32 tahun yang lalu saya mendengar bagian ini diungkapkan, dijelaskan di dalam sebuah gereja, waktu saya masih berusia 8 tahun, itu hari. Dan sampai ini hari saya tidak mendapatkan kesempatan untuk mempraktekkan, mengaplikasikan Firman Tuhan ini. Berbahagialah mereka yang mendengar Firman Tuhan dan tekun melaksanakannya.
Apakah bagian ini artinya adalah: kalau kamu lihat orang di tepi jalan lalu kemudian dia butuh pertolongan, kamu harus tolong walalupun kamu sedang kepepet waktu. Kita seringkali memakai hermeneutika “Monkey see, monkey do” untuk kita mengartikan bagian-bagian apapun di dalam Alkitab. Tapi jangan-jangan juga nggak semua bagian berlaku “Monkey see, monkey do”. Artinya kita harus memperhatikan bukan hanya teks tapi juga konteksnya. Artinya kita tidak hanya bertanya ceritanya apa dan bagaimana saya bisa terapkan cerita itu. Tapi kita boleh bertanya juga, cerita ini muncul di dalam situasi bagaimana dan artinya apa bagi kita dalam situasi kita yang mungkin berbeda.
Cerita ini muncul pada sebuah situasi di mana seorang ahli Taurat bertanya untuk mencobai Yesus. Apa yang dia tanya? Sebuah pertanyaan yang walaupun sudah dibahas berkali-kali tetapi masih hot saja. “Guru, apa yang harus ku perbuat untuk aku memperoleh hidup yang kekal?”. Si ahli Taurat ini bertanya sebagai orang Yahudi, jadi dia tidak sedang bertanya: “Guru, bagaimana caranya supaya saya mendapatkan Beatific Vision? Bagaimana caranya supaya saya bisa melihat wajah Allah dan tenang di sana selama kekekalan, di dalam suatu keadaan yang tidak akan berakhir. Tidak ada waktu di sana. Saya akan bermeditasi melihat wajah Allah selama-lamanya.” Bukan itu pertanyaannya. Karena orang Yahudi sangat menghargai waktu. Karena orang Yahudi sangat menghargai sejarah, dia sangat menghargai temporaritas dan kefanaan kita, dia sangat menghargai kemakhlukan keterbatasan kita. Yesus menjawab: “Apa yang tertulis dalam Taurat?. Dan kemudian orang itu mengatakan: Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu, dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Dan Yesus mengatakan: “Jawabmu itu benar”. Ini adalah langkah-langkah pembukaan. Real issuenya baru muncul kemudian, sewaktu kemudian Yesus closing stage pertama dengan: “Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup”. Maka untuk membenarkan dirinya, orang itu kemudian mengajukan isu yang lebih penting, yang lebih krusial di situ, yang lebih rumit. Dia bilang: “Tetapi masalahnya siapakah sesamaku manusia?” Kalau cuma ditanya apa yang paling penting dalam Torah, bagaimana untuk memperkenan Tuhan, ya anak kecil semua tahu Heidelberg Catechism, Westminster Catechism. Semua orang tahu itu. Jawabannya: Kasihi Tuhan Allahmu, kasihi orang lain. Selesai. Tapi problemnya bagaimana menerapkan itu dalam situasi kita yang rumit ini. Karena kita ini pertama-tama, ada perbedaan toh antara umat Tuhan dan bukan umat Tuhan. Pertama-tama ada perbedaan toh antara orang yang (kalau sebagai orang Injili kita bisa pahami) sudah lahir baru sama tidak. Kan ada beda toh antara orang yang diperintah oleh Injil dan orang yang harus dipaksa sama pedang. Lalu kemudian apa jawab Yesus? Dia menjawab dengan sebuah perumpamaan.
Perumpamaannya di dalam dua contoh. Contoh yang pertama: Yesus kemudian mengajukan case dari seorang Yahudi yang butuh pertolongan, dan kemudian ada muncul dua kandidat penolong yang juga orang Yahudi. Jadi ini adalah semacam case yang pertama. “Kalau kamu tanya siapakah sesamaku manusia dan saya kasih case ini, kira-kira jawabannya apa?”. Jawabannya adalah: “Tentu saja, sesama orang Yahudi adalah sesama kita, sesama orang Yahudi harus kita kasihi seperti diri sendiri. Kalau orang bukan Yahudi, boleh nggak kita kasihi?. Oh, boleh tapi mungkin tidak perlu sampai satu eksten seperti diri sendiri. Kita harus kasih garis batas. So, pertanyaan yang sudah lebih rumit, dan kemudian Yesus kasih jawaban, Dia demonstrasikan dirinya. Dia ngerti pakemnya. Jadi pakemnya adalah: “Kalau orang Yahudi, gimana menurut kamu, sesama kamu bukan?”. Oh, of course orang Yahudi itu sesama saya. Jadi untuk dua contoh yang pertama orang itu tidak terkejut sama sekali, manggut-manggut. So far so good. Tetapi kemudian Yesus kasih contoh yang ketiga. Kemudian Dia mengatakan: “Muncul seorang Samaria. Seorang Samaria yang sedang dalam perjalanan ke tempat itu. Bukan kebetulan lewat, tapi memang lagi mau ke sana. Lalu kemudian orang Samaria itu lihat orang itu, eh, dia tidak tolong. Dia bukan lewatin seperti orang Yahudi itu lakukan. Dia tolongin orang itu.
Poin yang pertama: perkara menolong orang di hari Sabat. Memang sih, tidak diceritakan ini di hari Sabat. Tetapi kita bisa ambil case ini untuk menggarisbawahi seperti apa orang Yahudi melihat urusan menolong manusia. Kalau dia orang Yahudi, dia sesamamu; walaupun itu hari Sabat, kamu harus tolong orang itu. Karena Musa mengatakan, bahkan keledainya orang Yahudi nyemplung sumur di hari Sabat, kamu harus nggak boleh pura-pura nggak tahu, kamu harus tolongin itu keledai, apalagi orangnya, bukan?. Tapi kalau itu bukan orang Yahudi, kamu nggak punya kewajiban, bahkan kamu diikat oleh hari Sabatnya itu, kamu nggak boleh kerja, kamu nggak boleh tolongin.
Poin yang kedua. Siapakah orang Samaria? Penghuni daripada daerah Samaria adalah kemungkinan besar mereka-mereka yang masih punya campuran darah Abraham, Ishak dan Yakub. Penduduk Samaria sebagian adalah hasil kawin campur daripada orang-orang sisa-sisa daripada kerajaan Israel dengan orang-orang lain yang sama-sama ditaklukkan oleh Kerajaan Asiria. Pada waktu Asiria menghancurkan Kerajaan Israel, mereka bikin imigrasi. Orang dipindahkan dari daerahnya. Dan itu memicu kemudian orang akhirnya kawin campur dengan penduduk setempat dan akhirnya tidak ada kebudayaan asali yang kemudian bisa langgeng. Jadi orang-orang yang dijajah oleh Asiria akan mengalami krisis identitas, krisis kebudayaan karena mereka dicabut dari akar mereka, diserakkan, diceraiberaikan. Dan itu kemudian dialami oleh orang-orang yang tinggal di Samaria. Orang-orang yang tinggal di Samaria somehow masih ada bekas-bekas agama yang mirip-mirip sama yang disembah di Yerusalem. Jadi somehow mereka kadang-kadang masih simpati datang ke Yerusalem, datang ke bait Suci yang dibangun sama Herodes di zaman Yesus. Tetapi mereka tidak akan pernah diterima sama orang Yahudi. Orang Yahudi itu benci banget sama orang Samaria. Sama seperti kita mungkin lebih benci sama orang dekat yang pernah mengkhianati kita, atau yang pernah ada sejarah kelam sama kita, ketimbang orang yang baru kenal atau nggak kenal sama sekali. Biasanya suku bangsa dan suku bangsa yang saling membenci itu ada sejarah bersama dan kadang-kadang itu adalah sibling. Dan cerita sibling yang saling berantem, musuh bebuyutan, sampai ke tulang sumsum bencinya, itu adalah sesuatu yang ada di mana-mana di dalam Alkitab. Kita melihat Kain dan Habel, Esau dan Yakub, Ismael dan Ishak, kita melihat ada banyak contoh-contoh yang lain, dan salah satunya adalah penduduk Samaria dan penduduk Yerusalem. Orang-orang bekas daerah Kerajaan Israel dan orang-orang bekas kerajaan Yehuda. Mereka itu bermusuhan. Tentu musuhan bukan berarti nggak pernah bersekutu. Tetapi penduduk Yerusalem, orang-orang yang mengatakan dirinya sebagai keturunan Yehuda, orang Yahudi ini benci sama orang Samaria dan memandang rendah orang Samaria. Jadi orang Samaria jelas bukan sesama. Jadi kira-kira si ahli Taurat ini akan bilang “Tentu saja sesama, kita kan bukan orang Samaria toh”. Tapi dia sebelum ngomong begitu, Yesus sudah duluan kasih perumpamaan ini.
Dalam perumpamaan contoh yang ketiga ini, apa yang sebetulnya ingin disampaikan oleh Yesus? Saya kira poin Dia adalah ini: “Pertanyaanmu salah, hai ahli Taurat.” Pertanyaannya Dia ganti dengan ayat ke 36. “Jadi menurut pendapatmu, siapakah yang adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Bukan orang Yahudi.
Ini yang saya sebut sebagai decentering. Decentering ini terjadi pada saat kita melihat proses yang terjadi pada Geosentris berubah menjadi Heliosentris (pandangan kosmologis). Tetapi pada saat awal paradigma yang baru itu diberikan, itu nggak gampang diterima. Itu sangat sulit diterima. Karena ada proses decentering. Tidak lagi di pusat. Dan Yesus melakukan decentering ini. Kalau orang Yahudi nggak lagi di pusat, maka gimana dong nasib kita? Orang Yahudi selalu merasa mereka ada di pusat dunia. Mereka adalah pusat dari sejarah. Karena mereka keturunan Abraham. Nggak ada yang bisa hapus bahwa orang Yahudi keturunan Yehuda. Nggak ada yang bisa hapus Yehuda keturunan Abraham. Jadi tidak ada yang bisa hapus kenyataan orang Yahudi umat Tuhan. Benar apa salah? Salah. Karena yang disebut sebagai umat Tuhan, yang disebut sebagai Israel, bukan tentu adalah keturunan dari Yakub, bukan tentu keturunan daripada Abraham secara biologis. Yang disebut sebagai umat Tuhan, yang disebut sebagai Israel, bukan tentu adalah keturunan dari Yakub, bukan tentu keturunan daripada Abraham secara biologis. Yang disebut anak-anak Israel, yang disebut umat-umat Tuhan adalah orang-orang yang mempunyai iman kepada Allahnya Abraham. Orang-orang percaya, jadi bukan urusan genetika, bukan urusan kebangsaan. Dan ini berat bagi orang Yahudi. Sudah berabad-abad mereka menderita, bayar harga karena itu. Nggak gampang jadi orang Yahudi. Apalagi ketika mereka melihat dosa nenek moyang mereka membikin mereka kalah perang, membikin mereka dibuang sama Tuhan. Sepanjang 1900 tahun lebih bahkan sampai berhentinya mungkin baru pada pertengahan abad 20, setelah perang dunia kedua selesai, orang Yahudi selalu menjadi kambing hitam. Orang Yahudi mengalaminya 2000 tahun lebih. Kenapa mereka alami itu? Karena mereka mau mempertahankan identitas. Kita umat Tuhan. Sekarang Yesus bilang apa? Itu nggak istimewa lagi.
Tidak heran Paulus mengatakan: “Salib itu batu sandungan bagi orang-orang Yahudi”. Karena Salib itu artinya menjadi Yahudi itu tidak istimewa. Yang istimewa adalah kamu beriman kepada Allahnya Abraham. Dan semua orang juga bisa. Kalau gitu buat apa kita bayar harga begitu mahal sepanjang sejarah, bukan?. Itu darah orang-orang Yahudi di belakang itu, ratusan tahun sejak penyerbuan Asiria, bahkan sejak sebelumnya, itu nggak ada harganya dong. Kita mempertahankan iman pada zaman perang Maccabeus, itu semua nggak ada artinya lagi dong. Mereka mempertahankan identitas keYahudian mereka di hadapan orang Persia yang ingin bikin mereka itu jadi Helenis. Jadi nggak ada gunanya itu semua. Berat ketika Yesus mengatakan pintu Kerajaan Surga sudah dibuka. Segala bangsa boleh masuk, tidak perlu agen tunggal orang Yahudi. Apalagi lebih berat lagi ketika Yesus membalikkan pertanyaan yang sangat rasis itu. “Jadi siapakah sesamaku manusia?” Jadi si ahli Taurat ini tanya: “Memangnya, sesama itu yang di luar itu juga sesama?”. Tuhan Yesus bilang “pertanyaannya salah, karena kamu mulai dari dirimu sendiri “Siapakah sesamaku manusia?”. Mustinya kamu mulai dari: Tuhan. Pertanyaannya Yesus dimulai dari Tuhan. Tuhan menciptakan langit dan bumi. Tuhan menciptakan anak-anak manusia. Tuhan bekerja dalam sejarah. Lalu kemudian di dalam pemeliharaan Tuhan, terjadi sesuatu peristiwa begini, lalu kemudian ada orang Yahudi, orang yang kebetulan Yahudi terkapar di sana butuh pertolongan. Lalu kemudian Tuhan kirim orang Samaria itu. Dia digerakkan oleh belas kasihan, sama sekali nggak ada urusan dengan ras dia. Dan dia tolong orang itu. “Siapa yang lebih Yahudi?. Siapa yang lebih taat kepada Tuhan?. Siapa yang lebih cinta kepada Tuhan dengan segenap hati, segenap kekuatan, segenap diri, dan mengasihi orang lain seperti dirinya sendiri? Siapa yang lebih menjalankan panggilannya orang Yahudi?”. Dan orang Yahudi itu mingkem. Konklusi logisnya tentu saja: orang yang menunjukkan belas kasihan itu. Siapa dia? Orang Samaria. Dan Yesus kemudian closing dengan “Pergilah dan perbuatlah demikian”, closing yang sama seperti perjumpaan yang pertama. Kita seringkali bertanya bukan karena kita nggak tahu. Kita sudah tahu, cuma kita nggak mau membayar harganya. Karena harganya adalah decentering. Dalam hal ini, being Jews no longer special. Orang Yahudi bukan pusat sejarah lagi. Bukan orang penting lagi. Tidak istimewa lagi, karena orang lain juga bisa jadi pemain dalam sejarah. Orang lain juga istimewa di hadapan Tuhan. Orang lain juga anak-anak Tuhan.
Apa yang mereka bayar sebenarnya? Yang mereka bayar adalah konsekuensi dosa mereka, bukan iuran supaya tetap jadi bangsa istimewa. Jadi mereka bayar ketidaktaatan, upah atas ketidaktaatan, sama sekali bukan satu harga untuk mereka punya hak menjadi tetap istimewa. Jadi itu yang pertama, decentering.
Pertanyaannya bukan “Siapa sesamaku?” Pertanyaannya ini bisa diterjemahkan begini: “Apa yang harus aku lakukan ya Tuhan untuk mengubah dunia ini?. Kata Tuhan: “Bukan kamu yang akan mengubah dunia.” Tuhan tidak butuh kita. Jadi, bukan kita yang akan mengubah dunia. Bukan kita yang akan menjadi Juruselamat dari sejarah. Bukan kita yang akan menjadi Juruselamat Indonesia. Tuhan yang sedang bekerja. Tuhan yang sedang menyelamatkan dan Dia sudah sedang melakukannya.
Dalam konteks kita mengenang hari reformasi, saya rasa salah kalau kita memahami Luther itu sedang melakukan sesuatu one man show. Cardinal Jiménez dari Spanyol yang mati pada hari Luther memakukan 95 thesisnya, sudah mengusahakan reformasi itu puluhan tahun di Spanyol. Dan dia mendapatkan resistensi. Dan dia mencapai apa yang Tuhan izinkan dia bisa capai. Dia tidak mencapai apa yang Tuhan tidak izinkan dia bisa capai. Orang-orang seperti Tyndall, Jan Hus, Wycliffe, orang-orang yang menjadi pendahulu Luther yang lain yang namanya nggak ketahuan. Dan juga jangan lupa Zwingli yang di Zurich sudah melakukan sesuatu dan menghasilkan 67 kesepakatan yang serupa dengan protesnya Luther, yang dia kerjakan bukan dengan mencontek Luther, tapi dia kerjakan sendiri. Sama seperti Isaac Newton; jangan pikir dia dapat wahyu dari langit, lalu kemudian dia satu-satunya yang menemukan kalkulus. Ada Gottfried Leibniz di seberang lautan sana yang menemukan hal yang sama pada waktu yang sama dengan notasi yang berbeda, dalam konteks yang berbeda, tetapi pada waktu yang kira-kira bersamaan.
Tuhan sedang mengerjakan apa yang Dia mau kerjakan. Kita bukan agen tunggalnya. Jadi Martin Luther ketika memakukan 95 thesisnya, dia sadar betul ada Roh Tuhan yang sedang bekerja di antara orang-orang lain. Ada resonansi. Maka dalam waktu seminggu ketika pamflet itu disebarkan, Tuhan sudah siapkan tidak sampai seratus tahun sebelumnya Johannes Gutenberg kemudian menemukan movable typeset, mesin cetak yang dengan gampang bisa diganti-ganti hurufnya dan dengan demikian memfalisitasi penyebaran informasi dengan sangat cepat dan murah. Itu mungkin salah satu sebab Jan Hus dibakar, tapi Martin Luther tidak sampai dimatikan, karena penyebarluasan ide. Dan itu adalah bukti bahwa Tuhan bukan memulai gerakan dari Martin Luther, tapi Tuhan memulai gerakan dari banyak orang, dari banyak konteks. Jadi Luther bukan bertanya” “What must I do, dear Lord?”. Luther mengerjakan bagiannya dan Luther bukan pusatnya. Dan inilah kuncinya, kemudian Luther dipakai Tuhan, karena dia tahu, dia bukan pusatnya. Dan orang Yahudi mungkin dibutakan oleh itu. Karena mereka menutup hati dan mengatakan mereka pusatnya. Padahal Roh Tuhan sedang bekerja giat-giatnya di antara orang-orang bukan Yahudi, di antara-antara orang yang dihina sama orang Yahudi, para pemungut cukai, orang-orang Samaria, perempuan-perempuan berdosa, orang-orang yang nggak masuk hitungan. Kata Tuhan: ”Mereka itulah yang akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah”.
Jadi poin pertama dari decentering adalah: apa yang Yesus lakukan? Kamu jangan mulai pertanyaannya dengan dirimu, mulailah pertanyaannya dengan Tuhan. “Tuhan sedang kerjakan apa?”, bukan: “Aku harus kerjakan apa?”. Tuhan sedang kerjakan sesuatu dalam kasus ini, sehingga orang Samaria itu menunjukkan belas kasihan kepada orang yang butuh pertolongan. Maka pertanyaan Yesus: “Siapakah sesama?”, bukan dari aku yang harus melakukan pertolongan, tapi siapa sesama dari orang yang butuh itu. Jadi kata kerja, “mengasihi” di sini, dipakai kata kerjanya kata kerja aktif, tapi kata kerja pasif. Pertanyaannya bukan mengasihi tapi dikasihi. Subjeknya bukan yang menolong itu, tapi yang ditolong itu. Yang ditolong itu adalah orang Yahudi justru. Jadi orang Yahudi itu yang menantikan pertolongan. Ini tentu tidak fit dengan satu pemikiran kalau orang Yahudi mau jadi pahlawan apa yang harus kami lakukan?. Tidak. Kalau kamu bukan lagi mau jadi pahlawan bagaimana?. Kalau kamu adalah korban di sana, bagaimana? Jawabannya Tuhan: bisa pakai orang Samaria bukan? Karena ini bukanlah solo performance, ini adalah suatu orkestra. Dan dalam orchestra tidak baik kalau setiap pemain berusaha untuk menonjolkan diri. Ini bukan tentang siapa individu jadi hero, ini tentang menghadirkan kemuliaan Allah di bumi, menghadirkan display daripada Kerajaan Allah, kepemimpinan Allah, menghadirkan heaven on earth, sorga di bumi. “Datanglah KerajaanMu ya Tuhan, jadilah kehendakMu di bumi seperti di dalam sorga”. Ada sebutan siapa pahlawannya?
Tuhan yang sedang mengerjakan sesuatu di tengah kita. Dan Dia memakai kita sebagai pemain. Jadi itu adalah sesuatu di mana kita musti tahu kapan kita ada, kapan kita nggak ada. Dan bukan selalu harus ada, dan diperhatikan dan besar; dan ada di tengah-tengah; again decentering.
Yang kedua: sewaktu kita bicara mengenai decentering ini, kita juga melihat bahwa tema ini membawa kita kepada bagaimana kita melihat diri kita di dalam seluruh sejarahNya. Diri kita di dalam sejarahNya ini sebetulnya tidak diperlukan. Seperti Tuhan sebetulnya tidak memerlukan Israel. Demikian Tuhan tidak memerlukan setiap kita. Tuhan bisa memakai apa saja, orang-orang Israel, Daud, Salomo, Rehabeam, dst. Mereka semua, besar dan kecil dipakai oleh Tuhan. Bahkan mereka semua baik dan jahat, dipakai Tuhan. Dan ini membawa kita kepada penghargaan diri yang tepat, yaitu: kerendahan hati. Tahu diri. Penghargaan diri yang tepat adalah ketika kita menyadari diri kita itu tidak diperlukan, kita itu tidak penting-penting amat. Ini sesuatu yang kita harus sadari sebagai konsekuensi daripada terapinya Yesus itu, decentering; membawa kita pada posisi kita yang tepat. Yang menjadi pusat itu Tuhan, bukan manusia. Dan decentering ini bukan sesuatu yang saya kira membuat manusia menjadi tidak penting tapi justru membuat manusia menjadi lebih penting. Karena manusia itu, kepentingannya adalah menjadi manusia.
Zaman modern sangat menghargai “I” yang melakukan perbuatan yang aktif. Tetapi masalahnya manusia itu tidak bisa dalam seumur hidupnya melakukan perbuatan yang aktif. Artinya Tuhan dipermuliakan lewat segala makhluknya, besar dan kecil. All things bright and beautiful, all creatures great and small. Bukan hanya great. So, decentering juga bisa membawa kita kepada kesadaran bahwa kita ini tidak diperlukan dan bahwa menjadi hero dalam segala waktu selain tidak realistis juga menjauhkan kita dari menjadi berguna di dalam Kerajaan Allah. Menjadi berguna dalam Kerajaan Allah bukan terdiri atas kita present saja tapi mungkin kita juga absent dalam kata lain. Matinya kita, jangan-jangan bisa membawa berkah lebih banyak daripada hidupnya kita lebih lanjut. Modern itu sangat berpusat kepada yang aktif dan yang kuat, yang menang, tapi tidak memberi tempat kepada yang kecil dan yang lemah, dan yang menerima. Padahal dalam hidup ini Tuhan bisa pakai semuanya dan Tuhan sudah dan sedang dan masih akan terus pakai semuanya.
So, dalam hidup ini memang ada banyak hal bisa dikerjakan ketika Anda kuat. Tetapi mungkin juga ada banyak hal yang bisa kita kerjakan ketika Anda lemah. Kita seringkali hanya pikir, kalau kita kuat, kita bisa kerjakan sesuatu, tapi kelemahan kita pun kadang bisa kerjakan apa yang kekuatan kita nggak bisa kerjakan. Kita harus meninggalkan ilusi daripada cerita modern dan mulai belajar untuk menjalani cerita Alkitab.
Terakhir, jawaban Yesus secara klasik adalah: “Pergilah dan perbuatlah demikian”. Jadi apa yang kita sudah dengar, sebetulnya kita juga sudah tahu. Apa yang kita barusan dengar, sebetulnya yang paling penting bukan kita tahu tapi yang paling penting adalah kita kerjakan. Ketika kita menghidupinya, mengerjakannya, kita akan turut serta di dalam pekerjaan Tuhan, apa yang Roh Tuhan sedang kerjakan. Dan ingat kalaupun kita tidak mengerjakannya, kalaupun kita tidak pergi dan berbuat demikian, itu bukan berarti Tuhan tidak dipermuliakan, itu bukan berarti pekerjaan Tuhan akan terhambat, itu bukan berarti bahwa Tuhan akan lumpuh, karena kita boikot sehingga operasional Tuhan lumpuh. No, Tuhan tidak bisa dihalang-halangi pekerjaanNya lewat itu. Karena Tuhan tetap mengerjakan dan mencapai apa yang Dia inginkan juga ketika umatNya memberontak. Kita akan terlebih bersyukur kepada Tuhan dan kita akan terlebih mengalami hidup di hadapan wajah Tuhan sebagai kebahagiaan dan bukan sebagai ketakutan, dan bukan sebagai kesia-siaan. Dan kita akan mengalami ini, kita sungguh mengamini bahwa Tuhan tidak meninggalkan umatNya, bahwa Kristus menyertai gerejaNya sampai akhir zaman. Dan kita tidak akan sibuk dengan pertanyaan: “Mengapa Engkau meninggalkanku aku, ya Tuhan?, misalnya. Hanya karena aku tidak terpakai lagi. Kita tidak akan bergulat dengan apa yang mestinya itu bukan pergulatan umat Tuhan. Tapi mestinya kita terima dengan ucapan syukur. Karena kita tahu Tuhan mengerjakan apa yang Dia mau.
Tuhan memberi, memenuhkan dunia dengan kemuliaan lewat segala makhlukNya, besar dan kecil.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (EL).
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading