“Aku telah mati, namun lihatlah, Aku hidup, sampai selama-lamanya dan Aku memegang segala kunci maut dan kerajaan maut… .”
Waktu membaca konteks kebangkitan yang disajikan kitab Wahyu, ada sedikit perbedaan dengan keempat Injil, tentu bukan perbedaan kontradiktif yang mengharuskan kita memilih, karena masing-masing mempunyai keindahan perspektif.
Dalam bagian ini, wahyu yang diperoleh Yohanes, satu prinsip pertama, yaitu pada ayat 9: Yohanes menyebut dirinya sebagai ”saudara sekutu di dalam kesusahan” (penderitaan, persecution, penganiayaan). Berita kebangkitan, kita tidak bisa mengertinya tanpa berita kesusahan/ penganiayaan/ penderitaan, karena itu akan menjadi suatu berita yang kosong. Kita tidak bisa menghayati berita kebangkitan dengan benar, kecuali kita menderita bersama-sama dengan Kristus. Tanpa itu, berita kebangkitan menjadi tidak terlalu menarik, tidak ada resonansi dalam hati, kita tidak tergerak untuk mendengarkan juga. Berita kebangkitan menjadi begitu relevan dan eksistensial ketika disampaikan oleh Yohanes, karena yang dituju dalam kitab Wahyu ini adalah jemaat yang teraniaya, menderita bagi Kristus, atau setidaknya seharusnya menderita bersama dan bagi Kristus. Waktu bagian ini hilang dalam kehidupan Kristen, tidak ada salib, tidak ada penderitaan, tidak ada kehidupan yang berkorban seperti Kristus, kita tidak bisa merenungkan berita kebangkitan sama sekali.
Kalau dibalik, tentu juga benar: kita tidak bisa mengerti salib tanpa kebangkitan, karena kekristenan bukan mengajarkan cerita sentimental tentang satu hero yang berkorban untuk murid-muridnya, mati di atas kayu salib lalu selesai. Cerita seperti ini lumayan menggerakkan tapi tidak membawa kita kemana-mana. Paulus mengatakan, “kalau Kristus tidak bangkit, sia-sia iman kita”. Kita tidak bisa melihat salib tanpa perspektif kebangkitan. Kebangkitan menolong kita untuk mengerti makna salib yang sesungguhnya. Sebaliknya kita tidak bisa mengerti kebangkitan tanpa perspektif salib. Dan ini bukan cuma objectively, tapi juga subjectively dalam hidup kita masing-masing. Subjectively dalam arti kalau kita sendiri tidak mengalami kuasa penderitaan itu bekerja dalam hidup kita, kita akan sulit sekali mengalami kuasa kebangkitan bekerja di dalam kehidupan kita. Kekristenan bukan agama gampang. Orang banyak salah mengerti doktrin anugerah, “Pokoknya angkat tangan, terima Yesus, undang Yesus masuk hati, selesai. Setelah itu hidup terserah kamu, toh akhirnya masuk surga juga karena Kristus sudah di dalam hati”. Bonhoeffer mengatakan, “Hati-hati dengan konsep seperti itu; itu gambaran cheap grace, anugerah yang murahan, anugerah rongsokan, bukan anugerah yang ada di Alkitab, yang dibahas dan diajarkan dalam Yesus Kristus. Itu bukan kekristenan. “ Keselamatan kita memang sepenuhnya karena kesempurnaan korban Kristus, tapi Injil bukanlah tanpa pengikutan, mengiring Yesus berjalan menuju ke salib, dan karena itu kita berbagian dalam cerita kebangkitan.
