Seperti perikop sebelumnya, di bagian ini kita juga membaca cerita exorcism, mungkin lebih jelas lagi. Di sini diberi judul oleh LAI “Yesus mengusir roh jahat dari orang Gerasa”, dalam Matius ada perbedaan nama, yaitu tanah Gadara. Tapi penulisan nama tersebut, baik Gerasa atau Gadara, memberikan implikasi pada keseluruhan cerita ini. Intinya, tempat tersebut letaknya di seberang Danau Galilea, suatu tempat yang ada considerable amount dari orang-orang gentile. Ini prinsip penting, bahwa Yesus bukan “jago kandang” yang hebat cuma di daerah-Nya sendiri lalu begitu di seberang laut kehilangan power dan harus minta dari kuasa yang lain. Konsep seperti itu, cukup common baik pada saat itu dan sampai sekarang, bahwa kekuasaan dewa tertentu terbatas pada region tertentu khususnya setelah melewati laut. Tapi Yesus, meski menyeberangi laut/ danau, kuasa-Nya tidak sedikit pun lebih rendah daripada kuasa-Nya meredakan angin ribut ataupun mujizat-mujizat lain di daerah orang Israel.
Gambaran yang dihadirkan yaitu ada orang yang sudah lama dirasuk setan, tidak tinggal di rumah tapi di pekuburan. Kita bisa melihat dari perspektif orang-orang yang tinggal di daerah sana, ada kemungkinan merekalah yang merantai orang ini karena berbahaya. Mereka tidak bisa menaklukkan kuasa jahat itu, tidak bisa lepas dari fakta adanya orang ini. Mereka harus belajar to live with it, senang atau tidak senang, tapi mereka berusaha mengontrolnya, meskipun tidak bisa mengusir. Ini bukan hanya ada pada orang-orang zaman dulu tapi juga sekarang, yaitu kita di dalam kehidupan memang tidak bisa meniadakan evil, tapi bagaimanapun kita berusaha me-minimalisasi, berusaha mengontrolnya. Orang yang dirasuk itu diikat, dan mungkin bisa dipermainkan juga. Ada satu tempat di Groningen, Belanda, yang pada beberapa ratus tahun lalu orang-orang gila ditempatkan di sana lalu dijadikan bahan pertunjukan. Dan tidak kalah gilanya, orang-orang pergi ke sana, membeli tiket untuk nonton orang gila. Mungkin juga orang di Gerasa ini diperlakukan seperti itu. Intinya, mereka berusaha hidup dengan fakta adanya evil, dan mereka berusaha mengontrol, kemungkinan juga meng-instrumentalisasi. Prinsip ini tidak jauh beda dengan pergumulan kita sekarang, merupakan problem yang sangat relevan; orang-orang yang powerful, punya uang, punya relasi, dsb. berusaha mengontrol evil, “kita musti terima ada orang-orang seperti ini, kalau tidak bisa melenyapkan, ya kita kontrol saja dan justru kalau perlu kita instrumentalisasi”, instrumentalisasi untuk mendatangkan keuntungan.
Waktu Yesus datang ke tempat ini, langsung ada encounter. Orang ini ketika melihat Yesus, tersungkur di hadapan-Nya — langsung peka dan memahami the presence of Jesus — dan berkata dengan suara keras: “Apa urusan-Mu dengan aku, hai Yesus Anak Allah Yang Mahatinggi? Aku memohon kepada-Mu supaya Engkau jangan menyiksa Aku” (ayat 28). Perhatikan, bahkan setan pun mengenal Yesus Anak Allah Yang Mahatinggi, pengenalan yang benar akan Yesus, tapi apa arti pengenalan ini? Jelas bukan pengenalan yang menyelamatkan, tidak mungkin. Kalau kita bandingkan catatan Markus dan Lukas, ada perbedaan profil teologi. Markus sangat dikuasai teori kerahasiaan Mesias, Yesus digambarkan menghalangi setan untuk tidak memberitakan tentang siapa Dia, karena beberapa alasan. Pertama, alasan sederhana: setan tidak layak menjadi saksi Kristus; lalu juga karena memang belum waktunya, sehingga Yesus menahan. Markus cenderung menyembunyikan ke-Anak Allah-an Yesus sampai kepada perspektif salib, tapi dalam tulisan Lukas tidak terlalu ada gambaran seperti itu, apalagi di ayat terakhir, Yesus sendiri menyuruh supaya orang tersebut pulang ke rumah dan meceritakan segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atasnya.
Ayat 29: Ia berkata demikian sebab Yesus memerintahkan roh jahat itu keluar dari orang itu. Karena sering roh itu menyeret-nyeret dia, maka untuk menjaganya, ia dirantai dan dibelenggu, tetapi ia memutuskan segala pengikat itu dan ia dihalau oleh setan itu ke tempat-tempat yang sunyi. Perhatikan, meski ia dirantai dan dibelenggu, setan-setan bisa memutuskan rantai itu, artinya kontrol dari orang di tanah Gerasa, si cukong-cukong babi ini, somehow tidak terlalu berhasil juga. Mereka berusaha mengontrol, mungkin juga meng-instrumentalisasi, tapi tidak terlalu berhasil karena sebenarnya setan-setan punya kekuatan untuk memutuskan segala pengikat itu. Sebaik-baiknya kontrol manusia terhadap the evil power/ the evil spirit, tetap ada bagian yang bolong. Manusia sebenarnya tidak bisa mengontrol, tapi mereka pikir mereka mengontrol; yang betul-betul mengontrol adalah Tuhan dan kedaulatan-Nya. Satu gambaran ilusi dalam kehidupan manusia kalau berpikir “saya bisa mengontrol kejahatan karena saya punya cukup banyak uang, karena saya banyak kenalan, saya punya power”, dsb. Kita membaca dalam perspektif Alkitab, kontrol seperti itu bukan kontrol yang sempurna, manusia sudah pasti tidak bisa mengontrol sepenuhnya, yang bisa hanya providensia Allah. Kalau kita mau kejar terus bagian ini, mengapa setan-setan tidak mengunjungi rumah-rumah penduduk di situ, jawabannya sederhana: karena pemeliharaan Tuhan, kedaulatan Tuhan, bukan karena mereka so powerful tapi karena Tuhan yang menahan.
Ada interaksi yang lain pada ayat 30, waktu Yesus bertanya kepadanya: "Siapakah namamu?" lalu dijawabnya: "Legion" . Di bagian ini ada tafsiran political; dalam kata “legion” ada spektrum “prajurit Romawi”, jadi maksudnya mau mengatakan adanya nuansa polemik dengan penjajah Romawi yang menjajah Israel, laluYesus melempar mereka ke babi, binatang yang luar biasa haram, seperti mempermalukan Romawi. Tapi saya justru mau membaca sebaliknya — karena kita percaya rencana kedatangan-Nya bukanlah untuk membebaskan Israel dari Romawi — the true legion adalah legion yang ada di sini yang membelenggu manusia, yaitu setan- setan ini, bukan prajurit Romawi. Penjajahan orang Romawi terhadap Israel tidak terlalu menjadi issue dalam pelayanan Yesus. Dipakainya nama Legion, sebenarnya mau men-transform ketakutan, dan mungkin juga kebencian, permusuhan mereka terhadap Romawi, lalu mengarahkannya kepada cerita ini. Persoalannya bukan Israel versus Romawi, tapi Israel versus ketidak-pekaan, ketidak-pedulian, kedegilan hati, meng-instrumentalisasi kejahatan lalu memperlakukannya seperti itu. Ceritanya mengarah ke sana, bukan dalam tafsiran politis Lukas sedang menyindir pemerintah Romawi dengan menyebut setan-setan ini “legion” supaya pembaca gentile tahu bahwa Romawi dipermalukan dengan dikirim ke babi-babi, dst. Yang mau dihadirkan Lukas adalah: Yesus waktu melihat orang ini, Dia tergerak untuk membebaskan orang tersebut dari setan-setan, dari ke-terbelenggu-an yang sesungguhnya. Pertama, keterbelengguan orang yang dirasuk banyak setan itu, tapi juga keterbelengguan orang-orang di tanah Gerasa yang bukan saja tidak mempedulikan tapi malah meng-instrumentalisasi orang yang dirasuk itu. Kejahatan itu adalah juga ke-terbelenggu-an, ke-terpenjara-an, tapi mereka tidak menyadari. Mereka pikir mereka mengontrol, mereka pikir mereka bisa menaklukkan fakta ini.
Ayat 31: Lalu setan-setan itu memohon kepada Yesus, supaya Ia jangan memerintahkan mereka masuk ke dalam jurang maut. Ada beberapa tafsiran mengapa setan-setan itu minta Yesus supaya jangan memerintahkan mereka masuk ke jurang maut, misalnya dikatakan bahwa jurang maut seperti juga wilderness, tempat setan-setan terkurung di sana dan setan tidak mau di sana lagi, tapi minta dibuang ke laut. Ada komentar mengatakan bahwa mungkin setan-setan ini berpikir bahwa di laut — atau dalam terjemahan Indonesia disebutkan danau — mereka lebih aman karena itu daerah kekuasaan mereka (gambaran kosmologi zaman dulu), tanpa mereka tahu Yesus juga berkuasa atas danau, sebagaimana dalam perikop sebelumnya Yesus menghardik angin dan air yang mengamuk. Dan waktu setan-setan mau ke sana, sebenarnya tetap di dalam kekuasaan Yesus, tidak mungkin di luar itu. Mungkin mereka mau menjauh dari kehadiran Yesus, lalu mau pergi ke tempat mereka biasa berkuasa di sana, tapi kenyataannya, tempat itu pun dikuasai Yesus, tidak ada satu tempat pun yang tidak dikuasai oleh Kristus. Gambaran ini penting untuk meng-encourage orang-orang yang menginjili kepada gentiles, karena Lukas juga menulis Kisah Para Rasul. Dan juga bagi kita di zaman sekarang seharusnya juga menjadi encouragement untuk orang-orang yang melayani sebagai misionari, melayani cross culture, karena cerita ini menyatakan kuasa Yesus itu sama baik di Israel, di danau — yang dikuasai oleh evil spirits — dan juga di tanah yang lain yang bukan di israel, yang ada considerable amount of gentile population. Yesus memiliki kuasa yang sama di mana pun, karena Dia adalah Tuhan.
Kalau kita membaca cerita misionari, kita melihat kesulitan mereka try to break the culture, context, dsb., lalu teologi kontemporer sibuk membicarakan konteks, bagaimana melakukan kontekstualisasi di sini dan di sana. Saya percaya pembelajaran itu memang penting, tapi tetap harus di-relativisasi dengan iman yang sederhana akan kekuasaan Kristus. Karena kalau tidak, kita akhirnya lebih ketakutan, lebih mirip orang tidak percaya yang terlalu peka dengan beda warna kulit, beda mata, dsb. sehingga akhirnya menghabiskan energi terlalu banyak untuk memikirkan berbagai kontekstualisasi, ketidak-mungkinan, kesulitan, tapi kemudian kurang percaya terhadap ke-mahakuasa-an Kristus. Yesus sama sekali kuasa-Nya tidak berkurang sedikit gara-gara menyeberangi danau (daerah asing), melainkan Yesus exercise precisely the same authority. Waktu Lukas menghadirkan cerita ini, ia ingin meng-encourage orang-orang yang melakukan misi kepada orang-orang gentiles/ kafir, akan kuasa Kristus yang juga bisa mencapai mereka. Supaya orang tidak terlalu bergantung pada ke-Yunani-an atau ke-Yahudi-an, ke-terpelajar-an atau ke-sederhana-an, dsb. Itu semua harus direlativisasi dengan kepercayaan atas kuasa Kristus yang berlaku di mana saja.
Selanjutnya ayat 32, diceritakan sejumlah besar babi sedang mencari makan di lereng gunung, lalu setan-setan itu meminta kepada Yesus, supaya Ia memperkenankan mereka memasuki babi-babi itu. Yesus mengabulkan permintaan mereka. Jadi, orang yang doanya dikabulkan jangan cepat-cepat senang, karena setan pun dikabulkan oleh Tuhan. Dikabulkan doanya tidak selalu menyatakan bahwa dia orang yang dikasihi Tuhan. Kita musti hati hati dengan gambaran teologi doa yang luar biasa simplisistik dan luar biasa ngawur. Memang bisa tempted kalau orang berdoa lalu dijawab, bisa merasa “Tuhan pasti memperkenan saya, sayang saya, karena sudah doa dan jawabannya konkrit”; kalau logika seperti itu maka apakah setan-setan juga diperkenan Tuhan? Jawabannya pasti tidak, tapi Tuhan bisa mengabulkan permintaan mereka.
Ayat 33: Lalu keluarlah setan-setan itu dari orang itu dan memasuki babi-babi itu. Kawanan babi itu terjun dari tepi jurang ke dalam danau lalu mati lemas. Perhatikan ada ordo di sini. Mungkin Saudara berpikir, “Kalau saya jadi Yesus, saya juga tidak izinkan setan-setan ke babi, karena saya pencinta binatang, animal lovers”. Tapi dalam theology of creation, babi jelas lebih rendah dari manusia, despite animal lovers setuju atau tidak setuju. Exorcism membalikkan ordo, babi lebih dipelihara dan diberi makan daripada manusia, manusia diperlakukan seperti binatang lebih daripada binatang sendiri. Ordo seperti ini kacau. Dalam konteks animal lovers, Saudara mungkin perlu pikir kalau kecintaan kita kepada binatang menyedot energi begitu banyak sampai kita tidak bisa mencintai manusia, itu juga suatu kekacauan yang tidak bisa diterima dari perspektif Alkitab. Di Seattle, di satu tempat ada atraksi lempar-lempar ikan, dan karena ikan itu, licin susah ditangkap. Turis-turis suka atraksi ini. Tapi terakhir tidak diperbolehkan lagi karena ada animal rights, apalagi “ikannya sudah mati, mati terhormat, lebih tidak layak lagi dilempar-lempar”. Pemikiran ini gila, tidak bisa diikuti. Kalau Saudara lempar-lempar mayat orang, kita bisa mengerti, tapi ini ikan? Orang memperlakukan ikan seperti manusia, mungkin dengan berpikir dalam logika yang sama: “Lu tidak lempar-lempar orang kayak gitu kan”. Jadi atraksi itu di-stop karena tidak ada “peri-kebinatangan”. Kalau diteruskan, makin lama makin jauh dari Alkitab dan orang tidak sadar. Ada order dalam creation, babi itu babi, manusia itu manusia. Ini cerita yang sama dalam kisah The Prodigal Son, ordo yang kacau karena di situ, manusia musti menjaga babi tapi mau makan makanan babi pun dilarang. Babi bisa lebih punya hak untuk mendapat makanan daripada manusia yang kelaparan. Jadi kacau order of creation di situ, karena apa? Karena kepergian anak dari bapanya. Alkitab mau mengatakan, “Kamu mau meninggalkan Allah? Mau meninggalkan Tuhan? Ya begini akhirnya, kehidupan jadi kacau tidak karuan, kamu jadi lebih rendah daripada babi.” Yesus mengembalikan kepada yang benar, ordo yang sudah rusak, pertama dirusak oleh setan-setan itu sendiri, tapi juga oleh orang-orang yang hidup di tanah Gerasa, karena mereka lebih mementingkan babinya daripada orang itu. Yesus membawa setan-setan itu kepada babi, babi-babi itu terjun ke dalam danau lalu mati lemas.
Yang menarik adalah respon yang terjadi di ayat 34-39, Setelah penjaga-penjaga babi itu melihat apa yang telah terjadi, mereka lari lalu menceritakan hal itu di kota dan di kampung-kampung sekitarnya. Ini semacam kesaksian, semacam “penginjilan” yaitu penginjilan kerugian, penginjilan kebangkrutan, penginjilan kehilangan uang. Kita lebih suka cerita-cerita ke orang waktu mengalami kerugian daripada cerita tentang orang yang ditolong Yesus, disembuhkan, mengenal Yesus, dsb. Inilah yang dilakukan mereka. Tapi sementara Yesus memerintahkan kepada orang yang diselamatkan “ceritakanlah”, sebelum itu orang-orang sudah menceritakan di kota dan di kampung-kampung. Ada dua kesaksian di sini: kesaksian orang yang diperintahkan Yesus untuk meceritakan “apa yang diperbuat Allah atasmu” (ayat 39), dan ada cerita tandingannya, yaitu kerugian ekonomi (ayat 34).
Ayat 35: Dan keluarlah orang-orang untuk melihat apa yang telah terjadi. Mereka datang kepada Yesus dan mereka menjumpai orang yang telah ditinggalkan setan-setan itu duduk di kaki Yesus; ia telah berpakaian dan sudah waras. Maka takutlah mereka. Perikop sebelumnya, ayat 25, setelah Yesus menghardik air dan angin: "Di manakah kepercayaanmu?" Maka takutlah mereka dan heran, lalu berkata seorang kepada yang lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga Ia memberi perintah kepada angin dan air dan mereka taat kepada-Nya?" Ada dua macam “takut” di sini, sama-sama takut. Tapi ada takut yang di dalam kepercayaan seseorang kepada transendence of God, dan yang di sini — memang ada transendence of God/ Jesus juga — tapi bukan takut dalam pengertian yang membawa kepada kepercayaan dan sembah sujud, melainkan ketakutan dalam pengertian yang lain. Pertama, “kita jadi tidak ada untung lagi, babi-babi mati, kontrol lepas”. Ada kuasa yang lebih besar mengontrol, dengan kontrol yang baik, yang menyembuhkan, yang membebaskan, tapi mereka tidak rela. Manusia begitu jahat dalam kehidupannya, waktu Tuhan datang dalam kontrol yang lebih baik, manusia tidak bersedia. Manusia menjadi takut pertama-tama akan kerugian ekonomi, tapi juga dalam pengertian ”ini ada kuasa yang lebih besar, membuat kita sekarang tidak bisa mengontrol lagi.” Mereka tidak mau menerima kontrol daripada Tuhan. Ada prinsip spiritualitas yang bisa kita belajar: waktu Tuhan datang, Tuhan datang membebaskan, dan itu bukan tanpa cost, bukan tanpa biaya. Manusia mengikut Tuhan, melihat orang dibebaskan, diberkati, itu tidak masalah as long as saya tidak rugi, as long as my financial resource tidak tersentuh, tapi begitu ada konsekuensi dalam keuangannya, manusia langsung keberatan. Kedatangan Yesus di sini “merugikan”, ada pengaruh ekonomi. Seperti kebiasaan Lukas yang secara literary sering menulis prinsip yang sama dua kali, karena ia memang menulis 2 kitab. Yang di dalam Lukas “the story of Jesus”, diulang lagi dalam “the story of early church/ apostles”. Paulus juga pernah mengalami ini, ketika ia memberitakan Injil di Efesus lalu orang percaya, Paulus diusir keluar seperti Yesus. Mengapa? Karena setelah orang percaya Injil, kerajinan tangan (handicraft) miniatur dewi Artemis tidak laku lagi, orang yang sudah percaya kepada Allah yang sejati tidak mau beli itu lagi. Ini merusak dan membuat kacau ekonomi, akhirnya Paulus diusir. Mereka tidak mau rugi.
Teologi Reformed bukan menganut “teologi kebangkrutan”, seolah makin bangkrut makin rohani, makin ikut Yesus makin rugi. Tidak. Yesus tidak pernah membuat kacau perekonomian seseorang dalam pengertian “Saya datang maka ekonomi langsung kacau, Saya datang maka orang sehat langsung sakit”. Tidak ada ajaran seperti itu dalam firman Tuhan. Waktu Yesus datang, Dia bisa mem-porak poranda-kan perekonomian seseorang, mengapa? Itu cuma membuktikan bahwa perekonomiannya kacau, dibangun dengan cara yang kacau. Kalau seseorang tadinya seperti kaya dan berhasil, lalu Yesus datang jadi bangkrut, menyatakan mungkin waktu kaya, kayanya karena tidak jujur, maka waktu Yesus masuk jadi menimbulkan banyak kerugian. Dalam kasus cukong-cukong babi, kita tidak tahu apa masalah mereka karena Alkitab tidak mencatat, tapi Yesus bukan asal merugikan saja. Tapi waktu Yesus menggoncangkan ekonomi di dalam kehadiran-Nya, artinya ada sistem yang perlu dikoreksi. Mirip seperti sekarang, Ahok (gubernur DKI) datang, lalu banyak orang yang kesulitan; karena sistem ekonomi sudah begitu rusak, waktu orang yang lurus datang — mewakili kehadiran Tuhan — maka tidak mudah lagi melakukan seperti sistem yang dulu. Kita musti memperhitungkan kemungkinan ini dalam kedatangan Yesus, dan bukan cuma masalah ekonomi, itu juga bisa mem-porak poranda-kan sistem yang dibangun di dalam culture yang berdosa. Dan kita musti rela.
Tapi kesulitan manusia, kita lebih suka kita sendiri yang kontrol; bukan cuma keuangan kita tapi juga keluarga kita, anak kita, dan mungkin juga kehadiran kita di gereja. Saya mau kontrol; saya bukan tidak tahu adanya evil, tapi saya mau kontrol sedemikian rupa, saya instrumentalisasi sehingga saya tetap bisa kontrol. Tapi begitu Yesus datang, Dia mengambil alih kontrol, berarti saya musti lepas kontrol. Waktu saya lepas kontrol, semua jadi “tidak secure”. Begitulah manusia. Waktu Tuhan yang kontrol, berarti kita harus absolute surrender, itu jadi susah sekali. Manusia punya perhitungan, “kalau dia gerak ke situ, saya musti apa; kalau dia begini saya musti begitu; semua dalam prediksi saya, dan itu security”. Tapi itu bukan security menurut Alkitab. Security menurut Alkitab adalah Tuhan yang mengontrol, dan waktu Tuhan mengontrol, jadi berantakan — babi saya mati semua — tapi sebenarnya Tuhan juga mau membebaskan orang-orang di tanah Gerasa itu, bukan cuma membebaskan yang dirasuk legion kalau seandainya mereka mau menerima kehadiran Yesus Kristus. Tapi kenyataannya mereka tidak menerima-Nya, cara berpikir mereka sudah kacau. Mereka pikir babi lebih berharga daripada manusia karena menghasilkan uang; orang ini cuma satu — mungkin juga menghasilkan uang sebagai tontonan — sedangkan babi banyak.
Satu orang dibandingkan dengan babi yang banyak, menurut Alkitab “apa gunanya seseorang memiliki seluruh dunia tapi kehilangan nyawanya”. Menurut kalkulasi Alkitab, SELURUH dunia itu tidak bisa dibandingkan dengan SATU jiwa manusia. Satu jiwa, menurut Yesus, lebih berharga daripada isi seluruh dunia; itu value Alkitab. Tapi mereka tidak bisa melihat ini. Mereka menjadi kecewa karena kerugian, babi-babi itu mati lemas. Mereka tidak bisa melihat ada pekerjaan pembebasan di sini, orang yang tadinya dirasuk setan sekarang jadi dibebaskan dari setan-setan itu. Mereka tidak tertarik sama sekali untuk melihat fakta ini karena hati mereka terlalu terikat kepada kekayaan mereka, keuntungan mereka, dan juga kerugian mereka. Soal kerugian dan kesengsaraan dalam kehidupan kita, kita bisa begitu sensitif sampai tidak bisa melihat anugerah Tuhan yang membebaskan di luar sana. Terus melihat pada persoalan kita, “saya koq terus menerus sakit, saya koq terus menerus rugi, belum untung, belum kaya”, dan itu akhirnya membutakan kita untuk melihat pekerjaan Tuhan yang ada di luar.
Selanjutnya, Orang-orang yang telah melihat sendiri hal itu memberitahukan kepada mereka, bagaimana orang yang dirasuk setan itu telah diselamatkan. Lalu seluruh penduduk daerah Gerasa meminta kepada Yesus, supaya Ia meninggalkan mereka, sebab mereka sangat ketakutan. Maka naiklah Ia ke dalam perahu, lalu berlayar kembali (ayat 36-37). Mereka menjadi takut. Ketakutan bukan kemudian membawa kepada penyembahan, tapi ketakutan membawa kepada pengusiran: “Kamu tolong silakan pergi. Kita baik-baik saja, tapi Kamu jangan di sini karena kita lost our fortune so much. Kamu datang ke sini, bikin semua jadi kacau, tadinya kita pelihara babi, sekarang babi mati semua. Apa-apaan ini? Bikin semua sistem jadi kacau”. Bagi mereka lebih baik Yesus pergi daripada kontrol mereka hilang, prediksi dan kalkulasi semua tidak bisa secure lagi. Mereka pikir “lebih baik kita yang kontrol daripada Orang ini kontrol, karena begitu Dia kontrol, saya tidak bisa kontrol lagi”.
Orang Gerasa ini tidak jauh beda dengan orang Kristen zaman sekarang. Kita mungkin lebih merasa secure waktu kita kontrol kehidupan kita sendiri daripada membiarkan Tuhan yang kontrol. Karena Tuhan mengontrol itu dinamis sekali, membuat dag-dig-dug, tidak dapat ditebak, tidak ada pattern-nya. Berusaha mengikuti kontrol Tuhan itu tidak menyenangkan karena tidak bisa di-prediksi dan di-kalkulasi, jadi merasa kehilangan seluruh security. Jadi bagaimana? Ya sudah Tuhan, Lu pergi saja. Kalau saya yang kontrol, ya saya memang tidak sempurna, rantai kadang-kadang bisa lepas, tapi tetap saya kan yang kontrol. Kalau Lu yang kontrol itu masalah. Sulit untuk membiarkan Tuhan mengontrol kehidupan kita. Kita maunya kita yang kontrol. Atau kalau Tuhan kontrol, kita mau menurut cara kita; itu balik lagi “saya yang kontrol”, bukan Tuhan. Kalau Tuhan yang kontrol, artinya saya musti give up my own authority. Yesus berkata dan berbuat bukan dari otoritasnya sendiri, tapi otoritas Bapa. Otoritas yang lebih secure adalah waktu kita membiarkan Tuhan yang mengontrol kehidupan kita, yang exercising authority atas kita daripada kita yang exercise our own authority, karena Tuhan lebih melihat dengan jelas kehidupan kita.
Kalimat selanjutnya: Maka naiklah Ia ke dalam perahu, lalu berlayar kembali. Yesus ada interaksi dengan orang yang menolak Dia. Mungkin kalau kita yang di sana, kamu menolak saya? gantian setan ditarik kembali dari babi lalu masukin ke mereka dan cemplungin ke danau. Tapi itu jadi cerita komik, bukan cerita Yesus. The Powerful Jesus itu membiarkan diri-Nya ditolak. Penolakan itu diperhitungkan oleh Yesus. Mereka ini orang yang ketakutan, secara logis mereka pasti tahu Orang ini lebih bahaya daripada setan-setan karena setan-setan pun bisa tunduk, jadi mereka tentu bukan membentak tapi minta dengan hati-hati, “Tolong ya, Kamu jangan di sini lagi”. Lalu apakah Yesus exercise kuasa-Nya terhadap mereka? Tidak. Yesus menyingkir.
Di dalam teologi kontemporer, banyak orang Post Liberal membicarakan tentang the vulnerability of God, “kerapuhan/ kerentanan Allah”, suatu ide yang dianggap perlu untuk mengoreksi gambaran the modern omni potent – The All Powerful God. Gambaran yang keliru sebenarnya. Kita percaya Allah Mahakuasa, tapi sebenarnya ke-mahakuasa-an Allah bukan seperti yang kita mengerti. Mahakuasa menurut pengertian kita dipengaruhi konsep politik yang salah, misal begitu terjadi penolakan, langsung semua kesamber petir dan mati. Yohanes pernah berpikir seperti itu: orang menolak, lebih baik turunkan api dari langit seperti Elia, semua gosong dan selesai, supaya jangan menolak lagi. Itu gambaran all powerful yang dari bawah, dari manusia. Tapi Yesus dalam hal ini waktu ditolak, Dia “vulnerable, rapuh, dan rentan”, Dia menyingkir. Waktu manusia menolak Tuhan, Tuhan bukan paksa dia bagaimanapun sampai ikut. Waktu manusia memadamkan pekerjaan Roh-Nya, Roh itu akan menyingkir, bukannya bercahaya lebih terang lagi sampai bagaimanapun orang bertekuk lutut. Itu bukan gambaran Alkitab tentang Tuhan yang kita percaya, tidak applies to Holy Spirit, tidak applies to Jesus, dan juga tidak applies to Father. Kalaupuan akan terjadi, itu di-reserve sampai escatological point ketika Dia datang sebagai hakim. Tapi sekarang bukan permainan power seperti itu. Yesus ditolak, Dia pergi. Itu sudah hukuman, yaitu daerah ini tidak ada God’s presence, tidak ada yang memberkati, tidak ada Yesus yang membebaskan dari belenggu, tapi mereka punya bayangan sendiri kebebasan itu seperti apa. Mereka mengusir Yesus dan Yesus pun pergi. Bahaya dalam kehidupan ini kalau kita mengusir Yesus pergi karena kita yang mau kontrol, Yesus akan pergi.
Terakhir ayat 38, Dan orang yang telah ditinggalkan setan-setan itu meminta supaya ia diperkenankan menyertai-Nya. Suatu motivasi yang dapat dimengerti, setelah dibebaskan ingin mengikut Yesus. tapi Yesus menyuruh dia pergi. Secara literal permainan kata yang menarik: Yesus disuruh pergi oleh orang-orang ini, lalu orang yang disembuhkan mau menyertai Yesus tapi Yesus menyuruh ia pergi. Menyuruh pergi bukan dalam pengertian mengusirnya dari His Own presence, tapi justru memperpanjang, me-representasikan Jesus presence di rumahnya dan di kota-kota itu untuk meberitakan tentang Yesus, pekerjaan Allah yang sudah ia alami di dalam Kristus. Yesus menyuruh pergi dalam pengertian Dia mengutus. Kita yang mengalami pekerjaan Tuhan, Tuhan menyuruh kita pergi: "Pulanglah ke rumahmu dan ceriterakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atasmu" (ayat 39).
Lalu Lukas mencatat: Orang itupun pergi mengelilingi seluruh kota dan memberitahukan segala apa yang telah diperbuat Yesus atas dirinya. Sekali lagi, kesaksian ini tandingan. Ada benih lalang dan benih gandum. Orang ini memegang benih gandum, ia mengelilingi seluruh kota memberitahukan apa yang diperbuat Yesus atas dirinya; dan ada benih lalang yaitu penjaga-penjaga babi yang juga menceritakan itu di kota dan kampung-kampung sekitarnya tentang kerugian yang ditimbulkan Yesus; jadi ada dua benih yang sama-sama ditabur.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS).