Ini adalah bagian mengenai Gereja/ Jemaat yang pertama; sebelumnya ada kotbah yang pertama, yaitu kotbah Petrus di Serambi Salomo; kemudian berikutnya ada tindakan mujizat yang pertama setelah Yesus naik ke surga. Setiap “yang pertama” ini nampaknya mempunyai tugas untuk menceritakan seperti apa seharusnya “barang yang asli”. Dari kotbah yang pertama kita bisa belajar tentang kotbah yang sesungguhnya. Dari mujizat yang pertama kita bisa melihat tentang untuk apa sesungguhnya suatu mujizat. Dan hari ini kita akan melihat apa yang menjadi tanda sesungguhnya suatu Gereja.
Saya akan mulai dari bagian tengah mengenai tanda Gereja yang sejati, yang Roh Kudus bertakhta atasnya, yaitu mulai ayat 44. Di situ ada kalimat “dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu”, terjemahan ini agak kurang tepat; dalam bahasa aslinya pengertiannya bukan cuma mereka melakukan hal-hal bersama-sama –berkumpul bersama, makan bersama, seperti ayat 46– tapi ada nuansa yang lain yaitu bahwa mereka “bersama-sama adanya”. Dalam bahasa Inggris lebih jelas, mereka bukan cuma “meet together”, “eat together”, tapi mereka itu “were together”; kebersamaan ini bukan cuma sesuatu yang mereka lakukan dan biasanya tidak seperti itu, melainkan kebersamaan ini adalah sesuatu yang datang secara natural yang menyatakan siapa mereka sesungguhnya. Maka kita bisa melihat sejak awal, salah satu tanda Gereja yang sejati adalah bahwa kebersamaan mereka bukan sesuatu yang dipaksakan, mereka tidak perlu disuruh-suruh untuk datang, mereka justru mungkin lebih sulit kalau disuruh untuk tidak datang. Kehidupan yang normal bagi kita, mungkin justru sampingan bagi mereka; sebaliknya yang bagi kita adalah sampingan –yaitu bersekutu bersama– bagi mereka justru kehidupan yang normal. Mereka lapar dan haus akan kebersamaan yang demikian. Lapar dan haus adalah tanda kehidupan, bukan sesuatu yang harus disuruh, seperti bayi menangis bukan karena meresponi perintah/ tugas, tapi bayi menangis karena dia meresponi kehidupan.
Gereja yang mula-mula bukan cuma melakukan segala sesuatu bersama-sama, tapi mereka adalah bersama-sama, dikatakan “mereka tetap bersatu”. Pertanyaannya bagi kita, kita datang ke sini apakah karena motivasi yang sama seperti itu atau bukan. Lebih mencengangkan lagi kalau kita consider siapakah mereka yang bersama-sama itu.
Bukan suatu kebetulan, hari Pentakosta adalah hari yang paling tepat untuk lahirnya Gereja, karena Pentakosta adalah hari raya agama yang paling banyak dihadiri orang. Pentakosta artinya hari ke-50, signifikansinya dalam agama Yahudi adalah hari setelah 7minggu x 7 hari sesudah Paskah. Suatu hari yang sangat spesial. Paskah terjadi sekitar bulan April, maka Pentakosta jatuh sekitar bulan Juni yang keadaannya paling bagus juga untuk orang-orang travel ke Yerusalem. Itu sebabnya dalam hari Pentakosta segala bangsa di kolong langit berkumpul di tempat itu (Kis 2:5); dan segala bangsa di kolong langit itulah yang bersatu.
Banyak pemikiran dunia –kita tidak percaya ini– meng-atribusi-kan agama sebagai hasil dari temperamen atau budaya seseorang. Misalnya kita mengatakan “orang ini bukan tipe religius”, berarti keagamaan adalah hasil dari temperemen seseorang, perlu temperamen yang cocok untuk seseorang beragama. Atau agama sebagai perpanjangan dari budaya, seperti kalau orang Jawa tentu mayoritas Islam, orang Batak biasanya Kristen, orang Bali Hindu, orang Yahudi berarti Yudaisme, orang Arab biasanya Islam, dst. Tapi di bagian ini kita melihat semua kultur, semua ras, semua kelas masyarakat –semua temperamen juga tentu– ada di dalam hari Pentakosta; dan dari semua kelompok inilah terjadi jemaat yang pertama. Mereka tidak punya apa-apa yang sama yang menyatukan, tapi mereka setiap hari berada di rumah-rumah, artinya bergantian masuk ke rumah-rumah orang yang total strangers, bukan hanya tidak kenal, tapi beda latar belakang, beda kelas masyarakat, beda kebudayaan, dst. Mengapa bisa? Karena mereka lapar dan haus akan hal ini, mereka mau dan bukan dipaksa.
Seorang sejarahwan, Kenneth Scott Latourett, mengatakan bahwa Kekristenan bisa luar biasa impactful dalam Kekaisaran Roma pada waktu itu, adalah karena sifat inklusifitas ini (inklusif = kebalikan dari eksklusif). Inklusifitas Kekeristenan jauh melebihi semua agama saingannya sehingga Kekristenan menarik semua jenis kelas, semua jenis ras. Ilah-ilah kafir selalu terikat atau dibatasi bangsa/ daerah tertentu. Yudaisme meski notabene terbuka bagi orang non-Yahudi, tetap tidak bisa melampaui batasan rasialnya karena penganut-penganutnya harus mengadopsi budaya Yahudi juga. Dalam hal ini, Kekristenan malah menemukan kemuliaan dalam keragamannya; equal bagi orang Yahudi, Gerika, Afrika, Barbarian. Latourette juga mengatakan bahwa filsafat Romawi dan Yunani memang menarik, tapi bagi kalangan terpelajar saja, dan tidak pernah bisa memenangkan hati orang banyak. Di sisi lain, Kekristenan seringkali dituduh memiliki ajaran yang terlalu simpel sehingga siapa pun dapat mengerti, and yet Kekristenan juga membangun filosofi yang menantang para The Greatest Minds dalam sejarah. Yang berikutnya, Kekristenan juga adalah bagi kedua jenis kelamin, sementara agama kompetitor utamanya yaitu Yudaisme dari Yahudi dan Paganisme dari Romawi, hampir-hampir eklsklusif untuk laki-laki saja. Saingan yang lain yaitu mystery religions –contoh yang ada hari ini adalah Scientology– suatu agama yang mengharuskan Saudara membayar atau punya backing-an untuk bisa masuk sehingga hanya bagi orang-orang strata tinggi dalam masyarakat.
Maka Kekristenan justru rahasianya adalah inklusivitas ini; dan inklusivitas ini ada karena keunikan Kristus. Kekristenan basically mengatakan bahwa Tuhan Yesus-nya itu bukanlah seorang guru yang menunjukkan jalan kepada keselamatan, melainkan Seorang Anak Allah yang menyelesaikan/ mengerjakan keselamatan. Maka itu berarti dalam Allah yang seperti ini, semua jenis kelamin, semua ras, semua orang –terpelajar atau tidak terpelajar, tinggi atau rendah, mampu atau tidak mampu– semuanya bisa share di dalam keselamatan yang “di dalam Kristus” tersebut. Ini satu hal yang ada sejak awal, dan ini harusnya mendeskripsikan bagaimana orang Kristen hari ini bersama-sama.
Dr. Martyn Llyod Jones –seorang yang sangat terpelajar– pernah memberi kesaksian bahwa seringkali dia menemukan dalam pelayanannya, dia merasakan persatuan justru dengan orang-orang yang bukan dari kelasnya. Waktu memimpin gereja di Wales ,yang pinggiran, dia merasa lebih bisa nyambung dengan nelayan yang mengenal Kristus dibandingkan dengan orang-orang yang level intelektualnya sama. Kita bisa melihat hal ini di Alkitab juga. Paulus yang latar belakangnya sangat elit dan memiliki intelektualitas sangat tinggi, waktu menulis surat kepada para budak dan orang-orang tidak terpelajar di gereja Korintus, dia mengatakan, “aku rindu untuk datang kepadamu”. Ini tidak berarti bahwa orang Kristen tidak bisa enjoy berbincang-bincang dengan orang yang level intelektualnya sama, melainkan orang Kristen menyadari bahwa perbincangan semacam itu bukanlah persekutuan. Ada perbedaan antara persatuan yang sungguh-sungguh, yang ada certain sharing, dengan perbincangan yang cuma merangsang otak.
Kesaksian lain, ada seorang yang ketika masuk gereja, dia kaget ketika mendapati dirinya bersahabat dengan orang yang justru jauh berbeda. “Saya ini seniman, saya tidak suka kerapian, dsb. tapi anehnya saya menemukan di gereja ini, justru saya bersahabat dengan seseorang dari Wall Street, yang adalah investment banker, yang kerjanya crunching numbers, dsb.” Hal-hal yang dulu memisahkan mereka, kini tidak ada artinya sama sekali. Menariknya, dia juga mengatakan “kami sering berdebat” tapi pengalaman sparring itu justru akhirnya memperkaya bukan merusak. Perdebatan yang sungguhan dapat terjadi karena ada 2 cara pandang yang berbeda; tapi mengapa sekarang mereka mampu berbicara tentang hal-hal yang memisahkan mereka, tanpa harus akhirnya memisahkan mereka? Karena sekarang ada sesuatu yang lebih dalam dari hal itu. Mereka bisa berbicara mengenai pandangan politik yang berbeda karena sekarang ada yang lebih dalam daripada politik saja. Mereka bisa berbicara dengan pandangan berbeda mengenai seni, uang, dsb. tapi sekarang ada yang lebih dalam daripada itu; itulah yang membuat mereka tetap satu. Orang Kristen yang susah sekali dikritik, kemungkinan besar tidak ada apa-apa lagi di bawah itu sehingga kalau hal ini dikritik, dibuang, diambil, ia tidak bisa lagi hidup seperti ini. Tapi orang yang bisa dikritik, artinya ada sesuatu yang lebih dalam, yang di bawah, yang mendasari itu. Apakah ini adalah kehidupan Gereja hari ini? Adakah orang-orang seperti ini dalam hidup kita? Kalau kita merasa diri sophisticated, dapatkah kita berelasi dengan orang-orang yang hidupnya ceroboh tidak teratur; dan juga sebaliknya Saudara yang hidupnya tidak teratur dan ceroboh, bisakah berelasi dengan orang-orang yang canggih dan sophisticated?
Mungkin sebagian orang dalam gereja merasa pelayanannya adalah pelayanan “kebenaran”, kalau orang datang dengan problem, mereka meresponinya dengan kebenaran, kamu salahnya di sini dan di situ, kamu harusnya begini, begini, begini. Di sisi lain ada pelayanan yang bukan mengenai “truth” melainkan “tear”. Tuhan Yesus sendiri ada keduanya; terhadap Martha Dia membicarakan “truth”, terhadap Maria, Dia ikut menangis, tidak bicara apa-apa. Waktu orang datang dengan problematika, dan responnya menangis bersama-sama orang tersebut, itu juga pelayanan. Tapi seringkali 2 tipe pelayan ini berkontradiksi dalam gereja; yang satu bilang “yang penting kebenaran!”, satunya mengatakan “kalau ngomong kebenaran doang, tidak ada menangis bersama, tidak bisa masuk juga.” Waktu melayani, kedua hal ini ada. Itu sebabnya kita dipanggil dalam 3 jabatan, imam, nabi, dan raja. Nabi bicara mengenai kebenaran; imam berbicara mengenai solidaritas dari bawah, mewakili orang yang lebih lemah datang kepada Tuhan, dsb. Ini adalah tanda yang ada di dalam Gereja pada awalnya; ada persatuan dari orang-orang yang sungguh-sungguh berbeda satu dengan yang lain. Itu yang pertama. Mereka bersatu bukan karena mau bersatu, melainkan karena mereka lapar dan haus. Dan persatuannya lahir dari ke-berbeda-an/ ke-terpisah-an yang sangat besar, karena ada sesuatu yang lebih dalam yang menyatukan semua itu.
Yang kedua yang kita bisa bahas dari bagian ini adalah mengenai apa yang mereka lakukan selagi mereka bersama-sama ini. Jawabannya ada di ayat 42, yang basically adalah rangkumannya, yaitu 4 hal: mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul, dalam persekutuan, memecahkan roti, dan berdoa.
Pertama-tama kita perlu menyelidiki kata “bertekun”, dalam bahasa Inggrisnya “devotion”. Baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggrisnya ini tidak terlalu tepat, karena kata dalam bahasa aslinya adalah suatu istilah yang pengertiannya seorang ajudan pribadi yang senantiasa memberi dirinya. Kata “devotion” cukup dekat dengan ini, tapi perlu ada sense “terus menerus” yang ada pada kata “bertekun”. Mereka bukan cuma bertekun, tapi memberi dirinya senantiasa dalam pengajaran rasul-rasul, dalam persekutuan, memecahkan roti, dan berdoa.
Yang pertama, mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul. Kita musti mengingatkan diri kita, bahwa gaya hidup jemaat yang mula-mula bukan cuma berbagi –yang seringkali kita pikir– tapi mereka saling memberi dirinya ke dalam pengajaran rasul-rasul. Gereja yang hidup adalah Gereja yang lapar dan haus akan firman Tuhan; dan analogi “bayi” sangat appropriate karena rasul Petrus di 1 Ptr 2:2 mengatakan “jadilah seperti bayi yang baru lahir, yang selalu menginginkan susu spiritual itu”, ada certain kelaparan dan kehausan akan firman Tuhan.
Apakah kita masih ada kekurangan dalam hal ini? Mungkin saja. Meskipun gereja kita boleh dibilang sangat mementingkan firman Tuhan, tapi tentu tetap ada kekurangannya, misalnya dalam hal “milih-milih”. Seorang bayi tidak milih-milih, kita baru milih-milih waktu sudah besar, atau waktu orang dewasa sedang lapar dia juga tidak terlalu milih-milih tapi yang penting bisa makan. Satu contoh, kebetulan kita ada Seminar Iman Kristen, Demokrasi, dan Negara Sejahtera, siapa yang ingin datang dalam acara ini? Pertanyaan berikutnya, mengapa tidak terlalu ingin datang? Kayaknya ini bukan buat saya, saya tidak terjun dalam politik dan rasanya juga tidak dipanggil dalam seminar politik. Pertanyaannya, tahu dari mana Saudara tidak dipanggil dalam bidang politik kalau tidak pernah datang? Keyword-nya di sini adalah “memberi diri senantiasa”. Kalau Saudara milih-milih, itu bukan sedang memberi diri tapi sedang mengambil sesuatu. Mengambil itu harus memilih, saya pilih tidak datang yang ini, saya datang yang itu. Tentu kita tidak mungkin bisa datang ke semua acara gereja ini atau gereja lain –karena kita tidak bisa eksis di semua tempat dan semua waktu sekaligus– tapi pertanyaannya, atas dasar apa kita memilih yang kita akan datang dan yang tidak? Seringkali kita memilih bukan berdasarkan bisa atau tidak bisa, ada waktu atau tidak ada, melainkan kita bisa dapat apa. Bukan berarti Saudara harus datang ke semuanya, tapi kalau Saudara tidak datang ke suatu acara –yang memberi firman Tuhan sejati of course– dengan alasan “ini sepertinya tidak relevan buat saya, bukan makanan saya”, itu bukan tanda jemaat mula-mula.
Bagian berikutnya, mereka juga senantiasa memberikan diri mereka ke dalam fellowship (persekutuan) yang kata Gerika-nya adalah “koinonia”, akar katanya adalah koine. Bahasa Yunani yang dipakai dalam Alkitab adalah Koine Greek; “koine” berarti “common/ umum/ awam” –juga berarti sama-sama, di-share ke semua orang– jadi maksudnya itu adalah bahasa Yunani yang common, semua orang bisa baca dan mengerti. Maka kalau kita melihat sebagai unsur pesekutuan, “koine” berarti sesuatu yang di-share ke semua orang, yang bersifat sharing antara banyak orang; dan saking dekatnya dengan unsur saling berbagi, dalam 2 Kor 8 dan 9 kata “koine” dipakai untuk istilah persembahan (waktu mereka mengumpulkan persembahan bersama-sama, istilah yang dipakai dari akar kata “koine” ini). Bagi kita hari ini, persekutuan dan persembahan itu 2 hal yang sangat berbeda, tapi dalam bahasa aslinya tidak demikian. Dan dalam Kis 2:44, waktu mereka bersekutu, emphasize-nya adalah mereka saling memberi. Maka esensi dari persekutuan jemaat yang mula-mula dasarnya adalah pemberian.
Ada dikatakan bahwa mereka bisa menjual properti mereka, tentu bukan berarti mereka jual semuanya lalu beli satu rumah dan tinggal sama-sama –ini bukan komunisme– karena dikatakan juga bahwa mereka masih bisa berkumpul di rumah masing-masing, artinya mereka masih punya rumah juga dan yang dijual mungkin ekstra propertinya. Tapi bagaimanapun juga ini suatu pemberian yang costly, ada harga yang mereka harus bayar karena pada waktu itu tanah bukan semata-mata aset properti seperti pengertian kita hari ini, melainkan warisan leluhur. Tanah ada kaitan sangat erat dengan identitas mereka. Waktu Israel menyerbu Kanaan dalam sejarah, tanah itu dibagi ke tiap-tiap suku Israel kemudian dari tiap suku dibagi-bagi lagi, sehingga tanah bagi mereka bukan cuma pemberian dari orang tuanya, tapi lebih dari itu, yaitu pemberian dari Tuhan, yang sudah turun temurun, diberikan buat saya. Tidak mudah untuk melepaskan itu. Maka kita melihat bahwa persekutuan jemaat yang mula-mula merupakan persekutuan yang ada “ongkosnya”, ada harga –bahkan boleh dikatakan ada kerugian– yang mereka harus bayar. Itulah esensi persekutuan zaman itu, dan itu sangat kontras dengan yang terjadi hari ini.
Apa arti persekutuan bagi kita hari ini? Ngumpul-ngumpul –yang bukan di ruang kebaktian–, makan-makan, basa-basi, perasaan jadi satu, ngobrol-ngobrol hal yang tidak terlalu penting, mencoba saling sopan satu dengan yang lain? Itu tidak terlalu beda dengan ide kultural kita –budaya Indonesia– mengenai persekutuan; and yet, fellowship dalam Gereja mula-mula ada benturannya dengan budaya mereka waktu itu, bukan cuma melawan stereotype orang Yahudi yang pelit sedangkan mereka bisa memberi, tapi juga melawan konsep “tanah sebagai warisan atau identitas diri” mereka. Maka di sini kita bisa melihat satu hal: true fellowship hanya datang di dalam aksi memberi, dan bukan cuma sekedar memberi tapi memberi yang ada harganya, ada ongkosnya, sesuatu yang costly.
Mengapa banyak orang Kristen hari ini tidak mengenal sukacita persekutuan? Karena kita tidak pernah belajar untuk memberi –memberi diri kita. Misalnya, kalau kita datang ke satu gereja lalu kita katakan bahwa gereja itu “tidak ada persekutuannya” karena tidak ada kehangatan, itu maksudnya kira-kira seperti ini: tidak ada yang menyambut saya, saya yang musti sambut mereka duluan. Tapi justru menurut Kisah Para Rasul, persekutuan adalah ketika Saudara menyambut orang lain duluan karena itu berarti Saudara memberi diri, membayar harga, mengeluarkan ongkos untuk melakukan itu. Kalau kita mengatakan “kalau saya duluan menyambut orang, itu namanya tidak ada kehangatan, tidak ada persekutuan”, itu terbalik sama sekali.
Kalau koinonia esensinya adalah memberi/ sacrifice, lalu apa yang diberikan? Yaitu yang ada dalam kata “bertekun” tadi, yang adalah “senantiasa memberikan diri mereka/ devotion”. Kita sering salah mengerti, devosional sering diartikan membaca hal-hal dalam firman tuhan yang membuat kita merasakan dikasihi Tuhan, dsb. Bukan itu. Devosi adalah memberi diri, menyucikan diri, memisahkan diri untuk diberikan. Dan fenomena yang lebih kelihatan adalah mereka saling menanggung beban, tapi juga mungkin –yang tidak kelihatan di sini– mereka bisa jujur satu dengan yang lain mengenai dosa-dosanya dalam satu cara yang sebelumnya mereka tidak bisa lakukan terhadap orang lain. Kita tahu dalam Kol 3:16 Paulus mengatakan bahwa salah satu tanda hidup yang dipenuhi oleh Roh Kudus dan dipenuhi firman Tuhan adalah kita bisa saling menegur, saling mengaku.
Cara hidup dunia, kalau Saudara mau hidup normal, Saudara tidak boleh memperlihatkan kelemahan. Saudara harus jaga supaya kekurangan diri Saudara tidak dilihat orang lain. Jangan perlihatkan kepada orang lain tanda-tanda kecemasan Saudara. Buatlah orang lain merasa bahwa Saudara “in control”. Itu yang ada hari ini, tapi itu sama sekali bukan yang ada dalam jemaat.
Dalam PA kemarin kita membahas Yakub, yang berusaha mendapatkan berkat kesulungan dari Ishak. Cerita Yakub bukan cuma memperlihatkan diri kita yang senantiasa mencari berkat –yang bukan dari Tuhan– tapi juga menunjukkan cara kita mencari berkat tersebut. Yakub mencari berkat dengan cara menyamar jadi orang lain, yaitu menjadi Esau. Menurut dia, dia tidak bisa mendapat berkat jika dia menjadi dirinya sendiri, maka dia harus menjadi orang lain. Seringkali itu juga yang kita lakukan. Waktu kita datang ke dalam persekutuan, seringkali kita bukan mau memberi tapi mengambil berkat, dan oleh karena itu kita menutupi segala kekurangan dan kebusukan kita. Mungkin bukan ditutupi 100%, diberikan juga sedikit-sedikit supaya tidak kelihatan jelek juga. Kalau Saudara ditanya “apa pergumulanmu”, apakah Saudara mau cerita? Di satu sisi sebagai orang Kristen, kita “sudah belajar” untuk jangan buka semuanya, tapi jangan sampai tidak buka sama sekali juga, buka sedikit supaya kelihatan agak rohani sedikit. Kalau ditanya “apa pergumulanmu” lalu kita jawab “gak ada”,wah itu jawaban yang salah banget, bahaya, nanti image-nya jadi jelek sekali. Kalau ditanya “apa pergumulanmu”, ya jawab “tolong doakan, supaya saya jadi orang tua yang lebih baik” –jawaban standar– atau kalau di persekutuan remaja “doakan mau ulangan, doakan naik kelas”, dsb. Harus ada pergumulannya, jangan sampai ngomong “gak ada”, bahaya! Tapi di sisi lain, kalau ditanya “apa pergumulanmu” jangan sampai langsung menangis tersedu-sedu “hu..hu..hu..saya mau cerai”, gawat, jangan sampai cerita yang kayak gitu juga. Buka sedikit saja tapi jangan buka semua. Jujur kita sudah terbiasa seperti itu. Kalau kita tidak ada pergumulan, susah sekali untuk mengakui pergumulan itu, pergumulan bahwa “saya sebagai orang Kristen, koq rasanya tidak ada pergumulan”. Tapi itu bukan tanda gereja mula-mula, karena mereka datang bukan untuk mengambil, mereka datang untuk memberi.
Berikutnya, dalam bagian ini adalah memecahkan roti dan berdoa. Dalam bahasa Yunaninya hal ini lebih jelas karena ada artikelnya, ada “the” dalam “breaking of bread”, bukan cuma memecahkan roti dalam arti makan melainkan yang dimaksud adalah bahwa mereka memecahkan “Sang Roti”, sehingga artinya adalah “Lord Supper” (Perjamuan Kudus/ Ekaristi). Dikatakan di bagian ini “memecahkan roti dan berdoa” (berdoa jadi satu di dalam bagian ini), maka banyak komentator mengatakan bahwa ini adalah suatu ibadah. Jadi dalam jemaat itu ada pengajaran firman Tuhan, ada persekutuan, dan juga ada ibadah. Dan mereka melakukan ketiga hal ini dalam 2 tempat, yaitu di Bait Allah –setting yang besar seperti ibadah kita hari ini– dan juga di rumah masing-masing. Kalau kita hari ini seringkali dikotomi; dalam tempat ibadah (gereja) isinya adalah belajar firman Tuhan, sedangkan kalau di rumah masing-masing –persekutuan wilayah– firman Tuhan cukup 10 menit saja lalu sisanya ngobrol-ngobrol dan makan-makan. Tapi mereka melakukan itu semua baik di Bait Allah maupun di rumah masing-masing, ada pengalaman large group dan small group.
Maka kalau kita mau simpulkan bagian ini, dalam jemaat awal ini ada certain completeness, sangat lengkap. Yang pertama tadi adalah “pengajaran para rasul”, ini seperti orang-orang Presbiterian dan orang-orang Reformed. Yang kedua “persekutuan yang erat”, ini kedengarannya seperti orang-orang Pentakosta. Lalu mereka juga ada “penginjilan” –dikatakan setiap hari jumlah mereka ditambahkan– ini mirip seperti orang-orang Injili. Dan yang pasti juga mereka “memberikan uang/ share properti mereka”, ini kedengarannya seperti orang-orang Liberal yang humanisme-nya tinggi sekali. Begitu komplet.
Waktu melihat hal ini, kita perlu melihat diri kita. Apakah kita ada keterlengkapan ini? Apakah kita ada pengalaman small group dan large group, atau cuma salah satu? Apakah kita ada kecintaan dan kehausan untuk memberi diri, bukan cuma dalam hal doktrinal tapi juga relasional? Membaca bagian seperti ini, kita jadi sangat discouraged karena koq hidup kita di gereja tidak seperti ini, ya, padahal harusnya kayak gitu, ya?
Bagian yang terakhir ini membicarakan tentang “bagaimana bisa menjadi seperti itu”. Obviously, semuanya mengalir dari firman Tuhan sebagaimana yang pertama kali disebut tadi “pengajaran para rasul”, dan kita sebagai orang Reformed tahu. Tapi ada satu hal yang disebut di sini, yang seringkali kita tidak sadar bahwa itu adalah salah satu kunci dari Gereja yang sungguh-sungguh bisa beres di hadapan Tuhan, Gereja yang Roh Tuhan bertakhta. Itu adalah yang disebut terakhir di ayat 47, dikatakan bahwa mereka melakukan itu semua “sambil memuji Allah”. Berarti, ini bukan sekedar footnote atau tambahan, melainkan sesuatu yang terjadi terus menerus dalam semua yang mereka lakukan tadi. Waktu mereka sedang belajar doktrin, mereka melakukannya dalam pujian kepada Allah. Waktu mereka saling berbagi, persekutuan, mereka melakukannya dalam konteks memuji Tuhan. Waktu mereka penginjilan, mereka melakukannya dalam konteks memuji Tuhan. Ini kekuatannya, engine yang mendorong mereka untuk bisa melakukan semua itu. Pujian kepada Tuhan ternyata adalah kuasanya untuk bisa menjadi gereja yang demikian. Mengapa bisa begitu?
C. S. Lewis sangat membantu dalam hal ini karena dia punya pandangan tentang estetika yang cukup menarik. Menurutnya, ketika seseorang memuji sesuatu, dia sukacita; melihat barang yang indah, mereka merasa sukacita lalu mereka memuji. Kita sering berpikir pujian adalah ekspresi/ hasil dari sukacita karena sukacita datang duluan.Tapi C. S. Lewis mengatakan begini: memang benar pujian di satu sisi meng-ekspresikan sukacita; tapi pujian bukan hanya meng-ekspresikan sukacita, namun juga melengkapi sukacita, menyempurnakan sukacita. Sukacita melihat keindahan belumlah lengkap/ afdol kalau kita belum meng-ekspresikannya. Ekspresi itu bukan sesuatu yang terlepas dari sukacita –boleh ada boleh tidak– melainkan sesuatu yang inherent, esensial, di dalam sukacita itu; kalau pada diri kita tidak keluar pujian maka sukacita kita tidak lengkap. Ketika kita melihat suatu keindahan — musik, lukisan, orang, bahkan atlet– bukankah ada sesuatu yang mendorong kita untuk menarik tangan seseorang lalu mengatakan, “Lihat! Kamu harus lihat… ”, karena keindahan itu menuntut pujian. Sukacita yang kita dapatkan ketika melihat keindahan adalah sukacita yang harus dikeluarkan; ada perasaan ngèdèn yang tidak enak sekali kalau Saudara melihat sesuatu yang begitu indah tapi tidak boleh berdecak kagum. Maka ekspresi sukacita, yaitu pujian, bukan cuma hasil dari keindahan; ekspresi sukacita , yaitu pujian, melengkapi dan menyempurnakan keindahan tersebut. Itu yang C. S. Lewis katakan. Kita tidak akan mendapati diri kita puas dengan keindahan sampai keindahan tersebut mengeluarkan dirinya dalam bentuk pujian. Kita tidak cuma meng-ekspresikan sukacita, tapi kita menyempurnakan sukacita kita ketika kita memuji yang indah itu.
Kalau kita tidak mengerti hal ini, tidak heran kita sulit mengerti mengapa jemaat mula-mula bisa melakukan semua yang mereka lakukan itu; itu semua sangat disconnected dengan pengalaman kita. Waktu mempersiapkan kotbah ini, saya membaca seorang komentator mengatakan: “Ini bukan komunisme, buktinya mereka masih punya rumah, mereka memberikan sebagian hartanya. Waktu belakangan dikatakan bahwa Barnabas menjual miliknya dan uangnya dibawa ke hadapan kaki para rasul dan hal itu disebut, maka berarti itu adalah sesuatu yang jarang terjadi.” Waktu saya membaca ini, dalam hati saya mengatakan “puji Tuhan” karena pengalaman jemaat mula-mula sangat disconnected dengan hidup kita; intepretasi yang mengatakan “mereka ‘gak segitunya koq” itu sangat “melegakan” kita yang pengalamannya koq tidak sama! Mengapa kita bukan cuma tidak melakukan, tapi kita juga tidak bisa mengerti mereka bisa seperti itu? Karena kita tidak mengerti konsep yang tepat soal keindahan dan pujian tadi.
Jadi mengapa mereka sungguh bersama-sama? Mengapa mereka harus berkumpul bersama-sama? Mengapa mereka tidak perlu disuruh untuk melakukan itu? Mengapa mereka bisa datang dan memberi diri, bukan mengambil? Karena, semakin indah suatu objek, semakin intens juga sukacita yang harus dikeluarkan dalam pujian, sehingga semakin tinggi juga keinginan untuk menemukan orang-orang yang memuji hal yang sama. Sebuah sendok yang indah tidak akan menggerakkan Saudara sebesar kalau Saudara melihat seorang manusia yang indah. Semakin tinggi nilai barangnya, semakin tinggi juga intensitas sukacitanya, dan semakin tinggi juga keinginan untuk mengajak orang lain melihat hal tersebut. Saudara coba lihat, apa sih yang sedang saya lakukan di atas mimbar ini, minggu demi minggu demi minggu, seperti orang yang gelisah kebat kebit mencari kata yang tepat? Yaitu saya sedang berusaha untuk mengajak Saudara melihat sesuatu yang indah karena saya sudah melihat duluan. Saya sedang mengatakan: “Lihat nih, lihat… “, sama seperti kalau Saudara mendengarkan suatu CD lalu mengatakan, “Dengerin deh, dengerin deh… “, atau seperti kalau Saudara mengatakan, “Eh, kemarin gua nonton film ini, nonton deh… “.
Keindahan itu menuntut pujian. Semakin indah sesuatu, semakin tinggi kesukacitaan yang harus keluar, sehingga semakin sempurnalah sukacita kita yang berhasil memuji, meng-ekspresikan sukacita tersebut di hadapan orang lain. Itulah yang orang Kristen lakukan ketika mereka berkumpul bersama-sama. Mereka bukan cuma tahu bahwa Allah itu patut dipuji, tapi mereka memuji Allah. Mereka bukan cuma tahu Allah itu indah, mereka memuji fakta bahwa Allah itu indah. Itu yang hilang dalam hidup kita.
Orang Kristen bukan cuma ngumpul-ngumpul bareng seperti anggota partai politik. Kalau Saudara share arah politik yang sama di situ, Saudara akan merasa senang juga, ada perasaan hangat juga. Tapi mengapa orang-orang partai politik tidak bisa bertemu setiap hari, bahkan setiap minggu, sedangkan orang Kristen bisa? Karena waktu orang Kristen ngumpul-ngumpul, bukanlah dengan alasan yang sama seperti orang-orang partai politik ngumpul-ngumpul.
Waktu orang Kristen saling menghibur, yang mereka lakukan bukan cuma tepuk-tepuk pundak, tapi mereka mengatakan: “Mari sekarang kita memuji Dia yang telah Diri-Nya dipecahkan, yang telah memberi Diri-Nya hancur berkeping-keping bagi kita.” Kalau hidup hancur berkeping-keping, dan Saudara menyadari Allahmu telah melakukan hal yang sama buatmu, apa yang akan terjadi? Itu sebabnya mereka memecahkan roti terus menerus.
Waktu mereka saling menegur, mereka mengatakan “dosamu ini, dosamu itu”, tapi lalu ada pujiannya: “Terpujilah Dia yang sungguh tanpa dosa, rela mati bagi dosamu dan dosaku!” Mengapa semua itu bisa terjadi, yang meski ada gesekan, tapi gesekannya justru memperkaya? Karena ada “senantiasa memuji Tuhan”.
Bagaimana bisa memberi/ mendevosikan diri kepada sesama manusia? Karena ada pujian yang kita katakan: “Terpujilah Dia yang telah memberi Diri-Nya terlebih dahulu; yang telah datang ke dunia ini, yang telah turun meninggalkan hak kesulungan-Nya supaya kita boleh mendapatkan hak kesulungan tersebut!” Yakub tidak berhak atas hak kesulungan, tapi dia mencarinya habis-habisan, menyamar jadi orang lain untuk mendapatkan berkat. Kita pun menutup-nutupi diri untuk mendapatkan berkat, tapi Allah kita meninggalkan hak kesulungan-Nya dan Dia “menyamar” menjadi kita supaya kita boleh menjadi anak-anak sulung juga bersama Dia, supaya kita diangkat menjadi anak-anak Allah. Ketika merenungkan dan memuji pemberian ini, itulah yang membuat Saudara bisa memberi.
Apa yang membentuk persekutuan? Adalah ketika ada pujian kepada-Nya karena Dia telah melakukan itu, karena Dia telah mati bagi kita. Ini masalah respon. “A man is not what he is; a man is how he reacts before God”, seorang manusia adalah bagaimana dia berespon di hadapan Tuhan –pujian. Jika hari ini Saudara masih ada ketidak pedulian, atau kepahitan kepada orang yang tidak mempedulikan Saudara, itu adalah karena Saudara tidak sedang memuji Dia, tidak sedang memuji kematian-Nya di atas kayu salib buatmu. Coba bayangkan, akan jadi seperti apa kalau Dia tidak datang ke dunia? Kalau Dia tidak rela mati di atas kayu salib buatmu? Kalau Dia tidak rela mengampunimu? Kalau Saudara merenungkan hal ini, Saudara tidak akan mampu melihat pengampunan-Nya dan pada saat yang sama mendendam kepada orang lain, karena yang satu akan menutupi yang lain. Itu natur dari penglihatan. Melihat Dia, memuji Dia, itulah objektifnya, yang sanggup menghancurkan segala tembok budaya, ras, temperamen, ketidak pedulian, rasa “sensi”, kepahitan, kemarahan, kelambanan, dst. Semua itu bisa hilang ketika kita memuji Dia yang telah terpecah-pecah bagi kita.
Semakin Saudara melihat terpecahnya tubuh Kristus bagimu, semakin juga Saudara akan justru tertempel di dalam tubuh Kristus, jemaat-Nya. Ini perjalanan yang panjang, tapi paling tidak ini adalah suatu hal yang mungkin. Maka mari kita minta itu kepada Allah yang berdaulat.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)