Ini satu bagian yang secara kebetulan merupakan keadaan pembalikan, reverse dari apa yang terjadi di dalam peristiwa menara Babel yang diusahakan oleh manusia dari bawah dan kita tahu dalam peristiwa pentakosta, ini merupakan pekerjaan yang Tuhan nyatakan dari atas. Di sini ada banyak kemiripan, misalnya dalam ayat 1 saja, mereka sama-sama berkumpul di satu tempat, di menara Babel mereka juga berkumpul di satu tempat, bedanya adalah yang satu diperintahkan Tuhan dan yang satunya lagi adalah kemauan daging, kemauan manusia. Tidak semua persekutuan, kesatuan itu merupakan yang dikehendaki Tuhan, ada kasatuan yang eksklusif, kelihatannya seperti kasatuan, tapi sebetunya spiritnya adalah spirit sektarian, spirit pemecah belah, sebenarnya spirit kedagingan bukan yang dari Tuhan, di sisi yang lain ada saatnya dimana keterceraiberaian itu juga merupakan kehendak Tuhan. Jadi kita tidak bisa melihat hanya dari fenomena belaka, kalau kita melihat fenomena, peace, unity, semuanya damai dsb., pembacaan fenomena seperti itu bisa menyesatkan karena, lagi-lagi di PL ada nabi-nabi palsu yang ditegur oleh nabi-nabi asli yang dari Tuhan, mereka seharusnya menegur Israel yang berdosa, tetapi mereka mengatakan damai sejahtera. Kita lebih senang mendengar damai sejahtera kan ya dari pada mendengar kalimat teguran dsb., damai sejahtera bukan salah, Yesus sendiri mengeluarkan kalimat damai sejahtera. Tentu saja ada tempatnya damai sejahtera diucapkan, tapi kalimat yang betul ini bisa disampaikan dalam waktu yang salah, waktu orang harusnya mengalami teguran, tetapi dia mendapatkan kalimat damai sejahtera, itu bisa membinasakan, karena orang itu akan berpikir, ooh kalau begitu saya sudah benar, saya tidak perlu bertobat, saya sudah benar, saya hanya perlu penghiburan, penghiburan apa, penghiburan untuk terus melanjutkan dosa, begitu? Tidak, tapi perlu teguran, nah ini sesuatu yang sulit untuk diterima, karena kita cenderung berpikir fenomenal, damai sejahtera lebih baik dari pada kalimat yang bukan damai sejahtera, lalu berkumpul di satu tempat lebih baik dari pada keterceraiberaian, kenyataannya tidak.
Kenapa di sini waktu kita membahas satu tempat yang sepertinya dekat sekali dengan yang dibahas di dalam menara Babel? Karena inilah persekutuan yang sesungguhnya yang Tuhan kehendaki di dalam kehidupan manusia, pentakosta itu adalah hari yang mempersatukan, tapi kesatuan yang dikerjakan oleh Tuhan, bukan kesatuan yang dibangun dari bawah sampai mau menuju ke atas langit, tidak. Tetapi kesatuan yang dihadiahkan Tuhan, diberikan Tuhan dari langit menuju ke bawah, bukan dari bawah mau naik ke atas, membangun menara sampai ke langit, tidak. Semua kepercayaan yang dari bawah, yang dibangun dari manusia, itu bukan merupakan kepercayaan sebagaimana yang diajarkan oleh firman Tuhan, di dalam hal ini kekeristenan juga tidak terkecuali, tidak ada agama apapun yang kebal dengan membangun dari bawah, termasuk juga kekristenan kalau tidak hati-hati, kita juga bisa membangun dari bawah, bukan membiarkan Tuhan turun dari atas lalu bekerja di dalam kehidupan kita, tetapi kita coba untuk membangun dari bawah. Mereka berkumpul di satu tempat karena Yesus sendiri yang memerintahkan kepada mereka supaya mereka menanti datangnya Roh Kudus yang akan dicurahan. Roh Kudus itu diberikan untuk menggerakkan, untuk empower church mission, untuk mendorong orang bermisi di dalam memberitakan injil, di dalam menyampaikan firman Tuhan. kesaksian dsb.
Waktu kita membaca dalam bagian ini ada hal yang fenomenal, turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras memenuhi seluruh rumah, lalu apakah ini berarti Roh Kudus setiap kali bekerja harus seperti angin keras? Kalau kita membaca di dalam keseluruhan alkitab, justru keindahan dari pada bagian ini kadang-kdang kita tidak bisa menebak, kita tidak bisa mengkotakkan Roh Kudus itu bekerja harus bagaimana. Misalnya seperti Elia di dalam keadaan perlu penghiburan dari Tuhan, lalu Tuhan lewat di dalam angin badai dsb., sampai terakhir baru angin sepoi-sepoi, baru di situ Tuhan hadir. Ya mirip seperti di sini, angin keras seperti badai lewat, tapi tidak ada Tuhan di situ, yang ada adalah hanya angin keras. Tapi di sini kita membaca bunyi seperti tiupan angin keras, maksudnya apa? Kita tidak bisa membatasi pekerjaan Roh Kudus itu harus selalu angin sepoi-sepoi atau kalau Roh Kudus bekerja itu harus selalu tiupan angin keras, Tuhan bisa bekerja di dalam cara yang Dia kehendaki, ya kita harus menerima kedaulatanNya. Ada kecenderungan dalam diri manusia kalau mereka mau mengenal Allah, mereka lebih suka Tuhan itu kalau bisa dipegang, bisa ditebak, bisa diatur, bisa diprediksi, ooh kalau kita begini begini, maka Tuhan pasti akan begitu begitu, kalau kita begitu begitu, Tuhan akan begini begini, selalu seperti itu, tidak ada yang salah, pokoknya sesuai dengan rumusan ini, manusia senang sekali dengan Tuhan yang seperti itu. Misalnya dalam iman orang-orang Israel pun tidak terkecuali ada kecenderungan seperti ini, khususnya mereka yang salah mengerti dari teologi kitab Ulangan, ini disebut dengan istilah teori, maksudnya Tuhan itu digantikan dengan seperangkat rumusan sederhana, kalau kamu taat maka Tuhan akan memberkati, kalau kamu tidak taat maka disaster, ada betulnya, memang alkitab ada mengatakan kalimat seperti itu. Tetapi ini kemudian dipakai menjadi satu rumusan doktrin yang sangat establish, lalu ya sudah pokoknya semuanya begini. Lalu berdasarkan terori ini orang tinggal balik balik, sekarang kamu sakit, kalau sakit pasti tidak taat, lalu kalau kamu kaya, nah itu hidupmu pasti berkenan, kalau seperti ini pasti jadi kacau luar biasa. Karena manusia berusaha untuk menebak Tuhan di dalam caranya dan dia mau mengkotakkan Tuhan seperti itu, kalau bisa Tuhan seperti ini, yang bisa ditebak, persis seperti rumusan-rumusan yang saya baca.
Tetapi waktu kita membaca di dalam bagian ini kita melihat ada gambaran yang berbeda, ini kan bukan berdiri sendiri? Ayat 2, di sini Roh Kudus yang dikaitkan bunyi seperti tiupan angin keras memenuhi seluruh rumah dimana mereka duduk, di sini ada gambaran yang menakutkan, kalau angin sepoi-sepoi itu menghibur, kita jadi segar, ini bagian dari gambaran Tuhan. Tuhan itu bukan hanya digambarkan sepoi-sepoi, lemah lembut dsb., tapi juga gambaran yang menakutkan seperti ini, kita bandingkan dengan Wahyu 4:3-5, kita melihat dalam gambaran bacaan ini visi sorga yang menakutkan, bukan gambaran yang tenang, gambaran yang menakutkan, kegentaran, itu bagian yang penting dalam spiritualitas kristen kita. Kalau kita hanya tahu bagian yang intimacy, peluk-pelukan, pertolongan dsb., gambaran seperti itu tidak komplit dan juga tidak convincing, tapi yang pasti dalam bagian ini Roh Kudus digambarkan sebagai gambaran seperti tiupan angin keras. Juga waktu digambarkan dalam bagian berikutnya seperti nyala api, bukan nyala apinya tapi seperti nyala api, bukan nyala api itulah Roh Kudus, tapi seperti nyala api, ada kemiripan-kemiripan, tapi juga di sisi yang lain bukan hanya pendekatan diskontinuitas-nya, kalau begitu berarti bukan api dong? Memang betul bukan api, tetapi paling tidak waktu alkitab mengatakan kalimat ini ada muncul istilah api, itu certain motif yang dipakai mulai dari PL, mulai dari Musa yang dipimpin Tuhan untuk memimpin bangsa Israel dengan tiang api pada malam hari, istilah api di dalam biblical theology, spektrum pengertiannya cukup luas. Api seringkali juga dikaitkan dengan pimpinan Tuhan seperti Musa, api sekaligus juga adalah yang memurnikan, api yang menguduskan, api yang membakar, yang juga menggerakkan kita untuk melayani Tuhan, termasuk juga di dalam pengertian pencobaan yang kita alami, sangat berkaitan dengan ide pemurnian.
Di sini dikatakan, nyala api itu bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing, ini prinsip besar. Dalam bahasa Inggris sedikit berbeda, ayat 3, and divided tongue of fire, ini istilah plural, saya tertarik dengan istilah divided, terpecah-pecah, lidahnya itu bukan hanya satu yang besar di atas, borongan untuk semuanya, tidak, tetapi Roh Kudus itu diberikan dividedly kepada setiap pribadi. Tuhan yang membagi diriNya, persis seperti Yesus Kristus yang tubuhNya dipecah-pecahkan supaya kita yang terpecah belah itu dipersatukan di dalam tubuhNya, kita melihat prinsip pembalikan ini ya, dipecah-pecah, siapa? Tuhan, dibagi-bagi supaya yang terpecah belah itu dipersatukan. Ini prinsip dalam filsafat kuno, sebagaimana akhirnya demikian juga permulaannya, jadi seperti struktur kiastik, kembali lagi begitu. Tuhan kan pasti satu, tidak terpecah-pecah, tetapi Tuhan memecah diriNya, lalu kemudian membawa kembali orang yang terpecah belah menjadi satu, ini persis sama dengan prinsip Kristologi, inkarnasi, demikian juga pentakosta. Pentakosta ini sangat mirip dengan prinsip spirit inkarnasi, memang dalam inkarnasi kita tidak mengatakan kepada Roh Kudus, tetapi spirit inkarnasi Roh Kudus bukan dalam pengertian lalu menjadi daging, tidak, tapi dalam pengertian tidak mempertahankan keutuhan, tetapi divided tongue of fire. Divided berarti menjumpai setiap orang secara pribadi, bukan mempertahakan ego itu menjadi utuh, that is not the self of the Holy Spirit, itu juga bukan tubuh Kristus yang mempertahankan keutuhanNya tidak mau pecah, lalu berkata, kamu yang terceraiberai, ya kamu yang balik dong, bukan saya yang sesat, kok saya yang datang kepada kamu lalu memecah-mecah diri saya? Kekristenan mudah sekali membuat excuse seperti ini, kamu yang salah, ya kamu yang balik, jangan saya jadi ikut-ikutan salah, kalau Yesus memakai istilah seperti ini, maka tidak akan ada penebusan, bukan seperti itu cerita dalam inkarnasi dan pentakosta, yang ada di sini adalah divided tongue of fire, memecah-mecah.
Memecah-mecah bukan karena mencintai penderitaan atau memang dasarnya suka pecah-pecah, bukan itu, tapi ini dilakukan supaya bisa menghampiri setiap orang itu sebagaimana mereka ada. Kita ini so particular, Tuhan itu menghargai partikularitas kita, kalau kita mempelajari filsafat orang-orang modern, paling tidak memberikan tempat pada partikularitas personality human being kan ya? Cenderung semuanya uniform, semuanya seragam, tidak ada partikularitas, lalu orang-orang yang punya kepribadian kuat, anggaplah seperti Mao Tse Tung, Hitler dsb., mereka mau menjadikan seluruh negara itu sebagai bayang-bayang dari kepribadian mereka yang kuat, uniform seperti mereka, itu modern spirit, kita tidak mendapat cerita seperti ini di dalam alkitab. Yesus sangat berhak kalau mau menjadikan orang seperti Dia, kamu semua harus seperti Saya, karena Saya Tuhan, tetapi Yesus tidak melakukan itu di dalam inkarnasi, yang ada adalah Yesus menghampiri setiap particular, personalitas itu seorang demi seorang, masing-masing ada perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Orang modern filosofi berkata, kita tidak bisa mengikuti itu karena mereka menekankan partikularitas, akhirnya masuk ke dalam pendulum yang lain yaitu sangat menekankan partikularitas sampai hampir tidak ada universalitas-nya, akhirnya menghasilkan orang-orang yang luar biasa eksentrik. Lalu atas nama authenticity, saya ini adalah orang autentik, saya tidak boleh ditekan-tekan, karena saya ini unik, akhirnya pembicaraannya hanya kepada unik, unik, partikular, partikular dan akhirnya jadi eksentrik, jadi lain sendiri, karena apa? Karena mau menekankan ego, the self yang tidak boleh dinjak-injak atas nama universalitas dsb.
Dalam bagian ini tidak seperti itu, apakah kita pikir ini hanya urusan filosofis yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari? Ooh sangat berkaitan, bagaimana kita mendidik anak kita, kita ingin menjadikan dia apa? Orang yang menjadi seperti kita? Kalau begitu kita balik lagi seperti Mao Tse Tung dong? Karena saya kagum sekali dengan diri saya, menurut saya definisi orang sukses ya saya ini, begitu misalnya, geer narsis dsb., lalu kita ingin menjadikan orang lain jadi seperti kita, ya balik lagi, itu Mao Tse Tung story, bukan bible story. Bible story itu Yesus membentuk Petrus, Yohanes, Paulus dan yang lain membentuk dengan berbeda dan sekali lagi ini juga terjadi di dalam pentakosta. Divided tongue bertebaran hinggap pada mereka masing-masing, Tuhan menghampiri setiap pribadi konteks sensitif, person sensitif bukan borongan, ini satu untuk semuanya, tidak seperti itu, tapi untuk ini sendiri, untuk itu sendiri, untuk yang lain sendiri dan itu memang melelahkan, kalau bisa kan kita bicara satu kalimat untuk semua orang begitu kan ya? Tidak mungkin ada konseling satu kalimat untuk semua orang, tidak akan jalan, karena akhirnya tidak ada pengenalan. Bagaimana bisa kita konseling orang harus sama persoalannya, harus sama latar belakangnya, jalan keluarnya sama, kalimatnya sama, kita maunya memang begini, karena kita sibuk, alasan yang sangat mujarab, kita sebagai pelayan-pelayan kristen, hamba-hamba Tuhan harus hati-hati derngan alasan kesibukan, siapa yang tidak sibuk? Sebenarnya orang tidur pun sibuk, sibuk tidur, tidak ada yang tidak sibuk, semua sibuk, sebetulnya itu bukan alasan.
Ayat 4, maka mereka penuh dengan Roh Kudus, maka mereka mulai berkata-kata dalam bahasa lain seperti yang diberikan Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya. Di menara Babel mereka berkata-kata dengan bahasa yang sama, bagus dong, sudah berkata-kata dengan bahasa yang sama, kumpul menjadi satu, satu bangsa, satu bahasa, berarti sudah unity, tapi Tuhan bilang tercerai berai, diserakkan oleh Tuhan. Bukan masalah fenomenanya, bukan masalah kekompakannya, kekompakan itu bisa menyesatkan, alkitab tidak tertarik untuk mengangkat kekompakan lebih dari pada ketercerai beraian, lalu apakah dipimpin Tuhan atau tidak dipimpin Tuhan? Sebenarnya ini kepenuhan Roh Kudus atau kepenuhan kedagingan? Waktu Roh Kudus memenuhi seseorang, memenuhi mereka, komunitas ini, pertama memberikan setiap orang itu berbeda-beda, and therefore juga the diversity of spiritual gift, keanekaragaman karunia misalnya (ini bukan bagian Lukas tapi bagian Paulus) setiap orang diberikan berbeda-beda kan? Di dalam bagian ini kita juga membaca bahwa setelah mereka dipenuhi Roh Kudus, mereka mulai berkata-kata dalam bahasa lain, ini berarti apa? Tentu saja poinnya bukan ooh Roh Kudus itu bisa elevate skill of language, sangat ngawur pembacaan seperti itu, ooh Roh Kudus itu bisa memperlancar kita punya kata-kata, kita jadi sangat skillful di dalam bahasa-bahasa lain, substansinya bukan itu, kenapa diberikan bahasa-bahasa lain? Karena ada kebutuhan orang-orang yang perlu mendengarkan bahasa yang berbeda-beda. Tuhan memberikan gift bahasa-bahasa lain kepada para rasul, waktu mereka berbicara mereka bisa berbicara kepada masing-masing suku, masing-masing bangsa ini, yang disebut dalam ayat 9-11, semuanya itu dituju dengan bahasa yang lain-lain ini.
Lalu Tuhan empower seseorang untuk bisa berbicara di dalam bahasa orang yang akan dituju, bagi saya ini prinsip besar sekali di dalam reformed evangelical theology of ministry, karena kita mau mengikuti alkitab, seharusnya menjadi christian ministry juga, harusnya bukan uniquely reformed juga, karena ini alkitab. Tetapi kalau kita sendiri tidak mengerti bagian ini, ya akan sulit pelayanan kita, kadang-kadang kita berbicara kepenuhan Roh Kudus di dalam bahasa yang luar biasa abstrak, tidak tahu apa artinya kepenuhan Roh Kudus, apalagi dikaitkan hanya dengan pokoknya ada angin keras, Roh Kudus angin keras, lalu apa? Tidak ada pengertiannya sama sekali atau mungkin paling banter kita mengatakan Roh Kudus empower church mission, itu sudah something kan ya? Tapi hanya sampai di situ, lalu bagaimana menggerakkannya? Alkitab itu detail sekali, bukan berhenti pada kalimat yang ngambang seperti itu, pokoknya Roh Kudus membuat pelayanan kamu efektif, titik selesai, tidak. Di sini waktu Roh Kudus diberikan, memberikan kepada mereka kemampuan untuk berkata di dalam bahasa-bahasa lain, itu bahasanya siapa? Bahasa audience, bahasa pendengar, bukan bahasa speaker, bukan bahasa preacher, tapi bahasa dari audience, nah ini memang challenge di dalam kehidupan pelayanan kita, kenapa? Karena seringkali di dalam kehidupan kita, kita tidak berusaha untuk mengerti bahasa orang lain (bahasa di sini adalah bahasa dalam pengertian luas, bukan bahasa Perancis, Jerman dll., termasuk kosa kata yang sering dipakai mereka), bagaimana mereka melihat kehidupan, lalu kita betul-betul bisa masuk menyentuh hatinya kalau kita menggunakan bahasa mereka dan bukan bahasa kita.
Bahasa-bahasa lain, bukan bahasa mereka, mereka bisa berbicara di dalam bahasa mereka, tapi bagaimana bicara di dalam bahasa orang-orang yang kepada mereka, mereka memberitakan injil? Contoh sederhana, kepada lansia berbicara di dalam bahasa lansia, kepada anak sekolah minggu berbicara di dalam bahasa anak sekolah minggu, kepada remaja berbicara dalam bahasa remaja dst., itu challenge, ada orang yang berbicara kepada lansia, sekolah minggu, pemuda, remaja pokoknya begini terus, saya sudah seperti ini, kalau tidak terima ya sudah, ya memang sudah begini, bagaimana lagi, dari dulu sudah seperti ini, jadi bagaimana? Saudara harus mengerti saya, bukan saya yang harus berusaha untuk mengerti saudara, orang seperti ini totally autistic. Kalau kita melihat ini kepenuhan Roh Kudus, membuat orang autis spiritual menjadi orang yang konteks sensible, Petrus kenapa tidak menggunakan bahasanya sendiri? Kalau dia bicara bahasa Aramic, ya yang lain akan bingung, ini bicara apa, begitu kan ya? Kita memberitakan injil memakai bahasa kita, orang lain tidak mengerti, kita bicara terus, ini bukan sekedar bahasa, di sini memang bisa dalam arti literal, bahasa dalam pengertian bahasa yang digunakan betul-betul bahasa dunia ini.
Saya ingin memperluas dalam pengertian yang lebih universal, bukan hanya bahasa dalam pengertian jenis bahasanya, tetapi termasuk juga kosa kata yang sering dipergunakan oleh manusia. Ada perbedaan orang yang tidak disapa dengan bahasa karena memang tidak ada kepenuhan Roh Kudus yang menyapa orang itu dengan bahasa itu, dengan orang yang memang hatinya keras dan sengaja menolak injil. Kita tahu Yesus tidak mungkin tidak menyapa orang dengan bahasa mereka, tidak mungkin, karena Yesus selalu dipenuhi Roh Kudus, tetapi kenapa ada orang-orang yang tetap tidak mengerti, itu bukan karena Yesus tidak memakai bahasa mereka, tidak, karena memang hatinya adalah hati yang keras dan hati yang tidak mau mendengar injil. Orang-orang Farisi sebagian, at least the scribes, ahli-ahli Taurat, tidak pernah bisa mengerti bahasanya Yesus, persoalannya bukan pada Yesus tidak memakai bahasa mereka yang tidak dipenuhi Roh Kudus, memang hati mereka keras. Mereka bukan tidak mengerti, mereka mengerti, justru karena mereka mengerti maka mereka jadi tersinggung, jadi marah, waktu Stefanus dengan kepenuhan Roh Kudus itu memberitakan injil kepada mereka, mereka mengerti bahwa mereka yang ditusuk, mereka yang ditegur, mereka sangat mengerti, kalau mereka tidak mengerti, mereka tidak akan lempar batu, justru mereka sangat mengerti khotbah dari Stefanus, bukan tidak mengerti, tetapi apa persoalannya? Mereka tidak ada kerendahan hati untuk berubah, untuk bertobat, tidak ada kerendahan hati itu, akhirnya batu yang melayang.
Kita harus minta kepada Tuhan kepenuhan Roh Kudus, kepenuhan Roh Kudus bukan hanya dalam pengertian lalu ada fenomena-fenomena tertentu di dalam kepenuhan Roh Kudus itu, karena fenomenanya bisa fenomena ini, fenomena itu, tidak ada yang tahu dan tidak ada yang bisa menyudutkan fenomenanya harus seperti ini, tidak ada yang bisa memastikan. Tetapi yang lebih esensial dari pada itu, ayat 4, waktu kita dipenuhi Roh Kudus, kita bisa berkomunikasi, berkomunikasi itu saja perlu Roh Kudus, di menara Babel orang tidak bisa berkomunikasi kan ya? Karena Tuhan menyerakkan mereka, dibikin bahasa yang berbeda-beda, akhirnya tidak bisa berkomunikasi, itulah dunia di dalam kejatuhan, tidak bisa berkomunikasi satu dengan yang lain. Kalau orang hanya bisa bahasa Indonesia, yang satu hanya bisa bahasa Perancis, ya betul waktu berbicara akhirnya benar-benar tidak bisa berkomunikasi kan ya? Tetapi saya ingin membawa ini dalam ranah yang lebih luas, bukan hanya di dalam pengertian bahasa-bahasa yang ada di dalam dunia ini, tetapi kita yang sama-sama berbahasa Indonesia pun bisa tidak nyambung ketika berbicara satu dengan yang lain. Kita justru merasa lebih bahagia kalau sesama saya itu silence, begitu misalnya, ini kan celaka, jangan-jangan di dalam keluarga kita juga begitu, apakah itu kebahagiaan? Kebahagiaan yaitu waktu kita semua tidur, itu saat yang paling bahagia, karena saya tidak mendengar suara pasangan saya, karena saya tidak mendengar suara anak saya, anak-anak juga berpikir seperti itu, karena saya tidak mendengar suara orang tua saya, no communication is happiness. Ini mau menyatakan apa? Menyatakan bahwa di dalam kehidupan kita, memang kita membutuhkan Roh Kudus bahkan dalam hal yang paling sederhana, karena ego kita ini terlalu besar, ego kita ini either terlalu besar atau terlalu lemah, kalau terlalu besar, kita mau menekan ego-nya orang lain, bicara bicara, orang lain tidak ada kesempatan bicara, kita berbicara pakai bahasa kita, orang lain tidak boleh menggunakan bahasa mereka, kecenderungan suppressing other ego. Tetapi kalau ego kita terlalu lemah dan ego orang lain yang lebih besar akan menekan kita, akhirnya kita hanya mendengar, mendengar tidak berani bicara, semuanya diam, diam, akhirnya orang ego yang lebih besar berusaha untuk menjadikan kita seperti dia, hal yang sederhana saja itu perlu Roh Kudus.
Roh Kudus tidak sesempit di dalam pengertian orang yang yaah pokoknya empower ministry, church mission, tentu saja itu sangat esensial dan itu memang yang ditekankan oleh Lukas, tetapi dalam keseharian pun kita tidak bisa hidup tanpa Roh Kudus, tidak bisa. Di dalam reformed theology ada konsep yang sangat unik, khususnya yang dikembangkan oleh Dutch Calvinism, Calvinis di Belanda, mereka mengembangkan konsep common grace, waktu berbicara Roh Kudus, memang betul waktu orang percaya Roh Kudus tinggal di dalam hatinya, tidak ada ayat alkitab yang mengatakan Roh Kudus tinggal di dalam setiap hati manusia, tidak, hanya di dalam diri orang percaya, memiliki iman yang sejati, itu clear. Tetapi kemudian mereka mengembangkan konsep tentang common grace, tentang anugerah umum, Roh Kudus yang juga bekerja secara umum, bukan dalam pengertian yang menyelamatkan, tapi anugerah yang umum memungkinkan orang bisa berkomunikasi, itu bukan tanpa Roh Kudus. Karena tanpa Roh Kudus tidak bisa berkomunikasi, yang ada adalah saya bicara, bicara sendiri, kita berpikir orang lain mengerti padahal sebenarnya tidak mengerti. Kita juga sangat tidak tertarik menggunakan bahasa orang lain, yang kalau bisa orang lain menggunakan bahasa saya, karena saya tidak usah berubah, dia yang harus berubah, kita semua punya kecenderungan seperti ini. Ini kalimat sindiran, kamu yang harus berubah karena saya yang lebih tinggi, jadi kamu yang rendah berubah mengerti saya, kan saya yang sehat, kamu yang sakit, nah coba, masakan saya yang sehat ini mengikuti kamu yang sakit, ya tidak lucu dong, kamu yang sakit harus sembuh seperti saya, betul tidak? Betul kan, sederhana kan logika ini? Lalu saya sudah diselamatkan, kamu belum diselamatkan, kamu yang sakit, saya yang sehat, nah kamu yang daang ke sini bukan saya yang ke sana, kan kamu yang ada persoalan, saya tidak ada persoalan, saya sudah diselamatkan, oh iya benar juga ya, logikanya lumayan. Tetapi coba kita perhatikan, apakah Yesus melakukan itu? Kamu yang masuk ke neraka, Saya yang di sorga, kamu yang naik ke sini, bukan Saya yang turun ke sana, karena kamu yang ada persoalan, bukan Saya, coba kalau Yesus berbicara seperti ini, ya buyar semua rencana keselamatan. Tidak ada palungan, tidak ada Galilea, tidak ada salib, tidak ada semuanya, kalau seperti itu yang terjadi, itu bukan pekerjaan Roh Kudus.
Pekerjaan Roh Kudus adalah divided tongue lalu disebar kepada setiap orang dan juga membuat orang itu akhirnya juga memecah-mecahkan diri mereka, berbicara dalam bahasa lain itu berarti keluar dari pada comfort zone. Saya biasa bicara begini, tapi tiba-tiba bicara dalam bahasa lain, memang di dalam anugerah dan pertolongan Roh Kudus, betul, tapi juga bukan tanpa keluar itu, bukan tanpa memecah-mecah diri dst., ya memang Roh Kudus yang mengerjakan itu, betul, kita hanya instrument, hanya alat saja, itu juga betul, tetapi juga bukan tanpa penyangkalan diri kan? Kita sendiri harus keluar dari pada kebiasaan kita, keluar dari pada bahasa kita, termasuk keluar dari pada kepribadian kita, kalau kita cenderung pendiam kadang-kadang kita kan canggung bicara sama orang yang cenderung banyak bicara, kita jadi sulit kan ya? Tetapi pendiam bertemu pendiam, ya itu kesulitan yang lain lagi, setelah dua jam tidak tahu, tidak ada pembicaraan, ya memang ada orang ke-khususan-nya diam seperti itu, waktu seseorang yang pendiam bertemu orang yang bukan pendiam, itu harus keluar kan ya? Tidak bisa diam-diaman seperti itu kan ya? Termasuk juga antara pendiam dengan pendiam atau sebaliknya, waktu seseorang banyak bicara bertemu orang yang pendiam, kalau dia tidak digerakkan oleh Roh Kudus, ya dia akan bicara terus, akhirnya yang satu benar-benar diam, dia pikir, ya ini bagus kan? Dia diam saya banyak bicara, ya saya khotbah terus, memang pas seperti ini kan ya? Akhirnya kita tidak berkumonikasi dengan orang lain, tapi bagaimana orang yang banyak bicara sedikit menahan bicara supaya yang pendiam ini juga bisa bicara juga, kalau perlu ya kita tunggu beberapa menit agar dia berbicara dst. And therefore, mimbar monolog ini saja tidak cukup, karena di sini saya bicara terus, ya kadang-kadang saya juga melihat ekspresi wajah saudara, ini juga semacam respon kan ya? Yang mau saya katakan adalah ini tidak bisa tidak harus dilengkapi dengan dialogis yang lain dan bukan hanya dengan hamba Tuhan, tetapi juga sesama saudara satu dengan yang lain. Pembicaraan firman Tuhan itu bukan hanya monologues, bukan, tetapi juga dialogues, satu dengan lain saling menceritakan, ada tempat-tempat tertentu.
Waktu kita membaca bagian ini kita melihat bagaimana betul akhirnya mereka berbicara di dalam bahasa masing-masing bangsa, menyentuh mereka di dalam keanekaragaman itu, konteks sensibly, bukan menggunakan bahasa dari pada speaker Petrus di dalam hal ini, tapi berbicara di dalam bahasa mereka masing-masing. Kalau kita membaca, yang diberitakan itu satu, ada fokus yaitu injil yang satu, injil yang sama, Kristus yang disalibkan, Kristus yang bangkit, bahkan waktu kita mengatakan Matius, Markus, Lukas, Yohanes, injil-nya juga satu dengan empat perspektif, bukan empat injil, tidak, Yesus-nya juga hanya satu Yesus, bukan empat Yesus, tapi dari empat perspektif tentang Yesus. Kesaksian satu injil, satu Tuhan tetapi di dalam pembicaran yang divers, menggunakan bahasa masing-masing, ini prinsip yang penting di dalam pelayanan kita, dalam kehidupan kita, ada tempat untuk diversitas, ada tempat untuk fokus yang mempersatukan, fokus tanpa diversitas, itu bukan menjadi fokus, tapi menjadi zoom. Apa bedanya fokus sama zoom? Kalau fokus itu kita masih bisa melihat gambaran yang lain, divers, misalnya dalam satu ruangan, kita fokus pada bagian tengah, tapi kita masih bisa melihat ada ini, ada itu, tetapi kalau zoom, zoom, zoom, akhirnya yang lain jadi excluded, tidak ada gambaran yang lain, karena di zoom, kita hanya ketemu gambar ditengah saja, yang lain jadi tidak ada, tidak ada tempatnya lagi, no diversity. Kita dipanggil bukan untuk menjadi kacamata kuda begitu, kacamata kuda bukan konsep fokusnya kristen, ini lebih mirip konsep zoom, kacamata kuda itu kan jangan melihat ke kanan atau ke kiri, pokoknya melihat ke depan saja, itu kan namanya zooming? Hidup yang seperti ini tidak mungkin limpah, kehidupannya pasti miskin dan lucu juga kan ya, itu kan kuda, masakan manusia diarahkan seperti kuda? Kita ini manusia, karena kita diberikan kemampuan untuk bisa berhadapan dengan diversitas di dalam hidup ini, and yet, sisi yang lain diversitas, kalau kita tidak menghapadinya bersama dengan Roh Kudus akan membuat kehidupan kita ini berkeping-keping, fragmented, karena tidak ada fokus.
Waktu saya dipekerjaan filosofinya ini, nanti di keluarga filosofinya lain lagi dst., tidak ada fokus, akhirnya fragmented, saya jadi banyak peran, begitu ya? Jadi seperti schizophrenia, 16 kepribadian di dalam 16 aspek, kalau di gereja jadi itu, di rumah jadi ini, begitu keluar rumah jadi yang lain lagi dsb., kelihatan seperti lincah sekali, padahal sebetulnya fragmented dalam kehidupannya. Dan dunia kontemporer sekarang ini sangat merayakan fragmented ini, seperti kalau kita melihat film-film post modern bisa langsung melihat empat adegan yang berbeda, tempat dan juga waktu yang berbeda, begitu kan ya? Atau misalnya ketika kita nonton TV cable, kita lihat saluran satu belum selesai, lalu ganti saluran dua, belum selesai ganti saluran tiga dst. dan selama satu setengah jam seperti itu terus, ganti-ganti saluran dan dia baru menyadari setelah satu setengah jam ternyata tidak ada yang cocok dengan saya, begitu kan ya? Lalu kemudian di tanya, apa isinya? Zero, saya tidak tahu, inilah hidup manusia, totally fragmented. Ini masih urusan TV, urusan sederhana, lalu di dalam kehidupan, saya pergi ke kantor saluran satu, ke gereja saluran dua dst., lalu kemudian orang bertanya, hidupmu itu apa sih? Tidak tahu, karena semuanya a little bit of everything begitu, tidak ada fokusnya, totally fragmented dan dibikin berkeping-keping karena keanekaragaman hidup itu. Yang salah bukan keanekaragaman hidup-nya, bukan, yang salah itu adalah karena tidak ada fokus, misalnya, kalimat for the glory of God itu tidak ada, masing-masing bukan for the glory of God, masing-masing punya agendanya sendiri, akhirnya hidupnya itu fragmented, tapi dalam bagian ini tidak kan ya? Mereka boleh berbicara dalam bahasa yang lain-lain, tapi mereka fokusnya jelas, kita memberitakan injil, dalam kehidupan kita waktu kita kehilangan fokus, kita akan masuk ke dalam fragmentasi kehidupan, mau tidak mau, kecuali kalau kita mempertahankan dalam hidup ini hanya ada satu aspek, tidak realistis juga kan ya? Misalnya dalam kehidupan ini saya hanya ada satu aspek yaitu keluarga, tidak bisa, kita juga harus bekerja, berarti aspeknya bukan hanya keluarga, kita tidak bisa hanya mempertahankan satu aspek saja, kita pasti harus menerima keanekaragaman aspek. Lalu bagaimana menghidupi kehidupan yang integrated? Dengan ada fokus, and yet fokus bukan berarti kemudian orang tidak bisa menampung diversity, justru karena ada fokus orang bisa berhadapan lincah dengan diversity tanpa menjadi fragmented.
Perikop ini secara menarik ditutup dengan kalimat sindiran dan menurut saya beautiful, ini menggambarkan bahwa alkitab memang tidak purpose di idea of and then listen happily ever after, lalu setelah itu tirai semua ditutup, the end, kemudian keluar lagu penutupan seperti bioskop, tidak. Ayat 12-13, maksudnya termangu-mangu dalam keherananan, tetapi mereka mendengar kan ya? Tapi orang lain menyindir mereka sedang mabuk oleh anggur manis, kita orang kristen seperti tidak rela berhenti di sini, this is not the end of everything, begitu ya? Tentu saja, memang ini bukan akhirnya kok, bukan, tetapi tidak apa-apa untuk sementara menutup di dalam bagian ini, point-nya apa? Ini kan kepenuhan Roh Kudus, Roh Kudus yang bekerja dengan dahsyat, and yet karena ini Kerajaan Allah seperti yang dimengerti oleh alkitab, bukan tanpa orang-orang yang sarkastik, bukan tanpa orang-orang yang menyindir, bukan tanpa orang-orang yang tidak percaya, itu sudah dicatat di dalam pentakosta. Pentakosta ini kan pekerjaan Tuhan besar-besaran, sebetulnya tidak bisa ditahan lagi, begitu kan ya? Real revival, kebanguan rohani yang sejati, tapi bahkan dalam kebangunan rohani yang sejati pun tetap ada orang yang menyindir seperti itu dan yang menarik Lukas mencatat, sebenarnya Lukas punya pilihan untuk tidak mencatat karena mungkin akan merusak propaganda pentakosta, begitu kan ya? Itulah bedanya human movement dengan Divine movement, bedanya adalah God movement mencatat bagian-bagian seperti ini, tapi human movement selalu berusaha untuk menutupi yang jelek-jelek. Siapapun, baik Hitler atapun yang lain, selalu menutup-nutupi yang jelek, karena tabu, bisa men-discourage orang, typically human movement, bukan Divine movement, tapi kalau Divine movement ada tempat untuk ini, Lukas tidak kuatir mencatat bagian ini.
Karena alkitab sudah mengatakan, ada gandum, ada lalang, justru waktu mau mencabut lalang, Tuhan menegur mereka, nanti kalau kamu cabut lalang, gandum-nya ikut tercabut, biarkan keduanya bertumbuh sampai kepada akhir zaman, nanti akan dibereskan oleh malaikat penuai, nanti akan dibakar lalang yang tidak perlu, ditangguhkan sampai pada akhir zaman, bukan di sini dan sekarang. Kekacauan-kekacauan seperti ini diakomodir di dalam pentakosta, bukan digunting ceritanya, bukan disensor, tidak, karena ini sebagai bagian dari Kerajaan Allah dan Kerajaan Allah pun tidak dirusak oleh bagian ini, tidak. Justru karena kita percaya ini tidak merusak Kerajaan Allah, maka silahkan dicatat saja, karena setelah itu akan ada tanggapan kok dari Tuhan, tapi kalau kita pakai cara manusia, ini semua tidak akan dibicarakan, semua pembicaraan negatif tidak ada tempatnya. Kita tidak mengikuti gerakan manusia, kita mengikuti gerakan Tuhan, karena pentakosta ini bukan gerakan manusia, pentakosta adalah gerakan dari Tuhan. Kita berdoa supaya spirit yang sama, seperti yang dikerjakan Tuhan, dikerjakan oleh Roh itu di dalam gerejaNya juga boleh menggerakkan gereja ini, kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Jemaat Kelapa Gading