Ini adalah catatan kedua tentang peristiwa kesaksian kebangkitan Yesus Kristus, dalam bagian sebelumnya dikatakan bahwa setidaknya ada beberapa elemen waktu kita memikirkan tentang kebangkitan Yesus dalam 24:1-12 mengenai empty tomb, tradisi kubur kosong, selain itu ada juga tradisi penampakan-penampakan, appearances dan kita melihat di dalam bagian ini khususnya mengenai appearances ada yang sifatnya paradoksikal yaitu satu sisi appearances itu sangat bisa diakses oleh pengalaman indera, itu betul-betul Yesus yang berjalan dengan mereka, bukan hantu. Tapi di sisi yang lain tetap remind sebagai appearances kita tahu di dalam bagian akhir Yesus tiba-tiba lenyap, justru di sini waktu mereka setelah menjadi celik, gambaran ini merupakan satu gambaran yang diberitakan oleh alkitab yang seharusnya bisa menjawab pertanyaan yang ngotot terus dilontarkan, untuk melakukan penyelidikan secara scientific bahwa Yesus itu betul-betul bangkit atau tidak. Belakangan ini saya membaca tulisan-tulisan teolog kontemporer tentang kesaksian atau evidence, keberadaan Allah dsb., lalu saya sampai pada pemikiran seorang teolog katolik, Karl Ruhner, dia mengingatkan bahwa menjelaskan tentang bukti keberadaan Allah bukan merupakan satu gerakan dari orang yang tidak tahu lalu menjadi tahu, karena kalau itu yang kita harapkan, maka yang seringkali terjadi adalah orang remind di dalam ketidaktahuan alias ketidakpercayaan. Maksudnya adalah waktu kita mau menyatakan kesaksian, testimonia, itu sebenarnya mau membangkitkan apa yang di dalam diri orang itu juga sudah ada certain kepercayaan, bukan sama sekali tidak ada kepercayaan. Karena yang tidak ada kepercayaan sama sekali, dia jelas berniat untuk tidak percaya, kita mau berikan bukti apapun mereka juga tidak akan percaya.
Di dalam bagian ini waktu kita melihat bagaimana Yesus memperkenalkan diriNya juga di dalam waktu yang diambil secara progresif, tidak langsung menyatakan diriNya, kita bisa membandingkan juga tipikal dengan bagaimana Yesus selama Dia masih hidup, juga berurusan dengan perempuan Samaria dan dengan orang-orang yang Dia layani. Dia masih memberikan waktu kepada manusia, termasuk juga para muridNya untuk mengenal Dia, bukan menjadi tidak sabar lalu setelah itu marah-marah, kenapa begini jelas kok tidak mengerti-mengerti? Dalam ayat 25 seperti, seolah-olah tidak ada kesabaran, ”Hai kamu orang bodoh”, tetapi kita percaya Yesus tidak mungkin tidak sabar kan ya? Dalam hal ini bukan karena Yesus tidak sabar, tetapi karena memang mereka yang betul-betul terlalu lambat, tetapi Dia sudah memberikan kesempatan kepada murid-murid ini untuk mengenal Dia, untuk kemudian menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang diriNya di dalam kitab suci PL dan mereka dipimpin untuk masuk ke dalam pengenalan tersebut. Dalam bagian ini setting-nya sederhana, pada hari itu juga, meaning menyambung langsung dari catatan pasal 24:1-12, lalu ayat 13 “pada hari itu juga”, jadi ini menyatakan satu kesaksian yang sifatnya emergence, maksudnya adalah kesaksian Yesus yang terjadi di sini, di sana memang tidak harus serentak juga, tetapi yang pasti bukan sequential, di dalam pengertian urutan siapa dulu baru ini, baru itu, tidak seperti itu, tapi dalam pengertian emergence. Di dalam dunia science istilah emergence itu seringkali dipakai dalam pengertian orang yang menyelidiki sesuatu dibelahan bumi tertentu lalu menemukan certain teori, eh ternyata dibelahan bumi yang lain juga menemukan teori yang sama tanpa saling mempengaruhi, tanpa ada interaksi, tanpa ada surat menyurat dsb., tetapi bisa sampai pada kesimpulan yang sama atau setidaknya mirip, itu namanya emergence. Ini menyatakan pimpinan dari Tuhan yang tidak dikontrol oleh hubungan sebab dan akibat.
Kita seringkali menanyakan kalimat itu kan ya? Misalnya kalau kita mendengar khotbah yang mirip atau perkataan yang mirip lalu kita langsung bertanya, siapa yang baca siapa? Kalau orangnya sudah mati, jawabannya mudah, ya sudah pasti yang hidup baca yang sudah mati, begitu kan ya? Tidak mungkin orang zaman tahun 1600 dipengaruhi oleh orang zaman kita sekarang? Tapi bahkan waktu kita masih hidup pun kadang-kadang juga ada pertanyaan seperti itu, sebetulnya ini siapa yang dipengaruhi siapa, begitu kan ya? Tetapi cara Tuhan bekerja bukan di dalam cara seperti itu ataupun kalau Dia mau, Dia juga bisa bekerja dengan cara seperti itu, tapi itu bukan cara yang mutlak yang dipakai oleh Tuhan. Dalam bagian ini kesaksian yang dipakai oleh Tuhan, ini satu peristiwa emergence, kesaksian satu dengan yang lainnya tidak necessarily langsung berhubungan secara logika sequential, tidak, tapi lebih mirip seperti permainan puzzle yang setelah ditata, lalu kemudian menghasilkan big picture yang bisa dilihat. Kita melihat kehidupan kita juga seperti itu, fakta-fakta yang terjadi dalam kehidupan kita itu juga tidak ada logikanya, kenapa hari ini saya mengalami ini, besok mengalami yang lain, logikanya dimana? Lalu kita berpikir, dimana logikanya? Apa hubungan besok dengan hari ini? Apakah ini akibat dari pada kemarin? Ya tidak juga, hidup itu kan seperti random, acak, seperti tidak ada kaitannya sama sekali, ini bukan tidak ada kaitannya, tetapi itu tertata dengan indah meskipun kita tidak bisa memahami sepenuhnya, karena puzzle kita belum komplit, kita belum melihat dari seluruh big picture yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita.
At the end dari perikop ini, kita akan mendapati bahwa cerita dari pada kedua orang ini melengkapi kesaksian dari perempuan-perempuan yang di dalam tradisi empty tomb, ini bukan tradisi empty tomb, mereka tidak pergi ke kubur yang kosong kan? Tidak. Tapi ini ada tradisi yang lain yang sangat penting yaitu tradisi appearances, dua hal ini sangat melengkapi. Di dalam empty tomb ada juga appearances malaikat dan di sini appearances tekanannya, tapi mereka juga mendengar tentang tradisi empty tomb, kubur kosong yang disaksikan oleh perempuan-perempuan itu. Bagaimana Yesus membawa mereka mengenal, dalam ayat 16 terlebih dahulu Lukas mengatakan bahwa ada sesuatu yang menghalangi mata mereka sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia (bagian sebelumnya ini sudah kita pelajari). Sesuatu yang menghalangi mata mereka merupakan ketidakmengertian mereka atau kelambanan hati mereka, ketidakpercayaan mereka terhadap segala sesuatu yang telah dikatakan para nabi, itu yang kita baca dalam ayat 25, teguran dari pada Yesus Kristus sendiri. Tekanannya bukan pada perubahan pada Yesus Kristus yang tidak persis sama dengan pre easter, sebelum Dia naik ke atas kayu salib, bukan, tetapi pada kelambanan hati, ketidakpercayaan mereka terhadap segala sesuatu yang dikatakan para nabi, itu yang disebut dengan sesuatu.
Menarik sekali bagaimana Lukas menekankan bagian ini tidak bisa di overemphasize, seperti yang ditulis dalam satu buku commentary yaitu kita mendapati di situ bahwa mereka mengenal Yesus di dalam dua elemen yang sangat penting, kehadiran Yesus di dalam firman dan di dalam perjamuan, Yesus hadir di dalam dua elemen ini. Yesus menjelaskan diriNya sendiri di dalam firman dan orang menemukan Yesus di firman, tapi Yesus sendiri hadir di sana, dan juga melalui sakramen, Yesus sendiri juga hadir di sana. Ada dua tendensi yang sama-sama salah, orang yang berusaha untuk terus membaca firman, tapi tidak ada kehadiran Kristus yang menjelaskan kepada dia, buat dia kehadiran Tuhan tidak penting. Atau di dalam cara yang sama, orang yang mempunyai pikiran yang luar biasa magis tentang perjamuan kudus, sampai yang peting itu adalah rotinya, anggurnya sendiri yang dianggap punya certain magical power, tapi sebetulnya bukan merenungkan tentang kehadiran Kristus, tetapi kuasanya ada pada roti dan anggur. Kenapa Yesus tetap perlu menjelaskan diriNya melalui firman Tuhan, ini prinsip yang penting sekali untuk Lukas? Sebenarnya Yesus bisa langsung memperkenalkan diriNya, tapi di sini Lukas mencatat, Dia justru menjelaskan diriNya sendiri berdasarkan apa yang tertulis di dalam kitab nabi-nabi, menjelaskan diriNya sendiri melalui firman, sehingga orang yang hanya memikirkan kehadiran Kristus yang sangat mistikal, tapi tanpa adanya firman Tuhan, tidak setia dengan cerita ini.
Waktu kita terapkan dalam sakramen bisa juga, pandangan sakramen, perjamuan kudus yang menolak kehadiran Kristus, aah ini hanya simbol saja, yaah ini roti ya memang roti, anggur ya memang anggur, tidak berubah apa-apa, lalu kita di sini sedang mengenang, hanya mengenang saja, begitu kan ya? Maaf mungkin saya agak kasar bicaranya, kalau hanya mengenang saja kenapa harus pakai roti dan anggur, saya kan bisa pakai bunga atau apapun untuk mengenang Kristus, bisa juga kan ya? Kenapa saya harus pakai roti dan anggur, kalau itu hanya simbol atau mengenang biasa? Di dalam alkitab, penggunaan roti dan anggur, itu bukan satu metafora belaka, kenapa roti, kenapa bukan yang lain? Di dalam alkitab pemilihan ini adalah satu pemilihan yang hati-hati, karena waktu Yesus menyatakan tentang diriNya “I am the bread of life”, seperti roti yang mengenyangkan demikian juga tubuhNya, itu mengenyangkan kita secara rohani, itu bukan sekedar metafora sembarangan. Sehingga kita tidak bisa menghayati perjamuan kudus hanya dengan makna simbolis belaka, kalau kita mempelajari berbagai pandangan tentang perjamuan kudus, kita mendapati bahwa kristen ortodoks, katolik, orang Lutheran, orang Calvinis percaya kehadiran Kristus, sebagian reformed aliran Zwingli tidak percaya kehadiran Kristus, lalu bidat-bidat seperti saksi yehova dsb., itu tidak percaya kehadiran Kristus, ini konsep yang penting. Jangan-jangan kita lebih mirip saksi yehova dari pada kelompok gereja-gereja yang setia kepada firman Tuhan, kenapa kehadiran Tuhan begitu penting di dalam perjamuan kudus? Karena ini bukan hanya sekedar ritual belaka, kalau hanya sekedar ritual belaka, ya kita tidak ikut perjamuan kudus juga tidak terjadi apa-apa kan ya? Kalau perjamuan kudus tidak ada kehadiran Kristus, tidak ada berkat apa-apa yang terjadi di sana, hanya sekedar simbolis dan lambang saja, ya sudah sebetulnya tidak usah perjamuan kudus juga tidak apa-apa, masih bisa mengenang Kristus di tempat lain juga, akhirnya tidak ada power-nya juga disiplin tidak ikut perjamuan kudus. Apa artinya orang tidak ikut perjamuan kudus, itu eks-komunikasi, dari istilah communion, kalau dalam gereja injili sering disebut fellowship, kita ini sebagai tubuh Kristus, kita ini ada di dalam persekutuan dengan sesama orang percaya dan tentu saja persekutuan dengan Yesus Kristus sendiri. Waktu orang tidak boleh perjamuan kudus, itu exfellowship, dia diputus dari pada persekutuan itu, itu satu disiplin yang keras sekali, ini bukan hanya sekedar yaah kamu tidak bisa mengenang Yesus hari ini, tapi kenang sendirilah dirumah, kalau disiplin perjamuan kudus seperti itu tidak ada poin-nya.
Kembali kepada teks ini, kita mendapati bahwa perjamuan kudus waktu Dia mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkan dan memberikan, itu jelas menunjuk kepada perjamuan kudus, termasuk juga yang diantisipasi dengan peristiwa Yesus memberi makan lima ribu orang, juga memakai istilah yang sama, menunjuk kepada perjamuan kudus. Di tengah-tengah mereka celik untuk mengerti siapa Yesus, itu Yesus kan sedang ada di sana, ada Christ real presence? Ini bagian yang penting untuk dihayati waktu berbagian di dalam perjamuan kudus, Yesus itu hadir di tengah-tengah kita, waktu kita makan roti dan minum anggur, sepasti roti itu betul-betul kita makan dan anggur itu kita minum, betul-betul terjadi persekutuan yang tidak bisa lagi dibedakan dengan tubuh kita, betul kan ya? Kalau kita makan roti, roti itu akan menjadi bagian dari tubuh kita, betul kan ya? Sudah masuk ke dalam, kita tidak bisa memisahkan lagi bukan? Sepasti itu juga kita itu dipersekutukan dengan Yesus Kristus, kita menjadi bagian, anggota dari pada tubuhNya. Ini satu misteri, ini bukan hanya sekedar ingatan belaka, memang betul ada aspek ingatan, tapi bukan sekedar ingatan belaka, tetapi betul-betul ada persekutuan mistik dan persekutuan spiritual terjadi di tengah-tengah kita, waktu kita berbagian di dalam perjamuan kudus. Kalau kita tidak punya high view tentang Lord supper seperti ini, saya kuatir kita tidak akan mengalami berkat yang besar melalui perjamuan kudus, mungkin juga kita tidak terlalu perlu mempersiapkan diri, anyway saya bisa mempersiapkan diri kapan saja, saya bisa mengingat Kristus kapan saja, apalagi kita berkata, saya mengingat Kristus saat baca firman, wah reformed sekali, sola scriptura, begitu kan ya? Tetapi di dalam tradisi gereja mula-mula yang dibangun atas cerita ini, kita mendapati bahwa kehadiran Kristus itu mediasi firman dan mediasi Lord supper.
Mereka matanya terhalang sehingga mereka tidak bisa mengenal Yesus, lalu kemudian Yesus membawa mereka kepada pengenalan akan diri yang sangat berkaitan dengan pengenalan yang benar akan Allah, membawa mereka terlebih dahulu untuk mengatakan apa yang menjadi pergumulan mereka, Yesus mendengar, Yesus memberikan kepada mereka kesempatan untuk menyatakan ketidakpercayaan mereka, keragu-raguan mereka dst., itu diberikan kesempatan untuk berbicara. Ini merupakan satu prinsip yang kita semua bisa belajar di dalam kehidupan pelayanan kita, terlebih dahulu memberikan kesempatan untuk orang berbicara, termasuk juga di dalam perspektif yang keliru sekalipun atau perspektif yang tidak lengkap, tidak apa-apa, tetapi kemudian kita melihat di dalam akhir dari pada cerita ini, Yesus kemudian melengkapi apa yang kurang dan juga berani menegur dengan tegas, “Hai kamu orang bodoh”. Di dalam pelayananNya, Yesus jelas tidak dikuasai oleh humanisme, saat-saat dimana kita mendengar, mendengar, mendengar, tetapi kita sendiri tidak mau mengatakan teguran atau point of view yang kita percaya itu adalah sesuatu yang alkitabiah, sisi yang lain, mungkin ada jenis pelayanan yang juga tidak mau mendengar kesulitan orang lain, pokoknya prinsipnya ini, ya sudah selesai, kamu terima atau tidak, prinsip yang benar seperti ini, kita mengatakan ssssiiittt, ini prinsip yang benar, begitu kan ya? Itu bukan pelayanan, pelayanan itu mendengar kesulitan orang lain, lalu kita coba mengerti, dia sulit karena apa? Kenapa dia tidak bisa percaya? Kita coba menggali dulu, kita coba mengerti terlebih dahulu, apa yang menjadi kesulitan di dalam diri orang tersebut, baru setelah itu kita memberikan pengajaran kepada dia.
Jadi ini ada dua ekstrim, satu mendengar tapi tidak berani menegur, mendengar, mendengar, mendengar, mengerti, tapi tidak berani menegur, itu humanisme atau orang belum juga bicara sudah ditegur lebih dahulu, eeeh saya sudah tahu, pasti problemnya ini kan ya? Jawabanya saya juga sudah ada, jadi tidak usah bicara lagi, ini buang-buang waktu saya saja, lagi pula saya ini orang sibuk, akhirnya kita tidak mendengar, tetapi langsung memberikan teguran dsb. Tetapi kita membaca di dalam cerita ini ada dua-duanya dan sebetulnya cukup panjang Yesus memberikan kepada mereka kesempatan untuk menyaksikan apa yang ada di dalam pikiran mereka. Seorang komentator bernama Craddock mengatakan, sebetulnya di dalam bagian ini, cerita ini adalah cerita yang sengaja dihadirkan oleh Lukas untuk menyatakan apa sih artinya injil? Jadi melalui pembicaraan dua orang ini yang mengatakan, tapi belum komplit karena belum dilengkapi oleh perspektif kebangkitan, injil itu masih samar-samar, mulai dari ayat 11, yaitu apa yang terjadi dengan Yesus orang Nazaret, Dia seorang Nabi, berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan dihadapan Allah dst. Ini kan cerita tentang injil, yang dibicarakan oleh mereka adalah summary dari pada injil, tapi belum dilengkapi dengan perspektif atau puzzle kebangkitan itu masih samar-samar. Mereka mengatakan juga bahwa ada perempuan-perempuan yang mengatakan bahwa Dia hidup, Dia bangkit dsb., tetapi mereka somehow juga masih ragu-ragu, tidak sepenuhnya percaya dan kemudian Yesus menegur mereka, “Betapa lamban hatimu, kamu orang bodoh, kamu tidak percaya segala sesuatu yang dikatakan para nabi”. Dalam perspektif Lukas, Yesus sendiri hadir di situ, appearances ini kan sangat spektakuler? Tetapi Yesus tetap menjelaskan diriNya juga dari firman Tuhan, Dia bukan mendemonstrasikan tentang tubuh kemuliaanNya yang baru, yang bisa sangat mengagetkan dsb., tidak, tetap Dia pakai firman Tuhan. Apalagi prinsip ini alangkah pentingnya untuk kita yang tidak hidup sezaman dengan Tuhan Yesus, kita bukan membangun iman kita dari tradisi penglihatan-penglihatan akan Kristus, karena ini penglihatan yang asli pun tidak dipakai oleh Yesus, yang tidak pakai Yesus sendiri, Yesus tidak memakai pengenalan akan diriNya berdasarkan penglihatan, tapi Dia membawa mereka akan pengenalan firman Tuhan sebagaimana yang sudah dinyatakan oleh para nabi atau kitab suci, firman Tuhan.
Prinsip pengenalan akan prinsip bahwa Mesias harus menderita untuk masuk ke dalam kemuliaanNya itu lebih penting dari pada mereka bisa melihat wajah Yesus berkilauan, kalau lihat wajah Yesus berkilauan tetapi tidak mengerti prinsip ini apa artinya? Misalnya kalau kita mendapatkan penampakan, lalu melihat wajah Yesus berkilauan, tetapi kita tidak mengerti prinsip bahwa Mesias harus menderita dan baru masuk dalam kemuliaanNya, dan juga tidak mengerti bahwa orang percaya, orang kristen sebagai tubuh Kristus juga masuk ke dalam prinsip yang sama, harus masuk ke dalam penderitaan, setelah itu masuk ke dalam kemuliaan, prinsip ini tidak ditangkap sama sekali, tetapi terus berkajang di dalam penglihatan wajah Kristus, untuk apa? Di dalam Kisah Para Rasul, kalimat ini diulang lagi, untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah kita harus melalui berbagai kesengsaraan, persis mengulang kalimat ini, Mesias harus menderita semuanya itu, masuk ke dalam kemuliaanNya di dalam arti yaitu bahwa orang kristen itu memang tidak menjadikan penderitaan sebagai goal yang tertinggi di dalam kehidupan kita. Kita bukan cinta penderitaan, kita ini orang-orang waras, tetapi tidak ada kemungkinan waktu kita mengikut Yesus, selalu kita tidak menderita, itu tidak mungkin, penderitaan itu termasuk di dalamnya, karena itu Paulus berani mengatakan, kita dipanggil bukan hanya untuk diselamatkan, tetapi juga untuk menderita bagi Kristus. Bukan karena penderitaan itu adalah goal bagi orang kristen, tidak, tetapi bahwa waktu kita mengikut Yesus, itu tidak mungkin tanpa penderitaan, karena dunia ini adalah dunia yang berdosa, kalau diilustrasikan dunia ini seperti kulit durian, kalau kulit durian disentuh atau dipeluk, itu sakit, karena durinya itu tajam, tapi kita ada pilihan, kalau tidak mau sakit, ya jangan sentuh. Dunia seperti itu, kita bisa tidak peduli sama dunia dan kita tidak menderita juga, saya tidak mau mengasihi dunia, saya tidak mau berurusan dengan dunia, saya ingin hidup bagi diri saya sendiri saja, relationship dengan sesama saya cut, ya memang betul, kita tidak akan luka, tapi apakah seperti ini adalah kehidupan, ini kan mirip neraka, orang yang tidak berhubungan dengan siapa pun?
Waktu kita berurusan dengan dunia, berurusan dengan sesama kita yang adalah orang berdosa, lalu kita mau masuk di dalam true relationship, meaning love relationship, kita kan harus merangkul, embrace, waktu kita embrace, kita pasti terluka, tidak mungkin tidak terluka, itu penderitaan. Harap-harap sih kita bukan duri yang paling besar di dalam dunia ini, jangan-jangan semua orang luka gara-gara kita, setiap kali orang bertemu saya, semua orang menangis, begitu ya? Satu per satu hatinya tertusuk, gara-gara bertemu saya, harap-harap sih tidak begini, harap-harap saya bertumbuh dari kulit durian, dari yang menusuk, menusuk menjadi orang yang merangkul tadi. Tetapi kita sendiri tidak pernah lepas dari pada kulit tadi, karena kita juga masih berdosa, kita tidak sempurna, perkataan kita juga masih akan melukai orang lain juga, tidak apa-apa, di dalam kekristenan kita percaya ada pengampunan kok, bukan percaya adanya idealisme bahwa orang tidak akan saling melukai lagi, tidak, tetapi kita percaya adanya kedewasaan, salah satu kedewasaan itu adalah bisa mengampuni satu dengan yang lain. Prinsip bahwa kita yang harus mengikuti Mesias, yang masuk ke dalam pederitaan terlebih dahulu setelah itu baru kemuliaan, itu prinsip yang tidak bisa exclude, kita tidak bisa buang, karena ini adalah prinsip Kerajaan Allah, masuk ke dalam penderitaan setelah itu dipermuliakan, di dalam banyak hal, karena itu menyatakan waktu kita masuk dalam penderitaan, di situ ibadah kita diuji, kita betul-betul beribadah kepada Tuhan atau beribadah kepada sesuatu yang lain. Seperti suasana padang gurun, memang tidak ada apa-apa, kecuali Tuhan yang ada di sana, kita mau cari fasilitas di padang gurun? Fasilitas apa? Yang ada hanya Tuhan dan kita seperti dipaksa, kalau di sana kita beribadahnya hanya bisa beribadah kepada Tuhan, tidak ada yang lain, tetapi hidup di dalam satu setting yang banyak fasilitas ini dan itu, kita bisa bilang kita cinta Tuhan, nanti dulu, bagaimana kalau hal-hal itu diambil oleh Tuhan? Ini juga yang dikatakan oleh setan waktu mencobai Ayub, menarik, teologi setan pun lumayan, waktu setan bilang, dia itu sebetulnya tidak terbukti mencintai Engkau, begitu kan ya? Kamu lindungi dia dengan semua kekayaan, tidak jelas ibadahnya kepadaMu, lumayan juga teologi setan ini, lalu setan bilang, coba Kamu ambil semuanya, nanti pasti dia akan mengutuki Kamu, tetapi setan salah, karena Ayub tetap beribadah kepada Tuhan.
Tetapi secara prinsip sebetulnya ini ada poinnya mengatakan seperti itu, orang yang banyak dikelilingi kekayaan, kalau dia tidak berhati-hati, sebetulnya ibadahnya bisa betul-betul tidak bersih dihadapan Tuhan, campur aduk dengan semua yang lain. Kalau kita mengatakan cinta Tuhan, cinta Tuhan karena ada berkat ini, makanya kita cinta Tuhan, ya good, memang Tuhan selalu tahu kita punya takaran, bukan berarti ya ok, mulai besok saya jual semua, lalu saya masuk ke padang gurun, saya mau lihat apakah saya betul-betul mencintai Tuhan atau tidak? Tuhan membentuk kita menurut takaran kita masing-masing, tetapi prinsipnya sama, di dalam penderitaan diuji ibadah kita, di dalam penderitaan kita juga diuji cinta kasih kita kepada sesama, waktu kita menderita, betul tidak bahwa kita masih mencintai sesama kita? Biasanya orang di dalam penderitaan itu akan cenderung egois, sebenarnya bukan berubah menjadi egois, tetapi karena penderitaan membawa kita ke dalam kedalaman diri kita yang paling dalam. Waktu kita tidak menderita, kita bisa senyum-senyum, waktu AC gereja hidup, kita bisa senang, bisa senyum-senyum, bisa ramah, dsb., waktu AC mati saja, langsung jadi berubah, padahal hanya AC yang mati, langsung berubah cara bicaranya dll., merasa tidak enak, jadi emosional dsb., kenapa bisa ada perubahan seperti itu? Kita bilang karena AC mati, bukan karena itu, tetapi sebenarnya di dalam kedalaman hati kita, kita memang tidak ramah, kita tidak senyum, kita kurang mengasihi orang lain dan AC mati, hal yang sederhana, menyatakan, membongkar hal itu. Penderitaan sesuatu yang bisa dipakai Tuhan secara positif, bukan penderitaannya sendiri yang baik, tetapi penderitaan yang dijadikan sarana oleh Tuhan, itu bisa membentuk kepribadian kita, karakter kita menjadi orang-orang yang akhirnya dipersiapkan untuk menerima kemuliaan yang diberikan dari Tuhan. Tetapi tidak ada jamianan bahwa setiap orang yang menderita, setelah itu dia akan mempermuliakan Tuhan, ada orang yang menderita bukan menderita bersama dengan Tuhan, tidak ada Tuhan, di situ Tuhan bukan reference, akhirnya setelah dia berhasil keluar dari penderitaan, dia menjadi orang yang sombong karena bisa keluar dari penderitaan, lalu kemudian dia mencuri kemuliaan Tuhan, bukan mempermuliakan Tuhan, tidak masuk ke dalam kemuliaan Tuhan, manusia itu menakutkan. Penderitaan pun bisa gagal membentuk kita, kalau kita tidak berjalan bersama dengan Tuhan, intinya itu bukan penderitaannya, tetapi apakah kita berjalan bersama dengan Tuhan atau tidak, apakah kita bersama dengan kehadiran Tuhan atau tidak, itu yang lebih menentukan, menderita atau tidak menderita, itu tidak penting, sakit atau sehat juga tidak penting, kaya atau pas-pasan juga tidak penting, yang penting adalah berjalan bersama dengan Tuhan atau tidak? Bukankah Mesias harus menderita semua itu untuk masuk ke dalam kemuliaanNya? Lalu kemudian sekali lagi Yesus menjelaskan tentang kitab suci kepada mereka, mulai dari Taurat, kitab Musa dan nabi-nabi dst.
Nah kemudian kita melihat di sini ada satu kejadian yang agak dramatis, Yesus yang berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalananNya, di dalam pengertian bahwa Yesus mau menguji iman mereka. Yesus kan sudah menjelaskan tentang diriNya di dalam seluruh kitab suci, itu cukup untuk membangun iman, tapi belum selesai, karena di dalam bagian ini mereka belum masuk ke dalam pengalaman kehadiran Kristus melalui sakramen. Baru setelah bagian ini Yesus seolah-olah hendak meneruskan perjalananNya, sekaligus menguji apa yang dibangun itu sudah ada di dalam diri mereka dan ternyata sudah, karena mereka mengatakan, tinggallah bersama-sama dengan kami, bukan hanya permintaan untuk menahan Yesus saja, tapi waktu mereka recall, setelah itu mereka betul berkobar-kobar hatinya ketika Yesus berbicara di tengah jalan dan menjelaskan tentang diriNya sendiri di dalam kitab suci, di situ berarti betul-betul timbul iman. Hari telah menjelang malam, matahari hampir terbenam, tinggallah bersama dengan kami, ini bagian yang seringkali dipakai secara metaforik, hari menjelang malam, seperti usia kita juga suatu saat akan menjelang malam, usia sudah mulai senja, tinggallah bersama dengan kami, apa sih yang menjadi penghiburannya untuk kita, waktu kita masuk ke dalam usia seperti itu? Yaitu bahwa Tuhan tinggal bersama dengan kita, raut muka kita tidak bisa kita pertahankan, kita tidak bisa mempertahankan kesehatan kita, kita tidak bisa mempertahankan kekayaan kita dll., tetapi kita bisa minta supaya Tuhan tinggal bersama dengan kita. Hari menjelang malam, matahari hampir terbenam, waktu Yesus hadir di sana, kegelapan itu tidak penting lagi, waktu matahari tidak ada lagi, waktu semua menjadi gelap, tetapi Yesus ada di sana, itu berarti terang, terang yang ada di dalam hati, tetapi celakalah orang yang di dalam kehidupannya tidak ada Yesus dan Yesus betul-betul tinggal bersama dengan mereka.
Coba kita perhatikan bagian ini, menarik, sangat comparable dengan peristiwa Zakeus kalau kita bandingkan, ini jelas Yesus sebagai tamu, Dia yang diundang, tinggalah bersama dengan kami, tamu tapi setelah itu kemudian Dia yang mengambil roti, mengucap berkat, memecahkan dan memberikan kepada mereka. Di sini Yesus menyatakan kedaulatanNya, Dia bukan tamu, dalam peristiwa Zakeus, Yesus berkata, Zakeus turunlah, Aku akan makan ditempat kamu, itu siapa mengundang siapa? Yesus yang mengundang Zakeus atau Zakeus yang mengundang Yesus? Yesus yang mengundang Zakeus, untuk Zakeus mengundang Yesus, kalau Yesus tidak mempercayakan diriNya untuk diundang, maka Zakeus akan berada di dalam keadaan minder, dia tidak berani mengundang Yesus, siapa dia berani mengundang Yesus? Dalam bagian itu tetap Yesus yang mengundang dan dalam bagian ini Yesus berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanNya, bukan mereka yang berinisiatif untuk meminta Yesus tinggal bersama dengan mereka, tetapi memang Yesus sudah ada rencana bagi orang-orang ini dan betul saja, waktu Yesus duduk makan bersama mereka, Yesus memerankan sebagai penjamu, di sini Dia itu bukan tamu. Jangan kita salah mengerti bagian ini, kita menjadikan Yesus sebagai tamu di dalam kehidupan kita, mungkin kita pikir pertama adalah doa kita yang berinisiasi untuk mengundang Dia, tetapi terus di dalam kehidupan kita kemudian kita terus-menerus menjadikan Dia sebagai tamu, Dia terikat sebagai Tamu, Yesus tidak akan bisa diperlakukan seperti ini. Dia itu Tuhan, Dia itu tidak akan menjadi tamu di dalam kehidupan kita, termasuk waktu kita mengundang Dia masuk ke dalam hati kita, tetapi Dia bukan tamu, waktu Dia diundang, Dia akan menjadi Raja, kalau kita tidak senang dengan ini, ya sudah tidak usah undang Dia.
Coba kita bayangkan, kalau ada tamu betul-betul seperti ini, kita ajak masuk ke rumah, lalu setelah itu dia membuka toples, lalu berkata ayo silahkan duduk, laah kita pasti bingung bukan? Kita pasti berkata, sebentar ya pak, hanya mau mengingatkan, ini rumah saya, begitu kan? Atau kita sebagai orang Timur sering berkata, sudahlah, anggap saja ini seperti rumah sendiri, lalu kemudian dia berlaku sebagai tuan rumah dan kita tamu dst., ini kan kebudayaan yang tidak biasa, kita sangat terganggu dengan gaya seperti ini. Karena kita yang mengundang, ya kita yang menjamu, tapi waktu Yesus ke dalam kehidupan kita, Dia tidak akan menjadi tamu, tidak, itu bukan natur dari Tuhan, Tuhan tidak akan pernah jadi tamu dalam kehidupan kita waktu kita mengundang Dia. Waktu kita mengundang Dia, kita mengundang Dia sebagai Tuan, sebagai Tuhan, sebagai Raja bukan sebagai tamu dan Yesus yang menjamu kita, Dia mengambil roti mengucap berkat, memecah-mecahkan dan memberikan kepada mereka. Ini good news, waktu Dia bukan menjadi tamu, waktu Dia yang menjamu kita, itu justru good news, kita jangan berpikir, wah celaka, setelah diundang ternyata Dia merajalela, itu bukan merajalela, tetapi Yesus melakukan pelayanan, justru kita lebih tidak berbahagia kalau kita sudah menjamu, akhirnya kita juga yang harus menjamu, menjamu, menjamu, ya tidak, cerita kehidupan kristen itu adalah waktu Yesus diundang masuk ke dalam kehidupan kita, Yesus yang akan menjamu kita, Yesus yang akan mengenyangkan kita, Yesus yang akan memecah-mecamkan roti dan memberikan kepada kita. Ini pelayanan yang dilakukan Yesus di dalam kehidupan kita, Dia bukan seorang diktator yang kemudian setelah kita undang tidak mau keluar lagi lalu menyengsarakan kehidupan kita, tidak. Justru bodoh orang yang sudah mengundang Yesus, tapi tidak mau mempercayakan Dia berperan sebagai penjamu, tetapi dia tetap mau menjalankan peran sebagai penjamu, kehidupan orang seperti akan sangat lelah, seperti Marta, waktu Yesus masuk ke dalam rumahnya, Maria menjadikan Yesus sebagai Tuan, Yesus berbicara, mengajar dan di sini Maria justru seperti tamu undangan, tetapi Marta tidak, Marta berusaha untuk menjadi penjamu, akhirnya dia sendiri yang kewalahan, kelelahan, uring-uringan, jadi tersinggung dsb., kenapa? Karena dia tidak menjadikan Yesus sebagai penjamu, dia mau menjamu Yesus. Dalam kehidupan kita semua, kita membiarkan Yesus menjamu kita, menanggung persoalan kita, mengenyangkan kita atau kita justru yang mau menolong Tuhan dsb.? Dalam bagian-bagian yang kita baca hari ini jawabannya adalah tidak.
Tapi kemudian Dia lenyap dari tengah-tengah mereka, justru di dalam saat mereka tidak bisa melihat, tidak bisa mengenal siapa Yesus, Yesus hadir di situ membawa mereka kepada pengenalan akan Kristus, tapi setelah mereka celik Yesus lenyap dari tengah-tengah mereka. Yesus itu bukan mahluk yang bisa kita genggam dengan tangan kita, tidak, Dia adalah Tuhan dan kita tidak bisa memperkosa transendensi Tuhan, tidak bisa. Ada orang yang keliru, dia pikir dia sudah dekat dengan Yesus, setelah itu dia mulai jadi kurang ajar, ada orang yang tidak bisa membedakan kapan dekat, kapan perlu ada hormat. Orang tidak menjadi lincah karena so intimate, intimate, lalu setelah itu kehilangan hormat, sebaliknya juga tentu saja bisa terjadi, terlalu segan sampai tidak ada intimate relationship sama sekali. Di sini Yesus tidak intim sekali kan? Mereka sudah melihat alangkah indahnya kalau malam itu Yesus tinggal di sana, tetapi ceritanya tidak seperti itu, setelah celik Yesus meninggalkan mereka, Yesus lenyap dari tengah-tengah mereka. Sudah selesai, ini orang yang sudah mendengar dengan telinga, melihat dengan mata bahwa Yesus sudah bangkit, lalu mereka harus pergi untuk memberitakan injil, bukan terus masuk ke dalam kedekatan yang akhirnya menara gading, terus senang, di situ terus, tidak, Yesus mengajak mereka untuk keluar menyaksikan apa yang mereka sudah alami. Di dalam kehidupan kita ada saat dimana kita dijamu oleh Yesus, lalu setelah iman kita dikuatkan, kita pergi besaksi, waktu kita pergi bersaksi, akan ada saat dimana kita peru dijamu lagi oleh Kristus. Karena itu perjamuan kudus bukan hanya sekali seumur hidup, kalau baptisan sekali seumur hidup, perjamuan kudus itu berulang-ulang di dalam kehidupan kita, artinya ada saat dimana kita dijamu lagi dan lagi, kemudian diutus keluar dan kemudian kita diberikan lagi perhentian, kita beribadah hari Minggu juga sama seperti ini, kita mendapatkan perhentian, setelah itu kita diutus keluar dari peristirahatan perhentian ini. Kiranya pengalaman dua orang Emaus ini juga bisa menjadi pengalaman pribadi kita, kiranya Tuhan memberkati kita. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Jemaat Kelapa Gading