Apa yang membedakan catatan kebangkitan dalam kitab Wahyu dengan kitab Injil? Tentu saja memang secara objektif Yesus betul-betul bangkit, tapi pada waktu dicatat di Injil murid-murid dan orang banyak belum betul-betul mengerti arti menyertai penderitaan Yesus, sehingga waktu Yesus bangkit banyak yang ragu, termasuk juga Petrus. Mengapa? Karena mereka belum menderita sebagaimana yang dicatat dalam kitab Wahyu satu per satu mereka mati martir. Objectively Yesus tetap bangkit juga, regardless kita menderita bersama Dia atau tidak. Tapi sulit untuk menghayati kebangkitan Kristus tanpa perjalanan menyertai penderitaan Kristus. Bukan kebetulan yang pertama encounter dengan berita kebangkitan Yesus adalah perempuan-perempuan, bukan murid-murid yang laki-laki. Mengapa? Salah satunya mungkin karena kebiasaan Lukas menjungkir-balikkan segala sesuatu, kaya-miskin dan yang miskin lebih dekat Kerajaan Allah, anak-anak bukan orang dewasa yang mempunyai Kerajaan Allah, juga perempuan-perempuan bukan yang laki-laki (prinsip reversal / pembalikan). Tapi ada satu prinsip lain, karena perempuan-perempuan inilah yang menyertai penderitaan Kristus. Maka merenungkan berita Paskah tidak bisa dipisahkan dengan Jumat Agung; keduanya saling menyoroti, Paskah dari perspektif Jumat Agung, tapi juga Jumat Agung dari perspektif Paskah.
Waktu membaca cara Yesus memperkenalkan diri-Nya dalam gambaran kitab Wahyu, lagi-lagi berbeda dengan image yang kita resepsi secara umum, yaitu yang sangat terkenal adalah gambaran/ ikon Yesus yang menggendong domba, memegang tongkat gembala. Orang senang dengan gambaran kelemah lembutan Yesus, Yesus Sang Gembala membawa pulang kita yang tersesat. Itu bukan ikon yang salah, memang dicatat dalam Alkitab bahwa Yesus menyebut diri-Nya “Gembala”, tapi itu bukan satu-satunya ikon tentang Yesus, dan kita tidak bisa one sidedly menghayati Yesus melalui ikon ke-gembalaan-Nya. Dalam bagian kitab Wahyu ini, gambaran tentang Kristus rather terrible, terror, gambaran yang menakutkan, bukan gambaran seperti gembala yang peluk-peluk domba, timang-timang anak, dsb. Gambaran yang begitu menakutkan sampai Yohanes tersungkur seperti orang mati. Seringkali kita missing gambaran the terrible of Christ ini, sehingga Gereja gampang sekali terjatuh dalam konsep anugerah murahan, karena lahir dalam keluarga Kristen, dari kecil mengenal Yesus yang Mahabaik, dsb.
Kembali ke pemberitaan bagian ini, kalimat yang ada di situ “JANGAN TAKUT”, itu cuma meaningful kalau yang mendengar adalah orang-orang yang takut, seperti Yohanes sendiri takut. Kita bukannya tidak mengerti secara teoritis, tapi ini bukan cuma teoritis melainkan penghayatan subjektif. Gambaran Yesus yang menakutkan itu, berapa banyak mempengaruhi kehidupan kita? Luther, yang dipakai Tuhan sehingga ada gerakan Gereja Injili seperti kita sekarang, dalam hidupannya bergumul karena ia tahu, waktu berhadapan dengan Kristus, ia berhadapan dengan Hakim, yang sempurna tuntutannya, yang ia tidak bisa mencapai tuntutan kesucian itu. Luther begitu ketakutan. Lalu orang di biara mengatakan, “Kita harus puasa”, maka Luther berpuasa, puasa dan puasa begitu keras sampai pingsan, tapi tetap jiwanya gelisah. Orang lain lagi mengatakan, “Kamu harus naik anak tangga Pilatus yang ada di Roma itu untuk menenangkan jiwa”, dan ia pergi ke sana, naik tangga itu, namun tetap tidak ada ketenangan jiwa. Ia tetap dipengaruhi gambaran Kristus yang begitu menakutkan. Gambaran ini yang sekarang hilang, dan kita mengatakan: “itu gambaran Medieval yang sudah kuno”; kita lebih suka gambaran Yesus yang seorang gembala, menggendong, memberkati anak kecil. Ini bukan salah, tapi ini hanya partially gambaran Alkitab.
Teologi Injili tidak pernah menggeser gambaran Yesus yang adalah juga Singa dari Yehuda. Ada satu buku anak-anak yang bagus sekali, “Chronicles of Narnia” dari C. S. Lewis, yang di situ ada relasi gambaran Si Singa Aslan dengan Yesus Kristus (bukan tipologi karena bagaimanapun buku itu bukan Alkitab). Menggambarkan Yesus sebagai “singa” tidak populer sama sekali, tapi istilah itu muncul di Alkitab, khususnya kitab Wahyu. Dalam kitab Wahyu memang Yesus disebut sebagai “Anak Domba Allah yang disembelih”, tapi juga “Singa dari Yehuda”. Singa itu bukan domba. Ada gambaran yang berbeda tentang Kristus di dalam kitab Wahyu; termasuk juga gambaran yang kita baca hari ini: “Anak Manusia, berpakaian jubah yang panjangnya sampai di kaki, dadanya berlilitkan ikat pinggang dari emas; kepala dan rambut-Nya putih bagaikan bulu yang putih metah, dan mata-Nya bagaikan nyala api; kaki-Nya mengkilap bagaikan tembaga membara di dalam perapian; dst.” Lalu dikatakan: “dari mulut-Nya keluar sebilah pedang tajam bermata dua, dan wajah-Nya bersinar-sinar bagaikan matahari yang terik”. Ini sama sekali bukan gambaran yang comfortable tentang Yesus Kristus; dan kita tidak bisa mengatakan: “Ini kan gambaran Medieval, teologi yang menakut-nakuti, terror, karena kita kan orang Injili, orang Reformed yang dipengaruhi teologi reformatoris sehingga tidak perlu picture yang kayak begini; kita hanya perlu picture Yesus yang mengampuni dosa, dsb.” Kalau demikian, pertanyaannya: mengapa bagian seperti ini –kalau tidak perlu dan membingungkan apalagi menyesatkan– dicatat juga dalam kitab Wahyu? Jangan-jangan kita sendiri yang tersesat, tidak mengerti gambaran ini, atau sengaja membuang bagian ini.
Waktu dikatakan: “Jangan takut”, apa artinya? Kalau ada orang datang lalu katakan kepada kita, “Jangan takut”, kita merasa gengsi, kita jawab, “Memangnya saya penakut apa?” Alkitab banyak mengatakan “jangan takut, jangan takut” yang seharusnya masih relevan sampai hari ini, tapi one sidedly, Choleric Spirituality mengajarkan kepada kita untuk tidak pernah takut. Kalau begitu, kalau kita tidak pernah takut, lalu ayat seperti ini, “Jangan takut”, tidak akan ada getaran, “siapa takut?!” Itu seperti gambaran yang terjadi waktu ada mini terror di pusat Jakarta, ada teroris berkeliaran tapi orang Jakarta ber-selfie, lalu muncul hashtag yang terkenal –dan memang powerful— #KamiTidakTakut. Luar biasa ya, satu-satunya negara yang berani menertawakan teroris. Lalu ada orang menulis: “Kami tidak takut atau kami ignorance sebetulnya?” Menarik.
Kembali ke bagian ini, waktu Alkitab mengatakan “jangan takut”, pertanyaannya: takut terhadap siapa? Atau takut terhadap apa? Di sini Objek ketakutannya adalah Kristus. Bukan teroris, bukan juga bencana alam atau kemiskinan. Yang dimaksud adalah “jangan takut kepada Kristus”; dan sebelum orang tidak takut, ia seharusnya musti takut dulu supaya kemudian jadi tidak takut. Sama juga dengan sebelum orang “bangkit”, harus ada “mati” dulu; jika tidak, kebangkitan dari apa? Sebelum kita bicara kebebasan, kita tahu dulu akan adanya keterikatan; keterikatan itu membuat pembicaraan tentang kebebasan jadi meaningful. Yesus mengatakan, “Jangan takut”, karena gambaran tentang Dia memang betul-betul menakutkan. Yohanes mengalami proses ini, dari takut lalu masuk ke dalam ketidak takutan, karena Yesus yang menguatkan dan meneguhkan dia. Saudara bisa mendapati juga struktur seperti ini dibagian lain, misalnya Yesaya yang mendapatkan visi dan juga ketakutan lalu mengatakan, “Celaka!, aku melihat Tuhan yang Mahakudus tapi aku sendiri najis bibir dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang juga najis bibir. Celaka! Celaka! aku binasa.” Ada ketakutan di situ, bukan tidak ada. Kalau kita mengerti prinsip ini, kita lebih mengerti artinya kebangkitan Yesus. Waktu bangkit, Dia di dalam rupa yang berbeda –memang tentu saja itu adalah Yesus yang sama– tapi bukan sekedar pengulangan dari The Pre-Easter Jesus yang sebelum Dia mati. Petrus waktu bertemu Yesus yang bangkit, bukannya kegirangan lalu mengatakan, “Wah, Lu ada di sini lagi, give me high five…”, rangkul-rangkulan dsb. Kita tidak baca cerita seperti itu di dalam Alkitab, melainkan ada certain kebingungan, ketakutan, respek, ini Yesus yang sama tapi ada ke-berbeda-an juga.
Mempelajari visi yang menakutkan tentang Kristus dari kitab Wahyu ini, baru membuat kita bisa mengerti apa artinya kuasa kebangkitan Kristus. Ada dignitas. Ada dignitas dalam kehidupan Kristus, dan ada dignitas juga dalam kehidupan Gereja yang menghidupi cerita Kristus; seperti dignitas Kristus, demikian juga dignitas Gereja. Saya share sedikit kejadian yang dibicarakan banyak orang –saya tidak judgemental di sini– yaitu tentang Pope Francis yang membasuh kaki migran non Kristen, dan sebelumnya ia tunduk memberi hormat kepada Queen of Jordania. Orang banyak komentar “ini artinya apa; true humility atau sesuatu yang lain?” Memang hati seseorang, kita tidak pernah tahu, Tuhan yang tahu, tapi ini sedikit menyentuh tema dignitas yang kita bicarakan, dignitas Gereja, dignitas kekristenan, dignitas Kristus. Kristus memang rendah hati dan lemah lembut, itu betul, tapi di sini ada gambaran yang berbeda, dan kita tidak bisa tidak accomodate bagian ini karena ini adalah ajaran Alkitab. Ada dignitas Gereja, dignitas Kristus; dignitas Kristus dipercayakan kepada Gereja.
“Jangan takut, AKULAH YANG AWAL DAN YANG AKHIR —The First and The Last”. The First dalam bahasa penciptaan artinya Yesus Pencipta the old creation tapi juga sekaligus the new creation; Yang Awal dan Yang Akhir; Yang Pertama dan Yang Terakhir. Yang Pertama, berarti Yesus yang memulai, menciptakan, tapi setelah itu ciptaan jatuh ke dalam dosa, dan Yesus mengatakan “Akulah Yang Akhir, Aku menciptakan kembali —eschaton-– the new creation, “Aku membawa kepada goal”. Yesus bukan saja yang memulai segala sesuatu, tapi Dia juga yang akan mengakhiri semuanya. Dia bukan yang pertama lalu selanjutnya terserah kepadamu. Cerita kehidupan Kristen, Gereja, adalah seperti ini. Gereja dimulai oleh Tuhan, dan harus diakhiri oleh Tuhan. Gereja bukan hanya dimulai oleh Tuhan lalu setelah itu dibangun oleh siapa terserah, dan akhirnya juga terserah bagaimana, toh Tuhan yang memulai. Tidak. Alkitab mengatakan bahwa Dia yang akan mengakhiri yang telah Dia mulai. Dia tidak akan mengakhiri yang tidak Dia mulai; dan Dia pasti yang akan mengakhiri yang Dia mulai. Ini bahasa partisipasi; dan berbahagia kalau kita berpartisipasi di dalamnya. Iman kita itu dimulai dari Tuhan, bukan kita. Tuhan yang pemula iman akan menyempurnakan iman sampai pada akhirnya.
Lalu tema kita, “Aku telah mati, namun lihatlah AKU HIDUP SAMPAI SELAMA-LAMANYA”. Saya ingin kita bersama merenungkan ide tentang kekekalan, karena di sini yang ditekankan adalah “selama-lamanya”, forever and ever . Dalam dunia filsafat ada perdebatan 2 pandangan yang sama kuat, yaitu Eternalism dan Temporalism. Eternalism mengajarkan bahwa Tuhan itu kekal, bukan ciptaan, sehingga waktu menciptakan Dia menarik diri-Nya dari ciptaan, transcends dari ciptaan, dan Dia jelas di luar waktu sedang waktu sendiri adalah ciptaan Tuhan; gambaran timeless, kekekalan Allah yang tidak tersentuh oleh waktu. Sebaliknya ajaran Temporalism mengajarkan bahwa Tuhan ada di dalam waktu, bersama dengan waktu, mengalami proses di dalam waktu seperti manusia, ada masa depannya. Pandangan seperti ini bukan cuma di dalam filsafat tapi juga dalam teologi yang tidak ortodoks, tidak alkitabiah. Pandangan ini menarik karena manusia capek akan Tuhan yang berdaulat, yang mengontrol segala sesuatu, Mahatahu, tapi ternyata masih ada penderitaan juga; manusia merasa gambaran Tuhan yang seperti itu tidak terlalu menghibur, katanya. Temporalisme ada atraksinya sendiri karena mengajarkan Tuhan yang bersama-sama dengan kita –waktu kita menderita Tuhan juga menderita, waktu kita tidak tahu masa depan, Tuhan juga tidak tahu– gambaran solidaritas yang tinggi, dan Tuhan juga sangat bergantung pada kita. Kita tahu ajaran seperti ini bukan Alkitab. Kalau kita membaca Alkitab, jawabannya adalah: neither-nor; neither Eternalism nor Temporalism. Alkitab pastinya tidak mengajarkan Temporalism dalam pengertianTuhan tidak tahu masa depan, bisa terkejut/ surprised akan yang terjadi di depan. Dan juga di sisi lain, kita tidak percaya konsep eternal seperti digambarkan filsafat Yunani yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berurusan sama sekali dengan waktu, Dia ada dalam timeless; gambaran eternity yang dikatakan sebagai timeless, di luar waktu; karena pertanyaannya: bagaimana dengan inkarnasi Kristus? Yesus yang hidup di dunia ini selama 33 ½ tahun, bukankah berarti Tuhan yang sedang memeluk waktu? Tuhan yang berada di dalam waktu tanpa Dia sendiri ditelan oleh waktu.
Keindahan berita kebangkitan adalah bahwa “waktu” tidak bisa menelan Tuhan, Kristus. Ini gambaran tentang “selama-lamanya” yang kita mau belajar. Bukan gambaran the Ancient Greek eternity yang timelessness, tidak bergerak lagi, statis, berhenti, statue life seperti patung. Ada kepercayaan yang menghayati hal seperti itu secara konsisten, dengan bertapa, bersemedi, tidak bergerak, karena menurut mereka itu lebih dekat dengan kekekalan; kekekalan tidak terjadi proses, tidak ada pergerakan, manusia yang masih bergerak-gerak itu terlalu duniawi. Ini bukan ajaran Kristen. Ajaran Kristen adalah bahwa Yesus berada di dalam “waktu”, tanpa ada ketakutan “waktu” menelan Dia. Bukan cuma “kematian”, tapi “waktu” juga tidak dapat menelan Kristus. Ini pengharapan Kristen, tapi bukan berarti kita keluar dari waktu. Maka visi yang timelessness tidak bisa dihayati Gereja, itu jalan buntu.
Waktu kita melihat Tuhan berada di atas waktu, Tuhan tidak terkurung oleh waktu, lalu saya bagaimana? Sayangnya, saya terkurung oleh waktu. Tapi eternity yang timelessness itu bukan berita Kristen. Bahasa Indonesia lebih bagus waktu menerjemahkan kekekalan dalam pengertian “selama-lamanya”. Di dunia teologi, orang memperdebatkan: apakah lebih baik memakai istilah “everlasting” atau “eternal”? Eternal sedikit berbau Yunani seperti gambaran patung yang tidak bergerak; tapi eternity dalam konsep “forever and ever, selama-lamanya” yang bisa kita hayati. Yesus, waktu menderita, begitu terasa siksaan dari waktu (kronos), sampai Dia sendiri –bersama dengan manusia– mengatakan, “Mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Itu kalimat ratapan. Dalam Mazmur, peratap-peratap sering mengatakan “berapa lama lagi? berapa lama lagi?”. Kata “berapa lama” menunjukkan siksaan di dalam waktu. Penghayatan seperti ini lebih menarik daripada konsep timelessness yang tidak bisa dihayati.
Merenungkan tentang waktu, ada 2 kemungkinan, either kita disiksa oleh waktu karena tidak ada meaning dalam kehidupan, hidup ditelan waktu, tidak mengalami kuasa kebangkitan Kristus; hidup jadi seperti orang yang menunggu dan menunggu, bolak balik lihat jam, kapan selesainya, berapa lama lagi, lalu dalam penantian tidak habis-habisnya; pengalaman waktu yang menyiksa. Atau, justru mengalami kuasa kebangkitan Yesus, yaitu mencicipi eternity dalam pengertian time forgetfulness, dalam pengertian bukan keluar dari waktu –manusia tidak bisa keluar dari waktu– tapi kita jadi tidak terlalu sadar akan waktu. Pertanyaan yang juga bisa kita pikirkan, bagaimana dengan surga? Masih dalam waktu atau tidak ada waktu sama sekali? Kalau kita mengatakan bahwa surga itu eternity dalam pengertian timeless, tidak ada hubungannya dengan waktu yang ada di sini, maka kita tidak bisa ada clue apapun tentang surga, tidak bisa kita hayati, hanya “pokoknya lain”, bukan yang disini, semuanya jadi negative theology, theologia via negativa. Teologi Reformed tidak terlalu tertarik membicarakan via negativa, kita lebih tertarik membicarakan konsep positif yang bisa dicicipi di sini dan sekarang.
Berkaitan dengan eternity yang dikatakan “selama-lamanya”, kita bisa tanya: selama-lamanya dalam keadaan apa? Kalau orang sakit, menderita, lalu hidupnya panjang, ya percuma; hidup panjang tapi tidak bahagia maka makin panjang makin sengsara dan akhirnya menderita selama-lamanya. Maka mengenai “selama-lamanya”, persoalan bukan pada durasinya yang sepanjang mungkin, melainkan kita sedang mengalami apa, bagaimana kondisi kita. Sekali lagi, ada 2 pilihan: hidup ditelan oleh waktu, tidak mengalami kuasa kebangkitan Kristus; atau mengalami kuasa kebangkitan Kristus, sehingga kita jadi tidak terlalu sadar dengan waktu. Meminjam ilustrasi Einstein waktu menjelaskan Teori Relativitas: orang yang jatuh cinta dan sedang berdekatan dengan orang yang dicintai, maka waktu berjam-jam tidak terasa; tapi orang yang berada di atas tungku perapian, satu detik saja rasanya panjang sekali. Itulah forgetfulness of time, kita tidak merasa digeser oleh waktu meski proses penuaan tetap berjalan, maka tidak perlu operasi-operasi plastik, tidak menolong juga. Itu orang-orang yang tidak mengalami kuasa kebangkitan Kristus, terlalu banyak operasi karena takut sekali digeser oleh waktu. Yesus, Dia mati 3 hari; itu bukan tanpa durasi, bukan tanpa kronos, tapi kronos itu tidak bisa menelan Yesus, bukan cuma kematian tidak bisa menelan Yesus. Yesus bangkit setelah itu, mengalahkan kekejaman kronos. Satu gambaran yang menarik –yang kita tidak percaya– dalam kepercayaan Yunani, mereka percaya Dewa Kronos yang menghancurkan manusia dengan hanya meletakkan manusia di dalam waktu, di situ manusia akan terkuras energinya, drain off, tambah tua tambah rusak tambah tidak ada tenaga; Kronos mengatakan “from strength to weakness”. Tapi Alkitab mengatakan “from strength to strength”. Orang yang mengalami kuasa kebangkitan Kristus, ia bukan tidak berjalan di dalam waktu, sama seperti Yesus, menjalani waktu.
Dalam gambaran Alkitab kita tahu, di satu sisi, waktu diberikan Tuhan kepada kita, tapi ada juga kalimat: “Pergunakan waktu-waktu dengan baik, karena waktu-waktu adalah jahat”. Waktu adalah jahat, dalam pengertian betul-betul menguras tenaga seseorang, membiarkan orang dalam meaninglessness, putar-putar habis waktu dan tidak ke mana-mana, hidup tidak ada arah, masuk dalam kekosongan. Itulah siksaan waktu. Kuasa kebangkitan Kristus mau membebaskan dari ini, membebaskan kita dari kesadaran waktu yang “berapa lama lagi, koq lama sekali, kapan saya keluar dari persoalan ini”. Kuasa kebangkitan Kristus membuat ketika seseorang berjalan di dalam waktu, dan ia tidak sadar waktu sedang menggeser dia, sebaliknya ia menebus waktu demi waktu bersama dengan Tuhan.
Terakhir, dalam kaitan ini, Yesus yang mengatakan “Aku hidup sampai selama-lamanya”, Dia adalah Yang Awal dan Yang Akhir. Dan perikop ini segera disusul dengan surat kepada ketujuh jemaat, itu berarti Yesus, yang adalah Yang Awal dan Yang Akhir, mengetahui yang sekarang dan juga yang akan datang. Ayat 19 mengatakan: “ Karena itu tuliskanlah apa yang telah kaulihat, baik yang terjadi sekarang maupun yang akan terjadi sesudah ini.” Selama-lamanya bukan sekedar masalah durasi yang tidak ada hentinya, yang selama-lama-lama-lamanya, tapi dalam pengertian Yesus yang hidup selama-lamanya mengetahui yang hari ini maupun yang akan datang, Dia mengarahkan kita ke dalam future yang dikehendaki Tuhan itu. Ada urusan dengan waktu. Kita punya anak, kita menantikan dia bertumbuh besar, mengalami proses, yang kadang kita tidak sabar. Kita juga merencanakan future anak-anak, berharap mereka jadi begini, begitu, dsb. Manusia tidak bisa tidak berurusan dengan waktu. Tapi waktu kembali kepada berita kebangkitan, the message of the ressurection mengatakan: “Aku yang hidup selama-lamanya”, itu berarti “dengarkan perkataan-Ku”, langsung masuk kepada teguran –dan juga pujian– kepada ketujuh jemaat. Ada pengetahuan Tuhan tentang keadaan jemaat pada saat ini dan Tuhan melihat sesudahnya. Satu contoh, Tuhan mengatakan, “Kalau kamu tidak bertobat dengan keadaanmu sekarang yang seperti ini, maka kaki dian itu akan ditarik daripadamu” (Why 2:5). Yesus memberikan prophetic message, memberitahu keadaan sekarang, dan keadaan nanti kalau tidak bertobat. Yesus memberikan prophetic message, inilah makna dari kebangkitan. Bukan seperti yang dimengerti oleh teologi sukses. Konon, ada satu gereja yang memasang lukisan yang terkenal “The Ressurection of Christ” dari Grünewald, lalu mengkotbahkan, “Yesus telah bangkit! Kita ini adalah anak-anak Raja, mengalami kuasa kebangkitan! Kita tidak perlu menderita karena bersama dengan kuasa kebangkitan Kristus! dst.” Gambaran yang seperti itu tidak berhubungan dengan Alkitab, itu bukan cerita kebangkitan, itu adalah proyeksi manusia tentang cinta uang lalu pinjam nama Yesus, dan pakai lukisan Grünewald yang sebenarnya message-nya bukan itu. Grünewald melukiskan ressurection of Christ bukan tanpa crucifixion, dan crucifixion of course bukan tanpa ressurection of Christ; keduanya saling mengimbangi. Tapi orang lebih tertarik dengan ressurection, Yesus yang bangkit, menang. Orang yang menang adalah karena ia berjuang, baru bisa menang. Yesus menang karena Dia berjuang sampai titik darah penghabisan. Lalu orang cuma mau menikmati menang bersama dengan Kristus, tapi pertanyaannya: ikut berjuang bersama Kristus atau tidak?
Berita kekristenan memberikan kita gambaran sederhana: Yesus sudah menang, ini sudah diberi tahu lebih dulu, escatological point ; dan akan menang, yang dalam proses waktu kita belum sampai ke sana. Kebangkitan adalah cicipan kemenangan mutlak yang akan diberikan kepada Gereja waktu Kristus datang kembali. Lalu kita di-encourage untuk ikut serta dalam peperangan rohani itu; yang tidak ikut serta dalam peperangan rohani itu, mana mungkin bisa berbagian dalam kemenangan? Kemenangan dari apa? Itu gambaran yang tidak jelas sama sekali. Orang yang tiba-tiba duduk mau ikut memerintah bersama Kristus tapi ikut perang juga tidak, itu bukan cerita kebangkitan.
Yesus yang hidup selama-lamanya, maka Dia mengetahui masa lampau kita, Dia mengetahui yang sekarang, Dia mengetahui yang akan datang. Masa lampau kita banyak kelemahan, banyak cacat cela, banyak bagian yang hitam. Tapi yang disebut kekekalan adalah Tuhan bisa merajut, kita bisa reconcile bukan saja dengan Tuhan namun juga reconcile with our past, itulah mencicipi apa artinya kekekalan. Kekekalan bukan gambaran timeless seperti filsafat Yunani, juga bukan sekedar selama-lamanya yang tidak ada berhentinya, tapi bahwa kita bisa berdamai dengan masa lampau, sekarang hidup bukan dipenuhi kekuatiran tapi dengan the presence of God yang sudah bangkit, dan melihat masa depan karena Yesus sudah memberitahu kepada kita “persoalan ada di mana, bahaya ada di mana”, Yesus sudah beritahu semua.
Kiranya Tuhan memberkati kita, menolong kita untuk mengalami kuasa kebangkitan Kristus. Kita orang-orang yang hidup di dalam waktu, hidup menebus waktu, hidup menjalani waktu bersama dengan Tuhan, kita tidak akan terlalu peka terhadap waktu tapi kita akan peka kepada Tuhan sendiri.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS).