Bagian pasal 8:1-3 bisa dilihat sebagai penyajian literary Lukas yang menghadirkan gambaran kontras sebagaimana perikop sebelumnya, yaitu gambaran persekutuan meja antara Yesus dengan orang-orang terpandang seperti orang Farisi, dan Yesus dengan orang-orang yang dianggap sampah masyarakat seperti pemungut cukai, perempuan berdosa. Kontras antara orang yang merasa diri benar seperti Farisi dan orang yang di dalam penghayatan merasa diri berdosa seperti perempuan itu; keduanya sama-sama mengalami table fellowship dengan Yesus. Satu kontras yang lain yaitu bagian perikop ini yang diberi judul oleh LAI “Perempuan-perempuan yang melayani Yesus”. Meskipun kita tahu yang melayani Yesus bukan perempuan saja, tapi perempuan yang digambarkan di sini agaknya memang completing picture tentang siapa saja yang melayani Yesus, yaitu perempuan-perempuan kaya sebagaimana Alkitab menulis apa adanya “perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka”. Kita bisa kecewa kalau mengharapkan Lukas mendukung program Theology of Liberation atau Marxism yang selalu berpihak ke kiri, Yesus yang digambarkan selalu dekat dengan orang-orang marjinal, lalu dipanggil menjalani program sosialisme, dsb. Itu bukan Alkitab. Alkitab tidak ada ketakutan soal kanan atau kiri, karena Alkitab melayani semuanya, dan Alkitab juga menegur semuanya. Tidak ada kelompok yang satu dianggap lebih baik dari yang lain, tidak ada perkecualian, tidak ada diskriminasi.
Dalam bagian ini ada disebut Maria Magdalena yang di dalam tradisi/ legenda sering dikaitkan dengan gambaran prostitute, tapi di dalam Alkitab tidak ada kepastian pernyataan itu. Yang ditulis Alkitab ialah bahwa Maria Magdalena ini seorang perempuan yang dibebaskan dari 7 roh jahat. Dalam gambaran Alkitab, orang yang dirasuk roh jahat bisa terganggu secara fisik tapi tidak ada tendensi atau indikasi bahwa ia jadi orang yang ngawur secara moral. Roh jahat lebih dikaitkan pada gangguan fisik bukan dalam ethical atau moral. Entah bagaimana ada tradisi gambaran Maria Magdalena sebagai seorang pelacur yang sebenarnya tidak didukung Alkitab.
Maria Magdalena ini mungkin memang bukan termasuk golongan dalam gambaran perempuan-perempuan kaya, tapi selain dia, di situ ada juga Yohana, istri Khuza bendahara Herodes, orang yang sangat dekat dengan kerajaan, bukan orang sederhana atau marjinal. Orang-orang seperti ini waktu mereka mengikut Yesus, pasti ada harga yang harus dibayar, ada certain resiko karena mereka dari kelompok Herodes tapi mengambil keputusan mengikut Yesus. Poin yang bisa kita tekankan adalah Yesus bisa pakai siapa saja. Yesus bisa memakai perempuan-perempuan sederhana yang dianggap tidak berguna dalam masyarakat, tapi Yesus juga bisa memakai perempuan-perempuan dengan kekayaannya, tanpa men-diskriminasi mereka. Sejauh orang itu tidak memper-tuhankan kekayaannya, tidak melihat identitasnya berdasarkan perspektif kekayaan itu, sebetulnya mau kaya atau tidak kaya, tidak ada urusan, doesn’t really matter. Siapa pun bisa dipakai oleh Tuhan. Gambaran seperti ini penting, supaya kita tidak melakukan diskriminasi yang tidak dilakukan Alkitab, karena kita bisa melakukan diskriminasi yang Alkitab sendiri tidak lakukan. Baik diskriminasi kelompok kiri atau kanan, orang sederhana atau orang terpelajar, atau diskriminasi ras, etnis tertentu,dsb. tidak diajarkan Alkitab. Perempuan-perempuan kaya ini berkorban waktu mereka mengikut Yesus karena bagaimana pun di situ ada resiko, dan certainly perlu kerendahan hati. Orang kaya — secara gambaran manusia — sulit submit, menjadi bossy, ingin mengatur, tapi disini mereka harus melayani bukan dilayani, musti belajar mendengarkan bukan banyak bicara dan menggurui; suatu pergumulan yang tidak otomatis beres, tapi perlu perjalanan yang panjang bahkan seumur hidup untuk dibentuk karakternya seperti ini.
Dalam bagian ini kita tidak mendapat banyak gambaran tentang perempuan-perempuan ini, hanya satu kalimat sederhana “perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka”. Apa yang dipercayakan Tuhan dalam kehidupan seseorang, dipakai untuk melayani, entah itu kekayaan atau dalam arti apapun lainnya. Cara pikir Alkitab adalah bukan kebetulan kalau seseorang diberikan suatu resources dalam kehidupannya. Ester dalam Perjanjian Lama, mendapat kesempatan menjadi ratu dari Ahasyweros; itu sebenarnya Tuhan sedang mempersiapkan dia naik ke jabatan begitu tinggi, karena Dia sudah melihat penganiayaan, kesulitan, yang akan dialami orang-orang Yahudi. Bukan cara pikir sebaliknya — karena tetap ada pencobaan seperti ini — waktu seseorang promoted dalam kehidupan ini, entah dalam kekayaan, jabatan, power, dsb. untuk berpikir, “O, saya dapat satu tempat yang khusus ini sehingga tidak perlu lagi terlibat dalam urusan-urusan sederhana, yang kecil, yang tidak penting, karena saya bukan di sana lagi”. Misalnya, Ester bisa saja berpikir, “O, itu persoalannya orang-orang Yahudi, saya sekarang sudah tidak masuk komunitas itu lagi, saya sudah jadi ratu, orang kaya. Dulu itu pergumulan saya, tapi sekarang thank God, saya sudah bukan di situ lagi, sehingga saya untouch dengan persoalan-persoalan komunitas itu.” Mordekhai mengatakan, “Jangan pikir kamu akan luput, kalau kamu tidak mau terlibat, kamu tidak terlalu penting juga dalam semua pergumulan orang Yahudi, karena akan ada pertolongan dari Tuhan”. Dan kita tahu Ester tidak begitu, ia terlibat, karena Mordekhai juga mengatakan, “Siapa tahu, kamu ditaruh di situ justru untuk adanya peristiwa ini”.
Prinsip yang sangat penting, Tuhan memberi kepada kita suatu fasilitas, privilege, karena Tuhan sudah melihat sebelumnya kesulitan yang akan terjadi di depan, maka sebagian orang dipersiapkan terlebih dahulu, entah itu dalam kekayaan atau hal-hal lain. Pendeta Stephen Tong pernah menafsir gambaran ini, berkaitan dengan orang-orang yang dibangkitkan bersamaan seperti John Sung dan beberapa tokoh lain, orang-orang revivalist, karena setelah itu Cina akan masuk ke era komunisme. Ini suatu pattern yang kadang kita sulit memahami, kita melihat suatu revival, tapi ternyata komunisme masuk juga. Pembacaan yang negatif: berarti revival ini gagal, yang ditabur John Sung dkk. tidak terlalu berhasil karena buktinya komunisme menggeser itu juga. Ini salah; penafsiran yang lebih positif: justru karena Tuhan sudah melihat akan terjadi penganiayaan dan kekacau-balauan dengan masuknya komunisme di sana, maka Tuhan mempersiapkan orang-orang seperti John Sung sehingga orang Kristen yang memiliki iman yang benar, tidak goncang. Berpikir terbalik. Bukan karena ada kekayaan lalu, “Puji Tuhan saya kaya, rumah tidak banjir lagi karena saya bisa bikin tembok tinggi, saya bisa punya rumah di gunung, datang naik helikopter saja”; bukan dalam pengertian itu. Tapi mengapa Tuhan memberikan kekayaan? Yaitu supaya orang-orang ini waktu dipakai Tuhan, bisa melayani dengan kekayaan mereka dalam cara yang terbaik. Tuhan memberikan sesuatu kepada kita bukan supaya kita menikmati sendiri, merasa bersyukur karena sudah di-upgrade oleh Tuhan, tidak seperti orang-orang lain yang kehidupannya kasihan, melainkan karena Tuhan memberikan kepada kita kepercayaan, beban, tanggung jawab yang lebih besar dengan resources itu.
Kalau kita melihat bagian ini, entah yang kaya atau yang dianggap berdosa, perempuan-perempuan yang sangat respected yang merupakan kelompok orang-orang istana atau perempuan yang terkenal berdosa seperti dalam perikop sebelumnya, dua-duanya dipakai oleh Tuhan tanpa diskriminasi, tidak ada perbedaan. Tuhan table fellowship dengan siapa saja, Tuhan bisa memakai siapa saja, karena identitas seseorang bukan didefinisikan berdasarkan status sosial, status finansial, atau status-status yang lain, tapi berdasarkan cinta kasih Tuhan sendiri.
Tapi di sisi lain bukan tidak ada perbedaan sama sekali, ada orang yang akhirnya men-diskriminasi dirinya sendiri, bukan karena status sosialnya — terpandang atau remeh, kaya atau miskin, budak atau orang merdeka — melainkan oleh sikap orang itu waktu mendengar firman Tuhan. Betul bahwa Yesus tidak membedakan manusia, tapi bukan berarti dalam Kerajaan Allah tidak ada diferensiasi sama sekali; dan kalau pun ada, itu diferensiasi yang dilakukan oleh pendengar firman Tuhan itu sendiri. Perumpamaan tentang penabur, menyatakan hal ini. Tidak semua orang yang mendengar firman Tuhan, berespon secara sama. Yesus tidak memberitakan secara berbeda-beda, semua mendengar yang sama. (pembahasan perumpamaan ini versi Matius sudah pernah, dan bagian-bagian yang sama tidak diulangi di sini).
Perumpamaan ini merupakan satu perumpamaan yang paling penting, baik dalam versi Lukas maupun penginjil yang lain, karena di dalamnya ada alegorisasi. Alegorisasi yaitu suatu perumpamaan yang banyak elemen di dalamnya itu ada artinya, misalkan dalam ayat 11 Yesus menjelaskan yang dimaksud benih itu apa, jatuh di pinggir jalan itu apa, tanah berbatu itu apa, dst. satu per satu ada penjelasannya. Di sini alegorisasi dari Yesus sendiri, bukan kita yang meng-alegorisasi. Maka dalam tradisi sejarah Gereja, banyak orang menafsir secara alegorisasi karena mereka pikir Yesus melakukan alegorisasi dan mereka mengikuti Yesus. Dalam bahasa Inggris, para scholars memberikan perbedaan antara allegorizing dan allegorization, masing-masing memiliki nuansa yang berbeda; tapi di sini kita pakai alegorisasi saja supaya tidak terlalu membingungkan dan juga kita tidak akan secara detail masuk dalam teori parabel itu. Waktu melakukan alegorisasi, persoalannya adalah bahwa tidak semua parabel bisa ditafsir seperti itu. Misal parabel tentang orang yang dirampok dalam perjalanan setelah turun dari Yerusalem, lalu ada orang Lewi yang lewat, imam, dan orang Samaria, kemudian orang itu dinaikkan keledai dibawa ke hospital; lalu satu per satu semua ditafsir, hospital-nya itu apa, dsb. (Agustinus pernah menafsir seperti itu). Tapi sebenarnya kalau kita baca dalam Alkitab tidak semua perumpamaan ada alegorisasi-nya, sehingga kita perlu sedikit berhati-hati dengan alegorisasi. Bukan karena alegorisasi selalu salah melainkan kita belajar dari Alkitab tidak semua perumpamaan di-alegorisasi-kan. Satu teolog penting dari cabang Historical Criticism, Adolf Jülicher dari Jerman, mengatakan bahwa perumpamaan sebenarnya bukan banyak melainkan mengandung satu arti, mau menunjuk satu arti saja, sehingga tidak perlu sibuk mencari setiap elemen itu artinya apa — kalau pun Yesus mengajarkan itu, ya sudah ini Yesus — seperti perumpamaan orang Samaria yang baik hati, kita tidak perlu menafsir dua koin itu apa, apakah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; lalu hospital itu apa, apakah artinya gereja, dsb. Tidak perlu ditafsir seperti itu karena perumpamaan tidak sedang membicarakan detail arti setiap elemen. Juga seperti perumpamaan tentang prodigal son, kita tidak perlu tanya uang itu artinya apa, lalu waktu dia makan makanan babi, babi artinya apa, makanan babi artinya apa, semua ditanya satu per satu, satu-satu kita ingin tahu akhirnya kita miss the most important point. Maka Jülicher mengatakan — sekarang teori ini sudah agak lewat, banyak dikritik juga — sebetulnya perumpamaan mengajarkan kepada kita satu arti, one meaning, dan kita perlu tahu arti itu.
Dalam pembacaan perumpamaan seperti ini, ada beberapa poin yang kita bisa belajar, tapi kalau belajar dari Jülicher, sebenarnya jelas prinsip utamanya yang mau disampaikan perumpamaan tentang penabur ini, yaitu respon yang berbeda-beda. Tidak semua orang mendengar firman Tuhan berespon dengan sikap yang sama. Firman Tuhan yang diberitakan sama. Yesus memberitakan perumpamaan yang sama, bukan kepada kelompok pertama perumpamaan yang rumit sekali, lalu kepada kelompok kedua yang semi advanced, lalu sampai pada kelompok keempat gampang sekali sehingga yang mengerti cuma kelompok keempat ini. Tidak ada cerita seperti itu. Yesus mengatakan perumpamaan yang sama tetapi respon berbeda-beda. Apa yang membedakan kelompok pertama, kedua, ketiga, dan keempat ini?
Jawabannya, saya pikir di ayat 9, kalimat yang sederhana, penting sekali bagian ini. Setelah Yesus mengajarkan perumpamaan ini, ayat 4-8, diakhiri dengan kalimat “siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar”. Kita percaya waktu itu mereka semua pasti mendengar seperti sekarang saya mangatakan kalimat ini, semua di sini juga pasti mendengar. Lalu apa artinya mendengar? Waktu kita baca ayat 9: murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya apa maksud perumpamaan itu; yang mendengar, itu bertanya; yang mendengar, ada komunikasi. Intinya adalah spirit bertanya, ada kuriositas yang sehat untuk menggali lebih jauh, dan bukan hanya puas sebagai pendengar alias penonton firman Tuhan. Bukan dalam arti “ya, saya mendengar”,namun tidak ada kerinduan untuk menggali, kalau tidak mengerti, ya, sudah, ini juga bukan pertama-kalinya saya ga’ ngerti, memang kalau orang ini kotbah saya selalu ga’ ngerti, jadi ini sudah ke-tiga belas kali-nya, cuma tambah sekali, ya sudah, memang saya kurang kali ngertinya. Indifference, ketidak-pedulian mengerti atau tidak mengerti, hanya sekedar Yesus ini kalau ngomong lumayan ya, retorika-nya menarik, lucu kadang-kadang, perumpamaannya selalu pakai gambaran-gambaran yang ada di dalam masyarakat; saya suka mendengarkan, tapi kalau ga’ ngerti, ya paling tidak sudah terhibur, tambah sedikit wawasan, dsb. Selalu ada kelompok pendengar seperti ini, di dalam gereja juga. Pendengar yang indifference. Mereka bukan tidur, mereka mungkin juga bukan main handphone, tapi mereka “tidak bertanya”. Memang kalau melihat dari perspektif teologi Reformed, pasti ada kecenderungan menekankan kedaulatan Allah, dalam Lukas juga meski samar-samar, yaitu hardening motif pada kalimat “kepadamu diberikan karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah tetapi kepada orang lain hal itu diberitakan dalam perumpaman, supaya sekalipun memandang, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti” (ayat 10). Kalimat itu dikutip dari Yesaya yaitu kekerasan hati orang-orang yang tidak mau menerima firman Tuhan. Tapi yang lebih menekankan hardening motif — motif kekerasan hati — adalah Matius dan Markus. Lukas bukan mau emphasize bagian itu tapi lebih ke responsibilitas atau tanggung jawab pendengar. Tanggung jawab untuk berkomunikasi, menggali lebih dalam, menggali lebih lanjut, bertanya.
Dalam bagian ini kita tidak membaca kalau yang lain juga bertanya maksud perumpamaan itu, yang bertanya adalah murid-murid Yesus. Baru setelah kalimat ini — paling tidak dalam flow kitab Lukas — berbicara tentang kedaulatan Tuhan yang tadi kita baca (ayat 10). Kita biasa berpikir dalam teologi Reformed “karena Tuhan sudah menetapkan, maka demikian”. Ini bukan saya kritisi, kita memang percaya, tapi dalam sistematic theology kita sering menekankan Tuhan sudah menetapkan orang ini akan dibutakan,maka waktu diberitakan, betul orang ini tidak mengerti juga, karena Tuhan sudah menetapkan dia untuk dibutakan. Itu bukan poin yang ditekankan oleh Lukas. Yang Lukas tekankan, mereka tidak mengerti karena mereka tidak bertanya seperti murid-murid. Itu zoom bagian ini; tanggung jawab manusia, bukan menyorot pada kedaulatan Allah (kita percaya Lukas bukan tidak percaya kedaulatan Allah). Mirip dengan pembahasan trilogi perumpamaan — tentang domba yang hilang, uang mina yang hilang, anak yang hilang — dalam dua perumpamaan pertama yang mencari adalah pemiliknya, tapi dalam perumpamaan ketiga yang paling panjang, tentang anak yang hilang itu, tidak ada bapa yang mencari melainkan anak itu yang kembali kepada bapanya. Ini bukan perumpaman Armenianism, tapi mau menekankan, zoom, bagian tentang tanggung jawab manusia. Ini tidak akan merusak kedaulatan Tuhan. Kita juga tidak perlu mengomentari “tapi jangan lupa, meskipun anak itu kembali, kita musti tahu bahwa bapanya selalu menunggu dan menunggu, kalau tidak ditunggu mana bisa dia balik ”, untuk memberikan Reformed flavor dalam perumpamaan itu. Akhirnya kita miss kekuatan dari perumpamaan tersebut yang justru ada pada tanggung jawab manusia yang mau di-emphasize, bukan pada kedaulatan Tuhan. Perumpamaan penabur ini, kita membaca dalam prinsip yang sama, yang mau ditekankan di sini adalah tanggung jawab manusia bukan kedaulatan Tuhan.
Sekali lagi, perbedaan ini akhirnya menghasilkan diskriminasi. Siapa yang men-diskriminasi? Pendengar itu sendiri, bukan Yesus. Lalu di mana perbedaannya dan mengapa? Perbedaannya karena ada yang bertanya dan ada yang tidak mau tanya. Memang tidak harus tanya kalau betul mengerti; ini bukan masalah tanya-tanya secara fenomenal karena secara fenomenal ada orang tanya dengan berbagai macam motivasi. Ada orang tanya, waktu dijawab dia tidak perhatian malah lihat orang lain. Orang yang tanya seperti ini, itu mencurigakan, maksudnya apa? Bertanya, lalu waktu dijawab, dia malah lihat ke orang lain “itu tu jawabannya, dengerin, itu jawabannya, bener kan yang gua ngomong kemarin”. Itu bukan bertanya tapi mau pakai palu untuk memukul orang lain dengan pertanyaannya. Ada jenis orang bertanya yang lain lagi: tanya-tanya lalu setelah dijawab tidak terlalu perhatian karena waktu dia tanya, itu cuma mau menyatakan betapa rumitnya pertanyaannya, “saya bukan orang sembarangan, pertanyaan saya tajam sekali, jawabannya selalu tumpul, saya tahu, maka saya tidak perlu tahu jawabannya, lu yang musti tahu bahwa saya ini orang yang pemikirannya tajam, tahu dari mana? dari saya bertanya kan, karena pertanyaan saya tajam”. Orang tanya, bisa berbagai macam motivasi, dari A sampai Z karena itu Alkitab tidak tertarik membicarakan orang yang bertanya dalam gambaran fenomenal, asal tanya saja. Ada orang bertanya tapi sebetulnya tidak ada spirit bertanya. Ada orang yang mungkin secara fenomenal tidak bertanya tapi dia terus menggali dalam hatinya, terus ingin mengejar kelimpahan pengertian akan firman Tuhan; inilah orang yang memiliki spirit bertanya.
Saya kuatir dengan dikotomi di dalam gereja; orang yang aktif melayani dan orang yang belajar. Orang yang aktif melayani, mungkin juga sangat aktif dalam masyarakat, tapi tidak tertarik untuk belajar, seperti sudah tahu. Yang tidak kalah celaka, orang-orang yang belajar adalah orang-orang yang tidak sukses sebetulnya di dalam kehidupan. Saya bukan mengatakan bahwa semua yang datang ke PA seperti ini; bukan discouragement. Tapi ada orang yang suka diskusi teologi dsb. namun dalam kehidupan masyarakat tidak berhasil; ini jadi semacam pelarian atau bagaimana? Tuhan jadi semacam kompensasi atau apa? Dikotomi seperti ini so unfortunate, sangat tidak menguntungkan gambaran seperti ini karena dalam Alkitab kita tidak melihat peng-kutub-an seperti ini. Orang yang melayani adalah orang yang belajar firman Tuhan, orang yang belajar firman Tuhan adalah yang melayani, bukan orang karena terlalu sibuk melayani maka tidak ada waktu untuk mendengar firman Tuhan, seperti Martha. Yang penting kan saya sudah sibuk dalam pelayanan ini dan itu, dalam kehidupan masyarakat saya sangat berhasil, saya berguna, saya memberkati masyarakat, saya tidak ada waktu lagi untuk belajar-belajar kaya’ gitu, untuk apa? Coba lihat orang-orang yang datang itu, orang-orang itu tidak mikir dalam kehidupan makanya mereka bisa datang, seminar ini itu, semua didatangi, ya memang dia tidak pernah ada keberhasilan dalam kehidupan. Gambaran seperti ini, asing di dalam Alkitab, kita tidak melihat gambaran orang yang aktif melayani lalu tidak perlu belajar dan yang belajar sebetulnya tidak melayani. Yang kita lihat adalah gambaran kedua-duanya. Murid-murid Kristus adalah orang-orang yang mempunyai kerinduan akan penggalian firman Tuhan, dan mereka melayani. Mereka bukan melayani dan tidak belajar, mereka juga bukan orang yang belajar tapi tidak melayani. Mereka adalah orang yang belajar, dan melayani, dan belajar, dan melayani, dan belajar, dan melayani, dst. dalam kehidupannya.
Paulus, dalam salah satu tulisannya, ia menulis, “Saya perlu perkamen itu, tolong kirim, supaya saya bisa mempelajari”. Paulus, dalam keadaan pelayanan yang pasti sibuk sekali, masih perlu dokumen-dokumen itu untuk ia pelajari, karena ia mau pelayanannya terus berkembang; karena ia mau pelayanannya bukan pelayanan yang terus ulang-ulang jadi klise. Menakutkan waktu gereja sudah mulai jadi klise, ulang-ulang pemberitaan itu lagi itu lagi; sementara zaman terus berganti tapi kita tidak mau tahu, pokoknya beritanya selalu itu terus. Memang beritanya itu terus, betul bahwa Injil adalah Injil yang satu itu. Tapi ketidak-mauan tahu akan pergumulan masyarakat, menjadi persoalan. Saya baca satu quotation sederhana dari James Stalker: “Banyak pengkotbah waktu kotbah tidak bisa powerful, tidak bisa menyentuh, karena mereka cuma tahu Alkitab, mereka tidak tertarik untuk mengenal manusia. Mereka cuma mengenal Alkitab, tidak mengenal manusia”. Itu kalimat berat sekali. Cuma tahu Alkitab dan buku-buku teologi tapi tidak punya pengetahuan tentang masyarakat, society, itu non Reformatoris. Zwingli dalam patungnya digambarkan satu tangan pegang Alkitab dan satunya pegang pedang — memang dia literary ikut perang — maksudnya bukan mengajarkan semua orang Kristen harus ikut perang, tapi menyatakan keseimbangan antara mempelajari Alkitab dan juga terlibat dalam pergumulan negara, terlibat dalam pergumulan masyarakat, terlibat dalam pergumulan manusia. Kembali pada bagian Alkitab yang kita baca, yang membedakan adalah murid-murid-Nya bertanya; ada yang bertanya — mau menggali lebih lanjut — dan ada yang tidak bertanya, lalu Yesus menjawab.
Dalam jawaban ini, bukan hanya kutipan Yesaya, tapi juga arti dari perumpamaan (ayat 11-15), tentang alegorisasi dari perumpamaan tadi. Apa itu benih? yaitu firman Allah; yang jatuh di pinggir jalan ialah orang yang mendengar kemudian datang Iblis mengambil firman itu dari dalam hati mereka; yang jatuh di tanah yang berbatu-batu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menerimanya dengan gembira, tetapi mereka itu tidak berakar, mereka percaya sebentar saja; yang jatuh dalam semak duri ialah orang yang telah mendengar firman itu, dan dalam pertumbuhan selanjutnya mereka terhimpit oleh kekuatiran dan kekayaan dan kenikmatan hidup… . Satu kata yang tidak ada dalam Matius, yaitu kenikmatan hidup. Bukan berarti kita salah waktu menikmati hidup, tapi di sini dikaitkan kekayaan dan kenikmatan hidup, maksudnya hedonisme dalam pengertian negatif, bukan penolakan terhadap all kind of pleasure, tapi pengejaran kenikmatan hidup sebagai the goal of life. Kenikmatan hidup ada certain phylosophy-nya, yang berusaha untuk menghindari penderitaan, ketidak-nikmatan; hidup itu harus nikmat, kalau hidup tidak nikmat itu hidup apa artinya. Meletakkan kenikmatan sebagai Tuhan, dan sangat berkaitan dengan kekayaan. Kekuatiran, kekayaan, dan kenikmatan hidup, tidak menghasilkan buah yang matang. Alkitab bukan mau mengajarkan bahwa buah yang matang dihasilkan dari kehidupan yang sangat tidak nikmat, the glorification of suffering, bukan itu; tapi dalam arti, kenikmatan hidup yang melampaui porsi yang Tuhan tetapkan, itu indeed bisa menghalangi buah yang matang karena kita akhirnya terkonsentrasi ke sana, sementara kita tahu untuk buah dihasilkan ada saat-saat kita musti menyangkal diri dan saat itu tidak mengalami kenikmatan. Orang yang mengejar kenikmatan hidup akan selalu menghindari bagian itu, begitu tidak nikmat akan mereka tinggalkan, padahal ada begitu banyak buah yang dihasilkan tidak selalu dalam saat-saat yang bisa dinikmati. Contoh sederhana seorang perempuan waktu melahirkan anak, pasti bukan kenikmatan tapi setelah itu ada buah, ada sukacita. Tapi orang yang terus mengejar kenikmatan hidup, tidak mungkin ada buah seperti itu; tidak mau punya anak karena sakit, traveling jadi susah, repot, budget jadi mahal. Orang yang mengejar kenikmatan hidup, susah untuk menghasilkan buah dalam pengertian seperti yang betul-betul dikehendaki Tuhan, dalam porsi Tuhan, karena pasti ada banyak hal yang terhalang. Itu bukan filosofi Kristen tentang kehidupan tapi ajaran dunia.
Terakhir, ayat 15: yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan. Dalam bahasa Inggris: “As for that in the good soil, they are those who, hearing the word, hold it fast in an honest and good heart, and bear fruit with patience.” Ada kata honest di sini — yang kurang muncul dalam bahasa Indonesia — yaitu menyimpan dalam hati yang baik dan jujur. Jujur dalam arti waktu mendengar firman, terutama mendengar untuk diri sendiri dahulu sebelum katakan “O, ini cocok untuk orang lain”. Mungkin bisa cocok untuk orang lain juga, tapi terutama untuk diri sendiri. Maka berbahagia waktu kita mendengar firman Tuhan, masih ada teguran secara pribadi yang kita terima. Hamba Tuhan yang menyampaikan kotbah tidak harus tahu itu menegur siapa, dan bahkan lebih baik tidak tahu, untuk menyatakan itu karunia nubuat. Kita bersyukur ada firman Tuhan yang bisa menyapa kita secara pribadi, membongkar, menelanjangi pergumulan kita, dan memberikan jawaban, arahan. Itu berarti ada cinta kasih Tuhan dalam kehidupan kita. Tapi ada orang yang waktu tertegur secara pribadi, bukannya bersyukur malah marah, lalu pikir, “ini hamba Tuhan kenapa tusuk-tusuk saya dari mimbar pake firman Tuhan”. Orang seperti ini paranoia. Pernah seorang rekan hamba Tuhan kotbah tentang pernikahan; lalu setelah pulang ada suami yang marah-marah kepada istrinya, “elu ya, urusan kita di-share ke hamba Tuhan sampai akhirnya kita ditembak dari mimbar, dibongkar”, padahal istrinya tidak pernah cerita. Hamba Tuhan ini tidak pernah tahu pergumulannya apa, ia cuma bergumul dengan Tuhan musti kotbah apa; dan waktu kotbah firman Tuhan betul-betul sesuai dengan pergumulan sampai orang tadi merasa hamba Tuhan ini tahu terlalu banyak dan pasti ada yang beritahu.
Waktu kita mendengar firman Tuhan dan ada koreksi, yang bahkan very personal, kita bersyukur. Itu hati yang jujur dan baik. Hati yang tidak jujur yaitu yang menolak pengenalan diri, lebih suka mendengar kalimat-kalimat pujian, kalimat-kalimat yang mengangkat mereka, seperti encouragement, sedangkan setiap pembicaraan tentang realita dianggap discouragement. Kalau dibandingkan dengan typical movement yang didirikan manusia di dunia, dengan kuasa manusia bukan kuasa Tuhan, selalu ada ciri khas seperti ini. Orang seperti Mao Tse-tung, Hitler, orang-orang yang mau buat image, propaganda, akan bilang semuanya baik, semua bagus. Hal-hal yang negatif, meskipun itu realita, tidak pernah dibicarakan karena dianggap me-discourage gerakan; semua bicara yang positif. Ini menakutkan. Kita tidak kebal terhadap kekeliruan seperti ini kalau kita memiliki hati yang tidak jujur. Alkitab mengatakan kepada kita untuk memiliki hati yang jujur, bukan critical karena sinis, karena tidak dapat tempat. Hati yang jujur itu sederhana, hati yang melihat realita apa adanya dan itu bisa painful. “Saya sakit, ternyata tidak bisa sembuh menurut dokter”, itu kalimat yang painful, tapi realita. Lebih baik dengar realita daripada “kamu baik-baik saja” tapi menipu. Lebih baik dengar kalimat yang jujur, yang menyelidiki realita apa adanya, realita hati kita, realita keadaan kita, realita gereja kita, realita keluarga kita, realita pekerjaan kita, realita yang seperti Tuhan lihat.
Kiranya Tuhan memberkati kita, menolong kita untuk bisa bertekun di dalam hati yang jujur, hati yang baik, ketika kita mendengar firman Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS).