Kita melanjutkan eksposisi surat kepada 7 jemaat dalam Kitab Wahyu, yaitu Surat Kepada Jemaat di Smirna. Bagian ini kita ingin telaah dalam terang Perjanjian Lama dari Kitab Ayub 1:8-22.
Dibandingkan surat-surat kepada jemaat lainnya, surat Smirna satu-satunya yang tidak ada teguran, sama sekali tidak ada konfrontasi terhadap dosa. Jemaat yang paling baik dibanding ketujuh lainnya, tapi justru jemaat yang menderita. Ini resonansi yang bisa kita lihat langsung pada Ayub karena dari awal kita diberitahu bahwa ia tidak ada salah — tentu tidak berarti tidak ada salah sama sekali — dengan jelas memperlihatkan bahwa penderitaan ini datang bukan karena Ayub punya dosa. Ini satu hal yang bisa langsung kita aplikasikan dalam hidup ini.
Ekspektasi itu sangat penting, karena ekspektasi Saudara akan sesuatu sangat memperngaruhi cara melihat hal tersebut. Kalau Saudara diajak masuk suatu ruangan dan diberitahu: “Ruangan ini furniturnya seharga 50 juta, sofanya bagus banget, lampunya kristal”, lalu waktu masuk ternyata biasa-biasa saja, Saudara akan berkata: “Mana? Ruangan kayak begini tidak ada bagus-bagusnya, tidak spesial sama sekali.” Tapi, kalau sebelum Saudara masuk ke situ diberitahu: “Ini tadinya penjara, hancur banget, puluhan tahun tidak dipelihara”, lalu ketikanmasuk Saudara akan katakan: “Boleh juga ya, penjara kayak begini enak juga.” Bagian awal kitab Ayub ini, ada satu ekspektasi yang Alkitab ingin kita belajar, bahwa penderitaan bukan datang cuma ketika Saudara ada dosa atau semacam itu. Alkitab dengan sangat realis mengatakan bahwa sometimes dalam hidup kita penderitaan datang bukan karena itu semua, dan kita harus prepare dalam saat-saat seperti ini. Dikonfrontasi dengan fakta ini, secara natural kita akan bertanya “mengapa”? Apalagi kalau Saudara mengalami sendiri dan sejauh Saudara bisa melihat diri sendiri, sejauh hati nurani Saudara jujur di hadapan Tuhan, Saudara merasa “penderitaan ini bukan karena saya”, lalu apa yang akan Saudara katakan? “Mengapa? Mengapa saya? Mengapa sekarang?” Itulah gunanya Kitab Ayub, karena kitab ini akan menjawab meski bukan dengan jawaban yang Saudara inginkan.
Pertama, kitab ini langsung membongkar 2 jawaban palsu yang dunia tawarkan ketika kita menderita. Kalau kita mau tahu jawaban yang asli, kita perlu tahu “jawaban palsunya yang mana dan mengapa itu tidak beres”. Dunia hari ini menghadapi penderitaan yang absurd, ada 2 macam respon mendasar.
Yang pertama biasanya datang dari kaum religius atau lebih ke arah kultur Timur: “Tuhan sedang menghukum saya, oleh karena itu saya perlu lebih sering ke gereja”. Kita sering berada dalam konteks seperti ini, contohnya ada satu orang yang stroke, lalu seorang jemaat gereja lain berkata, “Kamu koq stroke tidak sembuh-sembuh? Ada something wrong, imanmu pasti ngawur.” Itu respon yang seringkali muncul; kalau sakit berarti tidak punya iman. Kita juga certainly ada kecenderungan seperti ini, percaya moralisme, hukum tabur tuai, kalau saya rajin dan bekerja keras maka hidup harusnya lebih baik, ada hak saya untuk menuntut seperti itu; kalau hidup saya hancur, pasti karena saya tidak rajin dan kurang bekerja keras. Kalau kita selalu jaga makan, sebisa mungkin hidup sehat, tapi malah kena kanker atau penyakit jantung, yang seringkali muncul di pikiran adalah: saya kurang baik mungkin, maka saya kena seperti ini. Saudara, satu hal yang pasti, kalau kita mengalami hal itu karena dosa, kalau Tuhan benar-benar menghukum setimpal dengan perbuatan kita, kita tidak bakal lewat satu detik pun sejak kita lahir, bahkan kita tidak bakal lahir; fakta bahwa hari ini kita masih bertahan hidup, membuktikan kita tidak ditimpakan sepantas yang kita terima.
Respon yang kedua, yang biasa datang dari orang-orang sekuler, tidak beragama, atau yang lebih ke arah kultur barat, yaitu mereka sinis terhadap penderitaan. Waktu melihat penderitaan yang random itu, mereka mengatakan: “Ya, inilah penderitaan yang random yang tidak ada alasan datangnya, berarti seluruh dunia juga random, tidak ada alasan dan tujuannya, berarti Tuhan juga tidak ada.” Yang satu mengatakan tabur tuai, satunya lagi mengatakan tidak ada yang menabur tidak ada yang menuai, semua tidak ada, random. Kedua jawaban ini reduksional sekali, salah dan buntu secara rohani.
Alkitab menyatakan jawaban yang lain. Dari awal Kitab Ayub, kita bisa melihat dinamika yang sangat menarik. Perhatikan ayat 8-10, Allah mengatakan begini , “lihatlah hamba-Ku Ayub”, lalu Setan mengatakan begitu, “ah tapi begini begini, Tuhan”, lalu Tuhan mengatakan, “Ya OK, fine. Kamu boleh begini tapi tidak boleh begitu.” Melihat ini, lalu biasanya reaksi kita: “Ini apa-apaan, Tuhan dan Setan main dadu terhadap hidup orang? Maksudnya apa?” Narasi ini menceritakan suatu jawaban dari penderitaan, yang sama sekali tidak muncul di dunia, yang tidak reduksional, yaitu cara Tuhan Allah berhubungan dengan kejahatan dan penderitaan. Hubungan itu asimetris. Di satu sisi, adalah idenya setan untuk membuat Ayub menderita, bukan dari Tuhan, dan bukan cuma idenya tapi Setan juga pelaksananya. Allah tidak secara aktif menginginkan penderitaan. Allah tidak menciptakan dunia kita secara natural seperti ini, Allah tidak menciptakan suatu alam yang angin ribut bisa tiba-tiba datang membuat atap runtuh dan mengakibatkan anak orang mati. Ciptaan bukan tempat kematian, bukan tempat sakit penyakit, pada awalnya; memang itu semua ada dalam dunia tetapi itu bukan dari Allah. Tapi ada sisi lainnya — ini sebabnya hubungannya asimetris — yaitu bahwa Allah bagaimanapun juga tetap in control. Allah tetap menguasai dan berdaulat atas semua ini. Gambaran yang kitab Ayub berikan bukan dualistik, ada dark side dan light side seperti dalam Star Wars yang senantiasa bertarung. Allah berdaulat atas kejahatan, Allah mengizinkan adanya kejahatan, dan Allah membatasi kejahatan itu boleh sampai di mana; yang ini boleh, ya Setan, yang itu tidak boleh. Ada pembatasannya. Dia berdaulat atas itu, tidak ada negosiasi lagi. Waktu kita melihat begini,kita setuju, asimetris. Tapi masuk ke dalam ujung pangkalnya, kita bertanya, mengapa Tuhan melakukan ini? Kalau Dia berdaulat, mengapa Dia harus mengizinkan, memberikan ruang bagi penderitaan dan kejahatan?
Jawaban yang diberikan Kitab Ayub, yaitu Tuhan hanya memberikan Setan sebatas ruang, yang pada akhirnya malah menghasilkan kebalikan dari tujuan Setan. Allah hanya memberikan Setan tali sepanjang leher Setan sendiri untuk menggantung dirinya sendiri. Tujuan Setan waktu mendatangkan penderitaan bagi Ayub adalah mendiskreditkan Ayub, ketahuan jeleknya, nodanya kelihatan. Tapi apa yang terjadi? Apakah Ayub jadi diskreditkan? Atau, ia justru mendapatkan kredibilitas yang begitu tinggi sehingga melalui kejadian ini Ayub menjadi salah seorang figur paling important dalam sejarah hidup manusia, sehingga bahkan setelah ribuan tahun pun, di suatu tempat nun jauh yang Ayub tidak pernah dengar — yaitu Kelapa Gading — hari ini ada 300 orang merenungkan, mendengarkan, dan belajar dari cerita hidupnya, dan bukan di tempat ini saja, tapi di mana-mana sepanjang zaman! Ya, benar Setan diberikan ruang untuk melakukan kejahatan; Tuhan membenci kejahatan dan penderitaan, tetapi Dia mengizinkannya, karena Dia mengizinkan itu dalam suatu cara tertentu, batas tertentu, sedemikian sehingga kejahatan itu justru malah benar-benar membalikkan rencana awal Setan.
Ini sesuai dengan yang kita bicarakan dalam kebaktian awal tahun bahwa kematian itu tidak natural. Waktu itu selesai kebaktian, ada orang bertanya: “Kalau kematian benar tidak natural, mengapa Allah mengizinkan kematian itu tetap ada? Waktu kita sudah jadi orang Kristen, hidup dalam Tuhan, mengapa harus tetap mati?” Jawabannya, karena itulah yang namanya kemenangan mutlak! Kemenangan bukanlah ketika Saudara cukup kuat untuk menghentikan sesuatu, tapi ketika Saudara berkuasa untuk men-transformasi sesuatu, mengubah yang tadinya kematian menjadi jalan untuk kehidupan. Justru dalam merenungkan kematian kita belajar artinya hidup yang beres. Kita bukan saja melihat ini jelas dalam Kitab Ayub, tapi kembali pada jemaat Smirna, di ayat 10 Allah mengatakan, “Jangan takut pada apa yang membuat kamu harus menderita”, mengapa? “Sesunggunya Iblis akan melemparkan kamu ke penjara, kamu akan beroleh kesusahan, hendaklah engkau setia sampai mati!” tapi setelah itu apa? “Lihat, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu makhkota kehidupan.” Transformasi. Tuhan mengizinkan penderitaan, memberi ruang kepada Setan, hanyalah sebatas setan itu ujungnya akan mengalahkan dirinya sendiri. Tapi ini berarti apa buat kita?
Yang pertama, bahwa Tuhan bekerja dalam kita pun kira-kira seperti itu, Dia memang akan mengizinkan kejahatan dan penderitaan terjadi dalam hidup kita, tapi itu tidak berarti Dia menginginkannya. Itu adalah karena penderitaan sebatas yang Dia izinkan itu, justru membuat Saudara jadi orang yang besar, mulia. Ini bagian yang lebih enak untuk didengar; tapi ada bagian berikutnya, yaitu kita tahu semua hal ini terjadi tanpa Ayub pernah mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan “mengapa”. Kita bisa lihat juga pada jemaat Smirna, bahkan mungkin lebih sakit, karena Dia mengatakan: “Aku tahu kesusahanmu. Aku tahu ada orang-orang yang menyebut dirinya orang Yahudi tapi bukan. Aku tahu Iblis akan mencobai kamu. Aku tahu kamu akan dilempar ke penjara”; tapi kalau Saudara sebagai jemaat Smirna, Saudara akan mengatakan: “Oke, Tuhan, saya tidak peduli Engkau tahu atau tidak, tapi mengapa ini terjadi itu yang paling penting! Beritahu saya”, dan Tuhan tidak beritahu, sama seperti waktu Dia berhadapan dengan Ayub. Di akhir Kitab Ayub, waktu Tuhan menjumpai Ayub, Dia tidak pernah sama sekali menyentuh bagian “mengapa” ini. Malah apa yang Ayub dapat dari Tuhan? Yang ia dapatkan kalimat pertamanya (Ayb 38): Maka dari dalam badai Tuhan menjawab, “Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan.” Saudara, ini makanan yang sangat keras untuk kita terima. Di satu sisi jawaban dari dunia tidak bisa dipegang; orang moralis mengatakan begini, orang sekular mengatakan begitu, dua-dua jawabannya tidak valid dan dalam jawaban tersebut sebenarnya keduanya sedang menempatkan diri sebagai pemegang kontrol. Mereka mengatakan: “semua hidup itu random, tidak ada ujungnya, tidak ada pangkalnya, tidak ada tujuannya”, karena dengan begitu mereka bisa mengatakan, “Jadi, hiduplah seenak jidat, tidak ada Tuhan koq. Kamu tidak hutang apa-apa pada Tuhan, buktinya lihat, penderitaan begitu banyak. Tidak ada Tuhan, hiduplah sebagaimana kamu mau!” Tapi, orang moralis sama juga, mereka berkata: “lakukan ini lakukan itu, maka Tuhan akan memberkati kamu”, artinya juga pegang kontrol karena dengan demikian suatu hari kalau menderita, mereka merasa bisa berhak untuk mengatakan kepada Tuhan, “Tuhan, mengapa?! Bukankah aku sudah ini, ini, dan ini?” Di kitab Matius ada orang-orang yang menghadapi akhir zaman berkata, “Tuhan, Tuhan, bukankah aku sudah mengusir setan demi nama-Mu? Bukankah aku sudah bernubuat demi nama-Mu? Bukankah aku sudah mengadakan mujizat demi nama-Mu?” tapi, yang Tuhan katakan kepada mereka: “Enyahlah kamu, Aku tidak pernah mengenal engkau”. Mengerikan sekali.
Apa jawaban Alkitab? Jawaban Alkitab adalah kamu harus melayani Tuhan meski sampai akhirnya pun tidak pernah tahu jawaban dari pertanyaan “mengapa”, seperti Ayub. Karena kalau engkau berpegang pada misteri ini, berarti engkau mempertahankan relasi dengan Allah, yang tidak bisa dikontrol. Itulah hal yang sejati. Jadi yang pertama, yaitu bahwa Alkitab memanggil kita untuk menghindari jawaban-jawaban yang reduksional; dan Alkitab memanggil kita untuk menyadari bahwa seringkali kita tidak bisa tahu alasan dari penderitaan karena kita manusia bukan Tuhan dan memang cara kerja Tuhan seperti itu. Tapi bukan berhenti sampai di sini, ada panggilan kedua yang Alkitab berikan untuk kita juga melihat — dan menerima dengan sukacita — bahwa kita bukan cuma tidak bisa tahu alasan dari penderitaan tapi juga kita tidak perlu tahu.
Kita melihat kembali kasus Ayub. Tuhan mengatakan di awal, “Lihat Ayub, Ayub itu takut akan Aku, ia melayani-Ku”; mendengar itu, Setan langsung jawab, “Tidak, ia tidak mencintai-Mu demi diri-Mu sendiri, ia tidak mencintai-Mu apa adanya tapi mencintai-Mu ada apanya, ada maunya. Ia mencintai-Mu karena hal-hal yang ia terima dari Engkau, barang-barang itu yang ia cintai; uang, status, kejayaan. Ia tidak mencintai-Mu, Tuhan, at least ia tidak mencintaimu untuk Diri-Mu sendiri.” Melihat hal ini, kita musti mengakui satu hal, yang Setan katakan ada benarnya karena kalimat Setan itu berhasil menempatkan telunjuk persis di tengah-tengah problem yang paling dihadapi manusia, dan kita. Mungkin kita bertemu orang yang super friendly, tapi begitu ia lihat Saudara tidak akan mengikuti keinginannya, orang itu langsung meninggalkan Saudara; atau waktu Saudara pacaran, begitu ada susah sedikit langsung ia mundur dan pergi, ia baik cuma waktu segala sesuatu baik-baik saja, itu berarti apa? Berarti kita ditemani atau dicintai bukan untuk diri kita sendiri tapi untuk sesuatu “itu” yang ia pikir bisa dapatkan kalau berhubungan dengan kita. Setan tersenyum ketika melihat manusia berlaku seperti ini. Waktu Saudara digituin, Saudara akan merasa “saya ini orang koq tidak dianggap orang, ya? Saya dianggap obeng kali yang bisa dipakai buat apa yang ia mau”, itu dehumanisasi. Sebaliknya, orang yang mencintai dengan gaya “udang di balik batu” sebenarnya juga dehumanisasi, manusia yang mencintai kalau ada maunya saja itu manusia rendahan. Ini dua sisi dehumanisasi.
Waktu Setan melihat orang, yang katanya mencintai Tuhan, responnya simple: “Bah! Lu tidak mencintai Tuhan, lu cuma sedang mencintai Tuhan demi dirimu!”. Satu contoh lagi, waktu awal pacaran, hampir semua orang berhubungan dengan gaya “udang di balik batu”, saudara mungkin cuma tahu wajahnya setelah di-make up 12 jam tapi tidak tahu waktu baru bangun jam 5 pagi. Lalu waktu menikah seringkali baru kita tahu orangnya seperti itu, maka setelah honeymoon period berlalu semua jadi aneh. Tapi, semua pasangan harus belajar hal ini, belajar berpindah dari hubungan yang cuma “udang di balik batu” menjadi benar-benar mencintai “batunya”; dan satu-satunya cara adalah ketika terjadi rasa tidak enak, kekecewaan — dengan kata lain — penderitaan. Maka kalau kita mau benar-benar jadi manusia, kalau kita tidak mau dehumanisasi, kalau kita tidak mau jadi orang yang cuma meng-eksploitasi orang lain, kalau kita tidak mau capable untuk menerima tapi tidak bisa memberi, maka kita harus belajar untuk mencintai Tuhan demi Tuhan sendiri.
Pada kasus Ayub, tuduhan Setan terhadap Ayub — bahwa ia tidak mencintai Tuhan demi Tuhan sendiri — benar atau tidak? Jawabannya: ya dan tidak. Karena, kalau kita lihat cuma sampai bagian akhir pasal 1 Ayub sudah kehilangan semua miliknya tapi belum kehilangan kesehatannya, yang terjadi — more or less — Ayub tetap menang. Intinya ronde pertama ini berakhir dengan Ayub “satu” dan Setan “nol”. Tapi masuk lebih lanjut, memang Ayub tidak merasa Tuhan tidak adil, Ayub tidak memikirkan seperti itu, tapi kesalahannya adalah: ia merasa diri berhak menuntut Tuhan memberi penjelasan “mengapa”. Ini problem-nya Ayub. Saudara bisa melihat balance-nya; Ayub bukan sepenuhnya self centered, ia bukan orang mentalitas upahan, ia orang yang mencintai Tuhan karena setelah kehilangan semuanya yang ia lakukan adalah sujud menyembah dan mengatakan “semua hal ini tidak penting, yang paling penting adalah Tuhan”. Tapi ternyata Ayub belum belajar untuk mencintai Tuhan hanya demi Tuhan sendiri, karena ia masih menuntut: “Mengapa? Itu saya musti tahu; Tuhan saya berhak untuk tahu mengapa.” Dan itu berarti Ayub mencintai Tuhan sejauh dan sebatas ia bisa mengerti, mengapa ia menderita. Ini belum mencintai sungguh-sungguh. Jelas ia bukan mencintai Tuhan demi kemakmuran, tapi ia juga belum belajar 100 % untuk mencintai Tuhan apa adanya demi Tuhan sendiri. Maka, perhatikan kalimat ini, satu-satunya cara untuk Tuhan membuat Ayub bisa mencintai Dia demi Diri-Nya sendiri adalah dengan membuat Ayub menderita tanpa mengetahui ‘mengapa’.
Mengapa kita seringkali tidak perlu tahu? Waktu menderita, yang kita katakan sama seperti Ayub, “Tuhan saya rela menderita selama saya tahu mengapa!” Kita ingin ada orang yang datang dan bicara, “O, gini lho, hari ini kamu menderita, tapi ketahuilah, 5 tahun dari sekarang …”, jika demikian kita sedang melayani Tuhan demi pengetahuan itu, bukan demi Tuhan sendiri, tapi demi hal-hal yang Tuhan bisa bawakan lewat penderitaan. Maka logis, satu-satunya jalan belajar mencintai Tuhan demi Diri-Nya sendiri dan bukan hal-hal yang Tuhan bisa bawa, adalah situasi ketika melayani Tuhan tidak membawa apa-apa untuk kita, bahkan, justru membawa kepada hal-hal yang negatif, bikin hidup lebih susah. Ini terdengar ekstrim? Tidak. Karena kalau bandingkan dengan hidup kita sendiri, kita sudah belajar ini. Kalau waktu pacaran, susah sedikit saja pacar minta putus, kita akan katakan: “Jangan kawin sama orang kayak gitu, baru susah sedikit sudah minta putus”. Dalam pacaran, menikah, pasti ada kalimat “koq hidup gua jadi tambah susah ya”, tapi yang penting setelah itu responnya apa? Kalau membuat orang mundur, jelas ia tidak mencintai dirimu demi dirimu sendiri tapi demi hidup yang lebih nyaman, dan itu berarti cintanya tidak genuine. Itu sebabnya sering ada penderitaan yang kita tidak boleh tahu alasan di baliknya, tidak boleh ada jawabannya, supaya Saudara dibentuk untuk benar-benar mengasihi Tuhan demi Tuhan.
Kalau kita tidak mau jadi manipulator, tidak mau jadi orang Kristen sebatas ada mujizat atau kesembuhan, maka caranya dengan merelakan diri masuk dalam penderitaan tanpa mengetahui “mengapa”. Bukan cuma kita harus menghindari jawaban yang reduksional, bukan cuma kita sedang berurusan dengan Allah yang kita tidak bisa kontrol, tapi kita juga harus aktif menerima dengan sukacita bahwa kita seringkali tidak perlu tahu “mengapa”.
Setan itu sinis terhadap kasih. Ketika mendengar Tuhan mengatakan, “Ya, ia mengasihi Aku”, kita bisa bayangkan Setan mencibir, memutar bola matanya, “Cinta? Cuihh… Kalian tidak saling mencintai, kalian sedang saling memanfaatkan”. Tapi Tuhan berkata, “Aku hendak menciptakan orang-orang yang mencintai-Ku apa adanya.” Dalam karya C.S. Lewis “Screwtape Letters” (ceritanya tentang setan senior mengajarkan setan yunior cara untuk menjatuhkan orang) salah satu bagian yang paling sering dikutip yaitu setan senior mengatakan bahwa Si Musuh itu –Tuhan maksudnya — seringkali menempatkan murid-murid-Nya dalam penderitaan adalah karena Dia pikir, dengan cara itu Dia bisa mengubah mereka menjadi “free lovers”, orang-orang yang mencintai dengan bebas.
Bagaimana caranya supaya kita bisa menghadapi penderitaan kalau bukan dengan mengetahui? Lihat contoh dari Ayub (ayat 20-21), ada 2 hal menarik di bagian ini, yang satu kita bisa lihat jelas pada kalimat yang belakang, dan satu lagi kalimat yang depan yang seringkali kita tidak lihat yaitu ada realisme di sini. Kita sering baca ayat ini dengan nada yang salah, pembawaanya yang salah, akhirnya “arti”-nya bisa salah juga, seolah Ayub itu stoik, tidak ada emosi. Kita membacanya begini (dengan nada tenang): “Maka, berdirilah Ayub, dengan tenang; lalu mengoyak jubahnya, pelan-pelan; dan mencukur kepalanya, dengan santai; kemudian sujudlah ia dan menyembah”. Aslinya tidak seperti itu; kata “sujud” dalam bahasa aslinya lebih menunjukkan orang yang jatuh, menjatuhkan diri. Ini bagian yang real sekali, orang yang mengalami hal seperti Ayub yang akan ia lakukan adalah “ia mengoyak jubahnya … ia berdiri, ia mungkin berteriak … ia mencukur kepalanya … lalu jatuh ke tanah! … tapi, kemudian sujud menyembah”. Poin-nya ada pada kalimat akhir ini, bagian ini shocking buat para pendengar pertama karena Ayub begini dan begitu, sampai kemudian ia jatuh ke bawah… dan, ia menyembah, ia berkata: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" Yang lebih menarik lagi, dikatakan: “Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa” (ayat 21).
Ini satu hal yang important, karena dalam mengalami dan meresponi penderitaan, apa yang harus kita lakukan? Yang pertama adalah kita harus meratap. Seringkali orang Kristen memberi jawaban “kalau menderita, ya sudah, stoik saja, terima saja, menangis cuma boleh nitik, tidak boleh meraung”, itu juga sebabnya kita sering membaca bagian ayat 20 tadi dengan nada super datar; mungkin sesekali kita boleh membahas “the lost of lamentation” dalam kultur kita. Kristus pun lament, waktu menghadapi Lazarus yang meninggal, Ia tahu Lazarus akan dibangkitkan, dan Ia tidak mengatakan, ”Tenang ya, sebentar lagi, tenang … “, tapi di situ dikatakan, dalam bahasa aslinya, Ia menjadi begitu marah waktu melihat kematian. Tuhan kita adalah Allah yang juga lament. Tapi lamentasi yang seperti apa? Lamentasi yang berpegang teguh pada teologi anugerah. Biasanya salah satu, orang yang pegang teologi anugerah tidak mau emosional, tidak mau meng-ekspresikan, yang lainnya emosional tapi tidak berpegang teologi anugerah. Ayub tidak mengatakan, “Ya, ini semua milik-Mu dan Kamu berhak mengambilnya”, tapi ia katakan, “dengan telanjang”, artinya naked, funerable, helpless, semua yang saya punya dari Tuhan. Ini penting, karena bayangkan Saudara mendirikan hidup di atas uang, kemakmuran, istri, anak, bukan Tuhan — dan yang namanya panderitaan adalah mengambil hal-hal yang penting dalam hidup Saudara ini — maka begitu ini hancur, Saudara akan terpuruk. Tapi mengapa Ayub tidak begitu? Karena mendirikan hidupnya di atas dasar TUHAN. Ini tidak berarti ia tidak boleh senang waktu punya uang, atau punya anak; tapi meski ada hal-hal ini semua, ia mendasarkan dirinya di bawah Tuhan sehingga ketika semua ini diambil oleh penderitaan — karena penderitaan cuma bisa ambil yang ini, tidak bisa ambil Tuhan — ia justru makin melihat dengan jelas Tuhan-nya seperti apa, melihat dengan jelas Sumber sukacita yang asli. Bangun hidup di atas hal-hal yang bukan Tuhan, semakin menderita akan semakin gila; bangun hidup yang di atas Tuhan, semakin menderita justru semakin bisa bersukacita. Ini yang amazing. Penderitaan justru dipakai untuk membuat kita lebih mengerti lagi Siapa Tuhan kita, kalau kita mendasari diri di situ.
Kita secara teori sekarang bisa mengerti, tapi bagaimana ketika penderitaan benar-benar datang? Setan berkata “penderitaan ini karena kamu tidak cukup baik” atau “penderitaan ini adalah bukti bahwa Allahmu tidak ada”; sedangkan Tuhan berkata “penderitaan ini adalah untuk kamu justru mendapat kemuliaan yang lebih tinggi”. Yang mana Saudara akan percaya? Saudara bisa katakan, “Saya sudah mengerti tadi kamu ngomong apa, bahwa kita tidak harus mengerti jawaban ‘mengapa’. Ya, OK, fine. Tapi kalau begitu, saya perlu sesuatu yang lain!”. Exactly! Itu yang saya ingin tutup dengan hal ini, kita perlu sesuatu yang lain.
Jawaban yang paling mutlak mengapa kita tidak perlu mengetahui “mengapa” kita menderita, adalah karena ada hal lain yang kita lebih perlu. Waktu Setan datang kepada Tuhan, ia katakan: “Tuhan, Ayub itu begini lho… “, itu kalimat pernah muncul di mana? Di Taman Eden, ketika Setan bukan mendatangi Tuhan melainkan Adam dan Hawa, mendatangi kita. Waktu Setan datang kepada Tuhan mengatakan “Tuhan, dia tidak begitu sebenarnya”, Tuhan tidak peduli, tidak dengarkan. Tapi waktu Setan datang ke kita dan mengatakan “Tuhan itu sebenarnya begini lho, Tuhan tidak mau kamu jadi seperti Dia, Dia tidak rela”, apa yang terjadi? Ketika Setan membawakan bad report mengenai diri kita, yang ada benarnya, Tuhan tidak percaya. Ketika Setan datang ke kita membawakan bad report mengenai Tuhan, yang tidak ada kebenarannya sama sekali, kita percaya. Itulah problem sesungguhnya, ini kebohongan yang ada dalam hati kita yang membuat kita tidak bisa handle penderitaan. Karena kita tidak percaya Tuhan benar-benar mengasihi kita.
Hal yang paling kita perlu bukan jawaban “mengapa” kita menderita, yang kita perlu adalah bukti yang seyakin-yakinnya — seperti kita yakin bahwa kita punya tangan kanan dan tangan kiri — bahwa Allah dari alam semesta ini mengasihi saya! Itulah hal yang lain yang kita perlu untuk bisa mengarungi lembah kekelaman. Bukan harus tahu mengapa harus ada lembah kekelaman, tapi tahu bahwa ada gada dan tongkat Tuhan yang menyertai kita tanpa terkecuali; itu yang paling penting! Setan itu pembohong; kita tahu dari mana?
Jawabannya ada di yang Tuhan katakan kepada jemaat Smirna “Inilah firman dari Yang Awal dan Yang Akhir, yang telah mati dan hidup kembali”; karena beratus-ratus tahun setelah Ayub, Setan kembali menyerang Seseorang yang lain, Seseorang yang menderita meski Ia benar, Seseorang yang mati dengan telanjang. Seorang yang sama seperti Ayub bertanya “mengapa” dan tidak ada jawaban, Orang yang ini mengatakan, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa?” dan tidak ada jawaban, yaitu Tuhan kita. Tapi ada perbedaannya, meski Ayub dikatakan orang benar, kitab Ayub menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya benar; sedangkan Kristus, Dia satu-satunya orang yang menderita meskipun Dia tanpa dosa. Ayub tidak sungguh-sungguh ditinggalkan Tuhan karena di bagian belakang “Tuhan menjawab Ayub dari dalam badai”, tapi Kristus sungguh mengalami Tuhan yang diam. Waktu Abraham bawa anaknya naik ke Gunung Moria dan akan menghujamkan belatinya, ada yang angkat bicara — Bapa di sorga — sehingga Ishak diselamatkan. Tapi waktu Allah Bapa menggiring Anak-Nya naik ke atas Bukit Golgota, ke atas kayu salib, Allah Bapa tinggal diam, dan Kristus tidak mendapatkan jawaban. Buat apa Dia lakukan semua ini? Kemuliaan? Ia sudah punya. Untuk mendapatkan apa yang Dia tidak punya sebelumnya? Kita; Saudara dan saya. Itulah buktinya. Bukti itu yang kita perlukan. Bukti yang membuktikan bahwa Setan pembohong. Bukti yang membuktikan bahwa Tuhan Yesus adalah satu-satunya yang melayani Tuhan apa adanya dan Ia melakukan semua itu untuk kita. Ayub di akhir hidupnya dilipat-gandakan hartanya, tapi apa yang Tuhan dapat waktu Dia menebus kita? Orang-orang yang merepotkan, yang tidak becus, yang tidak ada apa-apanya ini, yang meskipun hari ini sudah dengar bahwa kita tidak perlu tahu “mengapa” tapi someday nanti waktu menderita, kita akan tetap minta itu dari Tuhan. Dia tahu semua itu dan Dia tetap mati buat kita. Itulah buktinya.
Maka, sekarang kita bisa mengatakan “pergilah dan lakukanlah, cintailah Tuhan apa adanya”. Mengapa kita bisa mengatakan ini? Karena kita sudah mengatakan sebelumnya, “Tuhan sudah mencintaimu apa adanya”. Itu bukti yang Saudara perlu.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS).
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading