Kita sudah pernah membahas terkait dengan ayat 12 ini bahwa kehidupan Yesus menjadi lifestyle, menjadi satu kebiasaan, sehingga di dalam kehidupan pelayanan Yesus terus-menerus berada di dalam hubungan yang sangat intim dengan BapaNya. Kita kadang wondering di dalam kehidupan kita, ada saat-saat kita merasa seperti sangat antusias mau melayani Tuhan, sangat antusias mau hidup benar dihadapan Tuhan dsb., tetapi kemudian kita menjumpai akhirnya kita menjadi lesu kembali, akhirnya kita menjadi masuk ke dalam satu kehidupan rutinitas yang akhirnya menenggelamkan kita, kita tidak memiliki spiritual appetite seperti itu lagi, mengapa hal seperti itu terjadi? Lalu kita mulai menyangsikan, apakah doa saya, apakah air mata saya, apakah ucapan janji saya itu memang munafilk atau bagaimana? Kenapa kok tidak bisa tahan lama? Kalau kita membaca di dalam bagian ini jawabannya sederhana sekali, karena seringkali di dalam kehidupan kita, kita tidak menjadikan itu sebagai satu lifestyle, tidak menjadi bagian kehidupan kita yang terus-menerus. Dalam acara KIN 2015 pak Tong sempat singgung beberapa kali tentang manusia yang diciptakan sebagai mahluk yang contingent dan Tuhan incontingent, salah satu contingency manusia yaitu karena dia terus-menerus perlu berdoa dan berhubungan mendapatkan berkat dari Tuhan, tanpa itu dia tidak bisa hidup. Ada orang yang merasa cukup satu kali satu tahun, cukup dengan event-event tertentu dia berdoa dengan sungguh-sungguh, tapi setelah itu kemudian dia masuk ke dalam suam-suam kuku kembali, pelan-pelan mundur lagi dst., itu bukan kehidupan kekristenan. Waktu kita tidak menjaga kehidupan kita dengan ketekunan, kebergantungan kita kepada Tuhan, sikap doa, hubungan kita yang intim dengan Tuhan, mencari wajah Allah, lagi dan lagi, yang terjadi dalam kehidupan kita, akhirnya kita memang akan dibiarkan Tuhan untuk masuk ke dalam kekeringan rohani yang seperti itu. Yesus model untuk kehidupan setiap orang percaya. Banyak orang bukan tidak sungguh-sunguh waktu dia berdoa, tapi kemudian kita tidak melihat banyak impact di dalam kehidupannya atau kalaupun ada impact, itu sebentar sekali, kalau menurut perumpamaan penabur, itu digambarkan seperti orang yang segera menerima firman dengan gembira, tapi begitu ada penganiayaan, juga segera murtad, begitu ada pencobaan, segera menjauhkan diri dari Tuhan, segera menjadi manusia yang sekuler.
Injil Lukas yang paling banyak mencatat sosok Yesus yang berdoa, di sini dicatat Dia berdoa disatu tempat yang khusus, di bukit, bukan disembarangan tempat, sekarang kita sebagai manusia modern berdalih katanya kita bisa berdoa dimana saja, saya saat teduh di jalan tol, kalau dirumah kan buang-buang waktu, begitu misalnya. Kita bisa menciptakan teori-teori bagaimana menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya, semaksimal mungkin, tapi Yesus di sini pergi ke bukit, berarti tempat yang khusus, bukan di dalam rutinitas. Yesus itu bukan tidak punya rutinitas, Dia sibuk sekali sama seperti kita, Dia tidak lebih nganggur, tapi Dia pergi ke bukit, berarti ada satu tempat yang khusus, yang dikhususkan oleh Yesus, Dia berdoa di sana dan semalam-malaman. Setelah doa semalam-malaman itu terjadilah peristiwa penting yaitu Yesus memanggil murid-muridNya, bagian ini tidak boleh ditafsir karena Yesus tahu akan ada peristiwa penting, maka Dia berdoa dulu, itu terbalik, itu bedanya orang yang visioner dan tidak visioner. Beda orang yang visioner dan tidak visioner adalah orang yang tidak visioner itu didikte oleh event, didikte oleh hal-hal yang penting, bahkan mungkin juga didikte oleh penderitaan atau kejadian penting yang terjadi di dalam kehidupannya, baru setelah itu dia mulai berdoa, kalau tidak ada peristiwa itu dia tidak berdoa. Jadi kehidupan yang pasfi dan sangat responsif terhadap peristiwa, kalau anak kita ujian, lalu kita mendoakannya supaya lulus dsb., responsif, Yesus tidak responsif seperti itu, bukan responsif terhadap event, tidak. Tetapi Dia berdoa terlebih dahulu dan karena itu kemudian dari kuasa doa, kelimpahan itu menggerakkan sesuatu di dalam kehidupan Yesus, Dia memanggil murid-muridNya, Dia bukan tahu bahwa besok harus panggil murid-muridNya, ooh sekarang harus doa puasa, karena besok panggil murid-murid, tidak, justru Dia berdoa semalam-malaman.
Yesus doaNya tidak didikte oleh sesuatu yang ada di luar, ada apa terlebih dahulu, lalu setelah itu kita berdoa, kalau tidak penting ya sudah tidak usah berdoa, apalagi semalam-malaman. Justru karena Yesus berdoa semalam-malaman, maka Dia memanggil murid-muridNya, itu di dalam kuasa doa yang terjadi semalam-malaman. Setelah Yesus berdoa semalam-malaman, hari siang ia mulai memanggil murid-muridNya, Lukas tidak memberikan keterangan apa-apa, di sini hanya disebut nama, misalnya Simon yang diberi nama Petrus, tapi juga ada Simon orang Zelot untuk membedakan. Orang Zelot mungkin bisa di dalam pengertian dua macam, orang yang punya gairah untuk menaati Taurat atau orang-orang yang punya zeal, semangat untuk membebaskan orang-orang Israel dari penjajahan Romawi. Orang Zelot ini berusaha untuk menggeser orang-orang Romawi yang mau menjajah Israel, salahnya, mereka kurang mengerti bahwa rencana Allah sebetulnya bukan itu, bukan penjajahan politis, tapi penjajahan dosa. Tapi mereka setidaknya kalau dibandingkan dengan orang Farisi lebih integrated, karena mereka tidak bermuka dua, mereka tidak mencari muka ke bawah dan ke atas, tidak, karena sebenarnya itu tidak compatible, di situ ada tension, tapi orang Farisi bisa pintar mengambil posisi. Maka mashab yang ada pada zaman itu, Farisi termasuk salah satu yang bertahan paling panjang, karena kepintaran duniawi ini, tetapi orang-orang Zelot termasuk adalah orang-orang yang ditumpas, karena mereka dianggap sebagai pemberontak. Yang menarik, waktu alkitab mencatat bagian ini, Simon yang disebut orang Zelot, orang akan konotasinya ke sana, tapi Lukas menambahkan bagian akhirnya, Yudas Iskariot yang sesungguhnya adalah penghianat, bukan Simon orang Zelot. Ini bukan persepktif Israel terhadap Romawi, bukan, tapi bagaimana perspektif Tuhan melihat manusia dihadapan Allah, ini bukan masalah kerumitan yang terjadi secara politis, ekonomi, sosial budaya dsb., tapi bagaimana manusia dilihat oleh Allah dihadapan Allah, di situ Yudas Iskariot disebut sebagai penghianat. Kalau kita melihat bagian ini ditinjau dari perspektif orang Farisi, dia pasti bukan penghianat, bukan, dia adalah orang yang sangat menolong, pemimpin-pemimpin agama itu menyelesaikan kehidupan Yesus Kristus, tapi dari perspektif Tuhan, ini adalah seorang penghianat. Kita melihat kehidupan kita dari persepktif apa? Dari persepktif Tuhan melihat atau dari perspektif yang lain, karena dunia ini memiliki perspektifnya sendiri, kita tidak terlalu tahu banyak tentang Simon orang Zelot, tapi setidaknya kita tahu disebut 12 nama yang mewakili 12 suku Israel, seperti simbol terhadap 12 suku Israel, ini mewakili orang-orang Israel.
Ayat 17, lalu Dia turun dengan mereka, seperti Musa yang turun ke bawah bersama Yosua, tapi di sini Yesus turun bersama dengan mereka. Ini berarti di tempat yang datar, tadi di bukit, peristiwa yang penting dalam doa Yesus, di dalam Dia memilih murid-murid itu, tetapi di sini Dia ditempat yang datar. Kita tahu apa yang dicatat oleh Lukas ini menjadi model cerita hidup dari pada jemaat mula-mula, yang juga seharusnya menjadi cerita hidup dari pada kita. Waktu Lukas, Matius atau Markus menulis, mereka kan tidak harus mencatat semua, mereka mencatat apa yang digerakkan Roh Kudus untuk mereka catat dan kita bisa mengetahui bahwa apa yang mereka catat itu penting untuk disampaikan kepada jemaat yang mereka mau tuju. Misalnya di dalam Lukas dan Matius kita membaca sabda bahagia, tetapi kita tidak membaca sabda bahagia di dalam injil Yohanes dan Markus kan? Apakah mungkin Yohanes dan Markus itu tahu tentang sabda bahagia? Markus saya tidak tahu apakah dia tahu atau tidak, tetapi Yohanes kemungkinan besar tahu, karena dia adalah penginjil yang paling late, tetapi kenapa dia tidak menulis sabda bahagia juga? Di dalam pembelajaran seperti ini kita tahu ada tulisan-tulisan dari penginjil tertentu yang tidak mencatat kejadian-kejadian, khotbah atau pengajaran dari Yesus Kristus, karena di dalam pimpinan Roh Kudus itu bukan menjadi pergumulan dari pada penulis tersebut untuk disampaikan kepada jemaatnya. Mereka mencatat yang Tuhan gerakkan untuk mereka mencatat dan terutama yang mereka mau sampaikan kepada jemaat yang mereka tuju.
Jadi waktu kita membaca bagian ini, level place, di dalam tempat yang datar, di situ berkumpul sejumlah besar murid-muridNya, banyak orang lain datang dari Yudea, Yerusalem, pantai Tirus dan Sidon. Tirus dan Sidon itu berarti kita bisa assume bahwa disana itu bukan hanya orang Yahudi, Israel, tapi sebetulnya juga gentile dan ini menjadi satu cerita yang kemudian dihidupi oleh jemaatnya Lukas yang kepada mereka Lukas menulis injil ini. Mereka juga menghidupi bagaimana melayani, memberitakan injil, bagaimana memuridkan bukan hanya orang-orang Yahudi, tapi juga the gentiles, karena di sini sudah dicatat, Yesus mengajar bukan hanya murid yang 12 itu, tapi juga ada murid-murid yang lain yang juga adalah disciples dan bahkan juga banyak orang yang lain datang dari seluruh Yudea dsb. Di situ kita mendapati seperti ada tiga layer, layer pertama 12 murid itu, kemudian sejumlah besar murid-muridNya dan kemudian layer yang ketiga yaitu banyak orang lain dari Yudea dsb., ada layer-layer di dalam kehidupan pelayanan Yesus. Tapi ini jangan dimengerti sebagai satu budaya elitis, maksudnya, wah keren kalau saya masuk di dalam circle inner yang 12 orang, tidak ada jaminan, kita perhatikan di sana ada Yudas Iskariot, dia termasuk di dalam inner circle, Lukas sangat-sangat jeli di dalam mencatat hal ini. Meskipun membicarakan tiga layer, tidak ada jaminan bahwa layer yang paling dekat itu adalah yang paling mengerti Yesus, tidak ada jaminan, mungkin kelompok paling terakhir adalah orang-orang yang bisa paling mengerti Yesus, mungkin saja, Lukas menjungkirbalikkan segala sesuatu dan ini menjadi satu pendahuluan waktu kita mau membaca tentang sabda bahagia berikutnya.
Jangan berpikir karena kita sudah lama mengikut Yesus, sudah beribadah di gereja ini lama sekali, lalu anggap diri kita yang paling mengerti kehendak Tuhan, tidak ada jaminan itu. Kalau kita tidak menjaga relasi kita dengan Tuhan, kalau kita tidak terus-menerus seperti Yesus, menjadikan doa, pergumulan dengan BapaNya itu sebagai satu kehidupan yang terus-menerus terjadi di dalam kehidupannya, kita sendiri akan mundur, tidak ada satu orang pun yang kebal terhadap kemunduran. Kita membaca dalam ayat 18, mereka datang mendengarkan Yesus untuk disembuhkan dari penyakit mereka, juga mereka yang dirasuk roh-roh jahat, beroleh kesembuhan, ini bukan pertama kali, kita sudah baca tentang hal ini dalam cerita sebelumnya. Lalu ayat 19, orang banyak itu berusaha menjamah Dia karena ada kuasa yang keluar dari padaNya dan semua orang itu disembuhkanNya, kalimat ini mempunyai satu makna yang dalam. Sekali lagi kita harus mengkaitkan kalimat ini dengan doa Yesus, semalam-malaman, ada kuasa keluar dari kehidupan Kristus, memang di sini konteksnya tentang kesembuhan, tapi ini sangat berkaitan dengan bagaimana Yesus menjaga relasiNya dengan Bapa. Kalau kehidupan kita tidak ada relasi yang baik dengan Tuhan, tidak ada kuasa yang keluar dari kehidupan kita, bukan tidak ada kuasa, ada kuasa, namanya “kuasa kedagingan”, kita paling takut, mengaku orang kristen, tetapi yang keluar dari kehidupannya itu kuasa kedagingan, tapi dia menghibur diri, dia pikir dia sudah kristen, tidak ada persoalan dengan itu, saya sudah percaya Yesus, saya selalu ikut PA dll., tapi kuasa kedagingan yang keluar, bukan kuasa Kristus, kenapa? Ada something missing di dalam kehidupan orang seperti itu, kalau kita tidak menjaga hubungan kita dengan Tuhan secara tekun, kita tidak akan seperti Yesus, tidak ada kuasa yang mengalir dalam kehidupan kita. Ini bukan bicara hal yang magis, memang betul dalam bagian ini konteksnya tentang keembuhan, tapi ini di dalam prinsip yang lebih universal dari pada itu yaitu ada kuasa keluar dari kehidupan Yesus, entah itu kuasa yang menyembuhkan, entah itu kuasa yang menyatakan penghiburan, entah itu kuasa di dalam pengajaran, entah itu kuasa yang memberikan dorongan kepada murid-murid dll., kuasa keluar dari pada kehidupan Yesus. Sekali lagi, karena Yesus senantiasa menjaga hubunganNya dengan Bapa yang di sorga.
Lalu Yesus memandang murid-muridNya dan berkata dalam ayat 20-26, siapa murid-murid Yesus dalam bagian ini? Ya semua orang yang mau menjadi muridNya, itu adalah muridNya, Yesus pernah mengatakan kalimat, siapakah mereka yang sungguh-sungguh adalah keluarga? Yaitu mereka yang melakukan kehendak BapaKu yang di sorga, itu keluarga, ada keluarga yang tidak melakukan kehendak Bapa yang di sorga, itu bukan keluarga menurut Yesus. Waktu dikatakan Dia memandang murid-muridNya, lalu kita tanya siapa sih murid-muridNya, objectively murid-muridNya? Sebetulnya jawabannya adalah siapa yang subjectively menempatkan diri sebagai murid-muridNya, itulah murid-murid yang sesungguhnya. Tidak semuanya murid-murid, diantara 12 yang paling dekat saja juga tidak semuanya murid-muridNya, sebetulnya ada yang tidak tertarik untuk jadi murid-muridNya. Maka kalimat dalam ayat ini adalah kalimat sabda bahagia, sabda celaka, langsung memisahkan orang dalam dua kelompok kan? Kelompok murid-muridNya dan yang bukan murid-muridNya, tadi saya katakan murid-murdiNya siapa, yaitu mereka yang subjectively menempatkan diri sebagai murid-muridNya, ini seolah-olah keputusan ada ditangan kita, kita berdaulat kan, terserah kita, kita mau jadi murid atau tidak? Ya memang ada point-nya, tapi untuk menghindari spiritualitas armenianism yang kita agak jauh dan kita jangan lupa, point berikutnya, firman Tuhan itu juga memisahkan, betul kita sendiri mempunyai tanggungjawab untuk memutuskan kita mau menjadi murid atau tidak, kita diberikan free will untuk kita memilih, tapi jangan geer bahwa kedaulatan ada pada kita nanti dulu.
Karena waktu Yesus mengatakan kalimat bahagia celaka, sebetulnya Yesus yang memisahkan mereka. Seorang komentator Craddock secara menarik mengatakan bahwa sabda bahagia ini bukan merupakan satu ajaran supaya orang berlaku seperti ini, itu saya kurang setuju, tapi paling tidak ada satu poin bagus yang dia katakan yaitu waktu dia berbicara tentang gambaran ini sebetulnya adalah Yesus sedang memberikan firman dan firman itu adalah realita, realita bahwa ada orang yang berbahagia, ada orang yang celaka. Sebetulnya ini adalah satu kalimat judgment, satu kalimat statement, “this are not suggestion about how to be happy or warning less one become miserable”, ini bukan satu bujukan (kiat sukses) bagaimana menjadi berbahagia atau peringatan yang keras supaya kita jangan menjadi orang-orang yang celaka, menurut komentator ini bukan. Jadi menurut komentator ini, kalimat ini terutama adalah menggambarkan keadaan manusia, manusia itu ada yang berbahagia, ada yang celaka. Memang tidak salah membaca kalimat ini sebagai satu warning, tetapi di dalam zaman Yesus waktu Dia mengatakan itu, Dia sedang mengatakan realita, ada orang yang celaka, ada orang yang berbahagia. Salah satu yang celaka adalah Yudas pada saat itu, itu sudah menjadi fakta, ini bukan sekedar kalimat yang menjadi ajaran kalau kamu taat maka Tuhan akan memberkati, kalau kamu tidak taat maka malapetaka akan datang (ini teologi kitab Ulangan), menurut komentator ini, bagian ini bukan seperti itu. Yang menarik kalau kita bandingkan dengan versi Matius, yang jelas di sini lebih pendek, Matius lebih panjang, di sini hanya ada empat ucapan berbahagia, di Matius ada delapan sampai sembilan, tetapi di sini ada celaka yang tidak ada pada Matius, membagi manusia dalam dua kelompok (yang berbahagia dan yang celaka), tetapi point yang lain adalah bahwa kebenaran pararel, berkat dan kutukan.
Perbedaan yang lain adalah misalnya dalam sabda bahagia yang pertama “berbahagialah hai kamu yang miskin, karena kamu yang empunya Kerajaan Allah”, kalau dalam Matius ada spiritualisasi “berbahagialah kamu yang miskin dihadapan Allah atau yang miskin rohani, karena kamu yang empunya Kerajaan Allah”. Tetapi di sini Lukas mengerti miskin secara literal, kalau Matius adalah terutama miskin rohani, itu betul, nah ini sedikit menyulitkan, paling sedikit penafsiran ini menyatakan bahwa alkitab jelas tidak memihak kepada kapitalisme, itu sudah pasti. Tetapi mungkin kita langsung berkata, kalau begitu marxisme atau komunisme dong, karena di sini orang miskin kan? Kita perlu melakukan diferensiasi ini, meskipun bahkan Lukas tidak menuliskan miskin rohani, tetapi kita tetap tidak bisa mengerti di dalam pengertian semua orang miskin adalah yang empunya Kerajaan Allah, itu tidak sesuai dengan pembacaan yang lain. Kalau kita membaca Matius itu jelas sekali, itu miskin rohani, tetapi kalimat ini kita mengerti miskin yang literal, kalau tidak ada penjelasan kalimat celakanya, kita bisa bingung, ini maksudnya apa? Apakah berarti setiap orang miskin itu yang empunya Kerajaan Allah, kalau begitu semua orang kaya celaka, apakah itu artinya menurut Lukas? Lalu bagaimana dengan orang-orang seperti Yusuf Arimatea, Zakeus? Alkitab mengatakan mereka orang kaya, kok mereka tidak celaka, kok mereka diselamatkan? Lalu bagaimana dengan orang miskin yang tidak mengalami keselamatan di dalam Tuhan, walaupun mereka miskin tetapi mereka tidak cinta Tuhan, mereka cinta uang, sama saja dengan orang-orang yang kaya, tidak jujur di dalam keuangan, terus-menerus menipu orang lain dan akhirnya jatuh ke dalam kemiskinan yang tidak selesai-selesai, apakah mereka yang empunya Kerajaan Allah? Tidak.
Lalu kenapa di sini dikatakan berbahagialah hai kamu yang miskin? Kita baca kalimat celakanya, tetapi celakalah kamu yang kaya karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburan, diferensiasi-nya jelas. Apa sih yang terjadi di dalam kekayaan itu? Waktu di dalam kekayaan, manusia merasa sudah memperoleh penghiburannya di sini dan sekarang, sudah merasa tidak ada problem lagi, segala persoalan dapat kutanggung di dalam uang yang memberi kekuatan kepadaku, ayatnya langsung jadi berubah. Orang kaya yang seperti ini sudah mendapatkan penghiburannya di sini dan sekarang, jadi memang mereka tidak memerlukan Tuhan lagi, celaka orang-orang seperti ini menurut firman Tuhan. Kalau orang tidak right dealing dengan kekayaan hatinya tidak beres, akhirnya ada kekayaan makin banyak betul-betul menjadi kutukan, kutukan bukan hanya untuk dia, tapi juga untuk anak-anak, akhirnya semua kecelakaan justru karena kekayaan. Menurut manusia, orang kaya itu mustahil masuk ke dalam Kerajaan sorga, kecuali Tuhan yang memberikan hati, karena tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, seperti cerita pemuda yang kaya itu, benar-benar tidak bisa masuk Kerajaan sorga karena kekayaan. Kita baca cerita Lazarus dan orang kaya, Lazarus diterima di dalam pangkuan Abraham, orang kaya ada dimana, karena apa? Karena kekayaan, menakutkan waktu membaca bagian seperti ini. Maka bagaimana kita deal dengan kekayaan, bukan bahwa kekayaan itu pada dirinya adalah berdosa, tidak, tapi menempatkan penghiburan kita, security kita itu di dalam kekayaan lebih dari pada di dalam Tuhan. Kita melihat masa depan cemerlang, karena kita punya resources financial lebih dari ada pimpinan Tuhan, menurut alkitab, celakalah orang-orang seperti itu, itu bukan di dalam pengajaran Yesus Kristus.
Di dalam kaitan ini berbahagia kamu yang miskin, karena kamu empunya Kerajaan Allah, apa maksudnya? Dalam hal ini Lukas agree dengan Matius, memang bukan semua orang miskin otomatis masuk ke dalam Kerajaan Allah, tidak. Ada orang-orang miskin, di dalam kemiskinannya tetap tidak bisa keluar dari kemiskinannya, cenderung menjadi beban di sana sini, menipu banyak orang dsb., tidak selesai-selesai, karena tidak ada pertobatan sejati dalam kehidupan orang miskin tersebut. Lalu kenapa di sini Lukas memakai istilah orang miskin? Orang miskin jenis apa? Kalau kita combine dengan ayat 24, itu jelas yaitu orang miskin yang tidak meletakkan penghiburannya di dalam kekayaannya, mereka tahu memang tidak bisa menolong. Kembali ke cerita Zakeus, dia adalah orang kaya, tetapi dia tahu persis kekayaannya tidak bisa menolong dia, itu orang yang miskin dan empunya Kerajaan Allah. Zakeus itu kaya, dia sampai naik pohon, karena orang tidak memberi jalan kepadanya, dia dianggap sampah masyarakat, antek-antek Romawi, kenapa saya harus hormat sama dia? Zakeus tahu sekali penolakan itu, dia tahu persis bahwa kekayaan tidak bisa menyelamatkan dia, bahkan tidak bisa menolong dia untuk bisa bersosialisasi dengan normal, seperti orang yang lain, meskipun dia kaya, dia tahu persis bahwa uang itu bukan everything di dalam kehidupannya, itu orang yang miskin, yang mempunyai Kerajaan Allah.
Yang kedua, berbahagalah hai kamu yang sekarang ini lapar karena kamu akan dipuaskan, lalu kalimat celakanya, celakalah kamu yang sekarang ini kenyang karena kamu akan lapar, jadi ini pembalikan. Intinya adalah penjungkirbalikan itu, orang kaya malah miskin, yang miskin malah kaya, yang terdahulu terakhir, yang terakhir terdahulu, yang dianggap najis, berdosa malah berada di dalam realita Kerajaan Allah, yang merasa diri suci, dekat Tuhan, pemimpin agama, malah di luar Kerajaan Allah, semuanya terbalik. Juga di dalam bagian ini, kamu yang sekarang lapar akan dipuaskan, tapi kamu yang sekarang ini kenyang, kamu akan lapar, ini sepertinya sederhana, kita tahu orang yang lapar, karena lapar dia tidak ada kemungkinan lain, dia hanya bisa kenyang, tetapi kalau orang sudah kekenyangan cuma bisa antiklimaks, ini sederhana kan ya? Sebetulnya kehidupan orang kaya itu seringkali tercekik, turun sedikit saja sudah susah sekali, orang yang hidup terlalu susah, ada bantal saja sudah bahagia sekali, orang kaya turun sedikit sudah rasa seperti neraka, orang yang susah naik sedikit sudah bersyukur, wah ini ironi. Padahal kalau kita perhatikan perbandingan naiknya orang miskin ini dan turunnya orang kaya ini jaraknya masih jauh sekali, tetapi akhirnya sudah menjadi gaya hidup yang sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Orang kalau sudah kenyang, ya sudah, akan antiklimaks, dia menjadi lapar, karena dia sudah kenyang, tapi berbahagia kalau kita lapar, kalau kita memelihara kepalaparan itu, karena kita cuma bisa dipuaskan, cuma bisa kenyang. Waktu di dalam kehidupan kita, kita kurang mengalami kepuasan hidup, kenapa? Karena sebetulnya kita tidak ada kelaparan, ini benar di dalam banyak hal, termasuk juga di dalam hal rohani. Orang yang kenyang itu berbahaya sekali, tidak bisa berbahagia, kenapa? Karena di dalam kekenyangan itu mereka kemudian akan menjadi lapar, yang ada hanya gerakan antiklimaks dan mereka tentu saja tidak siap dengan itu.
Seperti cerita Lazarus dan orang kaya berkaitan satu dengan yang lain, Lazarus tidak mendapatkan apa-apa di dalam dunia, orang kaya mendapatkan semuanya, kenyang, magnificat, nyanyian pujian Maria mengatakan, orang kaya pulang dengan tangan yang hampa, sama seperti di sini. Orang-orang rendah akan ditinggikan, orang-orang miskin akan ditinggikan, orang-orang kaya pergi dengan tangan hampa. Kekayaannya hanya bisa lenyap, tidak bisa bertambah lagi, kekenyangannya sudah tidak bisa bertambah lagi, sudah mentok, yang ada adalah lapar, tetapi berbahagia di dalam kehidupan kita kalau kita masih memiliki kelaparan, orang yang memiliki kelaparan itu berbahagia, karena dia masih bisa mengalami kepuasan. Sampai sesederhana betul-betul kelaparan fisik, tapi juga kelaparan di dalam hal-hal yang lain, yang artinya figuratif dan tentu saja kelaparan rohani juga tidak salah ditafsir kesana. Hanya orang yang lapar yang betul-betul bisa mengalami kepuasan, yang kehilangan daya atau potensi lapar tidak bisa lagi dipuaskan. Jadi sekali lagi, kenapa di dalam kehidupan manusia, manusia tidak lagi bisa menjadi puas? Karena dia kehilangan kelaparan, seperti ketika seseorang merasa sangat haus, begitu minum air, dia sangat dipuaskan, coba kalau kita minum delapan gelas air, lalu minum gelas kesembilan, sudah mau muntah rasanya. Tidak mungkin dipuaskan, yang ada adalah eneg, yang bisa dipuaskan adalah orang yang haus dan lapar, ketika dia diberikan makan dan minum langsung dipuaskan, pertanyaannya adalah kita ini memelihara kelaparan seperti itu atau tidak di dalam kehidupan kita? Karena kalau kita tidak memelihara kelaparan, tidak ada jalan kepuasan, tidak ada. Kenapa orang tidak tertarik mempelajari firman Tuhan? Karena tidak ada kelaparan rohani, itu tidak ada, lalu dia merasa mendengarkan firman Tuhan itu tidak perlu, membuang-buang waktu, mengapa? Karena tidak ada kelaparan dan orang-orang seerti ini juga tidak akan pernah dipuaskan di dalam kerohaniannya, mereka mungkin lapar di dalam hal-hal yang lain, lapar di dalam hal materi, mereka mungkin aka dipuaskan dalam hal materi, tapi hal-hal materi saja, Tuhan juga akan memuaskan kok di dalam hal materi, karena Tuhan itu maha murah, Dia menerbitkan matahari, memberikan hujan bukan hanya kepada orang benar, tapi kepada orang fasik juga Tuhan akan memuaskan, tapi sayang sekali kalau orang tidak punya kelaparan rohani. Sayang sekali kalau manusia itu hanya hidup dari roti saja, sayang sekali, karena menurut alkitab manusia tidak hidup dari roti saja, tapi dari firman yang keluar dari mulut Allah.
Yang ketiga, kamu yang kaya, kamu memperoleh penghiburanmu disitu, celakalah kamu, kamu yang miskin karena kamu punya Kerajaan Allah, sebetulnya kategorinya tidak betul-betul sama. Sebagi contoh di dalam bagian ini, celakalah kamu jika semua orang memuji kamu, siapa yang memuji kamu? Orang-orang yang tidak mengerti kehendak Tuhan memuji kamu, akhirnya kemudian mencelakakan kita, seperti nabi-nabi palsu. Tetapi waktu kita membaca di dalam ayat 22, berbahagialah kamu jika karena Anak Manusia orang membenci kamu dan jika mereka mengucilkan kamu, mencela kamu, menolak namamu, siapa yang menolak? Yaitu orang-orang yang memang tidak mengerti kehendak Tuhan, di sini bukan berarti semua pengalaman dibenci, otomatis akan membuat kita berbahagia, tidak. Kalau kita tidak mendapatkan pujian dari orang-orang yang mencitai Tuhan, ayat ini tidak berlaku, bukan berarti kita jadi orang yang besukacita, tidak. Sekali lagi, dibenci oleh siapa, dibenci oleh orang-orang yang membenci Tuhan, lalu dipuji oleh siapa, dipuji oleh orang-orang yang juga membenci Tuhan sebetulnya. Di sini pujian, benci itu menjadi satu paket, tetapi prinsip pembalikan itu, mereka yang miskin sebetulnya kaya, yang kaya sebetulnya miskin, mereka yang lapar sebetulnya akan kenyang, mereka yang kenyang sebetulnya akan menjadi lapar, kalau begini apakah kita tidak boleh masuk ke dalam pengalaman kenyang sama sekali? Bukan seperti itu. Lapar akan dipuaskan, itu sebabnya alkitab tidak memakai istilah kenyang, lapar dalam ayat 25 dan lapar ayat 21 sebetulnya ada perbedaan. Lapar dalam ayat 25, ini bukan lapar yang di dalam ayat 21 yang kemudian akan dipuaskan, kalau begitu semua orang celaka akhirnya berbahagia juga kan? Karena celakalah kamu yang kenyang karena kamu akan lapar, ooh puji Tuhan sekarang saya lapar karena itu saya akan dipuaskan, kalau begini, tidak ada makna apa-apa, sabda bahagia dan sabda celaka ini cuma sekedar perubahan musim saja, tidak. Tetapi di dalam pengertian lapar di situ adalah lapar yang tidak ada lagi pertolongan untuk kita, yang kenyang akan menjadi kekurangan dan tidak ada lagi pertolongan. Tapi lapar di dalam ayat 21 artinya adalah seseorang yang menyadari kemiskinannya dan karena itu dia terus-menerus berharap kepada Tuhan, dan akhirnya dia mendapatkan kepuasan. Dan waktu dia dipuaskan, waktu dia dikenyangkan, dia tidak akan menjadi orang yang berpuas diri, dia tidak akan menjadi orang kenyang dalam ayat 25, ini perbedaannya.
Di dalam Tuhan, kelaparan rohani, waktu kita dipuaskan, kita betul-betul menjadi puas, literally puas, tetapi di dalam kepuasan itu kita mendapatkan rasa lapar yang lebih dalam lagi, ini yang tidak ada pada dunia. Yang ada pada dunia adalah, kita lapar, kita makan, kita kenyang, waktu kita selesai makan, tidak timbul rasa lapar yang lebih besar lagi kan ya? Tidak. Orang yang normal, orang lapar setelah itu dia kenyang, ya sudah benar-benar kenyang, tapi di dalam Tuhan, seseorang yang lapar waktu dia dipuaskan, kalau itu kepuasan yang sejati dari Tuhan, tidak akan memberi rasa kenyang seperti ayat 25. Orang yang mencintai Tuhan, dia merasa diri kurang mencintai Tuhan, kurang berkorban bagi Tuhan, waktu dia di dalam kelaparan itu, dia minta kepada Tuhan, ajarkan kepadaku untuk lebih mencitaiMu. Waktu Tuhan mengangkat dia lebih mencintai Tuhan lebih dalam, kita bukan menjadi ooh sekarang ternyata sudah kenyang mencintai Engkau, saya tidak mau mencintai Engkau lagi, karena saya sudah tahu apa artinya mencintai Engkau, terima kasih sudah mengangkat saya ke dalam keadaan kenyang, tidak seperti itu. Waktu orang diangkat untuk mencintai Tuhan, dia akan merasakan kelaparan yang lebih dalam lagi dan karena itu dia akan terus-menerus dipuaskan, ini tidak ada di dalam dunia. Dunia hanya mengajarkan kepada kita musim, ada saat harus makan, ada saat kita harus berhenti dari makan, waktu lapar kita makan lagi, kalau kenyang berhenti lagi dst., itu musim, itu satu hal, tapi di dalam hal rohani waktu kita mengalami kelaparan sesungguhnya yang diberikan Tuhan, waktu kita dipuaskan kita akan mengalami kelaparan yang lebih dalam lagi dan kelaparan yang lebih dalam itu justru adalah kepuasan. Kelaparan yang di dalam ayat 25 adalah siksaan, penderitaan bagi jiwa manusia, tapi orang bisa lapar seperti dalam ayat 21, itu satu kebahagiaan, perasaan lapar itu sendiri sudah merupakan satu kebahagiaan.
Orang yang mempunyai spiritual appetite, itu sendiri sudah merupakan satu kebahagiaan, kalau orang tidak ada spiritual appetite, dia tidak bisa lapar secara rohani, tidak mungkin ada kebahagiaan di dalam kehidupannya. Orang yang mencintai Tuhan, semakin dia mencintai Tuhan, semakin dia merasa dirinya kurang mencintai Tuhan, orang yang hidup menguduskan diri, semakin dia menguduskan diri, semakin dia tahu bahwa dia berdosa dan dia masih perlu lebih jauh lagi menguduskan diri, ini paradoksikal. Orang yang rendah hati, semakin dia rendah hati, semakin dia tahu batapa dia kurang rendah hati, semuanya seperti itu di dalam prinsip rohani, tidak ada pengertian dipuaskan lalu berkata, I want no more, saya sudah cukup belajar firman Tuhan, sekarang waktunya mengajar orang lain misalnya, tidak, kita tidak kenal prinsip itu di dalam alkitab. Kiranya Tuhan memberikan kepada kita kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan seperti yang digambarkan di dalam kitab ini. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)