Kita, sebagai Gereja, perlu mengerti kembali arti kekudusan; mengapa kita harus kudus, dalam konteks seperti apa Petrus menulis ajakan hidup kudus ini. Mungkin Saudara mengharapkan jawaban seperti: supaya saya lebih suci, masuk surga, supaya Tuhan dimuliakan; supaya hidup lebih comfortable, supaya lebih banyak ketenangan, dsb. Tapi surat ini ditulis kepada orang yang sedang mengalami penderitaan, sepertinya Petrus sedang mengatakan, “Saudara-saudara, kamu sedang menderita, jadi obatnya supaya kamu bisa melewati penderitaan ini adalah dengan hidup kudus”. Agak aneh sepertinya bagi kita. Tapi di ayat 6 dan 7, Petrus mengatakan, “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu — pencobaan dan penderitaan — ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu–yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api–sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.”
Tema ini muncul di seluruh Alkitab. Kekristenan bukan lepas dari penderitaan, tapi kekristenan adalah satu jalan yang penderitaan tidak melemahkan dan menghancurkan kita, tapi justru bisa diubah menjadi sesuatu yang menguatkan dan memurnikan kita. Roma 5:3-4, Paulus mengatakan hal yang mirip: “Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.”
Petrus mengambil tema ini, waktu menuliskan bagaimana supaya hidup ini, — yang pasti ada kesulitan dan penderitaan — itu tidak menghancurkan atau memperlemah tapi justru memperkuat kita, memurnikan; alat yang tadinya bisa membunuh kita justru jadi alat yang mengasah dan mempertajam kita. Jawabannya adalah: hidup kudus. Logika Alkitab memang lain, tapi itulah kenyataannya. Seperti pisau bedah bisa menyembuhkan dan juga bisa membunuh bukan cuma tergantung pada skill si dokter bedah, tapi juga tergantung Saudara, si pasien; kalau Saudara bergerak-gerak terus tidak mau menurut, Saudara akan terbunuh oleh pisau itu dan bukan disembuhkan. Maka kalau kita mau melalui suatu masalah dan tidak mau masalah itu menghancurkan tapi justru menyembuhkan dan menghidupkan, di situ ada bagian kita juga, bukan cuma bagian Tuhan. Dan bagian kita adalah hidup kudus. Itu logika 1 Petrus. Kita diminta hidup kudus bukan cuma untuk memuliakan Tuhan, tapi sebenarnya untuk kita sendiri juga, supaya kita dimurnikan.
Petrus mengutip dari Kitab Imamat “Kuduslah kamu sebab Aku kudus”. Kita bisa telaah kalimat ini dalam beberapa poin. Pertama, Allah itu kudus. Kedua, karena Dia itu kudus, maka kita harus kudus. Ketiga, yang encouraging dan membawa kekuatan, kita bisa kudus karena Dia kudus.
Yang pertama, mengenai kekudusan Allah. Kata “kudus” dalam bahasa aslinya (qadosh) artinya adalah “untuk memisahkan”, terpisah; bukan putih bersih tanpa cacat cela. Akar kata “qadosh” adalah terpotong, untuk menguduskan sesuatu adalah memisahkan. Maka orang yang menyembah Allah yang kudus, yang sungguh mengerti bahwa Allah adalah Allah yang kudus, orang tersebut melihat Allahnya sebagai Allah yang sangat terpisah, jauh melampaui kita, Allah yang bukan kita, Allah yang jauh berbeda dari kita. Waktu kita mengatakan bahwa Allah mempunyai cinta yang kudus, itu berarti cinta-Nya jauh melampaui segala macam cinta yang kita bisa tahu. Waktu kita mengatakan bahwa Allah mempunyai bijaksana yang kudus, itu berarti bijaksana-Nya melampaui segala bijaksana yang kita bisa tahu. Intinya, mengatakan bahwa Allah kita kudus, berarti kita menyadari Allah tidak bisa ditimbang, tidak terukur.
Memang kita secara pikiran berpendapat demikian, tapi secara hati tidak tentu kita menghidupinya. Ada beberapa buktinya. Di Perjanjian Lama, teguran-teguran Allah kepada Israel mirip seperti ini, basically Dia mengatakan kalimat-kalimat seperti “kamu pikir Aku sama sepertimu”. Mazmur 50:21 Allah mengatakan: “Itulah yang engkau lakukan, tetapi Aku berdiam diri; engkau menyangka, bahwa Aku ini sederajat dengan engkau. Aku akan menghukum engkau dan membawa perkara ini ke hadapanmu.” Seluruh bagian Mazmur 50 menyatakan “Aku itu beda dengan engkau dan engkau tidak menyadarinya, itulah salah satu problem yang kamu punyai”. Teguran Allah kepada bangsa Israel bukan cuma berkisar soal berzinah, mencuri, dsb. tapi “jangan anggap Aku sama dengan engkau!”. Tapi bukankah Tuhan sendiri sering menggambarkan diri-Nya sama dengan kita? Dia mengatakan bahwa Dia adalah Bapa, Gembala, dsb. apa maksud-Nya? Satu sisi Tuhan menghadirkan diri-Nya “mirip” dengan kita, di sisi lain Dia insist bahwa Dia itu kudus, berbeda, jauh melampaui kita.
Kita tidak perlu melihat kedua hal ini bertabrakan; justru kalau Saudara gabungkan keduanya, konsep tentang Allah akan jauh lebih meaningful dan menghibur. Kalau kita cuma mengatakan bahwa Allah itu Bapa kita tanpa pengertian Bapa yang kudus — yang berbeda — maka kita akan ketakutan karena Dia tidak beda dengan bapa-bapa di dunia yang tidak seorang pun sempurna. Dalam keluarga-keluarga di dunia ini, yang tidak sempurna, seringkali seorang bapa baru “mengakui” anaknya “sebagai anak” ketika ada kesamaan, kesatuan hati, ketika anak itu melakukan sesuatu yang menarik baginya, bukan cinta yang unconditional. Waktu kita melihat Allah sebagai Bapa kita, yang bukan cuma Bapa melainkan Bapa yang kudus, yang berbeda, yang jauh melampui semua bapa, itu berarti waktu menghadapi Allah kita, kita tidak akan pernah harus takut kehilangan Dia sebagai Bapa — karena tidak pelayanan, tidak ikut KKR regional — tapi harus takut melukai Dia. Kesalahan kita seringkali ketika tidak menyadari Allah kita berbeda, melampaui kita. Demikian juga Allah sebagai Gembala. Justru dengan kita menyadari Dia Allah yang kudus, jauh menambah arti pada istilah “Gembala”, karena itu berati Allah yang begitu tinggi, begitu luar bisa, yang bagi-Nya kita cuma setitik debu bahkan lebih parah dari itu, Allah itu sudi menamakan diri-Nya sebagai Gembala. Bandingkan dengan seorang gembala biasa mengatakan bahwa dia gembala kita, kita akan terhina, “enak saja, lu pikir gua domba lu”. Maka tuntutan bagi seorang Kristen adalah senantiasa menyadari hal ini.
Ada banyak masalah dalam hidup kita, ketika kita tidak menyadari bahwa Allah itu tidak sederajat dengan kita, Allah jauh melampaui kita. Contohnya dalam hal kekuatiran. Setiap kita mengalami kekuatiran, mulai dari yang remeh sampai yang lebih mendalam. Kita sering kuatir, kita protes, mengapa hidup saya seperti ini, mengapa Tuhan memperlakukan saya seperti ini bukan seperti itu. Kita lihat teman di kantor yang kelakuannya bergajulan tapi koq hidupnya baik-baik saja tidak ada penyakit dibanding saya yang lebih sering sakit, keluarganya seperti harmonis dibanding saya yangberantem terus dengan istri; dan kemudian perasaan yang timbul seringkali adalah kekuatiran. Di balik kekuatiran adalah hati yang tidak mau menguduskan Tuhan.
Dalam Yes 55:8-9 Tuhan mengatakan: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” Ada hubungan antara kekuatiran dengan tidak menyadari bahwa Tuhan begitu luar biasa melampaui kita. Dalam kalimat tadi, Tuhan sedang mengatakan, “Aku itu kudus, beda, jauh melampauimu, jadi mengapa kamu kuatir? Kamu kuatir karena dalam pikiranmu Aku sederajat dengan engkau, kamu membandingkan diri-Ku denganmu“. Kuatir adalah mengatakan “Tuhan, Engkau koq tidak beres mengatur hidup saya, tidak becus. Tuhan, bukankah harusnya begini”, atau lebih parahnya “Tuhan, saya pikir saya lebih tahu daripada-Mu. Engkau bukan saja sederajat tapi di bawah aku, karena begini saja tidak ngerti”. Tapi realitanya sama sekali bukan seperti itu. Mengapa kita tidak bisa tenang, tidak bisa beristirahat di dalam Tuhan? Karena kita menolak melihat Tuhan sebagai Tuhan yang kudus yang tidak terbandingkan.
Justru sangat menghibur kalau kita mempercayai Allah kita sebagai Allah yang kudus. Contoh, seorang anak kecil yang berulang tahun diajak papanya memilih hadiah di toko sepeda. Sepeda yang dipilih harganya lumayan mahal, 10 juta. Tapi karyawan toko itu memberitahu, bahwa 3 minggu lagi akan ada diskon 80%, sepeda yang harga 10 juta jadi 2 juta saja. Papa ini lalu berkata pada anaknya, “Sabar ya, Nak. Saya tahu kamu hari ini ulang tahun dan Papa sudah janji kasih hadiah. Tapi Papa minta kamu tunggu 3 minggu saja, karena kita akan menghemat begitu banyak uang, yang nanti dipakai untuk kamu juga bukan karena Papa pelit”. Lalu respon anak yang masih kecil, “Papa tidak sayang saya. Kalau Papa cinta saya, saya mau Papa kasih saya hari ini!”. Saudara lihat, antara anak kecil dan ayahnya yang beda umurnya hanya beda umur manusia, beberapa puluh tahun saja, bisa ada ketimpangan pengetahuan yang begitu dahsyat, apalagi antara kita dengan Allah kita yang kudus, yang beda jauh melampui kita.
Saya membaca sebuah buku dari Miroslav Volf seorang teolog, ia dan istrinya infertil, dan kemudian mengadopsi anak. Di bagian awal bukunya, ia menceritakan betapa ia merasakan gift yang luar biasa dari seorang ibu yang rela menyerahkan anaknya karena ibu ini tahu dirinya tidak sanggup secara ekonomi membesarkan 3-4 anak, maka demi cintanya pada anak ini, justru ia harus kehilangan kesempatan untuk mencintai anak ini. Tapi kemudian MIroslav Volf merenungkan, kalau ibu ini yang memberikan anaknya adalah sebuah hadiah buat saya, maka infertilitas yang Tuhan izinkan saya terima hari ini, bisakah dikatakan sebagai hadiah, suatu karunia juga? Jawabannya adalah “ya”. Karena dengan infertilitasnya, ia dan istrinya terus berusaha, mencari dokter ini dan itu, tidak pernah berhasil sampai kemudian memutuskan untuk adopsi, dan melalui proses adopsi yang begitu melelahkan, ia mendapatkan anak ini untuk diadopsi dari seorang ibu yang begitu baik, dan kemudian bertumbuh besar, dan ia begitu mencintai anak ini, anak itu begitu membawa sukacita bagi hidupnya. Mengapa semua itu bisa terjadi? Adalah “bukan karena saya fertil tapi justru karena saya infertil”. Pengalaman ini kemudian bisa di-sharing-kan kepada banyak orang dan menjadi berkat, termasuk bagi jemaat GRII Kelapa Gading hari ini. Maka kita bisa mengetahui satu hal, bahwa infertilitas yang Tuhan berikan kepada Miroslav Volf itu pun sebuah hadiah, as much as ibu yang memberikan anaknya kepada dia. Itulah dari Tuhan, yang ia tidak bisa mengerti pada awalnya.
Kalau anak kecil yang mau hadiah sepeda tadi sadar, bahwa papanya itu “kudus”, melampaui aku, jauh lebih tahu dari aku, maka ia akan terbebas, rileks, santai. Kita penuh kekuatiran karena membebankan pada diri beban yang harusnya ditaruh di dalam Allah. Siapa bisa terima beban seperti itu, beban untuk mengatur kita secara sempurna? Kita cuma manusia, siapa yang bisa? Ketika kita memberikan beban itu kepada Allah, justru kita bisa relaks dan membiarkan pisau bedah itu bukan melukai tapi justru menyembuhkan. Itulah artinya “Allah itu kudus” dan salah satu arti bahwa kita menyembah Dia sebagai Allah yang kudus.
Yang kedua, karena Allah kita Allah yang kudus, Dia menyuruh kita untuk menjadi kudus. Jika Allah yang kudus berarti Dia unik-beda-melampaui segala sesuatu, apakah “kita i kudus’ artinya kita juga unik-beda-melampaui segala sesuatu seperti Tuhan? Satu sisi ada benarnya karena kita bukan ciptaan biasa tapi diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, diciptakan melampaui segala ciptaan yang lain, the crown of creation, image of God. Tapi di sisi lain, kita ciptaan bukan Allah, kita di tengah-tengah; maka kita juga bisa belajar tentang kekudusan dalam konsep “kekudusan benda-benda ciptaan Tuhan”, misalkan yang dalam Perjanjian Lama ada benda-benda mati yang disebut “kudus”. Dalam Kitab Imamat, ada perabot-perabot yang dikuduskan, perpuluhan juga disebut kudus (“Demikian juga segala persembahan persepuluhan dari tanah, baik dari hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan, adalah milik TUHAN; itulah persembahan kudus bagi TUHAN” Im 27:30). Ada juga contoh kain, minyak, tempayan, yang dikuduskan. Yang membuat mereka kudus, bukan khasiatnya, seperti tipuan zaman sekarang yang mengatakan “ini minyak kudus bisa kamu pakai” karena minyak yang kudus harusnya justru minyak yang TIDAK BOLEH kamu pakai. Yang membuat mereka disebut kudus juga bukan karena “kain yang paling bagus”. Tapi yang membuat mereka disebut kudus adalahkarena mereka dipisahkan, dikhususkan, hanya untuk Tuhan. Kudus bagi ciptaan berarti dibaktikan penuh bagi Tuhan, setia penuh, devosi total, dipisahkan untuk Tuhan. Maka kita hanya bisa menyebut diri kita kudus sejauh kita membaktikan diri sepenuhnya kepadaTuhan.
Jadi arti kekudusan bagi seorang manusia, secara sederhana berarti menjadi milik Allah sepenuhnya; tidak ada satu pun hal dalam hidup kita yang tidak dimiliki oleh Tuhan, tidak ada satu pun hal dalam hidup kita yang tidak di bawah penilaian Tuhan, tidak ada satu pun bagian hati kita yang tidak tertaut ke dalam hati Tuhan, dst. Merenungkan konsep seperti ini, secara jujur kita langsung mengatakan, “Memangnya ada yang bisa seperti itu?” Jawabannya: bisa, karena Tuhan tidak pernah memanggil kita melakukan sesuatu yang mustahil. Kita seringkali berpikir hidup yang kudus, hidup yang dimiliki Tuhan berarti tidak ada dosa sama sekali, tidak bercacat cela, sempurna putih bersih. Bukan seperti itu, tapi kita perlu telaah.
Contoh yang sangat baik tentang kekudusan hati bisa kita ambil dari Perjanjian Lama. Dalam 2 Sam 23 ada satu cerita tentang pahlawan-pahlawan Daud yang gagah perkasa. Seperti lazimnya seorang raja yang baru naik takhta, maka raja-raja lain akan menguji dengan menyerang; demikian ketika Daud baru naik takhta, raja Filistin menyerang Israel sampai ke Betlehem, dan Daud harus kabur, berkemah di belantara. Daud bersama-sama dengan orang-orangnya yang gagah perkasa itu. Satu hari ia bergumam, mendesah, “Sekiranya ada yang memberi aku air dari Sumur Betlehem di dekat pintu gerbang… .” Seorang komentator mengatakan, bahwa ini bukan soal merasa haus karena lazimnya tentara berkemah dekat sumber air; juga sepertinya juga bukan karena Sumur Betlehem airnya mengandung mineral tertentu sehingga lebih manis, dsb. Intinya itu adalah ekspresi hasrat hati Daud yang mengatakan di hadapan Tuhan, “Apakah Tuhan akan menolong aku kembali ke kota tersebut?” Daud juga bukan sedang memberi perintah. Tapi ketiga pahlawannya tadi mendengar, lalu pergi, menerjang masuk ke kota Betlehem yang mungkin ada sekitar 150 tentara Filistin, bertempur sampai mencapai sumur tersebut, kembali keluar menembus pertahanan Filistin, lari sampai orang Filistin kecapaian dan tidak lagi mengejar, dan — bagian yang paling parah — dengan luka-luka mereka berjalan di bawah terik padang gurun, sangat lelah, dan … sangat haus, dan mereka sedang membawa jerigen berisi air yang mereka tidak boleh sentuh. Bisa Saudara bayangkan! Mereka lalu datang kepada Daud, “Raja, inilah air yang kau inginkan.” Daud shock, ia mempersembahkan air itu di hadapan Tuhan, katanya, “Jauhlah dari padaku, ya TUHAN, untuk berbuat demikian! Bukankah ini darah orang-orang yang telah pergi dengan mempertaruhkan nyawanya?" Dan tidak mau ia meminumnya. Itulah yang dilakukan ketiga pahlawan itu (ayat 17). Cerita ini adalah contoh devosi total, orang yang membaktikan dirinya total, yang hatinya kudus. Tapi Saudara lihat, yang jadi inti kekudusan hati 3 pahlawan ini bukanlah seberapa banyak orang Filistin yang mereka bunuh, bukan ketepatan mereka menggunakan pedang, bukan seberapa efisien langkah-langkah mereke ke Betlehem dan kembali, bukan juga tidak seorang Filistin pun yang bisa melukai mereka, melainkan intinya adalah bagi mereka desahan Daud tidak beda dengan perintah Daud. Itu yang menjadikan mereka “kudus”.
Ketika kita mencintai dengan segenap hati, akal budi, kekuatan, artinya bukan cuma mengenai tindakan yang di luar tapi attitude hati yang di dalam. Artinya kita tidak tunggu perintah, cukup keluhan, desahan, untuk membuat kita pergi bergerak maju berperang. Dalam bahasa Inggris ada istilah “Your wish is my command”, tapi ini “Yours sighs are my command”. Orang yang kudus hatinya, yang begitu berbakti pada orang lain, kenikmatan yang tertinggi adalah ketika ia bisa memberi kenikmatan, bukan mendapatkan kenikmatan. Hidup kudus bukan hidup yang sempurna dalam segala aturan, tapi jauh melampaui itu, tidak serendah itu. Hidup kudus bukan soal aturan, bukan soal kewajiban agamawi, bukan soal tiap Minggu datang telat atau tidak telat, melainkan “mengapa” datang telat atau “mengapa” datang tepat waktu. Orang yang datang tepat waktu dalam ibadah tidak tentu hatinya lebih kudus daripada yang selalu telat, karena yang menentukan bukan yang di luar melainkan yang di dalam. Datang tepat waktu apakah karena sungguh-sungguh ingin menyenangkan Tuhan atau karena alasan-alasan lain? Kadang setelah selesai kotbah atau PA, orang datang bertanya, “Bapak tadi bicara perpuluhan, jadi berapa persisnya yang saya harus beri?”, atau, “Tadi bicara soal datang telat, jadi berapa waktu yang tepat, apa 5 menit sebelum kebaktian cukup? Atau kalau sudah telat 10 menit berarti saya harus datang ke gereja yang lain? Persisnya berapa?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu cenderung, meski bukan semua, muncul dari hati yang tidak kudus. Lebih tepatnya, pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak akan muncul dari orang yang hatinya kudus, karena orang yang kudus tidak bertanya “seberapa yang saya HARUS lakukan”, melainkan “seberapa yang saya BISA lakukan”.Orang yang kudus tidak bertanya “Tuhan, apa persisnya perintah-Mu”, tapi ia bertanya, “Tuhan, apa keinginan hati-Mu”. Orang yang kudus mengejar hasrat hati orang yang kepadanya ia membaktikan diri, itu yang utama bukan job description-nya, meski itu juga penting.
Kisah 3 pahlawan Daud tadi unik, bukan cuma mengajarkan kita kekudusan tapi juga mengajarkan kepada siapa kita harusnya menguduskan/ membaktikan diri kita. Dan dalam cerita ini salah satu jawabannya adalah bahwa kita harus menguduskan/ membaktikan diri bagi sesama kita, bukan cuma kepada Tuhan. Tiga pahlawan ini membaktikan diri kepada Daud, jadi kepada manusia; ada tempat untuk itu. Alkitab sering mengatakan, bahwa kalau kita sungguh adalah tubuh Kristus, maka kita akan saling melayani. Martin Luther sering mengatakan kalimat yang kontroversial tapi sebetulnya memang benar; ia mengatakan bahwa kita adalah “kristus” bagi sesama kita. Itu berarti kita harus melayani sesama kita sebagaimana Kristus melayani kita. Di sisi lain, kalau kita balik kalimatnya, orang lain adalah “kristus-kristus” bagi kita juga, maka kita harus membaktikan diri kepada mereka seperti kita menguduskan diri kita kepada Kristus karena mereka adalah tubuh Kristus. Tidak ada orang yang dapat sungguh-sungguh menguduskan dirinya kepada Kristus kalau ia tidak pernah membaktikan dirinya kepada tubuh Kristus.
Oleh sebab itu, dalam komunitas Kristen, salah satu implikasi praktisnya adalah “tidak ada tunggu-tungguan”. Orang mau bantu orang lain sering mengatakan, “Kamu kalau ada perlu, bilang ke saya, nanti saya kasih”. Itu bukan etika Kristen. Etika Kristen yang kudus adalah Saudara lihat orang itu perlu lalu Saudara memberi. Tapi bagaimana bila memberi jadi berlebih atau mungkin juga kurang? Kalau kurang, mudah saja, lihat dan beri lagi. Kalau berlebih, kembali ke contoh 3 pahlawan tadi yang memberi untuk Daud; Daud merasa itu kelebihan, lalu ia persembahkan kepada Tuhan. Itu etikanya. Dalam tubuh Kristus harusnya ada certain trust bahwa orang ini kalau dapat berlebih, dia akan kembalikan ke Tuhan. Dalam komunitas Kristen harusnya tidak ada saling tunggu atau saling minta; disclaimer, bukan berarti sama sekali tidak boleh minta, tapi kalau hanya memberi karena diminta itu berarti buta terhadap hasrat hati orang-orang di sekitar kita. Contohnya, suatu ketika saya datang ke restoran, ada yang merokok di situ. Saya sebel, tapi sudahlah, saya bisa switch off dan makan saja. Tapi lalu ada seorang ibu membawa keluar anaknya karena terganggu asap rokok itu. Akhirnya saya tegur orang itu dan ia matikan rokoknya. Saya jadi sadar satu hal, bahwa saya buta terhadap hasrat hati dan kebutuhan orang-orang di sekitar saya, saya hanya pikir diri saya sendiri yang bisa switch off dan urusan selesai. Buta akan kebutuhan, akan hasrat hati orang lain, itu bukan etika kekristenan. Kalau kita mau menguduskan diri bagi sesama, kita peka akan hasrat hati orang tersebut. Komunitas Kristen dipanggil untuk saling berbakti, tidak saling menunggu, dan ini bukan hanya soal memberi uang karena tidak semua kita level ekonomi sama, juga tidak semua orang level karunia roh-nya sama. Saudara yang tidak bisa memberi uang, tidak perlu minder; orang yang sederhana pun bisa jadi berkat spiritual bagi orang lain.
Tapi di sisi lain ada devosi total yang hanya boleh kita berikan kepada Kristus dan tidak kepada manusia. Daud sendiri merasa tidak pantas menerima devosi pahlawan-pahlawannya yang bagian ini, bukan semuanya/ selalu, tapi yang ini ia tidak pantas menerima, ia merasa tidak berhak mendapatkan devosi “segila” ini, tidak berhak mendapat darah yang mereka curahkan. Jadi devosi kita yang tertinggi bukanlah kepada Daud melainkan kepada Anak Daud. Kembali lagi, ada orang-orang yang problem hidupnya dikarenakan tidak rela membaktikan diri, tidak rela menguduskan diri kita bagi orang lain; sedangkan poin yang kedua ini, banyak juga dari kita problem hidupnya adalah justru karena kita membaktikan diri tapi kepada orang atau benda yang salah. Saudara tidak bisa membaktikan diri kepada Kristus kalau tidak berbakti kepada tubuh Kristus, Saudara juga tidak bisa berbakti kepada tubuh Kristus kalau tidak membaktikan diri sepenuhnya kepada Kristus, Sang Kepala. Dua-duanya harus beres. Ada banyak dari kita yang hidupnya kacau balau karena tidak menyerahkan devosi yang tertinggi bagi Kristus, melainkan kepada uang, karir, pasangan kita. Justru ketika kita mempersembahkan devosi tertinggi kepada Kristus, Sang Kepala, dari situlah mendapat kekuatan untuk bisa memberikan diri kepada tubuh Kristus.
Kalau Saudara melayani tubuh Kristus, suatu hari cepat atau lambat, Saudara akan kecewa. Waktu Saudara memberi kepada orang, kelebihan, lalu dipakai untuk foya-foya, Saudara kecewa. Tapi Saudara bisa punya kekuatan untuk terus memberi, adalah karena kalau Saudara mempersembahkan yang tertinggi kepada Kristus; memang bisa lebih tapi tidak masalah karena tanggung jawab orang itu kepada Tuhan, dia juga harus belajar. Saudara tahu satu hal, “Saya akan dikecewakan tubuh Kristus, pasti, tapi Kepala, Sang Kristus, itu tidak pernah akan mengecewakan saya meskipun saya seringkali mengecewakan Dia”. Itu yang membuat kita bisa turun ke bawah, melayani tubuh Kristus, yaitu ketika kita melihat ke atas kepada Sang Kepala, Kristus; yang saya teruskan kepada tubuh Kristus bukanlah dari diri saya sendiri, tapi dari Tuhan. Bodoh jika kita mengatakan bahwa kita berbakti kepada Allah tapi cuek kepada sesama, bodoh juga kalau kita hanya berbakti kepada sesama tapi tidak pernah mengingat Allah kita. Bagaimana caranya untuk bisa mempertahankan devosi yang balance seperti ini?
Jawabannya bukan ada di diri kita, tapi di dalam Dia. Kita bisa kudus karena Dia kudus, ini poin yang ketiga. Yoh 17:19 Tuhan Yesus mengatakan satu kalimat yang mencengangkan, “Bapa, Aku telah menguduskan diri-Ku bagi mereka”. Mereka adalah Saudara dan saya. Kalau Saudara mau hidup kudus di hadapan Tuhan, Saudara harus mengingat dan mengambil kekuatan dari “karena Dia kudus, karena Dia telah menguduskan diri-Nya bagiku, di atas kayu salib”. Dia telah membaktikan seluruh hidup-Nya untuk kita. Dia lebih dulu melakukan itu. Dia-lah pahlawan yang bertempur mendaki bukit, Bukit Golgota. Dia itu yang masuk menimba air dan memberikannya kepada kita, tapi bukan sekedar air biasa melainkan air hidup. Dan Dia bukan cuma itu, Dia-lah sendiri Air Hidup itu karena Dia-lah yang dicurahkan sebagai korban, di hadapan Tuhan, untuk Saudara dan saya.
Bagaimana caranya untuk tahu bukan hanya perintah Tuhan tapi “hasrat hati-Mu”? Yaitu dengan tahu bahwa Dia sudah melakukannya. Dia tidak tunggu kita minta diselamatkan, Dia berkarunia lebih dahulu, Dia memilih kita sebelum dunia dijadikan, Dia membuat kita suci sebelum kita MAU menjadi suci. Dia menguduskan kita sebelum kita mau menguduskan. Dia sudah tahu apa yang kita perlu sebelum kita mengatakannya. Itulah sebabnya kita bisa punya kekuatan untuk bertanya, “Tuhan, bukan perintah-Mu saja, tapi apa hasrat hati-Mu, aku ingin tahu”.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS).
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading