Ini Minggu terakhir kita menyelesaikan Injil Lukas. Kira-kira 3 ½ tahun kita memulai bahan ini, dan hari ini sampai ke ayat yang sama kembali yaitu Lukas 9: 22-27.
Kalau kita mau menyimpulkan arti perkataan Yesus “setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku”, jawabannya adalah Lukas dari pasal 1 sampai pasal terakhir. Ayat ini bisa kita katakan adalah summary dari the whole Gospel, yaitu ajakan untuk mengikut Kristus. Waktu Yesus mengajak orang untuk mengikut Dia, itu bukan dalam pengertian satu tuntutan legalis yang akhirnya orang tidak bisa melakukan, melainkan ajakan yang diberikan karena Yesus sudah terlebih dahulu memikul salib-Nya. Ada aspek substitusi; yang kita sendiri tidak bisa kerjakan, sudah dikerjakan oleh Yesus Kristus, diselesaikan di atas kayu salib.
Ajakan ini bukan suatu beban. Matius memberikan prinsip jelas sekali, bahwa kuk yang dipasang oleh Kristus itu enak, dan beban-Nya ringan. Kekristenan yang digambarkan sebagai ajaran yang berat, bukan kekristenan dalam Alkitab. Kita tidak mengatakan bahwa dalam kekristenan tidak ada kesulitan, penderitaan. Tadi dalam kebaktian pagi, Vik. David Tong share bagian itu, pergumulan yang sulit, ia mengalami dukacita beruntun dalam beberapa minggu. Kita semua tidak bebas dari penderitaan dan kesulitan, tapi still Alkitab mengatakan bahwa kuk yang dipasang Tuhan itu enak dan beban-Nya ringan. Kuk yang tidak enak adalah kuk dosa. Beban yang berat adalah beban dosa. Tapi beban yang diberikan Kristus bukan salib yang berat. Istilah “salib yang berat” tidak cocok dengan Injil. Kalau kita merasa lebih berat mengikut Tuhan daripada hidup dalam dosa, pengertian kita tentang kekristenan salah total. Dalam Kej 3, pencobaan yang persis sama diberikan Setan kepada Hawa. Setan mengatakan seolah-olah Tuhan itu kejam, kekristenan seolah-olah terdiri dari larangan-larangan tidak ada habisnya. Ular tua itu mengatakan, “Bukankah semua pohon di dalam taman ini, tidak boleh kamu makan ‘kan?” mengubah gambaran Tuhan yang memberi kebebasan menjadi Tuhan yang sempit hati, tidak mau manusia bahagia, sepertinya mau membawa manusia pada kehidupan yang luar biasa sengsara dan sempit yang semuanya tidak boleh. Meskipun Hawa tidak langsung tertipu, tapi gambaran Hawa tentang Tuhan pelan-pelan bergeser, jadi agak paranoid, dan akhirnya jatuh. Ajakan Kristus adalah suatu ajakan bahagia, bukan supaya kita sengsara. Sengsara kalau orang tidak mengikut Kristus. Jauh lebih susah kalau orang yang tidak mengikut Kristus.
Kalau kita mau mengerti arti mengikut Kristus –menyangkal diri dan memikul salib setiap hari dan mengikut Kritus– maka kita harus membaca keseluruhan Injil, Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes dari pasal pertama sampai terakhir yang intinya adalah ajakan mengikut Kristus, hidup seperti Kristus. Kita bukan hanya percaya Yesus mati di kayu salib menggantikan kita lalu selesai, karena itu ajaran evangelical yang agak reduktif, bukan evangelical theology yang asli. Calvin waktu membicarakan hukum Taurat, orang setelah percaya –lahir baru– ia kembali lagi kepada Taurat untuk melakukan Taurat; bukan untuk mendapatkan keselamatan karena itu sudah dilakukan Kritus di atas kayu salib, tapi ajakan untuk mengikut Kritus.
Dua macam kekristenan yang sama-sama ekstrim dan sama-sama salah. Yang satu, gambaran yang menekankan substitusi korban Kristus tapi tidak mengajak orang untuk mengikut Kristus, akhirnya jadi gambaran kekristenan yang sangat murahan. Pemberitaannya cuma pemberitaan anugerah, tidak ada ajakan mengikut Kristus, tidak ada ajaran pikul salib, yang ada hanya “Yesus mati di kayu salib mengganti dosamu”, berhenti sampai di situ. Itu bukan kekristenan di dalam Alkitab. Sisi yang lain, bahaya legalisme, terus menuntut orang tapi kurang memberitakan bahwa Yesus sebenarnya sudah mengerjakan itu semua bagi kita. Yang benar menurut Alkitab adalah kedua-duanya: Yesus sudah melakukan bagi kita yang tidak mungkin kita lakukan, Yesus memikul salib-Nya untuk kita; tapi setelah Yesus selesai melakukan tanggung jawab-Nya –melaksanakan panggilan Bapa– Dia mengundang kita untuk mengikuti jejak yang sama.
Waktu kita membaca kembali bagian ini setelah 3 ½ tahun berlalu, harusnya ada pengertian baru; tapi yang lama juga tidak hilang, menyatakan kita dulu mengertinya tidak salah. Ada certain consistency, tapi bukan mandek, statis, bicara yang sama lagi, tidak ada perkembangan, karena itu artinya tidak ada pertumbuhan. Poin-poin yang dulu belum terpikir, yang waktu itu kita belum sanggup menerimanya, lalu Tuhan berikan lagi dan lagi. Dan seperti kita sudah bicarakan, di sini penekanan pada “setiap hari/ daily”, satu kosakata yang sangat khusus di dalam Lukas. Dalam doa Bapa Kami, Matius menuliskan: “berilah kami makanan pada hari ini”, sedangkan Lukas: “berikan kepada kami makanan setiap hari”; Matius pakai “hari ini/ today”, sedangkan Lukas pakai “setiap hari/ day by day”. Lukas sangat menekankan pengulangan. Repetisi, dalam spiritualitas Kristen penting sekali karena kita dibentuk melalui itu. Bukan putar-putar tidak ada progress seperti piringan hitam rusak, tidak ada perkembangan dan jadi klise, tapi ada satu progress di dalam pengulangan, yaitu kita semakin menyerupai Kristus, pengertian kita akan firman Tuhan semakin dalam, juga pengetahuan kita, cinta kasih kita, dst.
Lukas menekankan “daily” di sini, kepentingannya apa? Jemaat mula-mula banyak mengalami penganiayaan. Semua rasul selain Yohanes –Yohanes juga nyaris– satu per satu jadi martir. Arti mengikut Kristus dan memikul salib-Nya, bagi Petrus betul-betul naik ke atas kayu salib, yang secara tradisi Petrus minta badannya dibalik karena merasa tidak layak disalib dalam posisi sama seperti Tuhannya. Maka ketika Lukas mengatakan “memikul salib setiap hari”, ia mau memperluas pengertian pikul salib, dari konsep martyrdom menjadi konsep keseharian. Maksudnya, tidak semua orang Kristen mati martir, tapi yang tidak mati martir pun tetap di dalam ajakan Kristus untuk memikul salibnya, and therefore muncul istilah “setiap hari”, ayat ini tetap berlaku untuk kita semua. Maksudnya, kehidupan Kristen adalah kehidupan yang berkorban, pikul salib, ini satu metafor penting dalam kehidupan Kristen. Kehidupan yang menyalibkan manusia lama kita, ke-ego-an kita, ambisi kita, imajinasi kita, bahkan mungkin cita-cita kita, bayangan kita tentang yang baik dan ideal yang tidak tentu adalah bayangannya Tuhan. Itu semua musti disalibkan bersama dengan Kritus, lalu kita mengikut Dia, membiarkan Kristus betul-betul memimpin kita. Tapi kita mengikut Kristus dengan “banyak kondisi”. Saya mengikut Kristus asal gereja begini begitu; orang Kristen harusnya begini begitu, pendeta harusnya begini begitu, dst. Mengikut apa seperti itu?
Waktu Yesus mengajak murid-murid mengikut Dia, Petrus bisa salah mengerti, apalagi Saudara dan saya. Petrus pernah mengatakan, “saya akan mengikut Engkau ke mana pun”, tapi kenyataannya dia punya bayangannya sendiri “Yesus harusnya bagaimana”, sehingga waktu Yesus memberitakan tentang penderitaan-Nya, Petrus katakan, “itu tidak akan terjadi, tidak boleh terjadi”. Intinya itu bukan Mesias yang saya mau. Orang mau mengikut Kristus, tapi Yesus musti begini begini, begini, … , itu bukan “saya mengikut Yesus” tapi “Yesus mengikut saya”. Kalau “saya mengikut Yesus”, biarkan Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagaimana Dia mau memperkenalkan kepada kita. Bukan kita yang kontrol ideal Tuhan, karena itu artinya mengikut Yesus yang palsu.
Apa arti salib? Kita sering mendengar, “saya ini ada salib, anak saya cacat”, atau “saya ini punya penyakit kanker, itu salib saya”, atau yang sedang studi “salib saya yaitu dapat nilai D- melulu”, atau “salib saya adalah pernikahan yang tidak bahagia”, “salib saya adalah anak yang kecanduan drugs,”. Itu bukan salib. Kita tidak mengatakan itu bukan penderitaan/ pergumulan –itu memang penderitaan/ pergumulan– tapi itu tidak layak disebut salib. Waktu Yesus memikul salib, itu bukan Dia sedang kena penyakit, tapi Yesus memilih jalan itu secara rela. Siapa rela sakit panu? Adakah orang yang ingin sekali mendapat penyakit kanker? Tidak ada, itu orang gila. Kita semua terpaksa kena itu semua, dalam pengertian kalau bisa kita tidak mau tapi kena juga. Dan itu bukan salib.
Yesus memikul salib itu “untuk siapa”? Salib ada konsep relasi, bukan sekedar “saya dan penderitaan saya”. Saya dan penderitaan saya tidak tentu membawa berkat untuk siapa-siapa. Saya tidak bahagia dalam kehidupan keluarga saya, ya, memang cuma itu, tapi apakah ketidak bahagiaan saya kemudian jadi berkenan kepada Tuhan? Menjalankan panggilan Bapa? Atau memberkati orang lain? Tidak tentu. Tapi Yesus memikul salib adalah Dia taat kepada Bapa-Nya. Ini panggilan yang diberikan Bapa kepada Sang Anak untuk dilakukan dan Yesus taat sepenuhnya. Dan ada manfaat yang bisa dinikmati orang lain. Itulah salib. Waktu kita sudah capek sekali lalu ditelpon orang harus besuk, dan Saudara menyangkal diri untuk membesuk, itu contoh sederhana “salib”, karena ada kaitan dengan ketaatan kepada firman Tuhan dan memberkati orang lain. Setelah kejatuhan di dalam dosa, manusia hidup tidak ideal lagi, ada banyak pergumulan, sakit penyakit, dsb., tapi tidak otomatis merupakan salib. Menjadi salib kalau kita memang mengambil itu dengan rela, kemudian itu memberkati orang lain, dan merupakan penggenapan kehendak Bapa. Konsep ini penting karena banyak orang Kristen pikir dia sudah pikul salib, bahkan salibnya begitu besar sekali, padahal bukan salib sama sekali. Hanya karena menderita dan ada pergumulan, tidak otomatis artinya sudah pikul salib.
Konsep salib adalah ketika seseorang mengasihi Tuhan, mengasihi sesamanya, dan karena itu ada harga yang harus dibayar, ada penyangkalan diri, termasuk kesiapan mengalami pain and hurt. Membuka relasi dengan manusia berdosa, kita akan bisa tersinggung, sakit hati, kecewa, marah, terluka, dsb. Kasih, memungkinkan itu semua terjadi dan juga bisa di-overcome. Yesus di atas kayu salib bukan cuma tersinggung, bukan cuma luka, tapi Dia MATI, Dia sepenuhnya melakukan kehendak Bapa. Ada satu penulis mengatakan, “Fokus kehidupan Yesus bukan salib, tapi kehendak Bapa, dan kehendak Bapa termasuk di dalamnya adalah: memikul salib". Yesus bukan berkonsentrasi untuk mau menderita –itu orang sakit jiwa — Yesus jelas sekali normal waktu Dia katakan, “kalau boleh cawan ini lalu daripada-Ku”. Dia bukan mau memeluk penderitaan tapi memeluk kehendak Bapa-Nya, dan ada salib di dalamnya. Maka Dia mengatakan, “namun bukan kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu yang jadi”.
Menjalankan kehendak Tuhan, ada pengalaman salib. Itu tidak bisa dihindari, tapi konsentrasi bukan pada salibnya. Kalau penekanan pada penderitaannya –bukan pada undangan Tuhan, kehendak Tuhan, mengikut Tuhan– itu bergeser dari salib, lalu jadi bangga kalau menderita lebih banyak daripada orang lain. Ini bukan kekristenan, tapi kesombongan spiritualitas yang tidak jelas dari mana. Alkitab membawa kita untuk taat kehendak Tuhan, yang di dalamnya termasuk salib, tapi fokusnya adalah kasih kepada Tuhan, kasih kepada sesama. Orang yang digerakkan oleh pergumulan / kebutuhan orang lain, ada yang “dipecah” dalam kehidupannya. Yesus memecah-mecah tubuh-Nya. Kehidupan Kristen dipecah-pecah baru bisa memberkati orang lain, ada harga yang perlu kita bayar. Tapi harga yang paling mahal sudah dibayar semuanya oleh Yesus Kristus di atas kayu salib, yang kita tidak pernah bisa bayar.
Paris Reidhad dan Leonard Ravenhill mengatakan kalimat-kalimat sangat bagus, sangat menggerakkan, orang-orang yang betul-betul bergumul mengikut Tuhan. Ravenhill mengatakan: “Hal-hal yang kita hidupi ini, yang kita hidup untuknya, sebenarnya layakkah Kristus mati untuk itu?” Kristus sudah mati untuk kita, lalu hidup kita yang sudah ditebus oleh Yesus dengan harga begitu mahal ini, coba kita lihat, layakkah Yesus mati untuk model kehidupan yang seperti ini? Kita jawab sendiri. Jawabannya tidak harus selalu negatif , saya bukan mau memberikan kepada Saudara guilty feeling –kalau hidup kita tidak ada kaitan dengan kehendak Tuhan, ya memang harus guilty feeling, harus bertobat– ini bukan pertanyaan menghakimi melainkan pertanyaan yang liberating/ membebaskan. Mengajak kita untuk berpikir, hidup yang sudah ditebus oleh Kristus itu seharusnya seperti apa, kita jalani secara bagaimana? Kalau kita cuma meghambur-hamburkan talenta, resources yang ada pada kita, waktu kita, lalu Yesus mati untuk kehidupan seperti itu, cocok atau tidak? Dan Kristus sudah mati untuk itu. Lalu kita sekarang mengikut Yesus dan mempersembahkan kehidupan yang “layak” karena dilayakkan oleh Tuhan, ataukah kita menghidupi kehidupan yang memang tidak layak, yang sebetulnya menghina darah yang Yesus sudah curahkan di atas kayu salib? Hidup yang seperti itu, dosa besar sekali.
Kita tidak kenal kekristenan yang murah. Kekristenan yang cuma “Yesus mati bagiku, lalu setelah itu hidup bebas terserah saya, toh Yesus mati bagiku dan saya akhirnya masuk surga”, itu tidak ada. Ajaran seperti itu tidak ada di dalam firman Tuhan, lebih mirip ajaran sesat.
Setelah saya mengikut Yesus, memikul salib setiap hari, menyangkal diri, lalu bagaimana? Ayat 24: “Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya”, tapi yang berikutnya kalimat penghiburan: “tetapi yang kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.” Tidak ada orang yang rugi waktu mengorbankan dirinya bagi Tuhan, bagi sesamanya, karena Tuhan tidak pernah berhutang kepada siapa pun. Yang selalu berhutang adalah kita kepada Tuhan. Sebesar apapun kita membayar karena merasa berhutang kepada Tuhan, selalu Tuhan akan berikan lagi, selalu melampaui yang bisa kita berikan. Tidak ada “kita menghutangi Tuhan”. Seumur hidup bahkan selama-lamanya kita adalah orang yang berhutang kepada Tuhan. Berbahagia kalau orang bisa melihat kekristenan seperti ini, bukan gambaran berat, pesimis, susah, duri, dsb. yang memang ada poinnya tapi tidak memberikan gambaran tentang terang, lebih mirip kegelapan. Yesus mengajarkan kepada kita, “yang mengikut Aku tidak akan kehilangan, tapi justru akan menyelamatkan dirinya.”
Spurgeon –kalau saya tidak salah ingat– pernah mengatakan, “Even Egoism –a phylosophy of life– Christianity is still the best way of life for egoism”. Bahkan kalaupun kita egois, kekristenan tetap the best way of life, karena orang yang mengikut Kristus akhirnya mendapatkan kembali, dia tidak pernah kehilangan. Tapi kita musti sedikit kritis, kalimat itu kalau disalah mengerti “saya mengikut Kristus karena nanti saya untung lagi”, artinya Saudara menjadikan Kristus sebagai sarana, ujungnya tetap self love, yang kita kejar tetap diri kita sendiri, bukan Tuhan. Ini memanipulasi firman Tuhan.
Satu kutipan yang mirip, dari Craddock: “Saving life by losing life is not, therefore, a strategy for successful living, but is a condition of discipleship”. Maksudnya, ayat tadi bukan kiat sukses, mau berhasil di dalam Tuhan, sangkallah dirimu, karena nanti reward-nya lebih besar lagi. Kalau begini pengikutan kita akan Kristus lagi-lagi sebagai sarana, bukan goal. Agustinus membedakan 2 macam orang, the good and the wicked. Orang benar melihat dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah sarana, lalu dipergunakan, goal-nya adalah Tuhan, menikmati Tuhan. Tapi orang jahat menggunakan Tuhan sebagai sarana, dan goalnya adalah kenikmatan barang-barang di dunia; Yesus cuma sarana untuk mencapai kekayaan, goal sebenarnya adalah mamon. Ini jangan cuma kita pikir dalam Teologi Sukses, kita semua tidak kebal. Paris Reidhad pernah didatangi satu orang, ia mengatakan, “Saya sudah punya siaran radio, gereja yang pengunjungnya sekian, bible study, dsb. tapi kurang sesuatu kalau bandingkan dengan pelayananmu. Lu ada kuasa, saya belum punya, saya ingin baptisan roh supaya saya ada kuasa juga dalam pelayanan. “ Reidhad mengatakan, “Ini persis seperti saya waktu masih muda dulu,” dia melihat dirinya sendiri.
Intinya, pelayanan sudah diberkati, tapi alangkah baiknya kalau ada kuasa maka pelayanan saya akan lebih sukses lagi. Dia mau pakai kuasa itu untuk supaya pelayanannya makin besar. Goal-nya adalah pelayanannya, bukan kuasanya, dan bukan Tuhan. Ini seperti orang pakai mobil Cadillac, mobil yang mewah sekali, tapi ingin tambah sedikit lagi tambah sedikit lagi. Kita datang kepada Tuhan dengan kebangkrutan rohani. Berbahagialah orang yang miskin, bukan berbahagialah orang yang sudah punya Cadillac lalu ditambahkan lagi untuk memperkeren Cadillac-nya –Cadillac dalam pengertian metaforik. Kadang-kadang religious achievement kita –istilah yang kacau karena ‘religious’ koq bisa ‘achievement’, ‘achievement’ koq bisa ‘religious’– bisa jadi semacam Cadillac itu, sebetulnya yang kita mau adalah achievement yang bisa dilihat orang lain, bukan kuasa Tuhan itu sendiri. Betapa manipulatif-nya hidup manusia, bahkan Tuhan pun kita peralat.
“Saving life by losing life is not, therefore, a strategy for successful living, but is a condition of discipleship”. Ini kondisi persyaratan dalam pemuridan yang sejati, bukan sebagai sarana. “Mari kita berkorban, nanti kita akan dapatkan yang lebih besar lagi karena Tuhan tidak pernah berhutang kepada kita”, kalimat ini ujungnya adalah mendapatkan yang lebih besar dan lebih besar lagi, bukan untuk mengerti artinya proses pembentukan di dalam pengikutan itu, orang tetap tidak tertarik hal itu. Orang hanya menjadikan itu sebagai sarana untuk jadi manusia yang berhasil.
Ada orang yang bergumul mencari kehendak Tuhan, untuk tahu pimpinan Tuhan. Motivasinya apa? Karena saya mau menyenangkan Tuhan? Karena saya cinta Tuhan? Hampir tidak ada yang seperti ini. Orang cari kehendak Tuhan maksudnya supaya jangan sampai salah langkah; kalau salah langkah, ‘kan saya yang rugi, nanti perusahaan bangkrut lah, pernikahan tidak bahagia lah, nanti saya menuai apa yang salah, saya tidak mau; nanti berantakan kehidupan saya. Saya maunya succesful living! Itu bukan cari kehendak Tuhan, tapi cari keadaan mujur, tuhan-nya adalah succesful living. Kehendak Tuhan dicari untuk succesful living, bukan demi Tuhan, tidak ada urusan dengan Tuhan, hanya cari kebahagiaan sendiri.
“Saving life by losing life is not, therefore, a strategy for successful living, but is a condition of discipleship”. Yesus mengajak kita meneladani Dia, bukan supaya kita akhirnya menyelamatkan nyawa kita sendiri. Itu memang penghiburan dari Tuhan bagi kita. Kita ini mudah discourage, maka perlu ayat tentang reward seperti itu. Petrus pun pernah bertanya, “Kami ini sudah mengikut Engkau, Tuhan, apa yang kami dapat?”, apalagi Saudara dan saya. Maka Yesus mengeluarkan kalimat seperti itu, “kamu tidak rugi, kamu akan untung, kamu akan menyelamatkan dirimu sendiri, bukan merugikan dirimu sendiri.” Ini menguatkan kita yang gampang sekali discourage, kecewa, kehilangan ketekunan di dalam pengikutan kita kepada Tuhan. Tapi kalimat ini jangan dimanipulasi untuk mengejar kebahagiaan sendiri, bukan mengikut Tuhan. Mengikut Tuhan adalah mengikut Tuhan.
Bagian berikutnya, kontras antara “malu/ shame” dengan “kemuliaan”. Ini sebenarnya satu kategori. Ada culture yang sangat dipengaruhi salah dan benar –guilt culture; ada culture yang dibangun berdasarkan shame and honour. Di dalam Alkitab ada kedua-duanya; ada kemuliaan Yahweh, dan ada Israel yang menjadi malu waktu kalah perang misalnya. Tapi yang menarik, Yahweh sendiri memberikan diri-Nya dipermalukan oleh Israel. Pada waktu itu kalau bangsa berperang melawan bangsa, artinya dewanya ikut berperang. Maka waktu Israel kalah perang, waktu Yahweh mengijinkan Israel masuk ke pembuangan, Dia sendiri masuk ke dalam “shame” itu karena Yahweh sendiri seperti terbuang. Manusia berdosa mencari kemuliaannya sendiri, bukan kemuliaan Yahweh. Shame and honour culture bukan otomatis salah, “orang cuma jaga muka”, tapi bisa alkitabiah waktu kita mencari shame and honour- nya pada diri Yahweh, menjaga kemuliaan Yahweh bukan kemuliaan mukanya sendiri, kuatir sekali kalau Yahweh dipermalukan. Orang seperti ini pasti beres. Dan honour and shame culture pasti kaitan juga dengan guilt culture –salah dan benar.
Waktu dikatakan “barangsiapa malu karena Aku”, artinya ini orang yang mencari kemuliaan dunia, worldly honour, worldly glory, malu karena Kristus. Dalam pandangan dunia, Kristus gak keren, jalan cerita-Nya gak keren, mati di atas kayu salib. Jumat Agung dirayakan besar-besaran dan dikenang padahal cerita Orang gagal total kayak begitu, itu tidak masuk dalam pikiran dunia. Kalau Saudara pikir ‘saya tidak malu, saya bangga Yesus disalib’, tapi kemudian tidak mau pikul salib, itu namanya malu menurut Alkitab. Kalau kita tidak malu, kita akan menjalani kehidupan yang sama, tidak mengejar kemuliaan dunia, tidak mengejar kemuliaannya Herodes. Kalau kita menghidupi cerita gambaran” elitis yang di atas”, berarti kita malu akan cerita Kristus, yang lahir di kandang, rentan, bisa disakiti. Orang yang tidak malu, akan mengikuti jejak kaki yang sama, membuang prinsip yang ada di dalam dunia. Ini pergumulan seumur hidup karena dunia terus menarik kita untuk masuk ke dalam konsep kemuliaannya yang bentur dengan kemuliaan Kristus. Yang mulia bagi Kristus, itu hina bagi dunia. Yang mulia bagi dunia, itu hina untuk Tuhan.
Orang yang berpikir “saya musti membuktikan diri berhasil dong, malu kalau dihina”, itu berarti malu akan cerita salib, karena Yesus tidak pernah seperti itu. Yesus sama sekali tidak tertarik dengan pembuktian-pembuktian seperti itu. Kalau di gereja, kita semua ikut Perjamuan Kudus, tidak ada persoalan; tapi begitu keluar gereja, saya pakai konsep kemuliaan yang lain dong, karena ‘gak jalan konsep kemuliaan Kristus di dalam dunia; saya musti pakai cerita yang lain supaya orang tertarik; bahkan membuktikan kemuliaan kekristenan melalui kemuliaan dunia. Kalau begitu, tidak usah Perjamuan Kudus saja karena Perjamuan Kudus meneguhkan/ meng-afirmasi cerita kehidupan Kristus itu benar, dan saya mau menghidupinya. Itulah mystic union with The Christ, sebagaimana Kristus yang sudah menderita, sekarang saya bersekutu dalam penderitaan-Nya, menjadi satu dengan Dia. Roti dan anggur menunjuk pada tubuh yang dipecah-pecahkan dan darah yang dicurahkan di atas kayu salib. Ini jalan salib yang saya juga lalui, dan ini jalan kemuliaan, bukan jalan kehinaan.
Waktu dikatakan “Anak Manusia juga akan malu karena orang itu, apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan-Nya”, mengapa? Seolah Yesus hitung-hitungan seperti anak kecil, kalau orang malu akan Dia, Dia ikut-ikutan malu; seolah kasih-Nya kondisional sekali, kalau Dia dipermuliakan baru Dia mempermuliakan, kalau Dia tidak dipermuliakan, Dia juga tidak mempermuliakan kita. Tidak. Memang ada prinsip yang tidak bisa ditukar. Waktu Yesus datang dengan kemuliaan-Nya, Dia malu dengan orang-orang seperti itu karena tidak ada kemuliaan surgawi sama sekali. Orang yang di dalam kehidupannya terus menerus membangun di dalam kemuliaan dunia –yang menjijikkan di hadapan Tuhan– bagaimana mungkin Yesus tidak malu karena itu bukan kemuliaan menurut perspektif Bapa. Contoh yang kasar, kalau Saudara melihat kotoran anjing lalu musti bilang itu enak, tentu konyol. Yesus waktu datang, Dia akan melihat kemuliaan yang dilihat oleh Bapa karena Dia selalu sinkron dengan Bapa. Yaitu kemuliaan orang yang bertekun memikul salib seperti Kristus sendiri, the true glory. Yang diluar itu, kemuliaan dunia –Cadillac, achievement pelayanan, dsb.– yang tidak dilihat oleh Tuhan, hina, Tuhan tidak tertarik. Kemuliaan surgawi tidak compatible dengan kemuliaan duniawi yang sangat mempermalukan.
Terakhir, ayat 27: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat Kerajaan Allah." Lukas tidak mengatakan “tidak akan mati sebelum Kerajaan Allah datang”, tidak bicara the coming melainkan tentang seeing –melihat– The Kingdom of God, meski ‘melihat’ tidak bisa dipisahkan sama sekali dengan ‘kedatangan-Nya’. Kita belajar dalam prinsip Alkitab yang lain, Kerajaan Allah ada aspek ‘already’ dan aspek ‘not yet’. Yesus, waktu hadir di dalam dunia, itu mengumumkan datangnya Kerajaan Allah –“Kerajaan Allah ada di tengah-tengah kamu”– ini aspek ‘sekarang’; profil teologi Lukas menggeser orang-orang yang terus menantikan ‘kapan Yesus datang’ kepada tanggung jawab eskatologis ‘di sini dan sekarang’. Waktu Yesus mau masuk Yerusalem, banyak orang menyangka Kerajaan Allah akan tiba –political Messiah– tapi ternyata Yesus mengendarai keledai. Ini ketidak cocokan yang pertama. Naik keledai lebih mirip badut daripada raja. Dan mereka masih mengatakan “Hosana! Hosana!”, lalu tidak lama kemudian, salib. Salib dan naik di atas keledai, itulah kemuliaan yang sesungguhnya.
“Kerajaan Allah datang”, itu datang dalam apa? Dalam kerendahan hati, penerimaan, undangan untuk semua orang berdosa –tidak pilih-pilih, baik orang Farisi yang self righteouss itu maupun pelacur dan pemungut cukai– untuk satu table fellowship, makan dari tubuh Yesus Kristus yang dipecah-pecahkan. Tidak ada pembedaan elitis –kaya miskin, budak, orang merdeka– semua itu berhenti waktu kita ikut Perjamuan kudus. Berhenti di bawah kayu salib, karena salib membongkar semua perbedaan itu, perbedaan itu tidak ada relevansinya sama sekali bagi Kerajaan Surga. Tidak ada parsialitas ke kanan ataupun ke kiri, orang kaya ataupun orang miskin, Yesus merangkul semuanya. Itulah melihat Kerajaan Allah.
Maka Gereja dipanggil untuk menyatakan kehadiran Kerajaan Allah. Seeing the Kingdom of God artinya betul-betul seeing, bukan sesudah mati –lebih baik sebelum mati– melihat realita Kerajaan Allah, lalu diundang berpartisipasi dalam realita tersebut. Alangkah bahagianya orang yang bisa melihat Kerajaan Allah, yang tersembunyi, tidak menarik; waktu orang disakiti, merasa kesal tapi tetap bisa mengampuni, that is the Kingdom of God. Bukan gereja yang begitu besar bahkan lebih besar daripada Vatikan di Roma, itu bukan the glory of Jesus yang digambarkan Alkitab.
Bagaimana kita menghadirkan kerajaan Allah? “Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga”. Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS).
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading
