Hari ini saya akan berkotbah mengenai pernikahan karena minggu lalu Hari Valentin, dan alasan kedua karena sekarang ini isu LGBT sangat kencang. Banyak orang tua concern akan hal ini jangan sampai anak-anaknya ikut arus tersebut. Salah satu concern-nya sangat menarik yaitu banyak anak yang hari ini tertarik akan LGBT dikarenakan mereka melihat pernikahan orang tuanya yang rusak, hubungan pria dan wanita yang mereka lihat dalam keluarganya sepertinya koq tidak bisa get along, kalau begitu orang-orang yang LGBT mungkin lebih baik. Mereka tertarik karena “ada alternatifnya lho”. Maka sebagai Gereja kita perlu meresponi, bukan hanya membahas apa itu LGBT tapi juga self critics mengenai pernikahan dalam tubuh Kristus, meski tentu kita tidak cukup waktu dan resources pada satu kali kotbah untuk address seluruh isu itu. Salah satu sumber yang saya pakai dalam mempersiapkan mengenai tema pernikahan ini, Tim Keller, berkotbah 9x mengenai pernikahan tapi banyak hal yang masih belum bisa tersentuh karena memang masalah mengenai pernikahan sangat ekstensif.
Hal pertama yang perlu kita lihat yaitu sejarah pernikahan, karena membicarakan mengenai pernikahan selalu kembali kepada “apa itu pernikahan?” dan itu sangat sulit dijawab. Tapi kalau kita punya konteks historisnya, melihat pernikahan sepanjang sejarah, kita bisa melihat sedikit lebih jelas “apa itu pernikahan” dan “bagaimana hari ini kita melihat pernikahan”. Saya akan bahas tiga worldview mengenai pernikahan. Pertama, dari Roma Katholik yang mempengaruhi dunia Barat khususnya, dari abad 5 sampai kira-kira abad 16, terutama abad 13-14. Kedua, dari kacamata Reformasi, dan selanjutnya dari kacamata Abad Pencerahan/ Enlightenment (abad 18). Memang sepertinya tidak fair membandingkan antara Roma Katholik yang tradisi moral agamawi dan Reformasi yang juga moral agamawi, dengan tradisi Abad Pencerahan yang lebih ke filsafat. Tapi Enlightenment termasuk suatu worldview; Enlightenment mengklaim banyak hal mengenai moralitas, yang mereka tidak mau akui.
Salah satu warisan Enlightenment adalah bahwa segala sesuatu hanya dunia materi; Allah, kalau pun ada, tidak bersentuhan dengan kita, deistik; maka kita harus melihat hidup ini melalui science. Pemikiran ini populer dalam dunia kita sekarang, tapi science hanya memberikan “what is” (deskripsi, apa yang ada) dan tidak bisa memberikan “what ought” (apa yang seharusnya). Keduanya itu berbeda. Kalau dalam pernikahan ada “abuse”, yang adalah “what is”, Saudara tidak bisa mengatakan, “Ya, kita ubah yang ‘what is’ ini jadi ‘what ought’, jadi karena dalam pernikahan ada abuse maka semua pernikahan harus abuse”. Itu tidak make sense sama sekali. David Hume sudah mengatakan bahwa “what is” tidak bisa diubah menjadi “what ought”, “apa yang ada” tidak bisa diubah jadi “apa yang seharusnya”. Tapi orang-orang tradisi Pencerahan mau seperti ini, lihat ke dunia natural, “what is”, lalu dijadikan “what ought”; di sana ada homoseksualitas berarti kita juga seharusnya — ought to be — ada homoseksualitas. Terlihat bahwa mereka berusaha untuk juga menilai secara moral, mengklaim hal-hal yang bersifat agamawi. Jadi ketiganya — gerakan Roma Katholik, Reformasi, Enlightenment — adalah suatu worldview yang mempengaruhi.
Tradisi Roma Katholik melihat pernikahan sebagai sakramen. Mereka melihat pernikahan terutama sebagai suatu transaksi/ janji/ perikatan kontrak antara manusia dengan Allah; maka negara, orang tua, masyarakat, dll. tidak ada hubungan sama sekali dengan institusi pernikahan, seperti halnya pemerintah tidak ada hubungan sama sekali dengan Sakramen Baptisan atau Perjamuan Kudus. Kita tidak perlu minta izin pada pemerintah untuk melaksanakan Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus. Sakramen adalah urusannya Gereja; pemerintah tidak ada hubungan sama sekali. Maka implikasinya: pernikahan diatur oleh Gereja 100%, Gereja yang berhak menentukan siapa boleh nikah dan siapa yang tidak boleh, dst. dan selanjutnya tidak ada ruang sama sekali untuk bercerai dalam Gereja Roma Katholik. Cara menghentikan pernikahan yang tidak beres bukan lewat perceraian melainkan dengan yang dinamakan “annulment” (peng-cancell-an), dengan cara men-deklarasi-kan bahwa pernikahan tersebut memang tidak sah sejak awal. Jadi mereka tidak mengatakannya sebagai “bercerai” — perceraian meng-asumsikan sudah adanya pernikahan — melainkan annulment. Ada banyak keragaman dalam Roma Katholik; Agustinus dan Thomas Aquinas memegang erat “pernikahan sebagai sakramen” tapi tokoh-tokoh lain seperti Erasmus mencela intepretasi Gereja Katholik ini karena terlalu sempit. Konsili Trent sendiri mendeklarasikan posisi Gereja Katholik seperti demikian; ikatan pernikahan tidak bisa diputus bahkan oleh karena perzinahan, dan semua orang yang menikah untuk kedua kali berarti melakukan perzinahan. Jadi pernikahan yang bagi Roma Katholik adalah sakramen, dua implikasinya yang paling jelas yaitu: Gereja yang mengatur pernikahan, dan pernikahan itu kekal. Agustinus bahkan percaya bahwa pernikahan bertahan setelah kematian, waktu bangkit pun tetap menikah dengan orang yang sama. Kita tahu itu tidak ada di Alkitab, Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa setelah kita bangkit tidak ada yang menikahkan dan dinikahkan.
Sekarang kita masuk ke dalam Reformasi. Memang ada keragaman pemikiran para reformator, tapi pada dasarnya mereka — Luther, Calvin, dsb. — setuju bahwa pernikahan bukanlah sebuah sakramen. Ini tidak berarti pernikahan bukan sebuah janji di hadapan Tuhan. Bagi Luther, pernikahan bukan sakramen tidak berarti bahwa pernikahan tidak di-institusi-kan oleh Tuhan. Calvin melihat pernikahan sebagai ordinansi dari Tuhan yang bersifat suci dan baik. Tapi, bahwa sesuatu ditetapkan Tuhan bagi manusia, tidak berarti itu harus jadi sakramen; sama seperti Tuhan menetapkan adanya pertanian, pekerjaan, pendidikan, dsb. tidak berarti hal-hal tersebut merupakan sakramen, masuk ke dalam Gereja, dikuasai Gereja 100% dan baru menjadi sakral. Jadi bagi Luther dan Calvin, pernikahan bukan terutama janji antara manusia dengan Tuhan, tapi janji antara pasangan yang menikah dengan masyarakat. Itu sebabnya kalau Saudara datang ke pernikahan Kristen ada amalgamasi janji, amalgamasi pemberian persetujuan; ada janji antara kedua pasangan, tapi juga antara si pasangan dengan berbagai pihak secara tidak langsung. Ada persetujuan orang tua yang secara publik menyatakan “setuju”, ada persetujuan masyarakat yang datang sebagai saksi publik; ada persetujuan negara yang datang memberikan akte nikah, juga tentu ada persetujuan dan blessing dari Allah dan Gereja. Maka mengatakan bahwa pernikahan bukan sakramen bukan berarti Allah tidak ada bagian sama sekali dalam pernikahan. Melihat bahwa pernikahan sebagai janji antara yang menikah dan masyarakat, justru memperluas tanggung jawabnya, bukan cuma antara si pasangan dengan Tuhan, tapi si pasangan dengan seluruh umat manusia; dengan orang tuanya, masyarakatnya, Gerejanya, dan bahkan dengan Allahnya.
Reformasi juga tentu kembali kepada Alkitab dalam melihat bahwa ada ruang untuk perceraian dalam pernikahan. Saudara mungkin kaget, tapi kita musti lihat argumen Alkitabnya. Tidak berarti waktu para reformator menyediakan ruang bagi perceraian, itu mereka sedang merendahkan pernikahan. Calvin mengatakan bahwa bagi orang percaya, pernikahan itu sebuah ikatan yang tidak terputuskan; dan orang percaya yang sudah menikah tidak lagi punya kebebasan untuk suatu saat berubah pikiran lalu kabur. Tetapi, menyeimbangkan prinsip ini, mereka juga melihat Tuhan Yesus sendiri memberikan satu dasar untuk perceraian; Matius 19:9 “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." Sikap Yesus yang sangat keras akan perceraian harus dimengerti dalam konteks zaman tersebut. Pada zaman itu, seorang pria dapat menceraikan istrinya hanya karena ia tidak suka masakannya, atau karena alasan-alasan semacam itu yang sangat invalid buat kita hari ini. Maka waktu Tuhan Yesus melarang segala jenis perceraian kecuali karena perzinahan, itu tidak harus dimengerti bahwa Tuhan Yesus memberikan kesempatan untuk orang bercerai. Bukan. Dia justru sedang menjaga supaya orang tidak bercerai, dengan alasan yang remeh. Satu-satunya alasan yang Tuhan tetap berikan ruang untuk itu, adalah karena zinah. Di sini berbeda dengan Roma Katholik yang mengatakan bahwa perzinahan pun tidak bisa menjadi alasan untuk perceraian.
Argumen Luther dan Calvin dalam hal ini quite interesting. Mereka mengatakan, bahwa pada zaman Perjanjian Lama orang yang berzinah akan dihukum mati; maka jika hukum itu dijalankan, tidak perlu ada perceraian pun selesai urusan karena yang berzinah telah dihukum mati, lalu suami atau istrinya dengan sendirinya bebas menikah lagi. Kita tahu ini dari prinsip Paulus dalam 1 Kor 7:39 “Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya”. Tapi pada zaman sekarang, menurut Calvin, ada semacam kesabaran yang tidak beres, kesabaran yang ungodly, wicked patience dari pemerintah yang tidak menghukum orang-orang yang berzinah; inilah sebabnya perlunya ada perceraian, bukan karena mendukung perceraian, tapi karena para pezinah tidak dihukum sebagaimana mestinya. Maka argumen itu penting, jangan kita cuma memegang konklusinya, jangan sampai kita koar-koar mengatakan, “Hei..! orang Kristen boleh bercerai..!” Saudara musti ingat argumentasinya dengan jelas. Argumentasi itu menunjukkan bahwa para reformator memberikan ruang untuk perceraian bukan karena memandang rendah pernikahan tapi justru menjunjung tinggi Alkitab.
Intinya bagi para reformator, pernikahan adalah sebuah institusi dalam masyarakat bukan institusi dalam Gereja; bukan juga terlepas dari Gereja tapi tidak diatur dan dikungkung sepenuhnya oleh Gereja. Luther dan Calvin juga argue bahwa negara-lah yang harus menjaga dan melindungi pernikahan, karena pernikahan bukan terutama suatu hak, tapi sebuah tanggung jawab. Negara harus melindungi pernikahan karena negara punya interest dalam pernikahan. Pernikahan melakukan bagi negara sesuatu yang negara tidak bisa lakukan sendiri, yaitu melahirkan dan mendidik anak. Riset sudah membuktikan hal yang secara common sense sudah kita ketahui dari dulu, yaitu bahwa lingkungan paling baik untuk anak bertumbuh bukanlah panti asuhan melainkan sebuah keluarga. Oleh karena itu negara punya kepentingan dalam hal ini, karena problem anak-anak adalah problem masa depan negara. Itu sebabnya Luther dan Calvin argue bahwa yang harus melindungi pernikahan adalah negara. Sekali lagi, bukan pernikahan dianggap di bawah negara, tapi justru negara harusnya melayani pernikahan, melayani masyarakat, karena pernikahan adalah sebuah fungsi sosial, sebuah tanggung jawab bagi masyarakat.
Jadi, tradisi Roma Katholik menekankan sangat berat bahwa pernikahan adalah sebuah sakramen, tanggung jawab antara si pasangan terhadap Allah, jadi semua diatur lewat Gereja; jadi dapat dikatakan tanggung jawab si pasangan terhadap Gereja. Tapi dalam Reformasi, ada emphasis yang sangat kuat untuk melihat pernikahan sebagai ikatan antara si pasangan dengan masyarakat. Pasangan itu bertanggung jawab terhadap masyarakat karena pernikahan adalah unit paling fundamental dalam masyarakat. Ini sama sekali bukan sekularisasi atau perendahan pernikahan tapi justru sebagai sakralisasi, karena dalam Teologi Reformasi para reformator insist bahwa seluruh aspek hidup manusia itu harus dilihat sebagai suci, bukan hanya bagian-bagian hidup yang berhubungan langsung dengan Gereja.
Sekarang kita masuk worldview yang ketiga, yaitu Abad Pencerahan/ Enlightenment. Roma Katholik mengatakan, “Gereja yang berhak menentukan apa yang baik dan buruk dalam suatu pernikahan”; Reformasi tidak setuju itu tapi setuju bahwa pernikahan bertanggung-jawab pada sesuatu yang lain, dalam hal ini pada masyarakat. Lalu datanglah Abad Pencerahan, mereka mengatakan, “setiap individu-lah yang bertanggung-jawab, berhak, untuk menentukan yang baik dan buruk bagi mereka sendiri”. Saudara melihat pergeserannya? Bagi Roma Katholik, pernikahan adalah kovenan antara pasangan dengan Allah lewat Gereja; bagi Reformator, pernikahan adalah kovenan antara pasangan dengan masyarakat, Gereja, dan Allah; tapi bagi Enlightenment, pernikahan bukan kovenan antara si pasangan dengan yang di luar mereka, pernikahan adalah kovenan antara 2 individu itu sendiri. Mereka yang berhak menentukan apa yang baik dan buruk bagi mereka. Tidak ada hubungan tanggung jawab dengan orang-orang di luar sama sekali.
Bagi orang-orang Enlightenment, pernikahan adalah ikatan semata-mata antara 2 individu. Titik. Tujuan pernikahan sama sekali bukan untuk fungsi sosial. Pernikahan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan dari masing-masing individu. Maka Saudara bisa lihat sekarang dengan jelas, bahwa hari ini orang sangat terpengaruh paradigma Enlightenment. Saudara bisa melihat itu di mana-mana, termasuk di pernikahan kita sendiri. Mengapa hari ini orang menikah? Mereka menikah untuk dirinya, untuk kebutuhannya, untuk desires-nya. Hari ini orang menikah bukan untuk beriman kepada Tuhan, sama sekali bukan. Hari ini orang menikah juga bukan demi kebaikan masyarakat, mereka tidak mau burden seperti ini. Mereka bahkan tidak menikah bagi orang yang dinikahi. Mereka menikah bagi diri mereka sendiri. Ini bisa kita lihat koneksinya lebih lanjut; dalam zaman Roma Katholik tidak ada hukum perceraian karena tidak mengizinkan perceraian sama sekali; waktu masuk masa Reformasi mulai ada hukum yang menyentuh masalah perceraian karena reformatoris memberikan ruang untuk perceraian, tidak melihat pernikahan sebagai yang kekal karena Alkitab pun demikian; tapi begitu masuk dalam zaman Pencerahan dan pengaruhnya sampai hari ini yang pernikahan hanya urusan antara 2 individu, maka hukum pernikahan dan hukum perceraian bisa Saudara lihat perubahannya. Sampai awal abad 20, bahkan di banyak negara Barat, masih ada hukum yang mengharuskan adanya persetujuan orang tua secara tertulis bagi orang yang mau menikah karena pengaruh reformatoris yang menyatakan bahwa pernikahan bertanggung-jawab kepada masyarakat, bukan cuma urusan 2 individu. Kita juga tahu, aturan perceraian makin lama makin mudah. Dan bukan cuma itu, hari ini kita bisa lihat adanya prenuptial agreement (perjanjian pranikah), antenuptial agreement, dan semua itu kita melihat jelas dalam sejarah ada hubungannya dengan Pencerahan
Satu lagi akibat dari pengaruh Enlightenment yaitu pernikahan sesama jenis. Kalau melihat gambaran sejarah yang kita sudah bicarakan, Saudara akan sadar bahwa pernikahan sesama jenis bukan ide baru dalam arti akarnya bukan di abad 21, juga bukan di abad 20, sama sekali tidak. Pernikahan sesama jenis cuma suatu langkah saja dalam filsafat Enlightenment, suatu langkah yang sudah dimulai sejak abad 18 karena perdebatan antara gay marriage dengan traditional marriage intinya adalah pertempuran antara 2 worldview. Argumentasi dari para pendukung pernikahan tradisional adalah bahwa pernikahan itu bukan cuma antara 2 individu, pernikahan itu adalah sebuah fungsi sosial, dan salah satu fungsi sosial yang jelas adalah sebagai lingkungan bertumbuhnya anak, dan kita tahu anak akan bertumbuh baik ketika dia punya 2 role model, pria dan wanita. Sedangkan orang-orang yang mendukung gay marriage akan mengatakan, bahwa pernikahan itu bukan sebuah tanggung jawab, pernikahan itu sebuah hak. Lalu pendukung pernikahan tradisional akan membalas, bahwa pernikahan itu sebuah tanggung jawab, bisakah melaksanakan tanggung jawab itu dalam pernikahan yang homoseksual itu dengan lebih baik atau sama baiknya dengan orang-orang heteroseksual? Kita sudah pernah bahas bahwa hubungan heteroseksual pada awalnya mungkin lebih banyak cekcok karena antara pria dan wanita ada perbedaan, sedangkan hubungan homoseksual pada awalnya bisa seperti adem ayem, karena cowok sama cowok, cewek sama cewek, mereka saling mengerti. Tapi kita juga tahu bahwa secara long term, ikatan yang dihasilkan pernikahan hetero itu ikatan yang lebih realistik, dalam arti correspond terhadap realita. Dalam dunia, ikatan yang indah adalah ikatan yang ditemukan ketika ada 2 hal yang berbeda menjadi satu, seperti matahari dan bulan, laut dan daratan, dsb. Tapi sekali lagi, bagi orang-orang yang mendukung pernikahan gay, pernikahan bukan masalah sinkron dengan cara Tuhan menciptakan dunia, sama sekali tidak, “Saya tidak ada tanggung jawab ke sana! Masalahnya adalah kami sebagai individu merasa perlu menikah, itu saja.”
Sekarang bagaimana dengan kita yang tidak ada problem itu? Mungkin kita tidak gay atau mendukung LGBT, tapi itu bukan problem utama. Satu hal yang pasti, kalau kita coba melihat ke dalam pernikahan kita, mungkin mulut kita setuju dengan Reformasi tapi deep under — jauh di bawah — di dalam hati kita, kita pengikut Abad Pencerahan. Dan Abad Pencerahan juga bukan problem utamanya, akarnya adalah dosa. Dan karakteristik utama dosa selalu berusaha menempatkan diri sebagai yang terutama di atas segala sesuatu yang lain. Enlightenment cuma fenomena-nya, waktu mereka mengatakan, “Yang penting saya! Saya tidak bertanggung-jawab pada orang lain”. Akarnya yaitu bahwa semua orang mau dirinya yang terutama, semua orang mau melihat dirinya sebagai “tuhan”.
Yang lebih mengerikan yang sebenarnya akar penggeraknya sama, kita bisa pakai jargon teologis, kita bisa pakai kulit domba dalam arti gereja, agamawi, prinsip teologi, dsb. tapi sebenarnya di dalamnya sesuatu yang mengutamakan diri sendiri. Satu contoh, seorang ibu konsultasi kepada saya, ia mengatakan, “Saya ini mencoba mengutamakan Kristus dalam keluarga saya, tapi suami saya tidak mau. Dia itu problematik, tidak mau belajar, tidak mau baca buku. Saya yang cari artinya pernikahan menurut kekristenan, dsb. lalu kalau saya kasih ke dia buku, saya dikatakan disrespect dia. Dia itu yang mau menikah untuk hidup bahagia. Dia itu yang mau menikah untuk memenuhi kepuasannya, saya enggak. Saya mencari Alkitab koq, saya mau apa yang Alkitab berikan kepada saya.” Saya tanya satu hal: “Ibu mau mengutamakan Kristus? Kalau kita mengutamakan Kristus dalam pernikahan berarti kita mengerjakan apa yang Kristus kerjakan bagi kita. Cara hidup Kristus kita praktekkan dalam hidup kita. Kristus menerima kita bukan karena kita baik tapi justru Dia tahu bahwa kita terlalu jahat sampai tidak sanggup menyelamatkan diri sendiri. Itu pola yang Kristus lakukan. Jadi sekarang, terimalah suami Ibu, bukan karena dia baik, tapi terima dia dalam keterbatasannya. Itu salah satu contoh mengutamakan Kristus dalam pernikahan.” Ibu itu masih belum terima. Lalu saya tanya lagi: “Jadi sebenarnya mengapa Ibu cari-cari di Alkitab dsb. untuk mencoba membuat pernikahan yang mengutamakan Kristus?” Akhirnya ia mengatakan, bahwa karena dalam gambarannya, pernikahan yang mengutamakan Kristus itu adalah pernikahan yang mendatangkan kebahagiaan buat dirinya. Saudara lihat, apa bedanya ibu ini dengan suaminya? Bagi suaminya, jalan untuk mendapatkan bahagia adalah dengan tidak mau ada Kristus dalam pernikahannya. Bagi si ibu, jalan untuk mendapatkan bahagia adalah dengan memasukkan Kristus dalam pernikahannya. Bedanya apa? Dua-duanya egois, berusaha mencari apa yang baik bagi dirinya sendiri, karena ketika dikasih tahu jalan berkorban, ia tidak mau. Bottom line-nya bukan siapa Kristus, tapi siapa dirimu, apa yang kamu mau, apa yang kamu perlu. Inilah kita.
Memang kita tidak seperti orang-orang yang LGBT atau yang teriak-teriak “kami mau ini! kami mau bebas!”, tapi jalan pikir kita sama terhilangnya dengan mereka, bahkan mungkin lebih parah. Paling tidak orang-orang itu jujur mereka teriak-teriak melawan Tuhan, tapi kita melawan Tuhan dengan cara teriak-teriak “mau ikut Tuhan”. Anak bungsu itu terhilang dengan cara melawan bapanya, tapi anak yang sulung terhilang dengan cara tinggal di rumah, lebih mengerikan karena ia terhilang di dalam rumah. Itulah kita, dan seringkali saking rusaknya kita, waktu teriak-teriak “saya ikut Tuhan” kita tidak sadar bahwa sebenarnya “saya mau Tuhan ikut saya”. Jadi apa solusinya? Gambaran pernikahan membantu kita untuk melihat solusinya meski tidak semua orang menikah. Yaitu bahwa dalam pernikahan, kita mengenal diri kita, kita mendapatkan diri kita, justru ketika kita memberikan diri kita kepada orang lain. Itu prinsip pernikahan.
Salah satu center dalam pernikahan yaitu adanya janji. Janji seringkali kita lihat sebagai sesuatu yang mengikat, “semakin saya diikat janji, semakin saya tidak bebas, semakin kehilangan diri saya” . Tapi tidak. Dalam pernikahan kita melihat, ketika saya berjanji memberikan diri kita, justru di situlah janji itu akhirnya membebaskan diri kita. Contoh mudah, seorang bernama Lewis Smedes yang menikah selama 60 tahun dan ia mengatakan, “Ketika saya menikahi istri saya, saya tidak ada ide sama sekali akan masuk ke mana, karena bagaimana saya bisa tahu 25 tahun lagi istri saya jadi seperti apa? Saya jadi seperti apa? Tanda tanya besar.” Smedes juga mengatakan, bahwa istrinya selama 6 dekade tersebut telah hidup dengan 5 pria yang berbeda dan 5 pria itu semuanya adalah dirinya, karena setiap dekade ia berubah. Dan ia melanjutkan, bahwa jika dalam hidup ini identitas kita berubah terus menerus, apa yang jadi benang merahnya? Bagaimana saya bisa tahu siapa diri saya? Bagaimana saya bisa tidak schizophrenia menghadapi hal ini? Bagaimana saya bisa tahu siapa diri saya karena 60 tahun ada banyak versi saya yang berbeda? Dan jawaban Smedes adalah: “Janji pernikahan saya itulah benang merahnya, yang membuat saya sadar bahwa saya adalah orang yang sama. Suatu memori bahwa suatu hari yang silam, beberapa puluh tahun itu, saya telah menaruh janji di atas namaku, mendeklarasikan kepada semua orang: akulah ini yang akan senantiasa bersama-sama dengan engkau, sakit ataupun sehat, senang ataupun sedih”. Dan ia mengatakan, jika ia melanggar janji itu, justru ketika itulah identitasnya menjadi kacau luar biasa.
Seorang bernama Wendy Plump menulis artikel yang menceritakan kisah hidupnya. Ia menikah, lalu satu saat berselingkuh. Ia mengatakan, bahwa waktu berselingkuh, seks yang luar biasa pasti terjamin karena situasi perselingkuhan itu. Tapi waktu dia tahu suaminya juga berselingkuh dan pernikahan mereka hancur berantakan, ia melihat orang tuanya yang sudah menikah puluhan tahun, jadi kakek nenek, hidup begitu stabil, begitu saling mencintai, maka ia mengatakan satu hal: seks hebat itu tidak bisa dibandingkan dengan kestabilan yang dimiliki orang tuanya. Mengapa bisa seperti itu? Karena mereka mengikat janji. Smedes mengatakan, kalau Saudara mengikat janji, Saudara justru akan mendapatkan diri Saudara; ketika Saudara memberikan diri Saudara, justru Saudara akan mendapatkan diri saudara, Saudara akan tahu diri Saudara itu siapa; kalau Saudara tidak berjanji, Saudara akan berubah terus menerus dan akan kehilangan indentitas.
Bukankah ini sesuatu yang jelas adalah ajaran Tuhan kita? Dia mengatakan, “Apa gunanya seorang mendapatkan seluruh dunia tapi kehilangan nyawanya?” Matius 10 mengatakan, “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, akan kehilangan nyawanya. Barangsiapa kehilangan nyawanya karena aku, ia akan memperolehnya”. Janji pernikahan membuat kita sadar akan kebodohan Enlightenment, kebohongan dosa yang mengatakan “saya harus jadi yang terutama”. Janji pernikahan memberitahukan kita satu hal, ketika Saudara mengatakan bahwa saudara yang terutama, Saudara akan end up dengan kehilangan diri. Tapi ketika Saudara memberikan dirimu kepada orang lain, menganggap orang lain lebih utama, mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri, justru ketika itulah Saudara mendapatkan dirimu, ketika Saudara rela untuk kehilangan dirimu.
Terakhir, dari mana kita mendapatkan kekuatan untuk menjaga janji-janji kita? Saudara harus melihat kepada Kristus, Tuhan kita, karena satu hal yang pasti: keselamatan kita di dalam Kristus. Maka ada alasannya pernikahan digambarkan sebagai hubungan Kristus dengan jemaat, karena keselamatan kita didasarkan melalui janji. Ketika Allah mengatakan kepada Abraham “Aku akan memberkatimu, Aku akan menyelamatkanmu”, Abraham menanyakan, “Dari mana aku bisa tahu?” dan TUHAN berjanji, berjalan di tengah-tengah potongan binatang itu, mendeklarasikan satu hal: “Aku pasti akan menepati janji-Ku, jikalau tidak, biarkan diri-Ku tercerai-berai seperti binatang-binatang ini”. Waktu zaman Musa, Musa bertanya, “Siapakah Engkau, Tuhan?” dan TUHAN mengatakan, “I AM WHO I AM”, itu berarti “Akulah Allah yang senantiasa setia, Akulah Allah yang tidak berubah, Akulah Allah yang tidak akan mengingkari janji-Ku kepadamu. Aku tidak berubah dari kekal sampai kekal.” Dan kita tahu, itu sungguh terjadi ketika Yesus di Taman Getsemani bergumul berat di situ, tapi Dia tetap teguh, Dia tetap menjalankan peran-Nya, Dia tetap naik ke atas kayu salib. Mengapa? Karena Dia menjaga janji-Nya, memegang janji-Nya. Dari mana kekuatan untuk bisa menjaga janji? Dengan melihat bahwa Allah Saudara adalah Allah yang menjaga janji-Nya kepada Saudara.
Tahukah Saudara, the best thing dari pernikahan yang digambarkan sebagai lambang hubungan Kristus dengan jemaat? Itu berarti dua hal: bagi Saudara yang menikah, melalui pernikahan itu Saudara dapat kesempatan unik untuk bisa belajar tentang hati Tuhanmu waktu Dia “menikahimu”; bagi Saudara yang tidak menikah, pengertian bahwa pernikahan melambangkan hubungan Kristus dengan jemaat, berarti kalaupun Saudara tidak mendapatkan pernikahan dalam hidup ini, suatu saat nanti Saudara akan mendapatkan yang aslinya, “pernikahan dengan Kristus”, dan bukan hanya akan tapi sudah mendapatkannya. Ini gambaran yang indah bagi mereka yang menikah maupun tidak menikah.
Kiranya firman hari ini memberkati dan membuat kita boleh senantiasa melihat kepada Kristus dalam hidup pernikahan kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading