Kita melanjutkan eksposisi “Tujuh surat kepada tujuh jemaat” di Kitab Wahyu, yaitu surat kepada jemaat di Tiatira. Kota Tiatira tidak begitu terkenal, relatif kecil dibandingkan kota-kota lain yang disebut dalam surat-surat ini. Awalnya Tiatira didirikan sebagai kota pertahanan untuk melindungi kota Pergamus yang adalah pusat pemerintahan, penduduknya kebanyakan para pekerja middle class. Tapi di kota yang tidak terlalu signifikan ini, Tuhan kita memberikan peringatan bagi semua gereja tentang suatu pattern yang sangat penting kita semua ketahui.
Kita sudah membicarakan untuk melihat dengan satu perspektif yang lain waktu melihat kota Pergamus, bahwa di antara 7 cuma 2 gereja yang tidak disebutkan kesalahannya (Smirna dan Filadelfia), tapi juga di sisi lain cuma 2 gereja yang tidak dipuji sama sekali (Sardis dan Laodikia). Maka dari pujian Tuhan yang kita lihat di ayat 19 membuktikan bahwa meski jemaat Tiatira ini ada kelemahan, tapi mereka adalah gereja yang sejati. “Aku tahu segala pekerjaanmu: baik kasihmu maupun imanmu, baik pelayananmu maupun ketekunanmu. Aku tahu, bahwa pekerjaanmu yang terakhir lebih banyak dari pada yang pertama”, suatu pujian yang patut dikejar. Seandainya gereja GRII Kelapa Gading dipuji seperti ini, maka kita tah ini suatu tanda bahwa gereja yang kita patut bersukacita atasnya. Jemaat Efesus yang ditegur karena “sudah kehilangan kasihmu yang mula-mula itu, maka kerjakanlah kembali pekerjaanmu yang mula-mula itu”; kontras dengan itu, jemaat Tiatira dipuji “pekerjaanmu yang terakhir lebih banyak dari yang pertama”, berarti mereka bukan saja bertekun, melayani, punya iman sejati, kasih, tapi juga berarti bahwa gereja Tiatira ini bertumbuh, berkembang.
Lalu kesalahan apa yang ditegur dari gereja ini? Kesalahan mereka adalah: mereka menoleransi sebagian/ minoritas dari mereka yang menyeleweng. Seperti sebuah rumah yang rapi yang didiami satu keluarga, tapi ada satu kamar seperti kapal pecah, dan orang-orang dalam rumah menoleransi hal itu. Jika di Efesus problemnya adalah mereka tidak menoleransi sama sekali, mereka tidak mau menurunkan standar sedikit pun, tidak ada ruang sama sekali untuk orang-orang yang berbeda dengan mereka; di Tiatira problemnya justru toleransi yang kebablasan, toleransi yang kemudian membawa kepada problem-problem yang lain. Itulah gambaran situasinya.
Ada 3 pertanyaan yang mau kita ajukan sehubungan dengan surat ini: Pertama, mengapa mereka bisa menoleransi Izebel dan ajarannya itu sedemikian lamanya? Kedua, hal apa/ ajaran apa yang di-toleransi itu, apakah sifatnya metaforik ataukah literal waktu dikatakan bahwa Izebel membawa mereka ke dalam imoralitas seksual, makan per sembahan berhala, dsb.? Ketiga, apa artinya untuk kita, dan bagaimana kita juga bisa melakukan hal tersebut?
Yang pertama, mengapa mereka menolerir Izebel dan ajarannya? Izebel di bagian ini bukan nama orang, sebagaimana surat-surat sebelumnya yang dikatakan “pengikut Nikolaitan”, “pengikut Bileam”, kita tahu bahwa itu cuma istilah. Nikolaitan cuma istilah untuk “penghancur jemaat”, bukan nama orang karena tidak mungkin juga ada aliran dalam jemaat yang menamakan diri “penghancur jemaat”. Istilah itu adalah tentang yang Tuhan lihat sesungguhnya pada orang-orang tersebut. Ada kemungkinan perempuan itu ditulis sebagai “Izebel”, sengaja untuk mengejutkan jemaat Tiatira waktu mereka membaca surat ini, bahwa itu adalah Izebel. Mereka mungkin sama sekali tidak menyangka bahwa perempuan itu adalah Izebel karena mereka tidak melihatnya demikian. Itulah salah satu alasan kita menoleransi dosa, yaitu karena kita seringkali tidak sadar bahwa itu dosa, sampai harus dikejutkan “itu sebenarnya dosa!” Indeed, probably problem utama yang Tuhan maksudkan, bukan masalah dosanya Izebel atau bahkan soal toleransi mereka, tetapi adalah bahwa mereka tidak melihat realita sesungguhnya dari seseorang dan cuma melihat yang tampak dari luar. Kita tahu ini, karena berulang kali sepanjang surat ini ada referensi mengenai melihat bukan yang di luar tapi melihat sampai kedalam. Misalnya, Tuhan memperkenalkan diri-Nya di ayat 18 dengan: “Inilah firman Allah, yang mata-Nya bagaikan nyala api… “ juga di pasal. Mata bagaikan nyala api melambangkan sifat Allah yang Mahatahu, sifat Allah yang menyelidik sampai ke dalam, mata Allah yang terang, yang tidak tertutup oleh kegelapan apapun, mata yang bisa menembus sampai ke dalam. Hal ini juga sudah muncul di Perjanjian Lama, seperti Daniel 10, Allah digambarkan sebagai yang mata-Nya seperti suluh yang menyala-nyala.
Yang kedua, tema khusus surat ini, dapat dilihat dari ayat 23 yang basically Tuhan mengatakan, “Nanti kalau Aku sudah menghakimi perempuan ini dan pengikutnya, semua jemaat akan mengetahui bahwa Akulah yang menguji batin dan hati orang.” Kristus sedang mengatakan bahwa ketika Dia melihat satu Gereja, yang Dia lihat seringkali bukanlah yang kita lihat. Dia melihat seseorang bukan dengan nama aslinya “siapa”, tapi melihat pada sesungguhnya dalam hati mereka. Kita tidak bisa melihat seperti itu, kita cuma lihat yang di luar. Dan di surat ini Kristus mengatakan, bahwa orang ini dalam hatinya, sesungguhnya adalah Izebel.
Siapa Izebel? Saudara bisa membaca di kitab 1 & 2 Raja-raja. Secara singkat dia adalah istri Ahab, seorang raja yang jahat, yang dalam Alkitab dikatakan lebih jahat dari semua pendahulunya. Dan salah satu dosa klimaks yang disebut Alkitab mengenai Ahab adalah dia menikahi Izebel, karena Izebel anak seorang nabi Baal. Nabi Baal ini yang tadinya cuma seorang imam Baal di Sidon, membunuh raja Sidon dan menggantikannya jadi raja. Dan waktu Izebel datang ke Israel, dia menuntut adanya “persamaan hak” antara penyembahan Yahweh dan penyembahan Baal. Ia bukan wanita sembarangan, kita bisa “kagum” dengan keteguhan hatinya. Waktu ia bersitegang dengan Elia, kemudian Elia menang dan membunuh 850 nabi Baal hari itu juga, Izebel sama sekali bergeming dan bahkan mengancam akan membunuh Elia. Dan terakhir dalam kitab 2 Raja-raja, ketika Yehu menyerang Israel untuk merebut takhta, Izebel menghadapi kematiannya yang sudah hampir pasti itu, dengan mengenakan pakaian dan make up sebagaimana pantasnya seorang ratu, lalu berdiri di atas balkon menemui Yehu langsung. Ia bukan lari ketakutan, ia menemui ajalnya dengan “dignity”.
Apa ajaran yang dikatakan diajarkan oleh Izebel di Tiatira? Kita bisa lihat dari ayat 20; “Tetapi Aku mencela engkau, karena engkau membiarkan wanita Izebel, yang menyebut dirinya nabiah, mengajar dan menyesatkan hamba-hamba-Ku supaya berbuat zinah dan makan persembahan-persembahan berhala.” Di sini ada perbandingan antara yang manusia lihat dengan yang Tuhan lihat. Si wanita Izebel itu menyebut dirinya nabiah; di dalam matanya, ia menilai dirinya sebagai nabi, dan banyak orang menerima klaim tersebut. Sebagai nabi, orang itu tentu punya “direct line” kepada Tuhan; di awal Perjanjian Baru waktu itu memang masih ada fungsi nabi karena belum ada kanonisasi. Yang diajarkan para rasul akan dibawakan oleh para nabi ini ke kota-kota lain. Kalau di satu gereja ada orang yang masuk sebagai nabi, maka secara wajar banyak orang akan mendengarkan dia. Bahkan juga zaman sekarang –ini bukan hanya problem zaman itu– banyak orang yang mengaku nabi, maksudnya mereka mengaku memiliki firman Allah yang bisa disandingkan dengan Alkitab. Di zaman sudah ada kanonisasi ini, ketika hal itu terjadi, tentu kita tidak bisa mengusir mereka begitu saja. Bahkan di gereja Reformed banyak literatur yang membahas hal ini. Kita harus memikirkan, menilai dengan benar apakah nabi ini datang dari Tuhan atau bukan; bagaimanapun paling tidak kita harus mendengarkan lebih dahulu. Maka tidak heran, kalau di zaman sekarang pun ketika sudah ada kanonisasi yang jelas, masih banyak orang Kristen yang tertipu dengan nabi palsu, apalagi zaman itu di Tiatira. Dan kita juga bisa mengerti bahwa nabi palsu ini bisa ditoleransi demikian lama karena mungkin orang juga takut menantang dia. Tapi intinya, bahwa yang Tuhan katakan tentang orang itu adalah yang ultimat, bahwa ia mengajar dan menyesatkan. Kata “menyesatkan” di sini, dalam bahasa Gerika yaitu planao, kata yang kita pakai untuk “planet”. Planet pada awalnya disebut “planet” karena mereka itu dianggap mengembara, seperti wandering away di angkasa, atau juga –seperti di bagian ini– mempunyai arti “tersesat entah ke mana”. Dan itulah tuduhan Tuhan atas Izebel di sini, yaitu menyesatkan orang lain.
Kita tahu bahwa cara setan mencobai Gereja bukan hal yang terlalu baru, tapi yang penting di sini adalah mengapa orang-orang bisa menoleransi hal itu, tidak bisa melihatnya sebagai ajaran yang palsu? Jawabannya bisa kita dapatkan dari ayat 24: “Tetapi kepada kamu, yaitu orang-orang lain di Tiatira, yang tidak mengikuti ajaran itu dan yang tidak menyelidiki apa yang mereka sebut seluk-beluk Iblis, kepada kamu Aku berkata: Aku tidak mau menanggungkan beban lain kepadamu.”
Seluk beluk Iblis, dalam bahasa Inggrisnya adalah: the deep things of Satan; hal ini tidak ada konsensus arti pastinya. Tapi ada kemungkinan bahwa ajaran-ajaran di Tiatira ini menjanjikan ajaran yang menyelami ke dalam ”seluk beluk”, ajaran yang menjanjikan a deeper kind of teaching, a deeper life. Ini hal yang menarik; zaman sekarang pun banyak yang menjual ajaran-ajaran dengan mengatakan: “Inilah ajaran yang lebih dalam, ajaran yang lebih masuk ke seluk beluk, sesuatu yang lebih yang kamu tidak tahu sebelumnya. “ Ketertarikan manusia terhadap ajaran-ajaran yang menjanjikan “lebih dalam” bukanlah cuma karena ajaran tersebut menjanjikan pengetahuan, melainkan karena menjanjikan juga suatu status, yaitu status sebagai bagian sebuah inner circle. Inilah bahaya yang menyebabkan banyak orang Kristen masuk dan tertipu, karena siapa di antara kita yang tidak dipengaruhi keinginan “berada di dalam, bukan di luar”? Ini hal yang kita akan telaah lebih lanjut.
Sebuah analogi, katakanlah ada seorang yang penting dan Saudara kagumi, misalnya Gubernur Ahok. Satu hari orang itu datang ke kota Saudara, dan saking kagumnya, Saudara rela ikut masuk dalam kerumunan yang menyambut dia. Lalu salah seorang pengawalnya ternyata Saudara kenal, dan dia mengajak Saudara ikut masuk ke ruangan bertemu dengan Ahok. Bagaimana perasaan Saudara? Tadinya kita berada di luar, di balik tali pembatas dan hanya berharap melihat saja, tapi sekarang Saudara dibawa masuk, duduk di sebelah orang besar itu, diajak ngobrol, bahkan diajak makan malam! Kalau jujur, siapa dari kita yang tidak menginginkan akses seperti itu?
Sadar atau tidak sadar –dalam level yang berbeda-beda tentu– semua dari kita sangat dipengaruhi keinginan untuk masuk ke dalam suatu “inner circle”, dan sekaligus suatu ketakutan bahwa kita “ditinggal di luar”. Saudara baru sadar, ketika berada dekat inner circle itu tapi status Saudara adalah “di luar”. Seperti kalau Saudara berada dalam satu kelompok yang sedang ngobrol dengan seseorang yang dikagumi, yang menjadi center of attention, lalu orang itu berbicara sambil memandang setiap orang tapi tidak memandang kepada Saudara. Tak dapat dipungkiri dalam hati kita ada perasaan tidak ingin ditinggal di luar. Anak-anak remaja yang melakukan seks di luar nikah, terjangkit pornografi, merokok, memakai narkoba, mengapa mereka melakukannya waktu pertama kali? Seringkali adalah karena hasrat untuk berada “di dalam” dan ketakutan akan “ditinggal di luar”. Hal ini bahkan juga pada orang-orang dewasa, hanya bedanya orang dewasa sudah lebih pandai menyembunyikan hasrat ini, sampai-sampai diri sendiri pun tidak menyadari. Di dalam gereja hal ini juga terjadi. Salah satu hal yang dibahas dalam buku Church Planting, khususnya untuk gereja-gereja yang baru, yaitu bahwa di dalam gereja yang baru pasti ada satu tension/ ketengangan di antara jemaat yang merasa berada di luar inner circle dari si pendeta, ketegangan antara yang merasa berada di dalam dengan yang merasa di luar inner circle tersebut. Hmm, saya tidak seperti mereka yang cari muka, harus dapat pengakuan dari orang lain, dst. Jika Saudara mengatakan kalimat seperti ini, Saudara sedang membentuk satu inner circle yang lain, inner circle yang tidak diisi oleh orang-orang yang mencari inner circle. Itu sendiri pun sebuah inner circle.
Saya bukan sedang mengatakan bahwa hidup kita sebagai orang Kristen adalah hidup yang tidak menginginkan untuk masuk ke dalam suatu inner circle apapun. Poin-nya adalah semua dari kita tidak ada yang bisa kabur dari fakta bahwa kita dipengaruhi suatu hasrat untuk berada “di dalam”, dan oleh karena itu semua dari kita selalu ada bahaya untuk tergoda akan ajaran-ajaran yang menjanjikan pengetahuan mengenai “seluk beluk”.
Mengapa kita semua terpengaruh ini tanpa terkecuali? Dan mengapa kita sebagai orang Kristen tidak dipanggil untuk hidup di luar semua inner circle? Karena memang di awalnya, kita diciptakan untuk berada dalam sebuah inner circle. Gambaran keselamatan dalam Alkitab, jelas bukanlah “masuk surga”, melainkan masuk ke dalam suatu relasi yang beres dengan Allah. Dalam Ef 2:18, dikatakan: “Karena oleh Dia –Kristus maksudnya– kita kedua belah pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk –akses– kepada Bapa.” Dan ayat yang sudah sering kita kutip, Yoh 17:3 “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau,… .” Hidup kekal adalah bahwa mereka “mengenal Engkau”; dan kata “mengenal” dalam Alkitab bukan cuma berati tahu, tapi mengenal.
Hidup kekal adalah untuk mengenal, berelasi, masuk/ mendapatkan akses kepada Bapa. Problem dari dosa bukanlah bahwa kita menginginkan untuk masuk dan berada dalam suatu inner circle, melainkan kita ingin masuk ke dalam inner circle yang bukan inner circle-nya Tuhan. Kita tahu hal ini karena orang yang sungguh berada dalam inner circle-nya Tuhan, efeknya sangat lain dengan yang berada dalam inner circle duniawi. Inner circle Allah kita adalah inner circle yang paling ultimat, paling elit, paling tinggi. Saudara bukan perlu kartu BCA untuk bisa masuk ke situ, tapi Saudara perlu punya esensi ilahi –dan bukan cuma itu, tapi yang suci, kudus, Pencipta dan bukan ciptaan– untuk bisa masuk ke dalam inner circle Allah Tritunggal. Siapa yang bisa? Tidak ada. Tapi apa yang dikerjakan Inner Circle ini? Inner Circle itu membuka diri-Nya kepada kita. Yoh 17:20-21 dikatakan tujuan Yesus berdoa bagi murid-murid-Nya: “Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka –kita semua maksudnya– ; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita… ."
Esensi dari keselamatan adalah bahwa Tuhan, Pencipta, membuka inner circle –yang begitu elit itu– kepada kita, ciptaan yang sudah rusak, yang begitu hancur, bukan karena pencapaian-pencapaian kita tapi semata karena Dia mengasihi kita. Dia mengundang kita masuk. Kalau Saudara sungguh menyadari bahwa Saudara sedang berada di dalam inner circle-nya Allah yang seperti itu, apa yang akan jadi attitude Saudara terhadap orang-orang yang hari ini tidak berada di dalam? Apakah Saudara mengatakan, “Hei! Gua berada di dalam inner circle, ‘gak kaya’ lu!” Tentu tidak. Karena inner circle Saudara itu adalah inner circle yang mebuka dirinya kepada orang-orang yang tidak pantas masuk. Maka waktu berhadapan dengan orang-orang yang tidak berada di dalam inner circle-nya Tuhan pada hari ini, seberapa pun jahatnya mereka kepada kita, Saudara akan –dengan sangat ingin– mengundang mereka untuk masuk. Ini tidak berarti kita mengundang mereka masuk dengan segala dosa mereka, anugerah selalu ada dua sisi: anugerah selalu siap untuk menerima kita apa adanya, tapi tidak akan pernah puas untuk membiarkan kita apa adanya. Sama seperti waktu kita diundang masuk oleh Tuhan, kita bukan cuma diundang apa adanya, tapi kita juga tidak dibiarkan untuk tinggal dalam keberadaan kita yang berdosa itu.
Inner circle dunia kriterianya selalu adalah ”siapa” diri Saudara, “apa” yang telah Saudara kerjakan, “apa pencapaian” Saudara, “berapa besar” rekening bank Saudara, dst. yang intinya adalah apa yang Saudara lakukan, punya/ tidak punya. Ketika masuk dalam inner circle yang demikian, mau tidak mau Saudara akan selalu menjauhi orang-orang yang tidak di dalam circle tersebut. Di dalam gereja pun ada orang-orang Kristen yang menjauhi orang-orang Kristen lain yang biasa, tidak terlalu mau berhubungan dengan gereja-gereja yang biasa, dan mulai bersukacita ketika bisa menamakan diri kaum minoritas yang disalah mengerti, yang mulai menghina pengkotbah-pengkotbah yang biasa meskipun mungkin pengkotbah itu adalah orang yang membawa mereka kepada Kristus pada awalnya.
Problem orang Kristen bukanlah “kita mengingini berada di dalam” karena kita memang diciptakan untuk itu, tapi kita mencari itu di luar circle yang Tuhan sudah berikan kepada kita. Gereja Reformed sangat bahaya dalam hal ini, meskipun problemnya lebih di reseptor-nya yang salah mengerti dibandingkan penggeraknya. Pdt. Stephen Tong sering mengatakan “kita harus besar”, mengapa? Karena dia merasa bahwa berkat Tuhan yang diberikan kepadanya, di dalam inner circle tersebut, itu terlalu besar baginya dan oleh karena itu harus diberikan kepada orang lain. Lingkaran ini harus menjadi lebih besar karena berkat di sini itu too big for me, maka attitude saya selalu adalah mengajar, mendidik, mengajak orang untuk masuk, join in. Itulah yang harusnya jadi mentalitas kita sebagai Gereja, suatu gerakan untuk senantiasa keluar. Kalau Saudara benar-benar merasa berada dalam inner circle Tuhan dan tahu Saudara tidak pantas masuk namun Tuhan sudah mengundang bukan karena kemampuanmu, maka Saudara tidak mungkin tidak mengabarkan Injil. Jadi Saudara bisa melihat bahwa surat dalam Wahyu tetap relevan untuk kita hari ini.
Selanjutnya, poin yang kedua, problem apa yang diangkat dalam surat Tiatira ini? Apakah imoralitas seksual? Mungkin ya, mungkin tidak. Kalau menyelidiki kata-katanya, kata Gerika untuk penyelewengan seksual adalah porneuo –kata “pornografi” berasal dari kata ini– yang penggunaannya dalam kitab Wahyu maupun seluruh Alkitab, hampir selalu berkaitan dengan pemberhalaan (idolatry). Ini sangat cocok dengan Perjanjian Lama, karena waktu Allah mengonfrontasi Israel akan dosa penyembahan berhalanya, hampir selalu Dia mengatakan bahwa Israel telah mengambil seorang pasangan yang lain.
Allah Alkitab mau komitmen total, Dia tidak akan share kita dengan siapa pun. Jadi problem di balik dari semua itu adalah sama, throughout all the churches throughout all the ages, yaitu idolatry. Menyembah Allah dan menyembah sesuatu yang lain yang bukan Allah. Semua surat yang sudah kita bahas ada aspek itu. Seluruh kitab dalam Alkitab mengatakan hal yang sama mengenai ini. Itu juga sebabnya Sepuluh Hukum dimulai dengan hal dosa pemberhalaan: “Jangan ada padamu allah lain”, inilah yang paling dasar. Dan ini make sense, karena Izebel dalam Perjanjian Lama tidak dikenal untuk hal penyelewengan seksual. Ia dikenal karena menjadi simbol sinkretisme agama, ia mencampur adukkan antara iman Baal dengan iman Yahweh. Maka dalam bahasa simbolisme Alkitab, kemungkinan besar problem yang sedang ditegur Tuhan bukan masalah seksual tapi masalah spiritual. Dan kalaupun ada imoralitas seksual yang terjadi, tentu bisa saja, Wahyu mengatakan bahwa ketika kamu melihat problem seksualitas dalam dunia hari ini, engkau harus tahu satu hal: problemnya pada akarnya tidak pernah soal seksual. Semua penyelewengan seksual hanyalah buah dari ketidak setiaan kepada Allah.
Satu artikel saya share sebagai penutup, artikel dari internet pada Februari 2015, tepat pada hari film Fifty Shades of Grey muncul. Itu sebuah film mengenai hubungan sadomasochism seorang pria dan wanita, diambil dari buku yang begitu populer. Lalu seorang menulis artikel ini di internet “Alasan Sesungguhnya Fifty Shades of Grey Begitu Populer” dan ia beri petunjuk, sebuah subtitle “itu populer bukan karena seks-nya”. Fifty Shades of Grey bermula sebagai sebuah fan fiction dari sebuah cerita sukses lain yaitu Twilight. Dan rahasia sukses Fifty Shades of Grey sederhana, yaitu tidak menyimpang jauh dari sumber awalnya, Twilight. Cerita Twilight menceritakan seorang remaja perempuan bernama Bella, yang meskipun agak pemalu dan kurang gaul, ternyata menarik perhatian teman sekelasnya, Edward, tanpa perlu melakukan apa-apa. Edward begitu ganteng, punya banyak super power dan punya satu rahasia gelap, ia adalah seorang vampir. Maka Edward kecanduan darah manusia dan dalam hubungannya dengan Bella, ia selalu bergumul karena di satu sisi ia mencintai Bella, tapi di sisi lain ia juga ingin meminum darahnya. Cerita Fifty Shades of Grey adalah mengenai Ana, seorang mahasiswi yang meskipun agak pemalu dan kurang gaul, ternyata menarik perhatian seorang bernama Chritian Grey, tanpa perlu melakukan apa-apa. Grey seorang pria luar biasa ganteng dan kaya, bisa melakukan apapun, dan punya sebuah rahasia gelap, ia kecanduan seks yang sadis. Jadi Grey juga bergumul, di satu sisi ia mencintai Ana, tapi di sisi lain ia ingin menyakiti Ana. Kedengaran mirip bukan, Saudara? Kemiripan ceritanya bukan cuma di permukaan tapi dalam cara cerita ini dituturkan. Tokoh Bella dan tokoh Ana, keduanya ditulis hampir seperti kertas kosong, karakter mereka tidak pernah ditulis secara detail, juga penampilan dan sifatnya. Sedangkan karakter Edward maupun Grey dideskripsikan dengan detail, wajahnya, ototnya, dsb. Kita tidak tahu Bella dan Ana seperti apa, hanya bahwa dua wanita ini adalah wanita yang biasa-biasa saja. Maksudnya apa? Waktu kita membaca tokoh utamanya sebagai kertas kosong, kita akan dengan sangat mudah melihat pantulan diri kita di situ. Di sinilah power cerita Twilight maupun Fifty Shades of Grey, bahwa kita –dalam hal ini wanita– yang biasa-biasa ini, yang kita tahu cacat celanya, ternyata kita, tanpa harus berusaha, dikejar-kejar oleh para pria yang luar biasa keren, gagah, dan misterius itu. Dan, bahwa kita yang biasa-biasa ini, satu-satunya yang bisa membawa mereka menemukan kembali kemanusiaannya, menyembuhkan mereka dari rahasia gelapnya. Bagian yang paling keren adalah bahwa untuk melakukan semua itu, kita tidak perlu melakukan apa-apa, tidak perlu mencapai apa-apa, kita hanya perlu be yourself! Itulah fantasi yang dijual buku ini yang begitu menggiurkan, bahwa di luar sana ada seorang pria luar biasa yang mencintai Saudara apa adanya, yang biasa-biasa saja, bukan karena perbuatanmu atau jasa-jasamu. Fantasi ini powerful karena menjanjikan untuk menutup lubang yang ada di dalam hati setiap manusia ketika mereka memberontak terhadap Tuhan. Seorang penulis ateis yang cukup cermat mengatakan bahwa karakter Edward dan Christian Grey pada dasarnya adalah Yesus Kristus.
Penulis artikel yang saya baca di internet tadi mengatakan bahwa reaksi dari kalangan Kristen atas Fifty Shades of Grey, hampir semuanya defensif dan hanya deal dengan isu yang dipermukaan, yaitu masalah imoralitas seksual. Sementara mereka tidak sadar bahwa di bawah itu semua, pada akarnya, ada sesuatu yang luar biasa penting. Seharusnya kita sebagai orang Kristen ofensif bukan defensif, karena di balik bungkus luar yang menjijikkan itu, ada satu cerita mengenai unconditional love, dan itu adalah cerita kita. Kesuksesan kedua film itu membuktikan ada begitu banyak orang yang mau keluar uang demi versi “KW” cerita yang Saudara dan saya hidupi secara real setiap hari, bukankah harusnya melihat ini bukan sebagai ancaman tapi justru sebagai kesempatan? Begitulah ia menutup artikelnya.
Kembali ke pembahasan kita, Saudara harus melihat this is the real problem di balik semua itu, inilah pesan Alkitab melalui surat ini. Semua dari kita dipanggil masuk ke dalam inner circle-nya Tuhan. Itu berarti diciptakan untuk dikenal, diketahui apa adanya, and yet dicintai. Dia mengetahui kita bukan Allah. Dia mengetahui kita cuma debu tanah. Dia mengetahui kita sudah rusak, bahkan jatuh begitu jauh. And yet, Dia mengundang kita masuk dalam inner circle itu, mencintai kita, bukan karena pencapaian kita, bukan karena jasa kita, bukan karena perbuatan kita, semata karena Dia mencintai kita apa adanya. Ini penting karena kita tidak pernah sadar akan hal ini. Kita melakukan hal yang sama dengan gereja Tiatira. Waktu di sekolah-sekolah ada problem seks bebas, narkoba, kecanduan video game, dsb., kita selalu ingin ada lebih banyak seminar. Saudara, yang diperlukan bukan cuma itu. ada sesuatu yang lebih penting di balik itu, karena relasi yang rusak dengan Allah-lah yang menyebabkan semua relasi lain jadi rusak. Akar problem dari semua Gereja adalah: bahwa kita menyembah allah dan sesuatu yang lain.
Sigmund Freud itu salah, waktu mengatakan bahwa agama cuma satu ekspresi dari seksualitas yang dipendam dan ditekan. Terbalik. Tim Keller mengatakan, bahwa seksualitas adalah hasil dari hasrat keagamaan yang tidak terpenuhi. Semua problem kita datangnya dari sini. Cara membuat orang kecanduan berhenti dari kecanduannya, bukanlah dengan menjauhkan dari hal itu, tidak akan berhasil. Satu-satunya cara adalah dengan membuat sadar bahwa mereka sebenarnya sedang mengejar sesuatu yang tidak akan pernah bisa memberikan yang mereka kejar. Mereka sedang mencari di suatu tempat, suatu tambalan bagi lubang di hati mereka yang tidak akan mereka temukan dari situ. Satu-satunya yang bisa menutup lubang itu, hanyalah Kristus. Itu sebabnya di akhir surat ini Dia mengatakan bagi mereka yang berpegang pada Dia, kepada orang-orang ini akan dikaruniakan Bintang Timur. Wahyu 22: 16: "Aku, Yesus, telah mengutus malaikat-Ku untuk memberi kesaksian tentang semuanya ini kepadamu bagi jemaat-jemaat. Aku adalah tunas, yaitu keturunan Daud, bintang timur yang gilang-gemilang." Itu jawabannya, “Aku akan memberikan diri-Ku”.
Allah kita jauh melebihi cerita-cerita yang dihadirkan dunia. Kita telah menyakiti Kristus, dan tetap Dia mencintai kita, mengenal kita, dan mengundang kita masuk ke dalam inner circle dengan cara memberikan diri-Nya kepada kita. “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat.”
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)