Saya mengajak Bapak/ Ibu merenungkan satu dari 7 kalimat Tuhan Yesus mengenai “Aku adalah” yaitu “Aku adalah kebangkitan dan hidup”. Yesus Kristus mengajukan satu klaim “Aku adalah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup meskipun ia sudah mati, barangsiapa yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, ia akan hidup untuk selama-lamanya”.
Untuk mengerti hal ini kita perlu melihat konteks ayat 1-17, seorang bernama Lazarus mengalami yang disebut sebagai kematian. Yesus berkata bahwa penyakit itu tidak akan berakhir dengan kematian, tapi faktanya Lazarus mati. Yang dimaksud Yesus Kristus, kematian bukan akhir segala-galanya, kematian Lazarus akan menyatakan kemuliaan Allah. Kematian Lazarus memberikan pengharapan ketika kita bergumul dengan penderitaan yang Tuhan izinkan, bahkan ketika bergumul dengan kematian.
Istilah “mati” dalam Alkitab pengertian dasarnya adalah “terpisah”. Mati secara rohani berarti terpisah dari Allah yang hidup. Allah bukan sekedar pemberi hidup tapi Allah adalah hidup itu sendiri, sehingga manusia berdosa terpisah dari Allah maka dia mengalami kematian secara rohani. Ini sumber dari kematian lainnya, yaitu kematian jasmani yang berarti tubuh terpisah dari jiwa, dan kematian kekal yang berarti terpisah dari Allah dan anugerah-Nya selama-lamanya. Ketika Tuhan datang kedua kali, Dia membangkitkan semua orang; orang yang tidak percaya akan mengalami eternal existence (ber-eksistensi secara kekal) namun tidak menikmati hidup yang kekal, karena tidak ada persekutuan dengan Allah.
Melihat definisi kematian itu, kita mengerti mengapa sadar atau tidak, semua manusia gelisah menghadapi kematian, karena tahu bahwa dia kehilangan hal-hal yang berharga. Kematian rohani berarti kehilangan relasi dengan Allah. Kematian jasmani berarti kehilangan relasi tubuh dengan jiwanya. Kematian kekal berarti kehilangan Allah dan seluruh anugerah-Nya yang masih bisa dinikmati di dunia ini. Di sisi lain, kita tidak punya kemampuan mempertahankan semua yang berharga itu, maka kematian selalu menjadi teror yang menakutkan.
Flp 1:21”Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” memang mudah dipahami secara objektif dan kognisi kita, bahwa selama saya hidup, seluruh hidup adalah dipersembahkan bagi Kristus untuk mempermuliakan Dia, dan mati adalah keuntungan karena ketika orang percaya mati, mereka akan pergi berhadapan muka dengan muka dengan Allah, suatu kerinduan besar dalam hati orang percaya yang terjawab. Namun ketika kematian harus dialami secara subjektif, itu jadi sulit. “Hidup adalah Kristus”, ya; tapi “mati adalah keuntungan”, nanti dulu. Waktu di jalan tol tiba-tiba ada mobil dari belakang menyalip dan menabrak mobil di depan kita, sampai di gereja kita bersaksi apa? Yang saya saksikan adalah “Puji Tuhan saya lolos dari kecelakaan, saya bersyukur saya hidup, tidak peduli orang yang di depan itu mati,” maka ada seorang pemuda memlesetkan ayat tadi “hidup adalah Kristus, untung nggak mati”. Semua orang punya pikiran seperti itu.
“Aku adalah kebangkitan dan hidup”, ketika Yesus mengatakan kalimat itu, apa maksudnya?
PERTAMA, Dia mau mengatakan: “Aku adalah Allah yang berdaulat atas hidup dan matinya manusia”. Allah adalah kehidupan, maka terpisah dari Allah adalah kematian. "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati –ia akan hidup selama-lamanya”, artinya di mana Yesus ada, di situ tidak ada kematian, ada kehidupan meskipun sudah terjadi kematian; kebangkitan Lazarus adalah konfirmasinya.
Yesus mengatakan, “kalau bersekutu dengan Aku akan mendapat kehidupan, terpisah dari Aku, manusia akan mengalami kematian”. Berarti Yesus meng-klaim bahwa diri-Nya adalah Allah, nampak dalam kalimat “Aku adalah” yang dalam teks aslinya “Ego eimi”, dikutip dari teks Perjanjian Lama. Musa bertanya kepada Tuhan yang menampakkan diri dalam nyala api tentang nama-Nya, Allah Israel menjawab, “Katakanlah kepada mereka ‘Aku adalah Aku’ (Yahweh)”. Inilah keunikan Allah Alkitab. Dalam semua kitab suci agama lain, nabi sebagai pihak pertama (“saya”), berbicara kepada jemaat sebagai pihak kedua, tentang Allah sebagai pihak ketiga (“Dia”). Tapi Allah Alkitab memperkenalkan diri-Nya sebagai pihak pertama “Aku adalah”. Dia adalah Allah yang hidup, berelasi dengan umat-Nya, datang kepada umat-Nya dan menyatakan diri “Aku adalah Aku”. Yesus berdiri sebagai Allah yang hadir di tengah-tengah umat-Nya. Kata “Aku adalah” mengingatkan kepada Yahweh di Perjanjian Lama mengenai Allah yang absolut. Itu berarti Allah yang kekal, yang tidak mungkin tidak ada, Dia selalu ada, selalu existence, Dia self sufficient, cukup pada diri-Nya sendiri, Dia tidak butuh apapun di luar diri-Nya. Sebaliknya, semua yang di luar Allah membutuhkan Allah supaya bisa ada/ ber-eksistensi. Bapak/ Ibu dan saya bisa ada hari ini adalah karena Allah memberikan nafas hidup dan memelihara eksistensi kita.
“Aku adalah kebangkitan dan hidup” berarti Aku adalah Allah yang absolut itu. Aku adalah Allah yang memberi hidup kepada manusia. Di dalam tangan-Ku lah, di dalam kedaulatan-Ku, ada kontrol terhadap hidup dan matinya manusia.
Dalam ayat 3-17 waktu Maria dan Marta mengirim kabar "Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit", Yesus tidak segera kembali, meskipun Yesus mencintai Maria, Marta, dan Lazarus, Dia menunda 2 hari lagi. Waktu Yesus menunda 2 hari, Lazarus mati. Baru kemudian Yesus berjalan menuju Betania — diperkirakan 2 hari lamanya– sehingga waktu Yesus tiba, Lazarus sudah 4 hari mati. Itu seperti, katakanlah Bapak/ Ibu punya saudara yang sakit, lalu telpon dokter, “Saudara saya sakit, kamu kenal dia dan mengasihi dia. Tolong datang dan sembuhkan dia”. Lalu dokter itu menunda, dan setelah dia tunda 2 hari, Bapak/ Ibu telpon lagi, “Kamu tunda, kamu tidak datang, saudara saya –dia yang engkau kasihi itu– sudah meninggal”. Lalu di seberang telpon menjawab, “Puji Tuhan, aku bersyukur karena aku nggak di situ waktu dia mati”. Inilah yang terjadi di ayat 14-17. Yesus menunda, Lazarus mati, dan setelah Lazarus mati Yesus berkata, “Aku bersyukur Aku tidak ada di sana”.
Mengapa Yesus menunda? Mengapa kemudian Yesus beryukur Lazarus sudah mati? Yesus berkata: “Supaya kamu belajar percaya”. Yesus menghancurkan tradisi Yahudi yang mempengaruhi murid-murid-Nya, bahwa kalau seseorang mati dan dikuburkan, selama 3 hari roh orang itu terus berada di sekitar jenazah, berjuang untuk masuk kembali ke tubuhnya. Artinya, dalam 3 hari masih ada kemungkinan bangkit; tapi hari setelah lewat 3 hari roh itu melihat tubuhnya sudah membusuk, maka roh itu tahu sudah tidak ada kemungkinan untuk bangkit, dan roh itu pergi. Jadi dalam benak orang Yahudi, sampai hari ke-3 masih ada kemungkinan bangkit, tapi sesudah lewat, tidak ada lagi kemungkinan bangkit. Maka Yesus menunda kedatangan-Nya sampai hari ke-4 –yang orang pikir sudah tidak mungkin lagi ada kebangkitan– berdiri di depan pintu kubur Lazarus, memerintahkan Lazarus keluar dari kuburnya, dan Lazarus keluar. Yesus membuktikan kepada semua yang hadir bahwa Dia adalah kebangkitan dan hidup. Hidup dan mati manusia ada di dalam tangan Kristus.
“Aku adalah kebangkitan dan hidup” bukan kalimat yang hanya didengar orang Kristen. Seorang teman muslim berkata, “Kalian orang Kristen percaya sekali bahwa Yesus membangkitkan orang mati, bukan?” Saya jawab, “Ya, ada beberapa kasus dalam Alkitab, Yesus membangkitkan orang mati, salah satunya Lazarus”. Lalu dia membalas, “Ya! Itu cerita yang terkenal. Kami dengar juga cerita itu. Tapi bagaimana kalian orang Kristen bisa mau mempercayai bahwa Yesus pernah membangkitkan Lazarus?” Bapak/ Ibu, di Yohanes 11:44-45 dikatakan bahwa banyak orang datang, menyaksikan, dan tahu Lazarus mati lalu Yesus membangkitkan, banyak pula yang datang untuk meng-konfirmasi (ayat 45-57); saksi matanya begitu banyak. Ketika Yohanes menulis Injilnya, saksi-saksi mata itu masih hidup dan tidak seorang pun membantah. Saya sulit untuk tidak percaya, karena saksi-saksi mata itu tidak membantahnya; saya lebih sulit lagi menerima keberatan teman-teman tadi, karena mereka bukan saksi mata. Beban untuk membuktikan ada pada mereka, bukan pada kita. Alkitab memanggil kita untuk memiliki iman kepada Kristus, yang adalah kebangkitan dan hidup.
Apa implikasi dari semua ini? Kalau Yesus adalah kebangkitan dan hidup, Dia adalah Allah yang berdaulat atas hidup dan matinya manusia, maka kita bisa melihat beberapa harapan. Yang pertama, penderitaan dan kematian tidak mungkin terjadi tanpa izin Allah. Dan Dia adalah Allah yang baik. Kalau Allah yang baik mengizinkan sesuatu terjadi, maka Dia punya tujuan yang baik, yang mulia, di balik semua yang terjadi dalam kehidupan kita.
Beberapa waktu lalu satu jemaat di Semarang mengalami kedukaan karena istrinya dibunuh. Pendeta Antonius Un, sebagai gembala, menemui bapak itu di rumahnya, sedang menangis seperti seorang anak kecil. Pendeta Antonius Un tidak bicara apa-apa, tapi begitu ada kesempatan waktu orang ini sudah mulai tenang, beliau memegang bahunya dan mengatakan, “Pak, ingat, Tuhan itu baik.” Mengapa dia mengatakan kalimat itu? Pendeta Antonius Unmengatakan, “Di dalam penderitaan, iblis juga bekerja untuk menujukkan bahwa Allah itu tidak baik, maka saya sebagai hamba Tuhan harus merebut momen itu. Ketika ada momen dia bisa mendengar dengan baik, saya harus sampaikan ‘Allah itu baik’.” Allah yang baik bukan hanya baik tapi Dia berdaulat, sehingga semua yang terjadi adalah di dalam kedaulatan-Nya, pasti melibatkan kebaikan-Nya, pasti melibatkan bijaksana-Nya. Apapun yang Bapak/ Ibu hari ini gumulkan, itu ada dalam kedaulatan Allah yang baik dan bijaksana itu.
Yang kedua, Yesus Kristus menujukkan diri-Nya sebagai tempat bagi Bapak/ Ibu untuk bersandar dalam setiap pergumulan. Manusia cenderung bersandar pada diri, tapi sekuat apapun, akan ada saat-saat kita mendapati bahwa kelemahan kita terlalu banyak. Ravi Zacharias memberi satu contoh tentang Muhammad Ali, petinju legendaris yang begitu hebat pada zamannya. Satu kali ketika Muhammad Ali dalam penerbangan menuju tempat pertandingan, terjadi turbulensi, semua penumpang diperintahkan memakai sabuk pengaman. Semua penumpang segera memakai, kecuali dia. Lalu pramugari mengatakan, “Tuan, tolong pakai sabuk pengamannya.” Dia jawab, “Superman tidak butuh sabuk pengaman.” Pramugari mengulangi lagi, tapi dengan sombong dia tetap mengatakan, “Superman tidak butuh sabuk pengaman.” Pramugari itu lalu menjawab, “Tapi Tuan, Superman tidak butuh pesawat untuk terbang!” Ketika melihat pada kekuatan kita, kita bisa bersyukur, tapi kadang-kadang syukur kita berubah menjadi kesombongan, lupa bahwa kita ada terlalu banyak kelemahan.
Waktu kita tidak bersandar kepada diri, biasanya kita melihat kepada objek di luar, yang kepadanya kita bersandar dan mencari jalan keluar. Sandaran manusia modern hari ini: teknologi. Teknologi memudahkan banyak hal. Teknologi membuat adanya microphone ini sehingga saya tidak harus teriak-teriak. Tapi seorang Perancis, Kristen, bernama Jacques Ellul menulis satu buku “Technological Society”, membandingkan teknologi tradisonal yang dia syukuri dengan teknologi modern yang dia “berusaha lawan”. Menurut dia, dalam teknologi tradisional, kapasitas manusia –the perfection of human being– harus terus dikembangkan untuk bisa mengendalikan teknologi tersebut. Tapi teknologi modern adalah teknologi yang makin lama makin disempurnakan –the perfection of tools–dan semakin sempurna teknologi, maka dalam menggunakannya, manusia tidak perlu lagi dikembangkan kapasitasnya. Contoh: telepon zaman dulu bisa dipakai untuk menelpon tapi tidak bisa menyimpan nomor, sehingga kita harus memaksimalkan memori otak untuk mengingat nomor-nomor telpon; tapi hand phone zaman sekarang semua nomor telpon sudah ada dalam memorinya, kita tidak perlu mengingat-ingat lagi, sehingga jangankan nomor telpon istri, nomor telpon kita sendiri pun kita lupa. Teknologi modern di satu sisi menolong, namun di sisi lain –sisi yang tidak kelihatan– kapasitas manusia dihancurkan. Saya tidak mengatakan bahwa teknologi selalu jahat melainkan apapun itu –termasuk teknologi– ketika kita bersandar kepadanya, satu saat nanti kita akan bayar harga untuk itu. Tapi ketika kita datang kepada Kristus, yang adalah kebangkitan dan hidup, Dia berkata “bukan kamu yang bayar harga bagi-Ku, tapi Aku yang telah membayar harga bagimu”.
Dia adalah tempat yang tepat untuk bersandar, bukan hanya dalam pergumulan-pergumulan besar, tapi dalam pergumulan terkecil pun, bahkan yang seringkali kita sudah lupa mendoakannya. Dalam keluarga kami, ada satu pergumulan panjang yang 20 tahun baru Tuhan jawab. Waktu itu saya usia sekitar 10 tahun; salah seorang kakak sepupu yang sekolah teologi, ketika akan ditahbiskan sebagai Pendeta, tiba-tiba dia menghilang. Dia menghilang karena menikah dengan orang bukan Kristen. Dua tahun pertama semua keluarga berdoa, tapi setelah berjalan beberapa lama, semua lupa. Sampai saya sudah jadi hamba Tuhan pun, saya juga lupa punya saudara yang sekolah teologi itu. Lalu satu saat tante saya bilang, “Tama, puji Tuhan! Tuhan dengar doa kita!” Saya tanya, “Doa yang mana?” Tante jawab, “Doa yang 20 tahun kita doakan itu”. Singkat cerita, Tuhan menggelisahkan kakak sepupu itu, dia mengambil keputusan kembali jadi orang Kristen. Saya sudah belasan tahun tidak doakan hal itu. Di mana Tuhan belasan tahun? Di mana Tuhan 20 tahun? Tapi Tuhan juga tanya, “Di mana doa-doamu itu, Tama, selama 15 tahun?” Tuhan itu setia. Ketika tidak ada lagi satu orang dalam keluarga mendoakan, Tuhan masih ingat dan Tuhan jawab, di tahun yang ke-20. Bapak/ Ibu dan saya mau bersandar kepada siapa? Kepada suami, istri, anak, keluarga? Mereka bisa melupakan kita. Tapi ketika kita berhadapan dengan Yesus Kristus, Dia adalah Allah yang berdaulat, Allah yang baik, Allah yang bijaksana, dan “Dia adalah Allah yang setia”.
KEDUA, Yesus mau mengatakan bahwa Dia adalah jawaban bagi pergumulan manusia ketika mereka berhadapan dengan misteri kematian. Yesus adalah pengharapan bagi orang percaya ketika harus berhadapan dengan kematian yang tidak bisa dihindari. Hati kita galau ketika berhadapan dengan kematian karena kematian merampas yang paling berharga dalam hidup kita, tapi di sisi lain orang galau karena tidak jelas apa yang terjadi setelah kematian.
Seringkali orang percaya mengatakan “kalau ada Kristus, kita bisa menghadapi kematian dengan tenang”. Nanti dulu, filsafat pun kadang-kadang memberikan ketenangan. Socrates waktu diberi racun sebagai hukuman mati, dia tidak menolak, dia ambil racun itu, dan dia minum. Mengapa dia bisa begitu tenang? Bukankah dia tidak kenal Yesus? Filsafat zaman itu mengatakan “Tubuh ini jahat, jiwa adalah baik, suci. Ketika manusia hidup, jiwa terpenjara di dalam tubuh yang jahat. Kematian memisahkan jiwa yang baik dari tubuh yang jahat”. Maka orang Yunani zaman itu tidak pernah berharap kebangkitan, kematian adalah sesuatu yang positif, orang yang belajar filsafat bisa mati dengan tenang. Tapi satu hal yang tidak dijawab filsafat: apa yang terjadi setelah kematian?
Karena kita ciptaan yang kekal, kita bisa berpikir tentang masa lalu, kita bisa mengantisipasi masa depan, bukan hanya pikir hari ini. Maka kita juga pikir, “Setelah saya mengalami kematian, apa yang akan terjadi?” Banyak orang memikirkan itu, banyak agama memikirkan itu, dan biayanya besar karena memikirkan itu. Satu hari saya memimpin kebaktian untuk kremasi dan sempat terjadi keributan antara keluarga yang Kristen dan yang bukan Kristen soal mutiara mahal yang sudah dibeli untuk taruh di dahi jenazah, saya kurang jelas masalahnya apa. Mengapa perlu mutiara itu? Karena dalam kebudayaan mereka, kematian itu sesuatu yang gelap dan tidak pasti, maka diperlukan sesuatu yang “memantulkan cahaya” untuk menolong orang mati itu supaya dalam kegelapan bisa melihat ada terang yang menuntun. Bapak/ Ibu bisa lihat, dalam banyak tradisi cost yang harus dikeluarkan untuk mempersiapkan seseorang berhadapan dengan kematian begitu mahal, tapi ketika kita datang kepada Kristus, sederhana, “Aku adalah kebangkitan dan hidup”.
Ayat 25-26 Yesus bicara 2 hal:
Pertama, “Aku adalah kebangkitan; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, ia akan bangkit meskipun ia sudah mati”. Artinya, “kalau engkau percaya kepada-Ku, setelah engkau mati, di akhir zaman nanti Aku akan datang sebagai Allah yang berdaulat atas hidup dan matinya manusia, dan Aku akan membangkitkan engkau”.
Istilah “mati” dalam tradisi Yahudi sering disebut “tidur” (irrevocable sleep), tidak ada yang bisa membangunkan, kecuali Allah sendiri datang membangkitkan dia. Di sini Yesus mengatakan kepada orang Yahudi, sementara engkau menantikan Allah membangkitkan di akhir zaman nanti, ketahuilah bahwa Aku yang akan membangkitkan manusia dari antara orang mati. Buktinya apa? Lazarus. Yesus membangkitkan Lazarus dengan perintah. Yesus membangkitkan anak Yairus juga dengan perintah; begitu mudah seperti membangunkan orang tidur, “talita kum”, bahasa yang biasa dipakai ibu-ibu membangunkan anaknya di pagi hari. Yesus tidak perlu pakai kalimat yang sakti atau semacam itu, hanya satu kalimat perintah yang sederhana, dan anak itu bangkit.
Mujizat Lazarus –kebangkitan orang mati– tidak harus terus menerus terjadi. Cukup Bapak/ Ibu dan saya melihat fakta itu dan percaya kepada Kristus mengenai yang akan terjadi di akhir zaman nanti. Tapi kadang kita juga merasa tidak cukup. Oke, mati hari ini dan akhir zaman nanti dibangkitkan, tapi masa antara ini bagaimana? Sebelum Engkau membangkitkan saya, apa yang akan terjadi?
Oleh karena itu, kalimat Yesus yang kedua mengatakan “Aku adalah hidup, barangsiapa yang hidup, yang percaya kepada-Ku, dia tidak akan mati untuk selama-lamanya. “ Yesus tidak bicara mengenai iman yang meniadakan kematian jasmaniah. Abraham mengalami kematian, Lazarus yang sudah dibangkitkan juga masih mengalami kematian, maka kalimat kedua ini bicara tentang kebangkitan secara spiritual. Semua kita pernah mati secara spiritual, terpisah dari Allah. Dan waktu kita masih hidup, kita percaya kepada Yesus Kristus, kita dibangkitkan secara spiritual dan mengalami spiritual union with Christ (persekutuan spiritual dengan Yesus Kristus). Tubuh kita akan hancur namun jiwa kita tetap mengalami kehidupan.
Ada 2 persekutuan yang kuat di dalam dunia. Alkitab mengatakan, yang pertama yaitu persekutuan antara suami dan istri. Ketika suami dan istri dipersatukan Tuhan, Dia mengatakan, “Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya, menjadi satu daging dengan istrinya”, dan persekutuan ini tidak bisa oleh siapapun manusia, “kecuali oleh maut” yang memisahkan mereka. Artinya, maut adalah kekuatan yang begitu besar sehingga cinta kasih suami istri yang sudah diberkati Tuhan dan tidak bisa dipisahkan oleh apapun itu, bisa dipisahkan oleh kematian. Suami atau istri yang sudah ditinggal mati pasangannya, boleh menikah lagi, karena kematian sudah memutuskan relasi itu. Sekuat apapun cinta kasih suami istri, relasi itu satu saat diputuskan oleh kematian. Ikatan yang kuat yang kedua di dunia ini adalah ikatan antara tubuh dan jiwa. Tubuh tidak bisa hidup tanpa jiwa. Kalau saya berkotbah di sini hanya jiwanya tanpa tubuh, itu akan jadi persoalan. Yang namanya manusia, jika ia punya jiwa dan tubuh. Itu tidak bisa dipisahkan kecuali ketika kematian datang dan memisahkan.
Kematian punya kekuatan luar biasa yang tidak bisa ditolak manusia dengan segala potensi dan apapun yang dia miliki dalam dunia ini. Tapi kematian tidak bisa memisahkan Bapak/ Ibu dan saya dari Kristus, mempelai laki-laki kita. Bukan berarti kita tidak akan mati secara jasmaniah, tapi kematian jasmaniah yang memisahkan tubuh dan jiwa tidak akan sanggup memisahkan kita dari Allah. Itu sebabnya kepada orang yang disalib di sebelah Yesus yang berkata, “Tuhan, ingatlah kepadaku ketika Engkau datang di akhir zaman”, Dia mengatakan, “Hari ini juga, engkau ada bersama-sama dengan Aku di Firdaus”.
Apa itu Firdaus? Dalam 2 Kor 12, Paulus mempersamakan Firdaus dengan surga tingkat yang ketiga. Orang Yahudi punya kata yang sama untuk “surga” dan “langit”, maka mereka membedakan berdasarkan tingkat. Waktu melihat ke langit yang kelihatan, itu disebut sebagai langit/ surga tingkat pertama. Tapi dalam pikiran mereka ada kesadaran bahwa di atas langit yang kelihatan itu masih ada yang tidak kelihatan, itu disebut sebagai langit/ surga tingkat kedua. Lalu surga tingkat ketiga adalah tempat takhta Allah ada, yang kita di sini mengerti sebagai “surga” dan kita bedakan dari “langit”.
Ketika kita berhadapan dengan orang-orang yang mengalami kematian, sebesar apapun kita mengasihi dia, kita tidak bisa melampaui batasan yang ada. Waktu jenazahnya masuk krematorium untuk dikremasi, kita cuma bisa antar sampai di situ. Ketika orang yang paling kita cintai berada di lubang kubur, kita berhenti di situ. Tapi Alkitab menyaksikan hal yang berbeda: tidak ada yang bisa memisahkan kita dari Kristus. Itu berarti ketika orang-orang yang mengasihi sudah berhenti di wilayah yang tidak bisa mereka sentuh, masih ada Kristus yang menyertai jiwa orang percaya. Jika Dia menenangkan jiwa orang yang sudah mati, apalagi kita yang hidup.
Dalam pembicaraan dengan beberapa jemaat, situasi ekonomi belakangan ini lebih sulit daripada sebelumnya. Bapak/ Ibu dan saya akan selalu berhadapan dengan fakta-fakta seperti ini, yang mengganggu hati kita selama kita hidup, sampai berhadapan dengan kematian. Kalau hari ini kita mau mencari ketenangan jiwa, itu tidak akan mungkin bisa ditemukan, karena jiwa kita tidak akan dibiarkan untuk tenang. Waktu manusia belum jatuh dalam dosa, jiwanya diisi dengan baik oleh Allah. Namun ketika terjadi perpisahan manusia dengan Allah, Blaise Pascal mengatakan, “Ada semacam lubang besar yang ditinggalkan oleh Allah, dan itu tidak bisa diisi oleh apapun”. Jiwa hanya bisa ditenangkan oleh sesuatu yang kekal. Jiwa tidak bisa ditenangkan dengan hal-hal yang sementara. Dan “yang kekal” hanya ada 2: Allah yang kekal, Firman Allah yang kekal. Itu yang harus mengisi jiwa kita.
Yesus berkata, Aku bukan hanya memperhatikan manusia di dalam pergumulan, namun Aku memberikan ketenangan di dalam jiwa mereka. Ini harusnya menjadi pengharapan mengatasi kecemasan kita. Tidak selamanya pergumulan kita diselesaikan, tapi kita punya pengharapan bahwa kita akan selesai menjalani pergumulan itu. Paulus menggunakan istilah “harus diakhiri pertandingan itu dengan baik”. Pertandingan hanya bisa diakhiri jika ada pengharapan. Jika tidak memiliki pengharapan, kita akan mengakhiri pertandingan sebelum pertandingan itu selesai.
TERAKHIR, ketika Yesus berkata “Aku adalah kebangkitan dan hidup”, Dia mau menyatakan bahwa Dia adalah Mesias yang menderita. Di ayat 26 Yesus menutup dengan, “Marta, percayakah engkau akan hal ini, Aku kebangkitan dan hidup? Siapa percaya, dia akan bangkit, dia tidak akan mati selama-lamanya. ” Marta jawab, “Tuhan, aku percaya Engkau Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang. “ Jawaban ini kelihatannya ‘gak nyambung, tapi ini menujukkan bahwa Marta memiliki pemahaman tentang Kristus jauh melampaui orang percaya lain, bahkan para rasul dan murid-murid. Yesus cukup mengatakan “Aku kebangkitan dan hidup” lalu Marta berkata, “Tuhan saya percaya, karena kalau Engkau membangkitkan orang mati, Engkau menjamin jiwa kami, maka Engkau pasti Mesias, Engkau Anak Allah, bersifat ilahi, dan Engkau adalah Dia yang akan datang di akhir zaman”.
Yesus adalah Mesias; Mesias yang menderita. Darimana kita belajar konsep ini? Dari kalimat Yesus “penyakit ini tidak akan berakhir dengan kematian tapi berakhir dengan kemuliaan Allah dan kemuliaan Anak”. Istilah “kemuliaan” bukan berarti kebangkitan saja; Yesus mau mengatakan bahwa akhir dari cerita ini bukan kebangkitan Lazarus di ayat 44, tapi kemuliaan Anak Allah di ayat 45-47 yaitu persepakatan untuk membunuh Yesus.
Yohanes seringkali mengaitkan kemuliaan Kristus dengan kematian-Nya. Yoh 12:23 : Tetapi Yesus menjawab mereka, kata-Nya: "Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan…”, lalu ayat sebelum dan sesudahnya, dan juga judul yang diberikan LAI “Yesus memberitakan kematian-Nya” menunjukkan bahwa itu berarti juga “telah tiba Anak Manusia menjumpai kematian-Nya”. Mengapa kematian Kristus dilihat sebagai kemuliaan? Karena itu menyatakan bahwa Allah kita adalah Allah yang menderita. Dia bukan Allah di atas sana yang tidak mengerti penderitaan kita, Dia adalah Allah yang juga mengalami penderitaan. Di Taman Getsemani Yesus berkata, “Sekiranya mungkin biarlah cawan ini lalu daripada-Ku”. Cawan yang mau dihindari Tuhan Yesus bukanlah penderitaan fisik dan kematian –banyak orang Kristen juga rela melakukan itu demi Kristus– melainkan perpisahan dari Allah Bapa. Namun ketika Yesus berkata “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku”, saat itulah cawan itu diminum sampai habis, dan itulah pertama kali terjadi perpisahan antara Bapa dan Anak.
Timothy Keller mengatakan: “Tidak ada penderitaan batin yang lebih besar daripada kehilangan relasi yang kita inginkan”. Seandainya kita berdoa selama 5 tahun untuk kehadiran seorang anak, lalu Tuhan kasih seorang anak; maka kalau kemudian Tuhan ambil anak itu, mana yang lebih menyakitkan, ketika tidak punya anak atau setelah punya anak? Ketika kita berelasi dengan seseorang 5 tahun, 7 tahun, hati kita begitu menderita ketika kehilangan relasi itu. Sejak dalam kekekalan dan 33 ½ tahun Yesus melayani di dunia, tidak pernah sekalipun ada perpisahan Allah Bapa dan Allah Anak, namun di Bukit Golgota Yesus harus satu kali berteriak “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku”.
Penderitaan itu bukan hanya pada Kristus, saya yakin juga ada pada Allah Bapa yang harus berdiri sebagai posisi yang menghakimi dan memurkai. Ketika Abraham mau menghujamkan pisaunya ke jantung Ishak lalu Malaekat menahan tangannya dan ada domba yang menggantikan Ishak, kita tidak bisa membayangkan betapa sukacitanya Abraham. Tapi siapa yang menahan tangan Allah Bapa ketika murka Allah itu harus dihujamkan kepada Kristus? Tidak ada.
Mengapa perpisahan yang menyakitkan itu harus terjadi? Mengapa Allah Bapa harus memurkai Allah Anak? Mengapa Allah Anak harus berteriak “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku” ? Saya yakin, Allah Bapa ada di atas Bukit Golgota hari itu karena Allah Mahahadir, namun kehadiran-Nya sangat berbeda. Biasanya Dia hadir bersama-sama Kristus di dalam anugerah, tapi sekali itu, Dia hadir di dalam murka, kemarahan, dan seluruh yang harus ditanggung manusia berdosa –neraka itu– yang sekarang ditimpakan kepada Kristus. Allah Bapa menderita di atas Bukit Golgota, Yesus menderita di atas Bukit Golgota, supaya Bapak/ Ibu dan saya menikmati kelepasan, lepas dari penderitaan yang ditanggung oleh Allah Anak.
Penderitaan Kristus menyatakan kemuliaan-Nya, karena penderitaan itu menyatakan penderitaan Allah, Allah yang ber-empati kepada kita. Yesus tidak menjadi manusia untuk bisa mengerti penderitaan kita karena Dia Allah yang Mahatahu, Dia tahu penderitaan kita. Tapi Yesus harus menjadi manusia dan mengalami seluruh penderitaan kita, supaya kalau Bapak/ Ibu dan saya menderita, kita belajar mengerti bahwa Dia mengerti. Maka ketika kita bergumul, kita musti berhenti berdoa “Tuhan, Engkau tidak mengerti yang kami alami”.
Dan penderitaan Yesus, pada saat yang sama, menegaskan keintiman relasi Dia dengan Bapa. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku”, ini yang disebut sebagai alam maut atau neraka. Yesus tidak turun ke dalam kerajaan maut –seperti kalimat dalam Pengakuan Iman rasuli– dengan cara pergi ke dunia orang mati atau neraka yang seperti kita bayangkan; yang dimaksud alam maut/ neraka adalah penghakiman, perpisahan dari Allah Bapa yang harus dialami di Bukit Golgota.
Neraka dialami Yesus bukan setelah Dia mati, tapi ketika Dia masih hidup menanggung seluruh murka Allah. Ini yang membedakan Yesus dengan semua manusia lain yang berada dalam neraka. Semua manusia dalam neraka terus berada dalam kebencian terhadap Allah, permusuhan kepada Allah, sehingga mereka tidak mungkin memanggil “Allahku, Allahku”; tapi ketika Yesus menanggung neraka itu, Dia panggil Bapa sebagai “Allah-Ku”. Ini relasi yang begitu intim; di satu sisi terpisah, tapi disisi lain kesatuan Allah Tritunggal tidak tercerai ketika Allah memurkai Anak di atas Bukit Golgota. Ini menujukkan satu hal: Dia –Pribadi yang digantung di atas kayu salib itu– adalah Pribadi yang suci. Kematian-Nya bukan akibat dosa. Kematian-Nya adalah untuk menggantikan Bapak/ Ibu dan saya, menanggung dosa-dosa kita, sehingga kita tidak perlu lagi mempertanyakan kasih Allah bagi kita.
Hari ini, kalau kita menderita, itu bukan karena Allah tidak mengasihi kita. Hamba Tuhan –atau kita sendiri– mungkin terbatas untuk mengerti alasannya, tapi yang kita perlu ingat, itu jelas bukan karena Allah tidak mengasihi kita, bukan karena Dia tidak tahu penderitaan kita. Kita perlu kembali pada argumentasi pertama tadi: Dia berdaulat, Dia baik, Dia bijaksana, Dia setia. Kapankah terakhir kali ketika kita bergumul, pikiran kita terarah pada Allah yang berdaulat, Allah yang baik, Allah yang bijaksana, Allah yang setia?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)