity Gospel artinya sangat reduktif –jika tidak mau dibilang menyesatkan—karena urusannya dengan mamon dan uang. Itu sebabnya kita sangat kritis terhadap pengajaran seperti ini. Tapi kita bisa bicara ‘prosperity’ dalam pengertian yang betul-betul Alkitabiah, karena Alkitab menjanjikan prosperity –tapi prosperity menurut pengertian Alkitab. “Apa saja yang diperbuatnya berhasil”, dia selalu berhasil; apa maksudnya? Tidak lain adalah sebagaimana kita baca saja di sini, yaitu kehidupan yang terus menghasilkan buah; itulah orang yang berhasil. Orang yang tidak berhasil adalah orang yang kehidupannya tidak berbuah.
Tidak peduli berapa banyak kekayaannya, kalau tidak berbuah berarti tidak berhasil, menurut Alkitab. Sebaliknya ada orang yang mungkin tidak kaya, kehidupannya sederhana, tapi dia berbuah. Itu berarti dia berhasil. Jadi ayat ini bukan bicara soal keadaan kaya atau miskin secara ekonomi. Ada orang yang kaya secara ekonomi, dan dia berbuah; ada yang kaya secara ekonomi, dan tidak berbuah. Demikian juga, ada orang yang miskin secara ekonomi, dan dia berbuah; ada yang miskin secara ekonomi, dan dia tidak berbuah. Kita tidak tertaik membicarakan kaya atau miskin secara ekonomi, itu bukan urusannya Alkitab. Urusan Alkitab adalah membicarakan bagaimana kehidupan kita berhasil, dalam pengertian berbuah. Kehidupan Saudara dan saya seharusnya berbuah.
Berbicara soal ‘buah’, buah apa maksudnya? Buah yang paling sederhana –meski tidak sederhana, karena ini sederhana yang sangat berharga—yaitu buah Roh Kudus. Sebelum kita bicara buah dalam arti jiwa yang dimenangkan, orang lain yang diberkati –yang termasuk buah juga —kita bicara tentang diri kita sendiri, yaitu buah Roh Kudus yang hadir dalam kehidupan kita (Galatia 5). Di sini kita coba mengaitkan Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru; sama seperti waktu mengkotbahkan Perjanjian Baru, kita bisa mengutip Perjanjian Lama, demikian sebaliknya waktu kita membaca dan merenungkan Perjanjian Lama, kita mengutip Perjanjian Baru juga. Galatia 5: 22-23, ‘Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.’ Orang yang seperti pohon ditanam di tepi aliran air –Sumber air hidup itu—dia tinggal di dalam Kristus, dan hidupnya adalah hidup dalam kepenuhan Roh Kudus. Dengan demikian, menghasilkan buah adalah sesuatu hal yang akan terjadi dengan sendirinya. Itu natural.
Saudara dan saya yang tinggal di dalam Kristus, sebetulnya tidak perlu diperintahkan harus berbuah; ini bukan sesuatu yang merupakan hasil dari perintah, melainkan sesuatu yang pasti terjadi. Dan orang seperti ini, kehidupannya dibuat Tuhan berhasil. Orang-orang seperti Abraham, Yakub, Yusuf, mereka bukan tidak ada kelemahan, tapi kehidupannya dibuat Tuhan berhasil. Dalam kisah Yakub, bagaimanapun dia ditekan, ditindas, ditipu oleh Laban, tetap kehidupannya berhasil, karena pemeliharaan Tuhan selalu cukup. Kalau kehidupan Saudara dan saya terus-menerus tidak berhasil, ini tidak berhasil, itu tidak berhasil, maka kita musti koreksi diri. Dan menurut ayat ini, jawabannya cuma satu, itu karena kita menjauhkan diri dari aliran air. Kalau kita membaca undangan Mazmur 1 ini, kita mendapati bahwa jalan orang benar adalah kebahagiaan, keberhasilan. Lawan kata-nya, adalah kehidupan orang fasik, sebagaimana dikatakan mulai dari ayat 4.
Ayat 4, “Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin.” Ini penggambaran yang menarik, memakai metafor ‘sekam’. Saya berasal dari kota kecil, Gempol Porong, Jawa Timur. Waktu saya kecil, orang masih menampi beras; Saudara yang di Jakarta ini mungkin tidak menampi beras, tinggal beli di supermarket. Beras itu masih ada kulit-kulitnya, masih kotor, lalu ditaruh di alat penampi; waktu ditampi, sekamnya (kulit-kulitnya) akan lepas lalu yang turun tinggal berasnya, sementara sekamnya terbang ditiup angin. Inilah yang dikatakan di ayat ini, “mereka seperti sekam yang ditiup angin”.
Metafor ‘sekam’ ini kaya pengertiannya. Yang pertama, kita bisa mengatakan soal ketidakbergunaan sekam; orang mau makan beras, bukan sekam. Sekam itu sesuatu yang dibuang. Perhatikan juga gambaran ‘yang ditiup angin’, ini berarti tidak ada substansinya, tidak ada bobotnya. Kehidupan orang fasik digambarkan oleh Mazmur 1, seperti sekam. Dia tidak ada bobotnya, tidak ada kualitasnya. Dia gampang ditiup angin. Dia tidak bisa menentukan arah, diombang-ambingkan oleh angin. Dan karena itu, dia tidak akan tahan dalam penghakiman. Penghakiman di zaman dulu sering memakai gambaran neraca (termasuk dalam konsep agama), semacam timbangan baik dan jahat, lalu ditimbang seberapa bobot baiknya dan jahatnya (Kekristenan tidak percaya seperti ini). Maka waktu di bagian ini memakai gambaran sekam, sekam tersebut tidak ada bobotmya, sehingga waktu ditimbang, timbangannya jomplang. Sekam tidak pernah ada nilainya, tidak ada bobotnya, kosong.
Ayat 5 mengatakan, “Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman”; waktu Tuhan menguji, ternyata kosong, tidak ada isinya, hidupnya dilalui begitu saja, tidak ada arahnya, tidak jelas. “Begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar”; orang berdosa juga tidak tahan dalam perkumpulan orang benar, jiwanya akan tersiksa. Mengapa? Karena kesukaannya dosa, dia lebih tertarik dunia daripada Tuhan dan Taurat Tuhan. Tapi berbahagialah kita, kalau kita dibenarkan oleh Tuhan, lalu kita bukan jadi orang yang tidak tahan dalam perkumpulan orang benar, melainkan seperti dikatakan dalam mazmur yang lain: “Orang-orang kudus-Mu itu kesukaanku”. Bukan saja orang benar tidak akan duduk dalam kumpulan pencemooh, tapi juga jalan orang benar memang sama sekali tidak ada hubungannya dengan jalan orang fasik.
Namun di sini Saudara dan saya jangan salah mengerti, ini bukan bicara tentang orang fasik-nya melainkan kefasikan-nya. Mazmur seperti pasal 1 ini kalau ditafsir secara keliru, bisa membawa kita kepada kumpulan eksklusif orang benar atau orang-orang yang merasa diri benar; demikianlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat meresepsi dan merenungkan mazmur ini. Misalnya, waktu membaca ayat 1 bahwa orang benar tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, mereka memahaminya secara begini: ‘makanya kita tidak mau duduk bersama pelacur, pemungut cukai, dsb., tapi Yesus ini bagaimana, sih?? Yesus ini duduk bersama mereka, Dia ini pasti kacau! Dia ini bukan nabi karena nabi tidak duduk dalam kumpulan pencemooh; masakan nabi tidak mengerti Mazmur 1??’ Saudara perhatikan, betapa mengerikan dan menakutkannya dosa; bahkan Taurat yang suci pun bisa dipelintir seperti ini. Lalu dalam pemahaman itu, mereka merasa ‘sayalah yang menjalankan Mazmur 1, Yesus inilah yang tidak taat pada Mazmur 1, Dia duduk bersama pencemooh’. Saudara, kalau dalam kehidupan ini Saudara tidak bisa menggarami orang-orang yang menurut Saudara termasuk orang fasik, maka Saudara sebetulnya bukan orang benar. Kita jadi lebih mirip orang yang merasa diri orang benar daripada orang yang dibenarkan oleh Tuhan.
Mengapa Yesus –yang adalah Tuhan, yang penuh dengan kebenaran, yang adalah kebenaran itu sendiri– bergaul dengan orang-orang berdosa? Mazmur 1 ini tentu tidak perlu dikoreksi. Juga tidak mungkin kalau kehidupan Yesus yang perlu dikoreksi. Ini berarti kehidupan Yesus dan Mazmur 1 sejalan. Jadi Mazmur 1 ini maksudnya bukan kita tidak boleh berbicara dengan orang fasik, atau harus membenci orang fasik. Yesus tidak menghidupi yang seperti itu, Yesus bergaul dengan orang berdosa, Dia bahkan dikatakan “Sahabat orang berdosa”. Yesus tidak pernah berjalan di jalan orang berdosa; Yesus selalu berjalan di jalan yang benar, jalannya Tuhan, dan Dia bersahabat dengan orang berdosa. Ini adalah kedewasaan rohani. Waktu kita bertumbuh di dalam Kristus, Tuhan juga akan memberikan kepada kita kesabaran, bahkan cinta kasih, kepada orang-orang yang berjalan di jalan yang tidak benar.
Ayat terakhir, “sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan” (ayat 6).Ini juga bentuk paralelisme Ibrani, dalam pengertian antitesis. Tuhan mengenal jalan orang benar; dan lawannya adalah: jalan orang fasik menuju kebinasaan.
Kalimat ini kalau kita baca, seperti tidak seratus persen simetris antitesisnya. Misalnya, kalau kalimatnya betul-betul paralel secara simetris, kira-kira akan seperti ini: “Tuhan mengenal jalan orang benar, tetapi Tuhan tidak mengenal jalan orang fasik”; atau secara pasif: “Tuhan mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik tidak dikenal oleh Tuhan”. Kalau seperti itu, lebih jelas antitesisnya. Tetapi yang kita baca dalam ayat 6b ini, ayat itu bahkan tidak mengatakan sama sekali soal Tuhan tidak mengenal jalan orang fasik, atau jalan orang fasik tidak dikenal oleh Tuhan, hanya dikatakan “jalan orang fasik menuju kebinasaan”. Apa maksudnya? Yaitu bahwa Tuhan pun tidak mau tahu dengan hal itu. Kehidupan seseorang, kalau Tuhan sudah tidak mau tahu lagi, berarti kehidupan orang itu sudah selesai.
Istilah ‘mengenal/mengetahui’ di dalam bahasa Ibrani, menyatakan suatu kehidupan relasi yang sangat intim. Ini bukan bicara tentang kemahatahuan Tuhan; kalau tentang kemahatahuan Tuhan, baik orang benar maupun orang fasik, Tuhan pasti tahulah jalan hidupnya, karena Dia mahatahu. Waktu di sini dikatakan “Tuhan mengenal jalan orang benar”, maksudnya Tuhan bukan cuma tahu tok, tapi Dia mengetahui di dalam kasih. Tuhan ikut mendampingi. Tuhan memimpin. Tuhan berjalan bersama dengan orang benar. Bahkan Tuhanlah jalan itu sendiri –Yesus bilang, “Akulah jalan”. Waktu orang benar berjalan di jalan yang benar –yaitu berjalan di dalam Yesus—dia tidak mungkin sendiri, karena jalan yang dijalani orang benar adalah Satu Pribadi, itu bukan jalan yang mati, itu adalah Yesus.
Waktu Mazmur 1 memakai metafor dari alam, kita bisa mengerti aspek air sebagai sumber kehidupan, bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa air; dengan air, manusia bisa hidup. Kalau Saudara membaca sejarah kota-kota, baik di Eropa maupun juga di Afrika dan Asia, banyak kota dibangun di tempat ada aliran sungai, karena di situlah manusia bisa hidup, yaitu di tepi aliran sungai. Suatu daerah yang merupakan delta, subur sekali karena diapit oleh 2 aliran sungai. Dari sejak dulu, di dalam bijaksana manusia, manusia sudah tahu bahwa hidup haruslah di tepi aliran air. Sampai sekarang pun, misalnya kalau Saudara menjelajah benua Australia, daerah yang ada penduduknya adalah daerah yang di pinggir air, sementara di tengah merupakan padang gurun yang tidak ada apa-apa.
Seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, itulah orang-orang yang hidup. Dalam perspektif Perjanjian Baru, orang yang berjalan di jalan orang benar adalah orang yang berjalan di dalam Kristus, karena Kristus-lah jalan itu. Orang yang berjalan di dalam Kristus –yang jalannya adalah Kristus—tidak mungkin Tuhan tidak mengenal dia, maka bagaimana mungkin Tuhan tidak mengasihi dia, bagaimana mungkin orang itu tidak berbahagia kehidupannya. Dan, bagaimana mungkin orang itu kehidupannya tidak berhasil –pasti berhasil. Tetapi di sini Saudara dan saya perlu mengoreksi konsep ‘prosperity’ kita; orang yang kehidupannya berhasil, menurut ayat 6 ini adalah orang yang dikenal oleh Tuhan. Meskipun Saudara ada pergumulan, ada penderitaan, ada kesusahan, tetapi kita dikenal oleh Tuhan. Itu jauh lebih berbahagia daripada hidup kita berhasil menurut ukuran dunia, tapi Tuhan tidak mau lihat dan tidak mau tahu sama sekali. Jalan orang fasik, itu menuju kebinasaan. Jalan orang benar, bukan saja menuju kehidupan, tapi jalan itu sendiri adalah kehidupan. Dia bukan berjalan, lalu suatu saat menuai kehidupan –kehidupan itu bukan upah—tapi ketika dia berjalan, itu sendiri sudah kehidupan. Sementara orang fasik seperti merasa kehidupannya sangat bahagia, lalu pada akhirnya mereka sedang menuju kebinasaan. Hidup Kristen adalah relasi dengan Tuhan. “Seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air”, ini menggambarkan relasi pohon dengan air tersebut. Kita di dalam Kristus, dan Kristus di dalam kita.
Waktu Kristus tinggal di dalam kehidupan kita, Dia pasti akan membongkar dan mengatur semuanya, tapi bukan dalam pengertian mengobrak-abrik jadi kacau; yang kacau menurut Saudara dan saya, itu adalah rapi-nya Tuhan. Dalam kehidupan kita, kita mengharapkan gambaran ideal kehidupan –termasuk juga Gereja, keluarga– yang rapi menurut kita. Tetapi yang rapi menurut Saudara dan saya, di hadapan Tuhan mungkin sangat berantakan. Yang ideal menurut kita, mungkin menurut Tuhan sama sekali tidak ideal. Sedangkan yang menurut Tuhan baik, sesuatu yang dikehendaki Tuhan, mungkin dari perspektif kita yang berdosa kita melihat ‘kehidupan koq kacau kayak begini’. Perhatikanlah kehidupan Kristus; Yesus bilang, “Serigala punya liang, tapi Anak Manusia tidak ada tempat untuk meletakkan kepala-Nya”. Menurut ukuran dunia, itu sama sekali tidak ideal. Tapi inilah ideal menurut rencana kekal Tuhan.
Waktu Kristus masuk ke dalam kehidupan kita, Dia tidak akan jadi tamu, Dia langsung jadi Tuan rumah. Saudara dan saya berbahagia waktu kita mengundang Kristus masuk, lalu Dia betul-betul menjadi Tuan, menjadi Raja, dalam kehidupan kita. Yesus tidak mungkin kita undang dalam kehidupan kita lalu kita menjadikan Dia tamu, apalagi menjadikan Dia penonton; lebih tidak mungkin lagi, menjadikan Dia budak dan kita yang jadi raja dalam kehidupan kita. Tapi inilah undangan Injil, waktu Yesus masuk dalam kehidupan kita, dari perspektif kita kelihatan seperti Dia “mengobrak-abrik”; namun sebenarnya Dia bukan mengobrak-abrik, Dia sedang merapikan kehidupan Saudara dan saya, menurut caranya Dia dan bukan menurut cara manusia.
Waktu Yesus mengusir setan dari orang yang kerasukan di Gerasa, ini adalah satu pelepasan, yang bukan cuma untuk orang tersebut tapi juga untuk seluruh kota sebetulnya. Tapi apa penerimaan orang-orang yang ada di situ, setelah setan-setan masuk ke dalam babi-babi dan babi-babi itu terjun bebas bunuh diri? Orang-orang di kota itu meminta Yesus pergi saja. Mereka tidak rela Yesus hadir di sana dan “mengobrak-abrik”. Mereka merasa ‘kacau ini, babi-babi mati semua’. Kita mungkin mirip penduduk kota itu; ketika Yesus masuk dalam kehidupan kita, kita berharap babi makin banyak, makin gendut. Tapi yang terjadi, Yesus masuk, kemudian babi-babi mati. Yesus membuat kebangunan rohani tapi manusia tidak senang dengan gambaran ini. Kita lebih suka berjalan dalam gambaran idealisme kita sendiri. Mustinya begini begitu, yang bagus adalah yang begini begitu, yang enak adalah yang begini begitu, yang rapi adalah yang begini begitu. Akhirnya kehidupan kita tidak bisa benar-benar berbahagia, karena kita tidak benar-benar mempersilakan Tuhan menguasai kehidupan kita. Lalu kita mengeluh, ‘mengapa kehidupan bebannya berat seperti ini?’ Di situ mungkin Tuhan menjawab, “Ya, memang kamu yang menghendaki seperti itu, kamu yang ciptakan sendiri beban seperti itu, kamu tidak membiarkan Aku masuk ke dalam kehidupanmu”.
Berbahagialah Saudara dan saya, waktu kita berjalan di jalan orang benar, jalan yang dikenal oleh Tuhan itu; waktu kita di dalam Kristus dan Kristus di dalam kita. Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading