Kita akan melanjutkan dari kotbah bulan lalu mengenai tema “Mujizat” di Kisah Para Rasul. Membahas Kisah Para Rasul itu ibarat Saudara sedang kehilangan barang; waktu kehilangan barang, biasanya yang kita lakukan adalah kembali menelusuri ‘masa lalu’ kita, kita tadi habis dari mana, lalu ke mana, tadi kita lewat kamar mandi atau ke dapur dulu, mungkin barangnya ketinggalan di dapur atau di tempat lain, di kantor, di sekolah anak, atau apapun. Kita menelusuri masa lalu kita supaya bisa mendapatkan yang hilang itu di masa sekarang. Membaca Kisah Para Rasul adalah seperti itu. Kita meneliti kembali ke masa awal lahirnya Gereja, dengan harapan waktu membandingkannya dengan masa sekarang, kita mendapatkan kesadaran betapa yang hari ini kita sebut “Gereja” ternyata ada banyak hal yang terhilang.
Di kotbah yang lalu kita sudah membahas 2 poin, sekarang melanjutkan 2 poin berikutnya. Saya ulang sedikit pembahasan dalam kotbah yang lalu mengenai yang hilang dalam pengertian “mujizat” di hari ini. Yang hilang yaitu: pengertian mujizat sebagai TANDA, bahwa mujizat selalu fungsinya sebagai tanda, dan tanda selalu menunjuk kepada sesuatu yang bukan dirinya. Tanda itu penting, tapi tidak pernah lebih penting daripada barang yang dituju; kepentingan suatu tanda selalu supaya melalui dirinya kita melihat sesuatu yang lebih daripada tandanya. Salah satu kesalahan perspektif, yaitu bahwa “demi nama Tuhan Yesus” selalu kita lihat sebagai “mantra”-nya, sesuatu yang menunjuk kepada mujizatnya, kalau kamu mau bikin mujizat, pakailah “demi nama Tuhan Yesus itu”, itu mantranya; “demi nama Tuhan Yesus” itu melayani si mujizat. Tapi dalam kejadian di Kisah Para Rasul ini, nama Yesus sama sekali bukan mantra demi bisa melakukan mujizat, melainkan mujizat itu dilakukan demi nama Yesus diproklamirkan. Waktu Petrus melakukan mujizat dan orang-orang sudah berkerumun disitu, dia menjelaskan mengenai nama Yesus. Bahaya dalam hal mujizat, atau apapun, adalah ketika barang tersebut jadi yang paling penting, yang mendominasi, dan akhirnya malah merusak semua. Maka salah satu dampak negatifnya adalah melihat tanda membuat manusia jadi jadi kekanak-kanakan, hanya bisa melihat Tuhan dari hal-hal spektakuler dan lupa adanya tangan Tuhan di balik hal-hal yang biasa juga, akhirnya tidak bisa bersyukur dengan keseharian, padahal hal-hal rutin itu juga berkat. Jadi apa obatnya? Yaitu waktu kita membicarakan mujizat, kita mulai belajar untuk jangan berhenti di mujizatnya tapi selalu ingat apa yang jadi tujuan mujizat tersebut; sama seperti waktu melihat tanda “toilet”, Saudara tidak pernah berhenti di tanda itu lalu lupa untuk kencing, itu absurd sekali.
Mujizat itu menunjuk apa? Pertama, menunjuk kepada Tuhan sendiri; kedua, menunjuk kepada rencana Tuhan di akhir zaman. Ini sudah kita bahas dan kita tidak mengulang lagi (Saudara bisa cari dalam ringkasan kotbah di website). Dan hari ini kita membahas 2 poin berikutnya, yaitu yang ketiga, mujizat juga selalu menunjuk kepada kondisi hati manusia. Dan yang keempat, mujizat menunjuk kepada penderitaan Kristus.
Kita masuk poin yang ketiga, “mujizat menunjuk kepada kondisi hati manusia”. Maksudnya, mujizat selalu menceritakan mengenai diri kita, kondisi kita sebagai orang-orang yang perlu diselamatkan. Ada satu kemiripan antara mujizat di Kis 3 ini dengan satu mujizat lain yang pernah dilakukan Tuhan Yesus. Pertama-tama Saudara coba perhatikan di bagian ini, cara penulisnya menggambarkan flow dari ceritanya di ayat 3-6. Saudara, kita sebagai orang Kristen perlu belajar bukan cuma yang Alkitab bicarakan, tapi juga cara kita membaca Alkitab. Alkitab itu genre-nya banyak, dan di bagian ini adalah genre “kisah/ narasi”. Suatu kisah/ narasi biasanya selektif, berbeda dengan “reportase” yang tidak terlalu selektif, semua kronologi kejadian dipaparkan detail sekali. Tapi narasi tidak pernah menceritakan semua, selalu ada beberapa bagian yang diangkat secara detail sekali, tapi ada bagian-bagian yang dilewatkan begitu saja, karena itu salah satu cara “kisah” menyatakan yang penting dan yang tidak penting. Misalnya dalam suatu film ada tulisan “twenty years later” (20 tahun berikutnya), itu berarti kejadian-kejadian selama 20 tahun tidak penting, sesuatu yang lewat saja, dan cuma 2 detik ada di layar film. Tapi ada juga film yang justru memakai waktu sangat panjang untuk kejadian yang benar-benar pendek, misalnya di film horor/ suspense. Contohnya satu adegan film menggambarkan 2 orang sedang ketakutan melihat ke arah pintu, lalu kamera film mengarah pada pintu tersebut dan fokus pada gagang pintu yang bergerak pelan-pelan dengan suara ‘kkreeekkk’, kemudian kembali mengarah ke wajah 2 orang tadi yang matanya mulai membelalak, dst. Di adegan seperti itu, dipakai waktu yang sangat banyak untuk kejadian yang sangat singkat, mengapa? Karena itu bagian yang penting.
Di dalam bagian Kisah Para Rasul ini, mujizatnya sendiri diceritakan cuma dalam 1 ayat –waktu yang sangat cepat– ayat 6b “Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!" lalu orang itu melompat-lompat, selesai. Tapi Lukas memakai 4 ayat –waktu yang sangat banyak– untuk menggambarkan interaksi antara Petrus dan Yohanes dengan orang lumpuh ini. Di ayat 3 ‘orang itu melihat Petrus dan Yohanes masuk ke Bait Allah, ia meminta sedekah’, lalu ayat 4 ‘mereka menatap dia dan Petrus berkata: "Lihatlah kepada kami”, ayat 5 ‘Lalu orang itu menatap mereka dengan harapan akan mendapat sesuatu dari mereka.’ Oleh karena itu kita tahu, bagian ini adalah satu hal yang sangat penting yang Lukas ingin sampaikan kepada kita.
Kita bisa lihat dengan lebih jelas di sini. Pertama, mengapa orang lumpuh ini dikatakan ayat 2: duduk di Gerbang Indah (gerbang Bait Allah)? Karena itu strategi untuk mendapat uang. Salah satu tempat paling strategis bagi pengemis adalah tempat beribadah, karena orang-orang yang mau beribadah berada dalam situasi kondisi yang lebih gampang untuk mengeluarkan sedekah. Itu penggambaran yang pertama kita dapatkan dari detail bagian ini. Lalu ayat 3, ini konfirmasi tentang kebutuhan yang orang ini minta, yaitu sedekah. Dia tidak minta kesembuhan, hanya minta sedekah. Ayat berikutnya menggambarkan ada tatapan, orang itu menatap dengan harapan mendapatkan sesuatu (materi maksudnya)– ini konfirmasi lagi. Lalu ayat 6, yang dikatakan Petrus dan Yohanes: "Emas dan perak tidak ada padaku…” –konfirmasi lagi. Di sini Lukas memakai waktu yang begitu panjang karena dia ingin memberitahukan motivasi dari si orang lumpuh ini: dia ingin meminta uang –meminta emas dan perak– dia tidak mencari kesembuhan.
Kita bandingkan dengan Luk 5:17-26, suatu kisah mujizat yang mirip. Ini cerita tentang orang lumpuh juga, dan dia punya teman-teman yang ingin dirinya disembuhkan. Mereka membawanya ke suatu rumah yang Tuhan Yesus sedang ada di situ. Karena ramai sekali, mereka naik ke atap membawa si lumpuh, menurunkannya persis di depan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus melihatnya, dan respon Dia adalah mengatakan "dosamu sudah diampuni." Saudara bisa lihat kemiripannya? Apa kira-kira respon dari teman-teman si lumpuh dan dia sendiri? Bayangkan kalau Saudara jadi mereka waktu mendengar kalimat Tuhan Yesus ini “dosamu telah diampuni”. Ya ampun, Tuhan, kami sampai bongkar atap rumah, apa tidak lihat tujuan kami datang bukan untuk pengampunan itu? Okelah dosa diampuni, makasih, tapi kami ada keperluan yang lebih mendesak, orang ini ‘gak bisa jalan. Tuhan, bicara soal kerohanian itu belakangan aja, ini lho basic need menurut Maslow, ini lebih penting, kami mau kuasa-Mu sekarang. Kalimat yang tepat adalah ‘bangun, berjalanlah’, bukan ‘dosamu sudah diampuni’. Orang ini jelas lumpuh tapi Tuhan Yesus katakan “dosamu sudah diampuni”, itu tidak make sense menurut kita.
Pada dasarnya, Tuhan Yesus melakukan itu karena Dia mau mengatakan, kamu mungkin pikir kelumpuhan adalah problem utamamu. Sama sekali bukan. Problem utamamu hari ini, sama seperti itu, bukan ekonomi sedang lesu, bukan harusnya kamu hari ini sudah bersuami/ beristri, bukan harusnya hari ini kamu sudah mencapai posisi tertentu dalam karirmu, bukan harusnya hari ini kamu sudah punya mobil yang lebih besar. Bukan itu sama sekali. Problem-mu yang paling mendasar adalah: kamu terasing dari Allah, dan kamu sedang hidup dalam cengkeraman dosa, dan kamu perlu seseorang untuk membuang dosa-dosa itu. Tuhan Yesus mau mengatakan kepada si lumpuh ini, penderitaan fisik ini bukan masalah utamamu; coba lihat, bukankah penderitaan itu hari ini membawamu kepada Aku. Kelumpuhan itu cuma masalah di matamu, sama sekali bukan masalah utamanya.
Ini bisa lebih jelas lagi waktu Saudara melihat bagian belakang kisah ini; setelah mengatakan ‘dosamu sudah diampuni’, Tuhan Yesus bersoal jawab dengan orang-orang Farisi dan ahli Taurat di situ. Dia mengatakan, “Yang mana lebih mudah, mengatakan: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: Bangunlah, dan berjalanlah?” Ini pertanyaan retorik, karena kita baca di ayat sebelumnya (ayat 22) Tuhan Yesus mengetahui pikiran mereka. Pertanyaan seperti ini sengaja ditanyakan karena ingin memutar balik hal yang ada dalam pikiran seseorang. Waktu kita ngomel mengatakan ‘lu pikir mana yang lebih gampang?!’ itu selalu maksudnya bahwa ‘yang lu pikir lebih gampang’ itu salah, itu justru yang lebih sulit.’ Jadi apa kira-kira yang menurut mereka lebih mudah? Sudah pasti bagi mereka, yang lebih gampang adalah soal dosa diampuni, itu kan cuma ngomong doang, semua orang juga bisa ngomong ‘dosamu telah diampuni’; tapi kuasa untuk membangunkan oran, itu baru keren, hebat, itu yang susah, maka itu yang kami mau. Dan Tuhan Yesus sedang mengatakan ‘tidak, bukan itu kuasa yang paling besar, bukan itu kuasa yang paling kamu perlukan’. Saudara bisa melihat paralelnya dengan Kisah Para Rasul tadi?
Waktu Petrus mengatakan “emas dan perak aku tidak punya”, pada dasarnya dia sedang mengatakan, bukan itu yang kamu paling perlukan, bahkan sebenarnya kesembuhan yang aku akan berikan dan akan kamu terima ini pun bukan yang paling kamu perlukan. Kamu mencari sesuatu yang kau anggap penting untuk hidupmu, tapi yang kamu cari itu terlalu dangkal. Ada yang lebih dalam, lebih penting daripada itu. Hal yang kamu mau tentu bukan salah, tapi aku tidak akan cuma memberikan itu, aku akan memberikan sesuatu yang lebih penting, lebih dalam, yang sesungguhnya kamu butuhkan. Dan kita tahu ini terjadi, karena selanjutnya di Kis 4:14 dikatakan bahwa orang yang disembuhkan itu berdiri di samping kedua rasul itu dalam konteks pengadilan, artinya dia masuk dalam perkumpulan orang percaya bukan hanya kebetulan berdiri di situ. Maka kita tahu, di sini bukan cuma soal kesembuhan tapi juga menandakan masuknya orang ini dalam persekutuan orang percaya.
Inilah sebenarnya realita kehidupan Kristen. Kalau Saudara mau punya relasi dengan Tuhan Yesus, Saudara harus sadar hal ini. Selalu ada banyak kali, Saudara datang menghampiri Allah, datang ke Gereja, dengan keinginan-keinginan dan agenda-agenda Saudara; dan Tuhan akan mengatakan ‘tidak, Saya tidak mau ngomongin itu, Saya mau ngomongin yang lain, yang kamu ‘gak ngomongin, yang kamu ‘gak peka; kamu pikir itu yang penting, tapi bukan itu yang paling penting’; seperti halnya si lumpuh tadi. Akan ada hal-hal yang Dia lakukan, Dia katakan, yang tidak masuk akal buat kita, dan itu realita hidup orang Kristen; apakah Saudara siap mendapatkan hal-hal seperti itu? Agenda Saudara seperti tidak pernah sama dengan agenda Tuhan. Sejauh Saudara hidup dengan Tuhan, makin lama Saudara makin menyadari daftar Saudara mengenai yang paling penting – yang cukup penting – yang tidak penting, waktu dicocokkan dengan daftarnya Tuhan, tidak pernah sama. Waktu Yairus datang kepada Tuhan, dia mengatakan, “Tuhan, anakku ini kritis, emergency”. Lalu di tengah jalan ada perempuan yang sudah 12 tahun pendarahan ‘mencuri’ kuasa Tuhan, dan Tuhan Yesus ladeni. Aduh Tuhan, ini anakku kritis, ICU, tapi perempuan ini sudah 12 tahun pendarahan tambah 1-2 jam lagi ‘gak ada masalah ‘kan, tapi anakku ini sebentar lagi mati! ‘Gak usah urusin perempuan itu lah, ini sudah krusial! Dan akhirnya betul anak Yairus mati, tidak bisa lebih tragis lagi. Tapi itulah yang namanya mengikut Tuhan. Dan lihat, lewat segala ‘kelambananTuhan, ketidak masuk akal-an Tuhan’ ternyata itu cara Tuhan membawa anugerah yang lebih besar masuk ke dalam kehidupan orang-orang ini. Anak Yairus bukan cuma disembuhkan, tapi dibangkitkan. Orang lumpuh ini bukan cuma disembuhkan, tapi dosanya diampuni. Ini satu pembelajaran orang Kristen yang sangat lama prosesnya.
Di Lukas 5 ada satu kisah yang sangat mirip dengan yang terjadi beberapa tahun kemudian di Yohanes 21. Di awal Lukas 5 Petrus sedang menjala ikan, Tuhan Yesus datang, menyuruh tebarkan jala di sebelah sana. Petrus mengatakan, “Kami sudah semalaman tidak mendapat ikan”. Petrus lalu menebarkan jalanya, dan dapat ikan begitu banyak sampai perahu miring. Reaksi Petrus: “Tuhan, pergilah daripadaku, menjauhlah daripadaku”. Dalam Yoh 21 setelah Tuhan Yesus bangkit, ada kejadian yang sangat mirip. Tuhan Yesus katakan, “Tebarkan jalamu ke sebelah sana”, lalu mereka dapat ikan banyak sampai lagi-lagi perahu miring. Reaksi Petrus kali ini: dia langsung terjun ke danau, “seperti orang gila” berenang mendapatkan Tuhan Yesus. Apa yang terjadi pada Petrus? Petrus mulai mengerti fungsi mujizat. Yoh 21 ini terjadi sekitar 2 ½ tahun setelah Lukas 5, artinya perlu waktu cukup lama sampai Petrus akhirnya mulai diubah oleh Tuhan, dia mulai mengerti poin dari “berkat” tidak pernah untuk “berkat” itu sendiri, tapi selalu menunjuk/ membawa kepada berkat yang jauh lebih besar, yaitu mengenal Sang Pemberi berkat.
Hari ini seringkali yang dijadikan tolok ukur orang untuk menguji mujizat asli atau tidak, yang diuji adalah mujizatnya itu sendiri. Klaimnya ‘sembuhkan kutil’, tes-nya adalah ‘kutil sembuh atau tidak’. Itu yang dilakukan, dan itu salah sama sekali. Mujizat yang dilakukan Tuhan Yesus dan yang dilakukan murid-murid selalu bertujuan melebihi mujizat itu sendiri. Pertanyaan yang seharusnya adalah: setelah orang mendapat kesembuhan, dia dibawa ke mana, apa yang terjadi pada orang ini? Karena polanya selalu mujizat itu tidak pernah berhenti pada kebutuhan yang orang itu sadari “perlu”, tapi selalu dibawa kepada melebihi yang dia sadar “perlu”. Ada orang yang bisa bahasa roh, tapi apa yang berubah dalam hidup mereka, apakah mereka jadi lebih mengenal Tuhan Yesus atau tidak? Sama juga seperti itu, kita banyak belajar teologi dan doktrin, tapi lalu apa yang berubah dalam hidup kita, kita lebih kenal Tuhan Yesus atau tidak? Itu pertanyaannya. Mujizat yang dilakukan Tuhan Yesus itu membawa orang ke mana, itulah yang dimaksudkan waktu tadi kita membicarakan bahwa mujizat menunjuk kepada hati manusia.
Apa problem dalam hati manusia yang dibongkar oleh mujizat, dalam bagian ini? Problem manusia bukanlah cuma bahwa manusia perlu sesuatu, tapi selalu bahwa manusia seringkali tidak sadar apa yang dia perlu. Yang dia rasa perlu, sebenarnya bukanlah yang dia perlu; yang dia perlu, dia tidak sadar bahwa dia perlu itu. Dan kita sebagai manusia berdosa seringkali tidak mau melihat ini sebagai problem. Kita hanya mengakui problem kita sebatas “saya perlu yang ini, Tuhan, berikan saya ini”. Kita tidak mengakui bahwa “saya bahkan tidak bisa tahu apa/ di mana problem saya, dan itulah problem yang paling besar”. Problem kita bukan bahwa kita terlalu rakus berkat, tapi kita terlalu cepat puas dengan hal-hal kecil yang kita anggap paling penting padahal cuma picisan. Anak kecil yang dapat surat warisan 10 M tapi truk mainannya sedang rusak, dia tidak peduli. Warisan itu abstrak bagi dia, yang real adalah truk mainan yang patah rodanya. Contoh lain, Saudara mau datang PA atau seminar ketika merasa itu relevan, ketika merasa bisa menentukan sendiri apa yang berguna buat Saudara. Itulah kita. Separah-parahnya penderitaan, kelumpuhan, kesengsaraan, itu semua bukan problem utama manusia. Problem utama manusia adalah DOSA, hubungan manusia dengan Allah rusak, kecuali kita mendapatkan ini, tidak mungkin hati kita sungguh-sungguh puas.
Kembali ke cerita ini. Seandainya si lumpuh membalas perkataan Tuhan Yesus, “Tuhan, bukan itu yang saya perlu, saya perlu ‘berjalan’, setelah itu baru kita bicara rohani”. Mungkin Tuhan Yesus jawab, oke, berarti dalam hatimu kalau engkau berjalan, pasti bahagia, tidak akan sedih lagi, ya sudah coba saja, Saya sembuhkan kamu. Lihat sekelilingmu, banyak manusia yang bisa berjalan ‘kan, yang tidak pernah lumpuh, apakah mereka bahagia? Apakah hati mereka senantiasa puas? Apakah hidup mereka tidak kosong? Itu sebabnya yang kau pikir perlu, cuma sesuatu yang dangkal. Kamu perlu lebih daripada itu untuk bisa mengisi hatimu. Kita di sini memang tidak ter-obsesi dengan kesembuhan ilahi, tapi setiap kita sedang mencari “emas dan perak” itu, apapun bentuknya. Banyak dari kita –termasuk saya– seringkali merasa lebih perlu meladeni getaran HP daripada fokus mendengarkan kotbah. Mengapa kita melakukan itu? Sederhana saja, karena dalam pikiran kita, kita lebih tahu apa yang kita perlu –getaran HP itu yang lebih fulfilling dalam hidup saya– daripada fokus mendengarkan firman. Banyak dari kita –termasuk saya– seringkali merasa lebih perlu meladeni apapun itu yang membuat kita telat datang ke gereja, daripada mendisiplin diri datang tepat waktu. Problemnya di mana? Bukan karena kita tidak sadar bahwa datang tepat waktu itu penting, tapi masalahnya ada sesuatu yang lebih penting dalam pikiran kita, itu saja. Dengan kata lain, kita mengatakan kepada Tuhan: “Tuhan, saya lebih tahu apa yang saya perlu”.
Kembali ke penderitaan secara umum. Kelepasan dari penderitaan, bagaimanapun juga sangat perlu dan kita seringkali lihat sebagai yang terutama. Tapi sekali lagi, separah-parahnya penderitaan, penyakit, kemiskinan, ada banyak orang yang bisa menghadapi itu bahkan hidup mereka terberkati lewat itu, jikalau mereka punya relasi yang beres dengan Tuhan. Lagu “I shall See Him Face to Face” dari Fanny Crosby, kata-kata di bagian akhirnya kira-kira seperti ini: I shall see Him face to face, and tell the story saved by grace. “Aku akan melihat Dia muka dengan muka” adalah sesuatu yang signifikan karena Fanny Crosby buta karena dia salah obat waktu masih kecil sekali. Lalu orang pernah tanya kepada dia: “Fanny, kalau kamu hari ini bisa disembuhkan, mau atau tidak?” Jawaban Fanny mengaggumkan, dia mengatakan: “Tidak mau, karena dengan sekarang saya buta, hal pertama yang saya akan lihat adalah wajah Tuhanku, ketika aku bertemu dengan Dia muka dengan muka”. Saudara terberkati dengan perkataan itu? Berkat itu datang karena penderitaan, karena dia tidak dilepaskan dari penderitaan. Ini logika sangat sederhana, tapi kita seringkali tidak rela menghadapi. Waktu dikritik, waktu menghadapi kesulitan, tantangan, dsb. kita menolak untuk melihatnya seperti ini, kita mengatakan, saya yang paling tahu, perasaan saya yang paling benar, kalau saya merasa sakit — itu sakit, kalau saya merasa jelek — itu jelek.
Tapi cara ikut Alkitab tidak seperti itu, cara ikut Tuhan tidak seperti itu sama sekali. Separah-parahnya penderitaan –jika kita bisa menanganinya– itu justru seringkali membangun karakter seseorang jadi lebih lembut, sabar, rendah hati, lebih bergantung kepada Tuhan. Tapi dosa –rusaknya relasi kita dengan Tuhan– itu sedikit banyak menghancurkan hidup manusia, membuat kita egois, hanya peduli diri, dan memutlakkan perspektif diri. Penderitaan tidak ada apa-apanya dibandingkan dosa. Itu sebabnya semua mujizat adalah tanda, selalu menunjuk kepada suatu kebutuhan yang lebih mendasar, bukan cuma kebutuhan yang di-address mujizat itu sendiri. ada banyak kisah di Alkitab tentang orang-orang yang karena terlalu fokus pada mujizat tersebut, akhirnya buta terhadap berkat lebih besar yang Tuhan mau berikan melalui mujizat tersebut. Dalam kisah 10 orang kusta yang disembuhkan, yang 9 orang puas dengan berkat, 1 orang yang pergi mencari sumber berkat. Lima ribu orang diberi makan Tuhan Yesus, besoknya kembali mencari Dia, lalu Kristus mengatakan, “Kamu mencari Aku karena sudah kenyang, kamu mau kenyang lagi. Akulah Roti Hidup”, itu berarti harapanmu terlalu kecil, roti yang fana itu harusnya membuatmu sadar akan Roti yang hidup. apa respon mereka? “Ini perkataan keras, siapa yang bisa menerimanya?” dan langsung dikatakan sejak waktu itu banyak murid-murid mengundurkan diri tidak mengikut Dia, sisa 12 dari 5000 orang. Apa emas dan perakmu, Saudara?
Yang keempat, mujizat juga menujuk kepada karya penebusan Kristus, khususnya penderitaan-Nya. Ini keanehannya. Kis 3:18, waktu Petrus menjelaskan mujizat tadi, dia mengutip: ‘Tetapi dengan jalan demikian Allah telah menggenapi apa yang telah difirmankan-Nya dahulu dengan perantaraan nabi-nabi-Nya, yaitu bahwa Mesias yang diutus-Nya harus menderita.’ Kita sudah membahas bahwa mujizat menujuk kepada rencana Allah di masa depan. Waktu Petrus menjelaskan mujizat, dia mengatakan bahwa Kristus akan memulihkan segala sesuatu; seperti mujizat ini sekarang, nanti akan terpulihkan. Itu make sense, hal positif dan positif, nyambung. Tapi sekarang dia menjelaskan juga bahwa Mesias harus menderita. Apa hubungannya mujizat dengan penderitaan Kristus? Mungkin lebih nyambung dengan kebangkitan? Masa’ mujizat menunjuk kepada penderitaan Kristus? Ya!
Saudara perlu melihat satu hal lagi yang menurut saya sangat menggerakkan. Kalau Saudara perhatikan mujizat-mujizat yang dilakukan Tuhan Yesus dan para rasul, setiap kali mujizat terjadi, itu bukan hanya tidak bersifat show off, tapi selalu pada ujungnya membahayakan si pelaku mujizat. Di bagian yang ini, setelah mujizat terjadi, Petrus dan Yohanes dijebloskan ke penjara, diadili oleh para ahli Taurat, hidup mereka terancam. Intinya, mujizat itu membawa penderitaan masuk ke dalam hidup mereka. Para rasul cuma mencerminkan yang Tuhan Yesus sendiri lakukan, karena setiap mujizat dalam hidup Tuhan Yesus, membuat Dia makin lama makin menderita. Waktu Dia lahir adalah mujizat karena Dia lahir tidak melalui keinginan seorang laki-laki, langsung oleh Roh Kudus, tapi hasilnya hal tersebut membawa aib bagi Maria –dalam kultur patriarkhal zaman itu, anak tidak disebut anak ibunya tapi Yesus disebut anak Maria, bukan anak Yusuf, karena mereka menganggap Dia anak di luar nikah– dan membawa perkara bagi Yusuf juga, dan mereka harus kabur ke Mesir dikejar-kejar Herodes. Itu juga berdampak pada Tuhan Yesus sendiri, kalimat-Nya yang terkenal: “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan rumahnya”. Wanita yang sakit pendarahan 12 tahun lalu menyentuh jubah Tuhan Yesus sehingga dia sembuh, Tuhan Yesus mengatakan, “Aku merasa ada kuasa keluar daripada-Ku”. Ini kalimat yang membingungkan, bukannya kuasa Tuhan harusnya unlimited? Sekali lagi, waktu membahas karya keselamatan, kita mengenal istilah “substitusi” (penggantian); kita harusnya dihukum, Tuhan Yesus menggantikan kita dihukum, sehingga Tuhan Yesus yang harusnya mendapat pahala keselamatan, kita menggantikan Dia mendapatkan hal itu. Tapi bukan cuma dalam karya keselamatan Kristus substitusi itu terjadi, dalam mujizat pun ada unsur substitutif ini. Kelemahan si wanita itu masuk kepada Tuhan Yesus, dan kekuatan Tuhan Yesus masuk kepada wanita itu. Substitusi. Waktu Tuhan Yesus membangkitkan Lazarus, di situ dicatat untuk pertama kalinya bahwa musuh-musuhnya sepakat untuk membunuh Dia, karena Dia telah melakukan yang paling fatal, membangkitkan Lazarus. Dengan kata lain, substitusi oleh karena Lazarus keluar dari kubur maka Kristus harus masuk ke dalam kubur.
Itu juga sebabnya Tuhan Yesus berkata, “Lu pikir mana yang lebih gampang, mengatakan bangun dan berjalanlah atau dosamu sudah diampuni. Karena lu tau ‘gak apa yang harus Aku lakukan supaya dosamu bisa diampuni? Yaitu Aku harus menanggung dosa-dosamu. Itu pembayarannya.” Kontras dengan superhero zaman sekarang. Semua superhero dunia ketika mendapatkan kuasa, mereka makin tidak terkalahkan, makin kuat, makin cepat, bukan cuma membuat diri mereka tidak terancam tapi bahkan diri mereka mengancam musuh-musuhnya. Tapi kuasa yang dimiliki Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya sangat berbeda. Kuasa-kuasa ini –mujizat-mujizat ini — justru membuat pelaku mujizatnya makin lemah, terancam, bahaya. Dan bukankah pada akhirnya dalam Kekristenan yang disebut sebagai mujizat paling utama, paling ajaib, adalah bukan ketika Allah menjadi Super Allah melainkan ketika Allah menjadi manusia, ketika Allah menjadi bayi, ketika Allah jadi bisa ditombak, bisa dipaku, bisa mati.
Waktu orang mengatakan “tidak ada mujizat artinya tidak ada Roh Kudus”, cara yang sering kita pakai untuk menampiknya adalah dengan mengatakan begini: oke, coba lihat kehidupan Tuhan Yesus, waktu Dia disalib, mana mujizat? Tidak ada ‘kan. berarti tidak harus selalu ada mujizat. Itu respon yang sangat tidak tepat, karena problem mereka bukan itu. Yang benar adalah: di atas kayu salib itulah mujizatnya, hanya kamu tidak bisa melihat karena tidak masuk kategori-kategori dalam pikiranmu tentang mujizat. Mujizat yang justru melemahkan si pelaku mujizat. Mujizat yang justru membawa penderitaan bagi si pelaku mujizat. Tapi justru itulah the greatest miracle of all.
Mengapa harus seperti itu? Karena, kalau Allah datang ke dunia dengan kuasa-Nya, menghancurkan segala dosa dan kejahatan, maka akhirnya tidak ada satu pun dari kita yang tersisa. Hati kita adalah sumber kejahatan yang paling utama dalam dunia ini. Seandainya Dia datang dengan kekuatan, kita semua akan mati. Itu sebabnya Dia datang dengan kelemahan. Dia membuat diri-Nya bisa terbunuh sehingga kita tidak perlu terbunuh, sehingga Dia bisa menghancurkan dosa dan maut tanpa harus menghancurkan kita juga.
Apa implikasinya? Kuasa Tuhan datang dalam hidup Saudara lewat kelemahan Tuhan, maka itu berarti juga kuasa Tuhan bisa hadir dalam hidup Saudara dalam kelemahanmu. Banyak orang hari ini cari Tuhan karena mau jadi kuat, saya kurang ini, tolong Tuhan bantu dalam hal ini; kuatkan saya. Sadarkah Saudara, dalam Kekristenan gambarannya sama sekali tidak seperti itu? Saudara dikuatkan melalui dilemahkan. Apa artinya bertobat? Seringkali kita pikir bertobat itu konsep KKR; orang-orang yang menangis mengatakan, “Tuhan, saya sadar saya bersalah, saya berjanji akan melakukan ini dan itu bagi Engkau, tidak melakukan ini dan itu bagi Engkau”. Salah sama sekali, itu bukan bertobat. Bertobat adalah mengakui ‘saya ternyata tidak sanggup melakukan ini dan itu; saya ternyata tidak sanggup menghindari ini dan itu bagi Engkau; itu sebabnya saya perlu Engkau untuk melakukannya bagiku”. Itu pertobatan. Sayangnya seringkali kita tidak sadar hal ini. Bertobat bukan oke, saya sadar, dulu saya mencari kekayaan tanpa Engkau, sekarang saya cari kekayaan lewat Engkau; dulu supaya kaya saya investasi, sekarang saya investasi di gereja, saya kasih 10 – Tuhan kasih 100. Kuasa Tuhan itu datang lewat kelemahan Tuhan, dan kuasa Tuhan itu juga kita terima dalam kelemahan kita. Karena lewat kelemahan kitalah, justru kuasa-Nya menjadi sempurna. Itu perkataan Paulus (2 Kor 12:9).
Yang terakhir, implikasinya adalah: lewat kelemahan kita juga, kuasa-Nya masuk ke dunia. Contoh sederhana tentang orang-orang Kristen bersikap ketika kota mereka terjangkit wabah di zaman Romawi dulu. Banyak orang yang terjangkit penyakit meski masih hidup, entah itu anak, sanak saudara, suami, istri, atau pun orang tua, dilempar ke jalan karena yang lain takut terjangkit juga. Tapi orang-orang Kristen bukan cuma tidak melakukan hal itu, dan bukan cuma menolong orang-orang Kristen yang sakit, sejarah membuktikan mereka juga menolong orang-orang non Kristen yang sakit yang dilempar ke jalan. Waktu itu wabah merenggut begitu banyak jiwa, bukan semata karena tidak ada obat tapi tidak ada medical care yang cukup. Menurut riset, wabah seperti itu asal yang sakit dijaga, diberi cukup cairan dan makanan, tidak perlu obat, tidak perlu miracle-cure, kemungkinan bertahan hidup sangat tinggi. Dan orang-orang Kristen merawat, memberi perhatian dan perlindungan, itu saja. Kemudian yang terjadi adalah orang-orang itu sembuh oleh perawatan mereka, tapi orang-orang Kristen yang merawat malah terjangkit penyakitnya dan akhirnya meninggal. Ini substitusi. Seakan-akan mereka memindahkan penyakit tersebut ke diri mereka, sehingga lewat kematian mereka, orang lain dihidupkan. Dari mana mereka dapat ide seperti itu? Apa yang membuat mereka mau melakukan hal seperti itu? Mungkin Saudara pikir itu ‘gak keren, ini bukan mujizat, mujizat itu punya power, tidak perlu berkorban, langsung semua orang sembuh. Itu yang justru bukan mujizat, itu kuasa allah duniawi, dan semua orang bisa mengerjakan, tidak harus orang Kristen. Kalau punya power untuk menyembuhkan orang lain tanpa harus ada bayar harga, siapa yang tidak akan melakukannya? Semua orang akan melakukan itu dan itu normal.Tapi siapa yang mau menolong orang lain ganti dirinya sendiri? Bukankah itu yang justru adalah mujizat? Sehingga manusia yang tadinya begitu self-centered, mau berkorban bagi orang lain, mengganti nyawa orang lain dengan nyawanya.
Kuasa Tuhan masuk ke kita lewat kelemahan-Nya, kelemahan kita. Maka kuasa Tuhan masuk ke dunia juga lewat kelemahan kita. Inilah Kekristenan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading