Kita telah melihat bahwa Ibrani adalah sebuah surat yang menyatakan melalui pemaparan Perjanjian Lama yang cukup detail bahwa Kristus memiliki supremasi dibandingkan segala urusan dalam Perjanjian Lama terkhusus dalam permasalahan keimaman, bahkan Ibrani merupakan satu-satunya kitab Perjanjian Baru yang menjelaskan dengan sangat detail tentang Kristus sebagai imam besar agung. Pertanyaannya adalah mengapa, apa tujuan penulis menyatakan hal tersebut, dan bagaimana pemaparannya tentang supremasi Kristus bisa melayani tujuan tersebut??? Kita telah melihat bahwa besar kemungkinan surat ini diberikan kepada salah satu atau beberapa jemaat rumahan Romawi yang didominasi oleh orang Yahudi. Berkenaan dengan situasi jemaat Roma terkhusus mereka yang adalah orang Yahudi kita melihat dari beberapa pemaparan Paulus dalam surat Roma, yaitu bahwa mereka mengalami hubungan yang cenderung tegang dengan umat Kristen lain yang bukan Yahudi. Ditengah keadaan demikian cukup besar godaan bagi mereka untuk “murtad” kembali kepada Yudaisme, terlebih ketika kekristenan agaknya dipandang sangat longgar terhadap hal-hal yang mereka percaya sangat penting dalam Perjanjian Lama. Sunat misalnya, sangat jelas bahwa lalai akan sunat adalah hukuman mati bagi komunitas umat Allah; bahkan figur seperti Musa sekalipun terancam hukuman mati ketika dia melalaikan sunat bagi anaknya (Kel 4:42).
Namun dalam kekristenan hukum ini seolah dikesampingkan dan menjadi sangat relatif. Demikian juga kasusnya dengan hukum halal haram makanan. Bagi orang Yahudi pembedaan makanan mereka itu menyatakan signifikansi yang jelas tentang apakah mereka umat Allah atau bukan; ini merupakan nilai prinsipil identitas mereka; mirip dengan bendera merah putih bagi bangsa Indonesia. Orang Indonesia yang Nasionalis tentu akan bergumul ketika 17 Agustus saat semua rumah memasang bendera merah putih lalu ada sebuah rumah yang memasang bendera merah putih biru atau (Belanda) putih dengan bulatan merah ditengahnya (Jepang). Kristen yang mengaku merupakan kegenapan sejati dari Yudaisme Perjanjian Lama kini seolah terlepas dari akar-akar terpentingnya. Meresponi hal ini, penulis Ibrani menyatakan dengan sangat detil supremasi Kristus dari Perjanjian Lama.
Dalam aspek lain peringatan keras akan kemurtadan dalam surat ini mungkin akan terdengar janggal bagi telinga Reformed kita. Kita terbiasa dengan doktrin ketekunan orang kudus; yaitu bahwa orang sekali selamat akan tetap selamat sehingga tidak akan murtad. Namun sekali lagi, jika benar hipotesa yang menyatakan bahwa Ibrani adalah surat bagi jemaat Roma, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa penerima surat ini adalah mereka yang sudah menerima surat Paulus kepada jemaat Roma. Dalam ps 8 surat Roma kita melihat bahwa keselamatan kita benar-benar dijaminkan oleh Allah; tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus, baik itu penganiayaan, pemerintah, penguasa, bahkan kematian sekalipun (8:37-39). Uniknya adalah penulis Ibrani tetap merasa kuatir akan iman mereka yang mungkin gugur. Kita percaya bahwa dua surat ini (Roma dan Ibrani) tidaklah berpolemik; namun disini kita justru memperhatikan respon yang tepat terhadap doktrin tersebut. Alih-alih menjadi terlena, mereka dituntut untuk terus berhati-hati; stagnansi iman sangat mengkhawatirkan. Dalam hal ini kita melihat kemiripan dengan keberadaan jemaat kita saat ini; selain kita adalah jemaat yang telah sangat lama didoktrin tentang keselamatan yang tidak bisa hilang, kita juga jemaat yang dalam banyak hal mulai kehilangan sense akan supremasi Kristus.
Untuk melayani tujuan tersebut Paulus pertama mengutarakan keutamaan Kristus pertama dalam urusan pewahyuan. Fakta bahwa Allah adalah Allah mereka, mereka adalah milik Allah adalah bahwa Allah berfirman (memberikan wahyu) kepada mereka. Firman dalam benak kita saat ini berkaitan erat dengan perintah-perintah etis ataupun deskripsi teologis, namun bagi mereka Firman lebih dari itu, Firman adalah tanda perkenanan Allah. Menjelaskan supremasi Kristus dalam pewahyuan ini pertama penulis memakai perbandingan zaman; antara pada zaman dahulu dan pada zaman akhir ini. Keterangan pada zaman akhir ini penting untuk kita simak. Ini adalah keterangan eskatologis; orang-orang yang dibentuk melalui pengharapan Perjanjian Lama menantikan zaman akhir yaitu zaman Kerajaan Allah datang, zaman Allah bertindak melalui Mesias-Nya. This is the main event of the evening masa sekarang adalah masa partai utama dalam pengharapan mereka. Dan dengan sangat berbeda; kini pada zaman akhir ini perkenanan Allah, pewahyuan-Nya bukan lagi melalui para nabi melainkan melalui Anak-Nya. Kita perlu merenungkan sejenak hal ini; bagi kita “dahulu dan sekarang” (keterangan waktu) adalah urusan kronologis semata, namun bagi mereka hal tersebut adalah urusan teologis.
Pada zaman dahulu adalah masa yang mana Allah belum bekerja secara penuh; demikian pula pewahyuannya terpisah-pisah (fragmental; LAI: dalam pelbagai cara) dan perlu diberikan berulang kali. Perkenanan Allah masih belum tampil dalam kepenuhannya. Itulah zaman Perjanjian Lama, zaman ketika mereka masih menganggap mutlak urusan sunat, segala macam tata aturan halal haram makanan, hukum tahir-najis, dan salah satu yang paling besar adalah urusan kurban-kurban darah serta bait suci Yerusalem sendiri yang dengan megahnya menjulang tinggi dalam kemegahannya di Yerusalem, kota yang terletak diatas gunung. Pada zaman dahulu kala tersebut Allah berjanji, melalui berbagai nubuatan para nabi. Sebaliknya zaman akhir ini merupakan masa dimana Allah bertindak dengan leluasa, perkenanannya dinyatakan dengan final melalui Kristus, Anak-Nya. Zaman ini adalah penggenapan yang dinantikan dari zaman dahulu. Memperkuat argumen tentang supremasi pewahyuan Kristus dalam masa akhir ini, penulis mengungkapkan 7 kategori tentang Kristus.
Pertama, Dia berhak menerima segala yang ada. Kesadaran bahwa Allah berhak menerima segala sesuatu sehingga kita wajib memberikan segala sesuatu kita masih sering kali kurang. Alih-alih melihat Kristus berhak, kita lebih sering menghidupi bahwa kitalah yang berhak; kita berhak memberikan “santunan atau sedekah” seberapa banyak yang kita mau dan Tuhan “wajib” menerima, tentu kita tidak sekasar itu dalam pengakuan kita; konsep tersebut kita balut dengan kalimat rohani, pemberian kita tidak ada apa-apanya dan Tuhan tidak melihat kuantitas, Tuhan melihat hati. Namun sebenarnya hal ini sangat terbalik; Alkitab seringkali memakai kata “hati” untuk mengisahkan tentang kegenapan, keseluruhan hidup kita; namun kita mengartikan hati sebagai satu aspek yang non fisik semata. Kita mengatakan mungkin jumlah waktu yang saya persembahkan tidak banyak, jumlah tenaga tidak banyak, jumlah uang tidak banyak, jumlah pelayanan tidak banyak, tapi saya mempersembahkan hati… Alkitab memakai kata hati untuk menggambarkan keseluruhan hidup kita, meliputi waktu, tenaga, kebanggaan diri dll tersebut. Kita perlu belajar bahwa Dia senantiasa berhak menerima yang terbaik, berhak menerima keseluruhan. Memang dalam praktek gereja kita seolah tidak memberikan ruang akan Allah yang berhak menerima dan juga berhak menolak; kita memasukkan uang dalam persembahan dan tidak ada kemungkinan kolektan mencabut uang pemberian kita dan mengembalikannya sembari berkata ini tidak layak. Sedikit sekali penatalayan dalam bentuk apapun, dari kolektan, pianis, pengkhotbah, usher dsb yang ditolak dengan kalimat pernyataan, anda harus berhenti dahulu karena pelayanan anda tidak layak. Sampai sini kita mulai berasa; lagi-lagi teguran, mengingatkan kita akan kewajiban kita; lagi-lagi Allah menagih hutang. Namun ayat ini berbicara jauh melampaui urusan hutang piutang, meski tentu kita adalah orang yang berhutang kepada Allah.
Bagi pendengar pada waktu itu pembacaan Dia berhak menerima segala yang ada memiliki arti yang lebih besar. Pernyataan tersebut menyuarakan kembali Mzm 2:8. Mazmur koronasi sedemikian memainkan bagian penting dalam latar pengharapan Mesianik Yudaistik mereka. Namun dalam bagian ini kita melihat kalimat suparlatif penulis; Kristus bukan saja berhak atas bumi, namun berhak atas segala yang ada. Berbeda dari pengharapan eskatologis mereka akan raja Mesianis, Kristus yang mereka percayai bukan hanya Raja atas segala bangsa dan raja atas bumi (Mzm 2:8), namun atas segala sesuatu; ini bahkan melampaui apa yang mereka harapkan. Kristus datang dalam suspremasi dan keagungan yang melebihi apa yang mereka harapkan dalam figur Mesias Perjanjian Lama mereka; mereka berharap yang dapat memiliki seluruh bangsa (dengan mereka sebagai rakyatnya) namun Kristus mereka menerima segala yang ada. Dalam hal ini kekristenan dibawa kepada sebuah sikap yang unik; memang ada urusan kewajiban bagi kita untuk mengembalikan, mengakui segala sesuatu kepada Dia. namun disisi yang lain, untuk mengembalikan segala sesuatu kepada Dia bukan hanya dorongan kewajiban semata namun tindakan wajar dari kekaguman. Dia layak mendapatkan segala sesuatu, layak mendapatkan yang terbaik dari kita; Dia adalah kegenapan yang menggenapkan lebih dari yang mereka harapkan akan pengharapan mulia mereka atas Mzm 2:8.
Kedua, melalui Kristuslah Allah menciptakan alam semesta. Banyak penafsir mengaitkan bagian himne ini dengan tradisi sastra hikmat, dalam naskah Perjanjian Lama kitab Amsal khususnya pasal 8 menyatakan tentang peran hikmat ini dalam penciptaan. Hikmat merupakan bagian penting dalam budaya Yahudi; orang berhikmat adalah orang yang mengerti seni untuk hidup. Dia tidak harus orang yang sangat tinggi intelektualitasnya namun dia tahu harus bertindak apa dalam waktu yang mana. Dalam Amsal kita melihat peringatan-peringatan hikmat; orang yang berhikmat, menuruti nasihat hikmat akan hidup, dan orang bebal, tak berhikmat akan celaka. Hikmat lebih dari pada perak, emas, permata (8:10-11), oleh karena hikmatlah para raja memerintah (8: 15-16). Disini Kristus diidentikkan dengan Hikmat Ilahi yang berkarya dalam Penciptaan; orang bijak akan mengikutinya dan yang meninggalkannya akan celaka.
Ketiga, Dia adalah cahaya kemuliaan Allah. Dalam tradisi Perjanjian Lama diajarkan bahwa Allah tidak terlihat. Manusia akan mati melihat kemuliaan Allah; kemuliaan-Nya terlampau besar dan tak terhampiri oleh orang berdosa. Namun kini dalam Kristus kita mendapati cahaya kemuliaan Allah tersebut. Kemuliaan Allah digambarkan dalam Perjanjian Lama melalui tiang awan, tiang api, petir serta berbagai fenomena mengerikan yang membuat orang tak bisa bertemu dan mendapati hadirat Allah. Namun kini pada masa eskatologis ini mereka bisa melihat kemuliaan Allah dalam Diri Yesus. “Cahaya kemuliaan Allah” mereka lihat sebelumnya dalam bait suci bersama segala ritualnya. Berbicara tentang bait suci kita akan melihat banyaknya emas yang dipakai, berjejalnya logam mulia, batu-batuan berharga serta benda-benda mahal yang menghiasi isi bait suci tersebut. Tidak cukup sampai disana, ritual-ritual yang dikerjakan disanapun dipadati dengan syarat-syarat kesempurnaan; baik hewan kurban, imam yang melayani sampai jemaat yang hadir. Mereka yang tidak “tahir”, sakit kusta, buta, timpang, haid, tidak diperkenankan masuk bait suci; demikian binatang yang cacat juga tidak diijinkan masuk. Perjanjian Lama jelas tidak kekurangan pengertian tentang Allah yang berbelas kasihan, mengasihi orang lemah, orang asing, para kaum marjinal dsb. namun yang tidak bisa kita lupakan adalah bahwa Allah itu penuh kemuliaan dan hal itu dinyatakan-Nya dengan jelas melalui berbagai upacara keagamaan mereka. Ketika membakar kurban, mereka membakar lemak-lemaknya mereka yang melakukannya bisa menghirup sendiri bau wangi lemak tersebut dan bau harum tersebut mereka persembahkan kepada Allah.
Dua hal setidaknya yang mereka saksikan tentang kemuliaan Allah dalam bait suci; pertama, kengerian; banyaknya binatang yang dimatikan, berliter-liter darah yang menghiasi ibadah-ibadah mereka menghadirkan aroma kematian yang sangat mencekam. Kemuliaan Allah benar-benar tidak terhampiri, bermain-main dengan kesucian Allah berarti kematian. Binatang-binatang kurban tersebut mengingatkan kepada mereka betapa Allah adalah Allah yang adil yang menghukum dosa. Hal kedua adalah kemuliaan, kesempurnaan; mulai dari bau harum binatang yang dibakar, dupa serta segala wewangian hingga golongan penyanyi yang dipilih khusus, dikuduskan dari kaum tertentu dari suku tertentu menyatakan kepada mereka betapa Allah mulia, layak (bukan hanya harus) untuk dipuja karena kemuliaan-Nya. Memuji Tuhan adalah sebuah tindakan wajar yang akan muncul spontan dari umat yang berreaksi secara wajar. Kontras dengan ibadah kita saat ini; baik kengerian maupun kemuliaan, keduanya merupakan hal yang cenderung langka dalam ibadah kita; hal terbaik yang kita persembahkan kepada Allah dengan dorongan kekaguman cenderung minim. Waktu, tenaga, uang, suara, konsentrasi??? Kita datang terlambat, berdoa separuh atau bahkan seperempat hati, menyanyi sembarangan dsb. Sekali lagi, dalam praksis kita Kristus simply tidak mulia, tidak berhak, tidak layak menerima yang baik. Kita yang berhak dan dia hanya wajib menerima, dan mungkin wajib berterima kasih karena kita sudah sudi melayani Dia. Kristus yang terlucuti dari segala kemuliaan-Nya yang kita lihat dalam gereja kita saat ini. kita patut merenungkan kembali hardikan Allah akan kebebalan umat-Nya, imam-imam-Nya dalam Maleakhi (1:6-14).
Keempat, Dia adalah gambar wujud Allah. Senada dengan Kolose, bagian ini menyatakan tentang keberadaan Diri Allah. Dalam bagian sebelumnya kita melihat bahwa Allah tidak dapat dihampiri karena kemuliaan-Nya; dalam bagian ini kita mengingat bahwa Allah tidak dapat dijumpai sebab Dia Roh. Konsep gambar (charakter) merupakan cetakan dari sesuatu yang tidak terlihat; seperti tulisan dan gambar kaisar pada koin. Allah tidak terlihat, namun dalam Pribadi Kristus mereka kini melihat Allah sendiri. Dalam Perjanjian Lama mereka bisa mengenali kemuliaan Allah melalui tiang awan, tiang api, mereka bisa mendengarkan suara Allah melalui para nabi, mereka mengenal dan mendapati deskripsi Allah; namun kini dalam penggenapan dalam Perjanjian Baru; mereka bisa melihat Diri Allah sendiri dalam Pribadi Yesus Kristus. Bisa melihat Allah, mendengar suara-Nya secara langsung dari mulut-Nya akan mengingatkan mereka akan pengharapan Firdaus, pengharapan langit baru dan bumi yang baru. Seperti Adam mendengar suara Allah secara langsung; kini mereka mendengar Yesus secara langsung. Hal ini mengungkap kembali kepada mereka pengharapan Firdaus mereka.
Kelima, Dia menopang segala sesuatu dengan Firman-Nya yang berkuasa. Allah bukan hanya mencipta dan membiarkan ciptaan bergerak seturut hukum alam seperti konsep deisme. Namun Dia menopang segala sesuatu dengan Firman-Nya yang berkuasa. Menopang bukan dalam konsep memanggul namun membuat semesta bergerak seperti tujuannya diciptakan. Hal ini sangat berbunyi terkhusus bagi mereka yang sedang mengalami penganiayaan besar. Orang-orang Ibrani akan melihat bahwa situasi sulit yang segera menghampiri mereka bukanlah karena raja, atau situasi politik yang tak terkontrol dan tak terprediksi namun ada Allah. Allah Perjanjian Lama yang demikian besar, yang Firman-Nya berkuasa dan kejadian yang terjadi saat ini (dan yang segera akan mereka hadapi) adalah berada dibawah kontrol-Nya, sebab Dia sedang menopang segala sesuatu.
Keenam, mengadakan penyucian dosa. Kristus bukan hanya memiliki kaitan besar dengan alam semesta, namun juga dengan umat khusus yang ditebus-Nya. Penyucian dosa senantiasa menjadi bagian penting dalam kekristenan mula-mula. Bukan terutama karena kerinduan mereka untuk masuk sorga dan ketakutan mereka akan neraka; namun dosa adalah dalam dirinya sendiri suatu masalah serius. Dalam pola pikir orang-orang Ibrani, dosa yang membuat manusia tidak benar-benar menjadi manusia, dosa yang merombak tatanan ciptaan, membuat tanah menumbuhkan onak, membuat sakit beranak, membuat ciptaan tidak lagi menyatakan kemuliaan Allah dan yang lebih jelas membuat manusia tidak menyatakan kemuliaan Allah, dan lebih spesifik lagi membuat Israel kehilangan keisraelan mereka. Mereka tidak menjadi berkat bagi banyak bangsa namun mereka menjadi bahan suitan bangsa-bangsa lain. Kristus menopang segala sesuatu, mengembalikan segala sesuatu dalam order nya, maka Dia mengadakan pendamaian terhadap dosa.
Ketujuh, duduk disebelah kanan yang maha besar. Orang Yahudi akan jelas bahwa bagian ini bukan berbicara tentang lokasi. Sekali lagi kita melihat gambaran Mzm 110 disini, duduk disebelah kanan, Kristus bukanlah seorang pribadi keblinger yang mati karena salah perhitungan. Dia mengadakan penyucian dosa, dan pada waktu tersebutlah Dia menerima kerendahan-Nya (Ibrani tidak menyinggung tentang kehinaan Kristus; hal tersebut akan keluar dari agenda teologisnya). Namun setelah penyucian dosa (yang sangat merendahkan-Nya) selesai, mereka harus mengetahui bahwa Dia menggenapkan Mzm 110. Yang menjadi raja besar yang penuh kemenangan disini adalah sekaligus imam, yang melakukan penyucian dosa dengan darah-Nya sendiri. Kini Dia kembali dalam kemuliaan-nya yang setara dengan Bapa.
Kristus lebih tinggi dari para malaikat. Sekali lagi buat kita lebih tinggi dari malaikat mungkin tidak berbicara terlalu banyak. Malaikat hanyalah sosok cantik bersayap buat kita. Namun malaikat dalam Perjanjian Lama memainkan peran yang sangat penting bagi mereka. Malaikat muncul dalam penghakiman, dalam pewahyuan dalam memberikan kabar kemenangan dan sukacita; malaikat menguatkan dan yang sangat khas dalam pemikiran mereka adalah bahwa malaikat memainkan peran penting dalam pewahyuan. Ketujuh kategori disini dalam cara pandang Ibrani menyatakan supremasi Kristus dalam bagian-bagian yang sangat vital bagi sendi hidup mereka; pembukaan surat ini mengantisipasi bagian-bagian selanjutnya yang menggambarkan dengan sangat baik tentang kemuliaan dan supremasi Kristus; dan hal tersebut akan mendorong jemaat untuk bukan saja bertahan dalam penganiayaan namun juga semakin maju dalam beribadah; bukan hanya karena berasa berhutang namun juga karena didorong oleh kekaguman. Kiranya kita semakin membenamkan diri dalam kisah-kisah Perjanjian Lama dan melihat dengan jelas juga kemuliaan Kristus yang mengatasi segala hal dan hal tersebut pada membawa kita berlutut dalam kekaguman dan melayani-Nya dalam segala ketulusan.
GOD be praised!!!
Ringkasan khotbah ini sudah diperiksa oleh pengkhotbah (KK)
Baca: Ibrani 1:1-4